• Tidak ada hasil yang ditemukan

III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Konseptual

3.1.1 Konsep Tataniaga

Tataniaga pertanian adalah sejumlah kegiatan bisnis yang ditujukan untuk memberikan kepuasan dari barang atau jasa yang dipertukarkan dengan konsumen atau pemakai dalam bidang pertanian, baik input, maupun produk pertanian (Purcell 1979). Tataniaga pertanian menganalisis semua aktivitas bisnis yang terjadi dengan produk pertanian atau produk agribisnis, setelah produk tersebut lepas dari produsen primer sampai ke tangan konsumen akhir.

Pada kegiatan tataniaga, terdapat banyak pihak yang terlibat karena para petani pada umumnya tidak menjual langsung hasil panennya kepada konsumen akhir. Pihak yang terlibat tersebut adalah perantara yang berperan dalam memberikan perlakuan khusus terhadap produk pertanian dan mengalirkannya hingga berada di tangan konsumen akhir. Menurut Abbott (1990) tugas dan tanggung jawab pelaku tataniaga adalah :

1. Mencari pembeli dan mengalihkan kepemilikan. 2. Penyusunan dan penyimpanan.

3. Menyortir, mengepak, dan mengolah.

4. Menyediakan pembiayaan untuk tataniaga dan pengambilan risiko. 5. Memilah-milah dan menyajikan kepada konsumen.

Menurut Mubyarto (1983), fungsi dan peranan tataniaga adalah mengusahakan agar pembeli memperoleh barang yang diinginkan pada tempat, waktu, bentuk, dan harga yang tepat. Salah satu pendekatan dalam menganalisis sistem tataniaga adalah pendekatan Structure-Conduct-Performance (S-C-P). Tipe-tipe perbedaan pasar digolongkan dalam kelompok market structure. Praktik-praktik bisnis dikelompokkan dalam market conduct dan pengaruh- pengaruh terhadap harga dan output digolongkan dalam market performance.

Pendekatan S-C-P bersifat dinamis dan menekankan pada aspek deskriptif, bersifat kasus-kasus, pembahasan aspek kelembagaan secara lebih detail (Gonarsyah dan Philips, dalam Asmarantaka 2009). Menurut Kohls dan Uhl (2002) minimal ada tiga pendekatan utama dalam menganalisis permasalahan

tataniaga yaitu : pendekatan kelembagaan (the institutional approach), pendekatan fungsional (the functional approach) dan pendekatan sistem perilaku (the behavioral approach).

3.1.2 Kelembagaan dan Saluran Tataniaga

Lembaga tataniaga adalah badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga, dimana terdiri dari golongan produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa. Saluran tataniaga (marketing channel) adalah saluran yang digunakan untuk menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen, dimana di dalamnya terlibat beberapa lembaga tataniaga (Limbong dan Sitorus 1987). Setiap pelaku tataniaga akan memperoleh keuntungan yang berbeda dalam proses tataniaga.

Beberapa faktor penting perlu dipertimbangkan dalam pemilihan saluran tataniaga adalah ;

1. Pertimbangan pasar, meliputi konsumen akhir dengan melihat potensi pembeli, geografi pasar, kebiasaan pembeli, dan volume tataniaga.

2. Pertimbangan barang, meliputi nilai barang per unit, besar, berat, harga, tingkat kerusakan, dan jenis barang.

3. Pertimbangan intern perusahaan, meliputi sumber permodalan, pengalaman manajemen, pengawasan, penyaluran dan pelayanan.

4. Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai tataniaga, meliputi segi kemampuan lembaga perantara dan kesesuaian lembaga perantara dengan kebijakan perusahaan.

Semakin jauh jarak pasar antara produsen dan konsumen akan mengakibatkan panjangnya rantai tataniaga serta banyaknya fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan. Selain itu banyaknya jumlah lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga juga dipengaruhi oleh sifat komoditinya apakah cepat rusak atau tidak. Komoditi yang cepat rusak membutuhkan rantai tataniaga yang pendek dan harus dengan cepat diolah atau langsung diterima oleh konsumen. Kemudian saluran tataniaga tergantung pula pada skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil, maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula, dan akan tidak menguntungkan bila produsen menjual langsung ke pasar. Dalam keadaan yang demikian kehadiran pedagang perantara

diharapkan, dan saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang. Kekuatan modal dan sumberdaya yang dimiliki juga berpengaruh bagi keterlibatan lembaga- lembaga tersebut dalam saluran tataniaga karena produsen atau pedagang yang posisi modalnya kuat akan dapat melakukan lebih banyak fungsi tataniaga sehingga tataniaga dapat diperpendek.

Menurut Kohls dan Uhl (2002), pendekatan kelembagaan (the institutional approach) lebih menekankan kepada orang atau lembaga tataniaga yang menjadi pelaku aktivitas (fungsi-fungsi) tataniaga. Pelaku aktivitas tataniaga dalam produk pertanian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Pedagang perantara (merchant middleman) yang terdiri dari pengecer (retailers) dan grosir (wholesalers). Pedagang perantara mempunyai hak dan kepemilikan atas produk yang mereka tangani dan melakukan aktivitas jual beli untuk memperoleh keuntungan bagi mereka sendiri. Pengecer membeli produk dan menjualnya secara langsung kepada konsumen akhir. Grosir membeli secara langsung dari petani atau pedagang pengumpul lalu menjual kepada pengecer, grosir di kota lain atau kepada industri pengolahan.

2. Agen perantara (agent middleman) yang terdiri dari makelar (brokers) dan komisioner (comission man). Agen perantara bertindak hanya sebagai wakil dari klien mereka dan tidak memiliki hak dan kepemilikan atas produk yang mereka tangani. Agen perantara memberikan jasa penjualan atau pembelian karena keahliannya dalam tawar menawar dan mempunyai pengetahuan pasar. Agen memperoleh pendapatan dalam bentuk upah dan komisi. Komisioner mempunyai wewenang yang lebih banyak karena dapat menangani produk secara fisik, mengatur waktu penjualan dan tugas-tugas lainnya tetapi makelar mempunyai wewenang yang lebih terbatas dan tidak menangani produk secara fisik serta mengikuti peraturan dari klien.

3. Perantara Spekulatif (speculative middleman) yaitu perantara yang mempunyai kepemilikan atas produk dengan tujuan utama memperoleh keuntungan dari pergerakan harga. Perantara spekulatif berperan dalam mengambil risiko fluktuasi harga dengan penanganan minimum pada produk. 4. Pengusaha pengolahan dan pabrik (processors and manufacturers) yaitu

pertanian primer menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir. Aktivitas pabrik pengolah menambah kegunaan waktu, tempat, bentuk, dan kepemilikan.

5. Organisasi pemfasilitasi (facilitative organizations) yang berperan untuk membantu atau memperlancar berbagai pelaku tataniaga dalam melakukan tugasnya. Fasilitator melakukan aktivitas seperti membuat peraturan- peraturan, kebijakan, asosiasi, jasa pengangkutan produk atau fungsi fasilitas spesifik lainnya.

3.1.3 Fungsi – Fungsi tataniaga

Fungsi-fungsi tataniaga merupakan berbagai kegiatan atau aktivitas bisnis yang terjadi dalam penyaluran barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Apabila fungsi-fungsi tataniaga berperan sebagaimana mestinya, tataniaga dapat meningkatkan nilai ekonomi dan nilai tambah hasil produksi (Limbong dan Sitorus 1987).

Pendekatan fungsional (the functional approach) menurut Kohls dan Uhl (2002) bermanfaat dalam mempertimbangkan bagaimana pekerjaan harus dilakukan, menganalisis biaya-biaya tataniaga dan memahami perbedaan biaya antar lembaga dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga.

Menurut Limbong dan Sitorus, fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi tiga fungsi, yaitu :

1. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran terdiri dari dua fungsi yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan merupakan kegiatan yang bertujuan mencari dan mengusahakan agar ada pembeli atau ada permintaan pasar yang cukup baik pada tingkat harga yang menguntungkan. Fungsi pembelian adalah pembelian persediaan produksi untuk diolah dan dijual kembali.

2. Fungsi fisik adalah semua kegiatan atau tindakan yang menimbulkan kegunaan tempat, bentuk, waktu, pada barang dan jasa. Fungsi fisik meliputi penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan.

a. Fungsi penyimpanan bertujuan untuk membuat produk tersedia pada waktu yang diinginkan. Selama pelaksanaan dilakukan

beberapa tindakan untuk menjaga mutu, terutama hasil-hasil pertanian yang mempunyai sifat mudah rusak.

b. Fungsi pengolahan merupakan kegiatan yang mengubah betuk dasar dari produk.

c. Fungsi pengangkutan bertujuan untuk membuat produk tersedia pada tempat yang sesuai. Jenis alat transportasi dan rute yang dipilih berpengaruh terhadap biaya transportasi. Adanya keterlambatan dalam pengangkutan dan jenis alat angkut yang tidak sesuai dengan sifat barang yang diangkut dapat menimbulkan kerusakan dan penurunan mutu barang yang bersangkutan.

3. Fungsi fasilitas adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas ini terdiri dari fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi.

a. Fungsi standarisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu produk dengan berbagai bentuk, ukuran, kadar air, tingkat kematangan, rasa, warna, dan kriteria lainnya. Grading merupakan tindakan menggabungkan suatu produk menurut standarisasi yang diinginkan oleh pembeli.

b. Fungsi penanggungan risiko merupakan penerimaan atas kemungkinan terjadinya kerugian karena kehilangan produk. Risiko yang dihadapi dapat dibedakan menjadi risiko fisik dan risiko pasar. Risiko fisik terjadi pada fisik produk karena kecelakaan dan bencana alam. Risiko pasar terjadi karena fluktuasi harga di pasar.

c. Fungsi pembiayaan dibutuhkan khususnya dalam kegiatan operasional tataniaga.

d. Fungsi informasi merupakan kegiatan dalam mengumpulkan, mengolah, dan menginterpretasikan data yang penting dalam memperlancar operasi dari proses tataniaga. Penetapan harga yang efektif tergantung dari seberapa baik pembeli dan penjual memperoleh informasi.

3.1.4 Struktur pasar

Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, deskripsi produk atau diferensiasi produk, syarat-syarat masuk dan sebagainya atau penguasaan pangsa pasar. Struktur pasar dicirikan oleh : (1) kosentrasi pasar (2) diferensiasi produk dan (3) kebebasan untuk keluar masuk dalam pasar (Limbong dan Sitorus 1987).

Empat faktor penentu dari karakteristik suatu pasar : (1) jumlah atau ukuran perusahaan (2) kondisi atau keadaan produk (3) kondisi keluar masuk pasar dan (4) tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga, misalnya biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan (Dahl dan Hammond 1977).

Hammond dan Dahl (1977) mengemukakan lima jenis struktur pasar pangan dan serat dengan berbagai karakteristiknya yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, struktur pasar yang dihadapi oleh penjual dapat berbentuk persaingan sempurna, persaingan monopolistik, oligopoli murni, oligopoli diferensiasi, dan pasar monopoli. Sedangkan struktur pasar yang dihadapi oleh pembeli dapat berbentuk persaingan sempurna, persaingan monopsonistik, oligopsoni murni, oligopsoni diferensiasi, dan pasar monopsoni.

Tabel 6. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat

Sumber : Dahl dan Hammond, 1977. No.

Karakteristik Struktur Pasar

Jumlah Penjual dan

Pembeli

Sifat Produk Sudut Penjual Sudut Pembeli

1 Banyak Homogen Persaingan sempurna Persaingan

sempurna

2 Banyak Diferensiasi Persaingan

monopolistik

Persaingan monopsonistik

3 Sedikit Homogen Oligopoli murni Oligopsoni

murni

4 Sedikit Diferensiasi Oligopoly

diferensiasi

Oligopsoni diferensiasi

3.1.5 Perilaku Pasar

Perilaku pasar adalah strategi produksi dan konsumsi dari lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan pembelian dan penjualan. Penentuan harga serta kerjasama antar lembaga tataniaga. Perilaku pasar adalah pola tindak tanduk pedagang beradaptasi dan mengantisipasi setiap keadaan pasar. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga tataniaga dalam struktur pasar yang meliputi kegiatan penjualan, pembelian, penentuan harga dan siasat tataniaga. Perilaku pasar dapat dilihat dari proses pembentukan harga dan stabilitas pasar. Serta ada tidaknya praktek jujur dari lembaga tataniaga tersebut (Azzaino 1981). Ada empat pendekatan sistem perilaku pasar, yaitu :

1. Input-output system, mencoba mengkombinasi atau memilih input melalui pengembangan teknologi, diversifikasi atau substitusi, sehingga kepuasan konsumen meningkat dengan atau tanpa meningkatkan baiya (input).

2. Power system, dimana setiap perusahaan mempunyai kepentingan dan peranan yang berbeda. Sebagai market leader dapat mengembangkan produk melalui perbaikan kualitas, penetapan harga dan lain-lain kebijakan yang semakin memperkuat posisi. Berbeda dengan followers yang bergerak dalam ceruk pasar yang kecil dan mengikuti keputusan dari leaders. Secara teori ekonomi dapat dijelaskan melalui monopoly dan imperfect competition behavior.

3. Communication system, mengembangkan sistem komunikasi antara pemilik perusahaan dengan tenaga kerja (buruh), pelanggan dan lain-lain.

4. The behavioral system for adapting to internal-external change, perusahaan perlu mengidentifikasi perubahan-peruabahan dan adaptasi terhadap perubahan.

Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, kemampuan pasar menerima jumlah produk yang dijual, stabilitas pasar dan pembayaran serta kerjasama diantara berbagai lembaga tataniaga. Struktur dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui peubah harga, biaya, margin tataniaga dan jumlah komoditi yang

dipasarkan sehingga akan memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem tataniaga.

3.1.6 Margin Tataniaga dan Farmer’s Share

Insentif ekonomi merupakan salah satu faktor pendorong bagi petani dalam menentukan pilihan komoditas pertanian yang akan diusahakan. Insentif ekonomi tersebut diantaranya berupa bagian harga yang diterima petani, yang dapat diketahui dari keragaan dan perkembangan margin tataniaganya.

Margin tataniaga didefenisikan sebagai perbedaan harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima produsen pada setiap level lembaga tataniaga yang terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh lembaga tataniaga (Limbong dan Sitorus 1987). Biaya tataniaga adalah semua jenis biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam sistem tataniaga suatu komoditi dalam proses penyampaian barang dalam hal ini adalah kentang, mulai dari petani sampai ke konsumen akhir. Keuntungan tataniaga adalah pengurangan margin tataniaga dengan biaya-biaya tataniaga.

Pengertian statis dari margin tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat petani (Pf) dengan harga di tingkat konsumen (Pr) atau MT = Pr– Pf. Pendekatan dinamis dari margin tataniaga merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas produktif atau konsep nilai tambah (value added). Pengertian ini menunjukkan margin total atau Mi = Biaya-biaya tataniaga + keuntungan lembaga-lembaga tataniaga (Mi = Ci + πi). Pendekatan dinamis margin tataniaga ini juga memberikan pengertian semua proses bisnis dan aliran tataniaga dengan menganalisis kelembagaan dan keseluruhan sistem, mulai dari petani hingga konsumen akhir (Tomek dan Robinson 1990).

Dahl dan Hammond (1977) mendefenisikan margin tataniaga sebagai perbedaan harga tingkat petani (Pf) dengan harga tingkat pengecer (Pr). Sedangkan pengertian nilai margin tataniaga merupakan perkalian antara margin tataniaga dengan jumlah produk yang dipasarkan atau VMM= [(Pf – Pr)Qrf] dan mengandung pengertian marketing cost dan marketing charges.

Farmer’s share merupakan persentase perbandingan harga yang diterima petani (Pf) dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir (Pr). Secara matematis farmer’s share (Fsi) dapat dirumuskan sebagai berikut :

Fsi =

x 100%

Farmer’s share mempunyai nilai yang relatif lebih rendah jika harga

ditingkat konsumen akhir relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga yang diterima oleh petani. Sebaliknya farmer’s share mempunyai nilai yang sangat relatif lebih tinggi jika harga di tingkat konsumen akhir tidak terpaut jauh jika dibandingkan dengan harga yang diterima oleh petani.

3.1.7 Efisiensi Tataniaga

Dalam kegiatan tataniaga yang sering terjadi pertentangan kepentingan dari tiga pihak yaitu produsen yang menghendaki hasil dari penghasilan yang baik, konsumen akhir yang menghendaki harga barang yang relatif murah dan lembaga tataniaga yang menginginkan keuntungan yang tinggi. Namun kenyataanya adalah petani atau produsen banyak dirugikan karena banyak menerima harga yang relatif rendah. Hal yang mungkin menjadi alternatif pemecahan yaitu dengan menekankan biaya tataniaga atau memperkecil margin keuntungan dari tiap lembaga tataniaga. Biaya tataniaga tiap lembaga akan mempengaruhi harga yang diterima oleh petani dan konsumen.

Sistem tataniaga yang produktif dan efisien bersumber pada penggunaan sumberdaya yang efisien dalam proses penciptaan waktu, bentuk, dan tempat dalam pergerakan barang dan jasa dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen (Azzaino 1981). Efisiensi tataniaga adalah maksimisasi dari rasio input dan output. Perubahan yang mengurangi biaya input tanpa mengurangi kepuasan konsumen akan meningkatkan efisiensi. Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional adalah efisiensi yang menekankan pada minimisasi biaya untuk melakukan fungsi tataniaga. Dalam kenyataan di lapang, untuk mengetahui besaran indikator efisiensi operasional (teknik), banyak peneliti menggunakan analisis margin tataniaga (marketing margin) atau sebaran harga antara harga di tingkat petani dengan di tingkat eceran (farm retail price spread). Fokus dalam analisis ini

adalah kajian biaya-biaya tataniaga dan kegiatan produktif (fungsi-fungsi dan lembaga tataniaga) mulai dari petani hingga ke konsumen akhir. Menurut Asmarantaka (2009), efisiensi operasional lebih tepat menggunakan rasio antara

keuntungan (π) dengan biaya (C) karena pembanding oppurtunity cost dari biaya

adalah keuntungan, sehingga indikatornya adalah π/C dan nilainya harus positif.

Jika penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya merata pada setiap lembaga tataniaga, maka secara teknis saluran tataniaga tersebut semakin efisien. Rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut :

Rasio keuntungan/biaya (π/C) = �� � Keterangan : πi : Keuntungan lembaga tataniaga ke-i

Ci : Biaya pemasaran lembaga tataniaga ke-i

Efisiensi harga menekankan pada harga di berbagai tingkat lembaga pasar dalam mengalokasikan komoditas dari produsen ke konsumen yang disebabkan perubahan tempat, waktu, dan bentuk komoditas (Asmarantaka 2009). Hubungan harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir dapat didekati dengan pendekatan korelasi harga dan model keterpaduan pasar yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan dilanjutkan oleh Heytens (1986).

Heytens (1986) mengemukakan bahwa dalam suatu pasar yang terintegrasi secara efisien, akan selalu terdapat korelasi positif diantara harga dilokasi pasar yang berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan ke pasar lain. Keterpaduan pasar dapat terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu pasar ke pasar lainnya. Ravalion (1986) mengembangkan model keterpaduan pasar yang disebut metode autoregresive distributed lag model atau model autoregresi yang dilanjutkan oleh Heytens (1986). Model autoregresi tersebut dapat mengurangi kelemahan model analisis korelasi harga yang menganggap perubahan harga ditingkat konsumen dan produsen bergerak pada waktu yang sama.

Menurut Ravallion (1986) model keterpaduan pasar dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga di pasar rujukan (acuan) dengan mempertimbangkan harga pada waktu tertentu (t) dan harga pada waktu sebelumnya (t-1). Aktivitas pasar-pasar tersebut dihubungkan oleh adanya arus komoditas, sehingga harga dan jumlah komoditas yang dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain.Model statistik yang mampu menjelaskan perubahan harga bulanan pada pasar lokal sebagai fungsi dari beberapa variabel bebas menurut Heytens (1986) adalah sebagai berikut :

Pit– Pit-1= (1+b1)Pit-1+ b2(Pjt– Pjt-1) + (b3 – b1) P

jt-1

+ b4Xt+ et...(1) Dimana :

Pit = Harga di tingkat pasar lokal (ke-i) pada waktu ke-t Pit-1 = Harga di tingkat pasar lokal pada waktu sebelumnya (t-1) Pjt = Harga di tingkat pasar acuan untuk waktu ke-t

Pjt-1 = Harga di tingkat pasar acuan pada waktu sebelumnya (t-1) Xt = Peubah exogenus (musim panen atau regional)

et = Random error bt = Parameter estimasi

Jika diasumsikan bahwa deret waktu di pasar lokal dan pasar acuan mempunyai pola musim yang sama, maka tidak perlu memasukkan peubah boneka (Xt) untuk musim setempat. Untuk memudahkan interpretasi hasil maka persamaan di atas disederhanakan lagi menjadi :

Pit = (1+b1)Pit-1+ b2(Pjt– Pjt-1) + ( b3 - b1) Pjt-1+ et...(2)

Dimana model akan diduga dengan menggunakan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) sebagai berikut :

Pit = 1Pit-1 + 2(Pjt– Pjt-1) + 3Pjt-1+ et...(3) Dimana :

1 = 1 + b1

2 = b2

1 = Koefisien perubahan harga di tingkat pasar lokal

2 = Koefisien perubahan margin harga di tingkat pasar acuan 3 = Koefisien perubahan harga di tingkat pasar acuan

Secara umum persamaan di atas menunjukkan bagaimana harga disuatu pasar (pasar rujukan) mempengaruhi pembentukkan harga di pasar lainnya (pasar lokal), dengan mempertimbangkan harga yang lalu (t-1) dan harga yang sekarang (t). Berdasarkan persamaan (3) dapat diketahui bahwa koefisien 2 mengukur bagaimana perubahan harga di pasar rujukan diteruskan ke pasar lokal. Keterpaduan pasar dalam jangka panjang dicapai jika 2 = 1, maka perubahan harga yang terjadi bersifat netral dan proposional dengan persentase yang sama. Tentunya 2 tidak harus sama dengan satu, meskipun informasi perubahan harga di tingkat pasar acuan secara langsung diteruskan ke pasar lokal.

Jika Pjt – Pjt-1= 0, maka pasar acuan berada pada keseimbangan jangka pendek, berarti koefisien 2 dikeluarkan dari persamaan. Koefisien yang menghubungkan dua bentuk harga (1+b1) dan (b3 - b1) menjelaskan kontribusi relatif dari pasar lokal pada saat diinginkan. Kedua bentuk harga yang diperoleh ini dapat digunakan untuk mengetahui indeks keterpaduan pasar (IMC = Index Market connection). IMC merupakan rasio dari kedua bentuk harga tersebut, yaitu bentuk harga pasar lokal terhadap bentuk harga pasar rujukannya. Nilai IMC ini dapat digunakan untuk mengetahui keterpaduan pasar dalam jangka pendek. Secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut :

IMC = 1+ 1

3− 1

= 1

3...(4) Jika harga yang terjadi di pasar rujukan pada waktu sebelumnya merupakan faktor utama yang mempengaruhi harga yang terjadi di suatu pasar lokal tertentu, berarti kedua pasar tersebut terhubungkan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa informasi permintaan dan penawaran di pasar rujukan diteruskan ke pasar lokal dan akan mempengaruhi harga yang terjadi di pasar lokal tersebut. Jika koefisien 1 = 0 dan 3 > 0 maka nilai IMC = 0 artinya harga ditingkat pasar lokal/produsen pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh terhadap harga yang diterima pada pasar lokal/produsen sekarang. Hal ini berarti pasar tersebut berada dalam keadaan integrasi jangka pendek yang kuat. Jika

koefisien 1> 0 dan koefisien 3 = 0, maka IMC menjadi tak hingga. Hal ini menunjukkan pasar tersebut mengalami segmentasi pasar. Integrasi pasar jangka pendek akan cenderung terjadi pada kondisi dimana 1< 3 sehingga nilai IMC antara 0 dan 1. Semakin mendekati nol maka derajat integrasi pasar jangka pendek relatif tinggi. Jika nilai 2 = 1 berarti bahwa pasar berada dalam keseimbangan jangka panjang yang kuat dimana kenaikan harga di pasar rujukan akan segera diteruskan ke pasar lokal. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa koefisien 2 digunakan untuk mengetahui keterpaduan jangka panjang dan IMC untuk mengetahui ketertpaduan pasar jangka pendek. Keterpaduan jangka pendek disebut juga keterkaitan pasar dalam menjelaskan bagaimana pelaku pemasaran berhasil menghubungkan pasar-pasar yang secara geografis terpisah melalui aliran informasi dan komoditas.

Beberapa aktivitas seperti peningkatan informasi pasar, pemberian label, grading dan standarisasi dapat meningkatkan efisiensi harga. Dalam beberapa keadaan, peningkatan efisiensi operasional dapat menurunkan efisiensi harga atau sebaliknya. Namun hal tersebut tidak perlu dipertentangkan karena yang menjadi perhatian utama adalah tersedianya pilihan bagi konsumen dan harga yang

Dokumen terkait