• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sistem Tataniaga Kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sistem Tataniaga Kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi"

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian unggulan yang

memiliki beberapa peranan penting yaitu dalam pemenuhan kebutuhan gizi

masyarakat, peningkatan pendapatan petani, penyerapan tenaga kerja dan

peningkatan devisa negara melalui kontribusi terhadap pendapatan nasional. Salah

satu indikator ekonomi makro yang cukup penting untuk mengetahui peranan dan

kontribusi sektor hortikultura terhadap pendapatan nasional adalah dengan melihat

nilai PDB. Perkembangan PDB Hortikultura di Indonesia pada tahun 2005-2009

cenderung mengalami peningkatan, dengan rata-rata peningkatan adalah 9,38

persen setiap tahunnya (Tabel 1). Peningkatan PDB tersebut tercapai karena

terjadi peningkatan produksi di berbagai sentra dan kawasan, peningkatan luas

area produksi dan areal panen. Disamping itu, nilai ekonomi dan nilai tambah produk hortikultura yang cukup tinggi dibandingkan komoditas lainnya juga

memberikan pengaruh positif pada peningkatan PDB1.

Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun 2005 – 2009

Kelompok

Hortikultura

Nilai PDB (Milyar Rupiah)

2005 2006 2007 2008 2009

Sayuran 22.629,88 24.694,25 25.587,03 28.205,27 30.505,71

Buah - buahan 31.694,39 35.447,59 42.362,48 47.059,78 48.436,70

Tanaman Hias 4.662,11 4.734,27 4.104,87 3.852,67 3.896,90

Biofarmaka 2.806,06 3.762,41 4.740,92 5.084,78 5.494,24

Total 61.792,44 68.638,53 76.795,30 84.202,50 88.333,56

Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura, Kementrian Pertanian, 2009

Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai

nilai ekonomi tinggi dan prospektif dilihat dari keunggulan komparatif dan

kompetitif yang dimilikinya. Pada dasarnya, komoditas hortikultura

dikelompokkan kedalam empat kelompok utama yaitu buah-buahan, sayuran,

tanaman hias dan biofarmaka (tanaman obat-obatan). Komoditas hortikultura

1

(2)

terdiri dari 323 jenis, yaitu buah-buahan 60 jenis, sayuran 80 jenis, biofarmaka 66

jenis, dan tanaman hias 117 jenis2. Banyaknya jenis komoditas yang ditangani dan

berbagai pertimbangan strategis lain, pengembangan hortikultura saat ini

diprioritaskan pada komoditas-komoditas unggulan yang mengacu pada besarnya

pangsa pasar, keunggulan produk, tingginya potensi produksi, kesesuaian

agroekosistem, dan mempunyai peluang pengembangan teknologi.

Komoditas-komoditas unggulan tersebut adalah, anggrek, rimpang, pisang, mangga, manggis,

jeruk, nenas, kubis, cabe merah, kentang, dan bawang merah (Soleh Solahuddin

1999).

Tanaman sayuran adalah kelompok tanaman hortikultura yang banyak

ditanam dan dikembangkan di Indonesia. Tanaman sayuran memberikan

kontribusi terhadap PDB hortikultura kedua terbesar setelah tanaman

buah-buahan. Rata- rata persentase sumbangan PDB tanaman sayuran terhadap PDB

hortikultura dari tahun 2005-2009 adalah sebesar 34,74 persen (Ditjen

Hortikultura 2009). Selain itu, potensi tanaman sayuran di Indonesia dapat dilihat

dari perkembangan produksi yang cenderung fluktuatif setiap tahunnya, seperti

yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2005 – 2010

Tahun Kentang

(Ton)

Kubis (Ton)

Cabai (Ton)

Bawang Merah

(Ton)

Lain-Lain (Ton)

2005 1.009.619 1.292.984 1.058.023 732.609 4.641.475

2006 1.011.911 1.267.745 1.185.057 794.931 4.856.785

2007 1.003.733 1.288.740 1.128.792 802.810 4.798.744

2008 1.071.543 1.323.702 1.153.060 853.615 5.063.815

2009 1.176.304 1.358.113 1.378.727 965.164 5.239.799

2010 1.060.805 1.384.044 1.328.864 1.048.934 5.410.313

Sumber : Badan Pusat Statistik, 20123

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kentang termasuk salah satu tanaman

sayuran unggulan dengan tingkat perkembangan produksi yang menempati urutan

2

Pengelolaan Data dan Informasi Ditjen Hortikultura. http://www.deptan.go.id/[17 April 2012] 3

(3)

kedua setelah kubis. Perkembangan produksi kentang selama tahun 2005-2009

sangat fluktuatif, dimana pada tahun 2005, produksi kentang Indonesia adalah

1.009.619 ton, tahun 2006 meningkat 0,2 persen yaitu 1.011.911 ton, tahun 2007

mengalami penurunan sebesar 0,8 persen yaitu 1.003.733 ton, tahun 2008

meningkat kembali sebesar 6,75 persen yaitu 1.071.543 ton. Pada tahun 2009,

produksi kentang Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari tahun

sebelumnya sebesar 9,8 persen yaitu 1.176.304 ton, dan pada tahun 2010,

produksi kentang nasional kembali mengalami penurunan sebesar 9,8 persen yaitu

1.060.805 ton. Fluktuasi produksi kentang nasional diakibatkan oleh adanya

perubahan luas tanam, dan perubahan luas panen yang disebabkan oleh faktor

iklim dan cuaca.

Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan tanaman sayuran unggulan yang memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Dari segi teknis,

agribisnis komoditas kentang sudah cukup berkembang dan menyebar di sebagian

besar daerah di Indonesia. Dari segi produktivitas dan mutu, komoditas kentang

yang dikembangkan di Indonesia sudah tergolong cukup tinggi (Sihombing 2005).

Banyaknya manfaat kentang membuat pengusahaan komoditi ini terus berkembang. Menurut Wattimena (2000), selain menjadi bahan pokok industri

makanan, kentang juga digunakan untuk minuman, pakan ternak dan tekstil.

Kentang sebagai bahan makanan untuk konsumsi manusia merupakan salah satu

sumber nutrisi paling besar yang mengandung karbohidrat, zat besi,vitamin B1,

B2 dan Vitamin C. Kandungan lemak yang terdapat pada kentang lebih rendah

dibandingkan dengan padi, jagung dan gandum. Kandungan gizi yang dimiliki

oleh kentang ini telah menjadikannya salah satu alternatif sumber karbohidrat

nabati utama selain padi bagi masyarakat (Asandhi 1995).

Provinsi Jambi adalah salah satu daerah penghasil kentang di Pulau

Sumatera. Jumlah produksi kentang Provinsi Jambi rata-rata menyumbang 5,95

persen terhadap produksi kentang nasional. Pada Tabel 3, terlihat bahwa luas

panen kentang selama periode 2006 – 2009 mengalami kenaikan rata- rata 23,33 persen setiap tahunnya, dan produksi yang juga mengalami kenaikan rata-rata

27,03 persen setiap tahunnya. Namun produktivitas kentang di Provinsi Jambi

(4)

Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas tanaman kentang di

Provinsi Jambi selama periode 2006-2009 dapat dilihat pada Tabel 3.

Kabupaten Kerinci merupakan salah satu daerah yang menjadi sentra

produksi komoditas kentang di Provinsi Jambi. Jumlah produksi kentang di

Kabupaten Kerinci pada tahun 2009, yaitu 58.377 ton, dan Kabupaten Merangin

sebagai daerah produksi kedua terbesar, yaitu dengan jumlah produksi 35.991 ton

pada tahun 2009 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi 2010).

Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Kerinci (2012), terdapat

tujuh kecamatan yang menjadi daerah produksi kentang di Kabupaten Kerinci,

yaitu Kecamatan Kayu Aro, Kecamatan Gunung Tujuh, Kecamatan Gunung

Kerinci, Kecamatan Siulak, Kecamatan Air Hangat Timur, Kecamatan Gunung

Raya dan Kecamatan Batang Merangin.

Tabel 3. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang di Provinsi Jambi Tahun 2006 – 2009

Tahun Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

2006 2.902 48.356 16,7

2007 3.023 55.348 18,3

2008 3.653 58.905 16,1

2009 5.296 94.368 17,8

Sumber : Pusdatin Kementrian Pertanian, 20104

Kecamatan Kayu Aro adalah salah satu daerah produksi kentang terbesar

di Kabupaten Kerinci. Kecamatan ini berada di dataran tinggi di sekeliling kaki

Gunung Kerinci. Kondisi agroklimat daerah ini cocok untuk ditanami berbagai

tanaman sayuran, seperti kentang, kubis, cabai, dan bunga kol. Kentang yang

dipasarkan oleh petani – petani di kecamatan ini adalah kentang, yaitu kentang yang dikonsumsi sebagai sayuran oleh konsumen. Tujuan pemasaran kentang

Kayu Aro tidak hanya pada pasar induk di Kabupaten Kerinci, namun juga

ditujukan pada pasar induk di berbagai daerah Sumatera bagian selatan seperti

Provinsi Jambi, Riau, Sumatera Selatan dan Lampung, bahkan kentang Kayu Aro

juga dipasarkan sampai Pasar Induk Kramat Jati Jakarta.

4

(5)

Pada Tabel 4 terlihat bahwa selama periode 2008-2011 luas panen dan

produksi kentang di Kecamatan Kayu Aro mengalami peningkatan. Namun pada

tahun 2010, terjadi penurunan yang cukup besar pada luas panen dan produksi

kentang yaitu sebesar 23,8 persen dan 43,8 persen. Produktivitas tanaman kentang

di Kecamatan Kayu Aro pada periode 2009–2011 cenderung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh faktor iklim dan cuaca mengakibatkan

terjadinya penurunan jumlah produksi walaupun luas areal panen terus meningkat.

Adapun perkembangan luas panen, jumlah produksi, dan produktivitas tanaman

kentang di Kecamatan Kayu Aro dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kentang di Kecamatan Kayu Aro Tahun 2008 – 2011

Tahun Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

2008 1.581 34.782 22,0

2009 1.635 46.598 28,5

2010 1.246 26.166 21,0

2011 2.218 49.905 22,5

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kabupaten Kerinci, 2011

Harga kentang berfluktuasi setiap bulannya, baik pada tingkat petani

maupun pada tingkat konsumen. Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan

Kabupaten Kerinci (2012) , selama periode 2009–2012, harga kentang di tingkat petani cenderung fluktuatif. Pada tahun 2009 harga kentang rata- rata di tingkat

petani adalah Rp 3.291,7 per kilogram. Pada tahun 2010 harga kentang rata-rata

di tingkat petani mengalami penurunan sebesar 3 persen dari tahun sebelumnya

yaitu Rp 3.183,3 per kilogram, pada tahun 2011 harga kentang mengalami

kenaikan tertinggi yaitu sebesar 33 persen dengan harga kentang rata-rata Rp

4.241,6 per kilogram. Namun pada awal tahun 2012, harga kentang di tingkat

petani di Kabupaten Kerinci mengalami penurunan yang sangat tajam, yaitu

sebesar 31 persen, dengan harga rata-rata Rp 2.900 per kilogram. Turunnya harga

kentang ini, disebabkan karena masuknya kentang impor ke Pasar Induk Kramat

Jati, dengan harga yang lebih murah daripada harga kentang lokal. Hal ini

mengakibatkan kentang lokal kalah bersaing dengan kentang impor, dan harga

(6)

Harga kentang di tingkat konsumen di Kabupaten Kerinci pada periode

Januari 2009- Januari 2012 juga berfluktuasi setiap bulannya. Pada tahun 2009

dan 2010 rata-rata harga kentang di tingkat konsumen sama yaitu Rp 5.125 per

kilogram. Harga kentang rata – rata di tingkat konsumen mengalami penurunan sebesar 5 persen pada tahun 2011, yaitu menjadi Rp 4.875 per kilogram, dan pada

awal tahun 2012, harga kentang rata-rata di tingkat konsumen turun sebesar 0,8

persen yaitu menjadi Rp 4.833,3 per kilogram. Fluktuasi harga kentang di tingkat

konsumen di Kabupaten Kerinci dipengaruhi oleh harga kentang eceran di Pasar

Induk Kramat Jati Jakarta. Perkembangan harga kentang di tingkat petani dan

harga kentang di tingkat konsumen di Kabupaten Kerinci selama periode Januari

2009 - Januari 2012 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan Harga Kentang Rata-rata di Tingkat Petani dan di Tingkat Konsumen di Kabupaten Kerinci periode Januari 2009 – Januari 2012

Tahun

Harga Rata - rata di Tingkat Petani (Rp/Kg)

Harga Rata – rata di Tingkat Konsumen (Rp/Kg)

Margin (%)

2009 3.291,7 5.125,0 35,8

2010 3.183,3 5.125,0 37,9

2011 4.241,6 4.875,0 12,9

Januari 2012 2.900,0 4.833,3 39,9

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Kerinci, 2012

Pada Tabel 5 terlihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar antara

harga di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan konsumen. Hal tersebut

dapat terjadi akibat tidak efisiennya saluran tataniaga yang dilalui oleh produk,

panjangnya saluran tataniaga, banyaknya fungsi yang dilakukan oleh pedagang

perantara, tingginya biaya yang dikeluarkan dan tingginya keuntungan yang

diambil oleh pedagang perantara.

1.2 Perumusan Masalah

Kecamatan Kayu Aro merupakan salah satu kecamatan yang menyumbang

lebih dari 50 persen produksi kentang di Kabupaten Kerinci setiap tahunnya.

(7)

pasar yang ada di Kabupaten Kerinci, namun juga dilakukan sampai

pasar-pasar yang berada di luar Kabupaten Kerinci, bahkan dipasar-pasarkan sampai di luar

Provinsi Jambi. Semakin jauh daerah tujuan pemasaran kentang, maka semakin

banyak lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses pemasaran kentang

dari petani ke konsumen. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan harga di tingkat

petani dan di tingkat konsumen (Tabel 5) yang berarti adanya margin tataniaga

yang di ambil oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat.

Penurunan harga kentang di tingkat petani yang terjadi pada bulan Januari

2012 (Tabel 5) sebesar 68,4 persen dari harga rata-rata pada tahun sebelumnya

membuat resah petani kentang di Kecamatan Kayu Aro, karena dari harga yang

mereka terima tersebut, mereka mendapat keuntungan yang rendah, bahkan bagi

sebagian petani harga tersebut tidak memberikan mereka keuntungan sama sekali,

karena impas dengan biaya yang harus mereka keluarkan untuk bertanam kentang.

Ketidakseimbangan harga yang diterima petani dengan harga di tingkat pedagang

pengecer dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti tingginya biaya tataniaga

yang digunakan dalam kegiatan pemasaran kentang hingga ke tingkat konsumen

akhir, dan kurangnya informasi pasar yang dibutuhkan oleh pelaku pasar yang terlibat dalam aktivitas pemasaran. Informasi pasar dikatakan baik

ketersediaannya apabila pasar pada wilayah produksi terintegrasi cukup kuat

dengan pasar di wilayah konsumsi. Dengan demikian perubahan harga dapat

segera diketahui dan akhirnya proses pengambilan keputusan oleh petani dapat

dilakukan dengan baik dan tepat.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan permasalahan yang akan diteliti

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana sistem tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten

Kerinci?

2. Bagaimana penyebaran margin, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing saluran tataniaga kentang di Kecamatan

Kayu Aro, Kabupaten Kerinci?

3. Bagaimana efisiensi operasional dan efisiensi harga pada sistem tataniaga

(8)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah

dikemukakan, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian yang berjudul

―Analisis Sistem Tataniaga Kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci,

Provinsi Jambi‖ ini adalah :

1. Mengidentifikasi saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga kentang di

Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci.

2. Menganalisis struktur, perilaku dan keragaan pasar dari sistem tataniaga

kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci.

3. Menganalisis margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap saluran tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro,

Kabupaten Kerinci.

4. Menganalisis efisiensi operasional dan efisiensi harga dari sistem tataniaga

kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak

terkait. Adapun pihak–pihak yang dapat menggunakan hasil penelitian ini adalah : 1. Petani dan Lembaga Tataniaga Kentang

Penelitian ini dapat memberikan bahan informasi untuk melaksanakan

kerjasama yang saling menguntungkan dalam pemasaran.

2. Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan

pertimbangan dalam penetapan kebijakan untuk perkembangan agribisnis

komoditas kentang mulai dari subsistem sarana produksi, usahatani, hingga

pada subsistem pemasaran.

3. Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan referensi

ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai pemasaran

(9)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kegiatan sistem tataniaga dan

keterpaduan pasar kentang. Hal ini ditinjau melalui saluran, lembaga dan fungsi

tataniaga, analisis struktur dan perilaku pasar dan efisiensi tataniaga yang meliputi

margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan, dan indeks keterpaduan pasar. Penelitian ini dibatasi pada lembaga tataniaga kentang yang terlibat di

Kecamatan Kayu Aro hingga pedagang besar yang ada di Kabupaten Kerinci,

Kota Jambi, dan Kota Bukittinggi. Saluran tataniaga yang diteliti dibatasi pada

pola saluran tataniaga yang memasarkan komoditas kentang dalam bentuk

kentang mentah (tidak diolah) hingga ke konsumen akhir yaitu konsumen rumah

tangga.

Data harga yang digunakan untuk menganalisis keterpaduan pasar adalah

data harga rata-rata bulanan selama periode 2007-2011. Data harga terdiri atas

data harga di tingkat petani di Kabupaten Kerinci dan harga kentang ditingkat

(10)

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Umum Kentang

Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan jenis tanaman sayuran semusim, berumur pendek dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk

tanaman semusim. Umur kentang berkisar antara 90-180 hari bergantung pada

varietasnya. Tanaman kentang umumnya berdaun rimbun dan letak daun

berseling-seling mengelilingi batang dengan bentuk daun oval sampai oval agak

bulat dan ujungnya meruncing. Batangnya berbentuk segi empat atau segi lima,

bergantung pada varietasnya. Sistem perakaran tanaman kentang adalah perakaran

tunggang dan serabut. Diantara akar – akar tersebut ada yang akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi bakal umbi (stolon) dan selanjutnya menjadi umbi

kentang. Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), kentang diklasifikasikan

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Tubiflorae

Famili : Solanaceae

Genus : Solanum

Spesies : Solanum tuberosum L.

2.2 Varietas Kentang

Dalam sejarah perkembangan teknologi pemuliaan tanaman sejak

dimulainya pembangunan lima tahun pertama (tahun 1969), khususnya kentang,

telah menghasikan beberapa varietas yaitu: varietas Thung, Cosima, Patrones,

Desiree, Radosa, Catella, Donata, dan Rapan. Penelitian selanjutnya akhirnya

dapat menemukan varietas baru yang dapat meningkatkan produksi kentang yaitu

varietas Granola. Varietas Granola lebih populer dibandingkan varietas baru

lainya yaitu seperti French Fries, Diamant, Cardinal, Primiere, Ausonia, Famosa, Hertha, Sante, Cipanas, Segunung, Alpha, Draga, Narita, Spunta, Redpontiac,

(11)

keunggulannya masing-masing, yaitu tampak dari segi bentuk, ukuran, warna

daging umbi, kadar gula, dan kadar air umbi yang dihasilkan. Selain itu juga

tampak dari segi daya adaptasi terhadap lingkungan, ketahanan terhadap hama dan

penyakit, serta produktivitas tanaman. Berikut deskripsi beberapa varietas kentang

yang laku di pasaran dan memiliki nilai ekonomi tinggi adalah :

1. Varietas Granola

Varietas Granola berpotensi produksi tinggi, yaitu mencapai 30-35 ton/ha.

Umbi berbentuk bulat sampai oval dan berkualitas baik. Kulit dan daging

umbi berwarna kuning. Umur tanaman ini tergolong pendek, yakni 80-90

hari.

2. Varietas Cipanas

Varietas ini merupakan hasil persilangan antara varietas Thung 1510 dengan

Desiree. Varietas ini termasuk jenis kentang berbunga yang mampu tumbuh

mencapai ketinggian 50-56 cm. Potensi hasil dapat mencapai 34 ton/ha dan

dapat dipanen pada umur 95-105 hari.

3. Vairetas Cosima

Varietas Cosima diintroduksi dari Jerman Barat. Umbi memiliki permukaan yang rata, kulit berwarna kuning muda, dan daging berwarna kuning tua.

Potensi hasil mencapai 36 ton/ha, dengan umur panen 101 hari.

4. Varietas Segunung

Varietas ini merupakan hasil persilangan antara varietas Thung 151C dengan

Desiree. Varietas ini memiliki umbi berbentuk bulat lonjong, dan kulit serta

daging umbi berwarna kuning. Potensi hasil mencapai 25 ton/ ha.

2.3 Syarat Tumbuh

Persyaratan kebutuhan hidup tanaman kentang meliputi : ketinggian, suhu,

cahaya, dan tanah.

1. Ketinggian

Daerah yang cocok untuk menanam kentang adalah dataran tinggi atau daerah

pegunungan dengan ketinggian 1.000–3.000 meter diatas permukaan laut (mdpl). Batasan minimum ketinggian lahan yang masih bisa ditanami kentang

(12)

2. Suhu

Suhu rata – rata yang sesuai untuk pertumbuhan kentang adalah 18o – 21oC. sedangkan suhu tanah optimum untuk pembentukan umbi yang normal

berkisar antara 15o –18oC, pertumbuhan umbi akan terhambat bila suhu tanah kurang dari 10oC atau lebih dari 30oC.

3. Cahaya

Faktor cahaya penting untuk pertumbuhan adalah intensitas cahaya dan lama

penyinaran. Semakin tinggi intensitas cahaya yang diterima maka akan

mempercepat proses pembentukan umbi dan waktu pembungaan yaitu 1.200

foot candle. Lama penyinaran yang diperlukan oleh tanaman kentang untuk proses fotosintesis adalah 9–10 jam per hari. Lama penyinaran juga berpengaruh terhadap pembentukan umbi terutama pada saat umbi baru mulai

terbentuk dan pada tahap perkembangan umbi di dalam tanah.

4. Tanah

Tanaman kentang membutuhkan tanah yang subur, gembur, banyak

mengandung bahan organik, bersolum dalam, aerasi dan drainase yang baik

dengan tingkat pH 5,0-6,5. Derajat kemiringan tanah yang diterima adalah kurang dari 30 persen selebihnya sudah merupakan faktor penghambat yang

besar. Pembudidayaan kentang ditempat miring atau bergelombang

memerlukan terasering dan tanggul-tanggul.

2.4 Panen dan Pasca Panen

Panen adalah proses pengambilan komponen-komponen produksi dengan

tujuan untuk dikonsumsi, diolah, dipasarkan atau digunakan untuk keperluan

lainnya. Sedangkan penanganan pascapanen meliputi semua kegiatan perlakuan

dan pengolahan langsung terhadap produk pangan, tanpa mengubah struktur asli

produk.

Pemanenan dilakukan dengan memperhatikan dua hal, yaitu umur

tanaman dan teknik memanen. Kentang dipanen apabila telah cukup umur yaitu

90–120 hari atau dengan melihat ciri tanaman yang siap panen yaitu, daun dan batang berwarna kekuning–kuningan tetapi bukan karena penyakit. Dalam pemanenan terdapat dua cara, yaitu (1) umbi dibongkar dnegan mencangkul tanah

(13)

(2) umbi dibongkar dengan menggemburkan tanah dari sebelah kiri dan kanan

sepanjang bedengan lalu umbi dibongkar dengan cara mencabutnya. Umbi

kentang yang telah dipanen dibiarkan terlebih dahulu beberapa saat hingga tanah

yang menempel terlepas dan umbi mengering.

Kegiatan pascapanen yang dilakukan untuk komoditas kentang meliputi

pembersihan, sortasi dan grading, penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan. Kegiatan pembersihan dilakukan untuk mengurangi atau meniadakan jasad-jasad

renik, sisa-sisa tanah yang masih tertempel dan berbagai macam kotoran yang bisa

menjadi sumber patogen dan dapat merusak umbi pada saat proses penyimpanan.

Sortasi dilakukan untuk memisahkan umbi yang baik dan sehat, yaitu umbi yang

tidak cacat dan tidak terserang hama atau penyakit. Kegiatan sortasi ini dapat

mencegah penularan penyakit dari umbi yang rusak. Setelah kegiatan sortasi,

dilakuan grading yaitu pengelompokkan umbi kentang yang sehat menurut ukuran umbi, varietas, dan tingkat ketuaan umbi. Mutu kentang secara umum

dapat dibedakan menjadi empat golongan mutu, yaitu :

1) Mutu super (Kelas I), mempunyai bobot 250-400 gram

2) Mutu besar (Kelas II), mempunyai bobot 100-250 gram 3) Mutu Sedang (Kelas III), mempunyai bobot 60-100 gram

4) Mutu Kecil (Kelas IV), mempunyai bobot 30-60 gram

Penyimpanan kentang untuk dikonsumsi dilakukan di dalam ruang gelap,

suhu yang rendah dan kelembapan yang sedang. Ruang penyimpanan harus

benar-benar terlindungi dari cahaya, karena cahaya dapat merangsang pertumbuhan

tunas dan warna umbi berubah menjadi hijau yang menunjukkan adanya racun

solanin yang berbahaya bagi tubuh. Kentang yang keadaannya seperti itu nilai ekonomisnya akan turun. Sortasi dan pengelompokkan mutu dapat dilakukan di

gudang penyimpanan atau dapat juga dilakukan di kebun setelah panen.

Kegiatan pengemasan bertujuan untuk melindungi hasil-hasil pertanian

dari kerusakan mekanis ataupun kerusakan fisiologis. Bahan pengemas kentang

dapat berupa peti kayu, krat, yang berbentuk silinder atau segi empat yang

memiliki ventilasi. Pada kegiatan pengemasan hendaknya diberi pelindung berupa

jerami atau guntingan-guntingan kertas pada dasar dan tepi alat pengemar agar

(14)

dengan baik dan memperhatikan penataan barang di dalam alat angkut.

Penyesuaian penggunaan alat angkut dengan jarak tempuh yang dituju dan

volume yang hendak diangkut juga perlu diperhatikan agar penggunaan alat

angkut lebih efisien dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi.

2.5 Penelitian Terdahulu

2.5.1 Penelitian mengenai Sistem Tataniaga

Penelitian Agustina (2008) mengidentifikasi saluran, lembaga dan fungsi

tataniaga, dan menganalisis keragaan pasar, margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya pada komoditas kubis di Desa Cimenyan,

Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Terdapat tiga saluran tataniaga kubis

di Desa Cimenyan yaitu: (1) Petani Pedagang Pengumpul I  Grosir 

Pengecer  Konsumen. (2) Petani  Pedagang Pengumpul II  Grosir 

Pengecer  Konsumen. (3) Petani  Grosir  Pengecer  Konsumen. Saluran

dua dibagi menjadi dua bagian, pertama pemasaran di daerah produksi (lokal) dan

kedua pemasaran di luar daerah produksi.

Struktur pasar yang dihadapi petani kubis dan pedagang pengumpul I yaitu

oligopsoni. Pedagang pengumpul II, grosir dan pengecer menghadapi pasar

oligopoli. Perilaku pasar diidentifikasi dengan mengamati kegiatan tataniaga

dalam proses pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem

pembayaran dan kerjasama antar lembaga tataniaga kubis di Desa Cimenyan.

Alternatif saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar

bagi petani dibandingkan dengan saluran lainnya berdasarkan nilai total margin,

farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya adalah saluran tiga dengan nilai

total margin sebesar Rp 1.681,87, farmer’s share terbesar yaitu 55,81 persen, rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 2,28.

Rachma (2008) melakukan penelitian mengenai Efisiensi Tataniaga Cabai

Merah (Studi Kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis,

Provinsi Jawa Barat). Pendekatan penelitian dilakukan melalui analisis deskriptif

terhadap analisis saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga, analisis struktur dan

perilaku pasar. Selain itu, analisis secara kuantitatif juga dilakukan terhadap

(15)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima jenis saluran tataniaga

cabai merah di Desa Cibeureum. Saluran tataniaga I : pedagang pengumpul 

pedagang grosir  pedagang pengecer II. Saluran tataniaga II terdiri dari

pedagang pengumpul  pedagang gosir  pedagang pengecer I dan pedagang

pengecer II. Saluran tataniaga III terdiri dari pedagang pengumpul  pedagang

grosir  pedagang pengecer II. Sedangkan saluran tataniaga IV terdiri dari

pedagang pengumpul  pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II. Saluran

V terdiri dari pedagang pengumpul  pedagang pengecer I.

Struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah di Desa

Cibeureum adalah monopsoni karena hanya ada satu pedagang pengumpul yang

menampung langsung keseluruhan hasil pertanian cabai merah dari petani di Desa

Cibeureum dan beberapa penjual di setiap tingkat lembaga tataniaga lainnya.

Analisis perilaku pasar menunjukkan bahwa terjadi transaksi dengan nota

penjualan antara petani, pedagang pengumpul, dan pedagang grosir. Sedangkan

transaksi antara pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II

adalah secara tunai. Lembaga penentu harga cabai merah adalah pedagang grosir.

Hasil analisis margin tataniaga menunjukkan margin terbesar terdapat pada saluran II, III, dan IV, sedangkan margin terkecil terdapat pada saluran I dan

V. Secara operasional dari kelima saluran tataniaga cabai merah yang ada, saluran

V merupakan saluran tataniaga yang paling efisien. Hal ini terlihat dari margin

tataniaga yang rendah, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya yang paling tinggi.

Pada penelitian ini, juga diberikan alternatif saluran yang memberikan

keuntungan bagi petani dengan membuat beberapa skenario saluran tataniaga

yang belum dilakukan oleh petani melalui pendekatan margin tataniaga, farmer’s

share, dan rasio keuntungan dan biaya. Berdasarkan analisis skenario alternatif saluran tataniaga dengan pendekatan margin tataniaga, saluran tataniaga cabai

merah yang paling efisien adalah saluran X dan XI yang memberikan margin

tataniaga paling kecil. Hal ini dikarenakan volume pembelian dari kedua jenis

pedagang pengecer tersebut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pedagang

(16)

volume pembelian yang dilakukannya relatif besar sehingga semua hasil panen

petani dapat disalurkan.

Penelitian A’yun (2010) menganalisis sistem tataniaga bawang daun (Allium fistulosum L.) di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur. Saluran tataniaga pada sistem tataniaga bawang daun di kawasan agropolitan berjumlah

dua saluran utama yaitu saluran I terdiri dari petani  pedagang pengumpul desa

 pedagang pengecer (Pasar Bekasi)  konsumen, saluran II terdiri dari petani

 pedagang pengumpul desa  pedagang grosir (Pasar Induk)  pedagang

pengecer (Pasar Tradisional di Depok, Jakarta, Tanggerang)  konsumen, dan

dua saluran alternatif yaitu saluran III terdiri dari petani  pedagang pengumpul

desa  konsumen (restoran), dan saluran IV terdiri dari petani  pedagang

pengumpul desa  supplier  pedagang pengecer (Supermarket)  konsumen.

Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bawang daun adalah pasar

bersaing. Pedagang pengumpul dengan supplier, dan restoran menghadapi struktur

pasar oligopsoni. Pedagang pengumpul dengan pedagang grosir dan pedagang

pengecer menghadapi struktur pasar bersaing. Supermarket menghadapi struktur

pasar oligopoli, dan pedagang pengecer di pasar tradisional menghadapi pasar bersaing. Saluran tataniaga yang paling efisien adalah saluran II yaitu dengan

biaya tataniaga paling rendah yaitu Rp 1.785,96 per kilogram, dan nilai rasio dan

keuntungan biaya yang paling besar yaitu 1,52.

Noviana (2011) melakukan penelitian mengenai Analisis Sistem Tataniaga

Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur). Ada dua pola saluran tataniaga jamur

tiram putih yang terbentuk dengan volume penjualan 430 kg per hari. Saluran I :

Petani Pedagang Pengumpul Desa  Pedagang Besar/ Grosir  Pedagang

Pengecer  Konsumen Akhir. Saluran II : Petani  Konsumen Akhir (rumah

tangga). Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga

yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas.

Struktur pasar yang terjadi antara petani jamur tiram putih dan pedagang

pengumpul di Desa Cipendawa cenderung mengarah pada pasar monopsoni,

struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengumpul desa dan pedagang

(17)

pedagang besar/grosir dengan pedagang pengecer cenderung mengarah kepada

oligopoli murni, serta struktur pasar yang terjadi di tingkat pedagang pengecer

dengan konsumen akhir cenderung mengarah ke struktur persaingan murni.

Margin tataniaga terdapat pada saluran I sedangkan saluran II tidak

memiliki margin tataniaga. Hal ini disebabkan pada saluran dua penjualan jamur

tiram putih tidak melibatkan lembaga-lembaga tataniaga perantara.

Penelitian Wacana (2011) menganalisis pola saluran, fungsi, struktur dan

perilaku pasar, serta efisiensi saluran tataniaga bawang merah di Kelurahan

Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Saluran tataniaga bawang merah

di Kelurahan Brebes terdiri dari empat saluran tataniaga, yaitu pola saluran

tataniaga I : Petani  Pedagang Pengumpul  Pedagang Pengirim  Pedagang

Besar Non Lokal (Sumatera)  Pedagang Pengecer Non Lokal (Sumatera) 

Konsumen Non Lokal. Sedangakn pola saluran tataniaga II : Petani  Pedagang

Pengumpul  Pedagang Pengirim  Pedagang Besar Non Lokal (Jawa) 

Pedagang Pengecer Non Lokal (Jawa)  Konsumen Non Lokal. Pola saluran

tataniaga III : Petani  Pedagang Besar Lokal  Pedagang Pengecer Lokal 

Konsumen Lokal, dan pola saluran tataniaga IV: Petani  Pedagang Pengecer Lokal  Konsumen Lokal.

Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bersifat persaingan sempurna,

struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul dan pedagang pengirim lebih

mengarah kepada pasar oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang

pengecer adalah pasar persaingan monopolistik. Sistem penentuan harga baik di

tingkat petani hingga pedagang pengecer terjadi melalui proses tawar menawar

hingga tercapai kesepakatan bersama.

Berdasarkan analisis efisiensi tataniaga yang dilakukan terhadap empat

pola saluran tataniaga bawang merah yang terjadi di Kelurahan Brebes didapat

bahwa pola saluran IV merupakan pola saluran yang paling efisien, karena

memiliki margin tataniaga yang kecil dan farmer’s share yang besar, namun jumlah petani responden yang terlibat dalam pola saluran IV relatif sedikit

dibandingkan pola saluran lain. Pola saluran tataniaga I dianggap sebagai pola

saluran yang paling menguntungkan bagi petani ataupun bagi lembaga tataniaga

(18)

bawang merah yang lebih besar sehingga menghasilkan keuntungan total yang

lebih besar pula.

2.5.2 Penelitian mengenai Analisis Keterpaduan Pasar

Agustina (2008) menganalisis keterpaduan pasar kubis antara pasar

produsen-pasar Induk Caringin dan pasar produsen - pasar Induk Kramat Jati.

Analisis keterpaduan pasar kubis ini menggunakan metode Autoregressive Distributed Lag model dan Index of Market Connection (IMC). Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan bahwa pada kedua pola analisis tersebut

memiliki keterpaduan jangka pendek dengan nilai IMC masing-masing < 1 yaitu

0,920 dan 0,228. Nilai koefisien b2 pada masing-masing analisis < 1 yaitu 0,459

dan 0,674. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keterpaduan jangka panjang

antara kedua pola tersebut. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa

struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis ini adalah tidak bersaing

sempurna.

Rachma (2008) melakukan analisis keterpaduan pasar cabai merah antara

pasar petani di Desa Cibereum dengan Pasar Induk Caringin Bandung sebagai

pasar acuan. Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan nilai IMC > 1, yaitu

sebesar 2,205 artinya tidak ada keterpaduan jangka pendek dan nilai koefisien 2b

memiliki nilai < 1, yaitu sebesar 0,275 menunjukkan tidak ada keterpaduan jangka

panjang. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pasar yang terjadi dalam

tataniagacabai merah ini adalah tidak bersaing sempurna. Persaingan yang tidak

sempurna dalam tataniaga cabai merah ini menunjukkan bahwa sistem tataniaga

cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.

Dari hasil-hasil penelitian terdahulu dapat dilihat bahwa pada umumnya

sistem tataniaga komoditas hortikultura di Indonesia belum efisien. Hal ini dapat

dilihat dari sebaran margin yang tidak merata diantara lembaga tataniaga yang

terlibat. Petani sebagai produsen memperoleh bagian yang lebih kecil

dibandingkan dengan pedagang. Selain itu juga, informasi harga pasar dari tingkat

pedagang tidak dapat disalurkan dengan baik kepada pasar di tingkat petani.

Artinya, diantara kedua tingkat pasar tersebut tidak terdapat keterpaduan pasar.

Alat analisis yang paling banyak untuk menganalisis tingkat keterpaduan

(19)

ini dapat mengurangi kelemahan model analisis korelasi harga yang menganggap

perubahan harga di tingkat konsumen dengan produsen bergerak pada waktu yang

sama. Dengan demikian diharapkan hasil analisis dengan mempertimbangkan

perubahan (harga) pada waktu sebelumnya dapat lebih menunjukkan kondisi

sebenarnya. Atas pertimbangan tersebut, untuk menganalisis tingkat keterpaduan

pasar digunakan alat analisis model Ravallion dan Heytens (1986).

Terdapat beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya yaitu terletak pada komoditas, waktu dan lokasi tempat penelitian

dilakukan. Pada penelitian ini dianalisis keterpaduan pasar kentang, yaitu pasar

lokal (produsen) dengan menggunakan satu pasar acuan yaitu Pasar Induk

(20)

III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Konseptual 3.1.1 Konsep Tataniaga

Tataniaga pertanian adalah sejumlah kegiatan bisnis yang ditujukan untuk

memberikan kepuasan dari barang atau jasa yang dipertukarkan dengan konsumen

atau pemakai dalam bidang pertanian, baik input, maupun produk pertanian

(Purcell 1979). Tataniaga pertanian menganalisis semua aktivitas bisnis yang

terjadi dengan produk pertanian atau produk agribisnis, setelah produk tersebut

lepas dari produsen primer sampai ke tangan konsumen akhir.

Pada kegiatan tataniaga, terdapat banyak pihak yang terlibat karena para

petani pada umumnya tidak menjual langsung hasil panennya kepada konsumen

akhir. Pihak yang terlibat tersebut adalah perantara yang berperan dalam

memberikan perlakuan khusus terhadap produk pertanian dan mengalirkannya

hingga berada di tangan konsumen akhir. Menurut Abbott (1990) tugas dan

tanggung jawab pelaku tataniaga adalah :

1. Mencari pembeli dan mengalihkan kepemilikan.

2. Penyusunan dan penyimpanan.

3. Menyortir, mengepak, dan mengolah.

4. Menyediakan pembiayaan untuk tataniaga dan pengambilan risiko.

5. Memilah-milah dan menyajikan kepada konsumen.

Menurut Mubyarto (1983), fungsi dan peranan tataniaga adalah

mengusahakan agar pembeli memperoleh barang yang diinginkan pada tempat,

waktu, bentuk, dan harga yang tepat. Salah satu pendekatan dalam menganalisis

sistem tataniaga adalah pendekatan Structure-Conduct-Performance (S-C-P). Tipe-tipe perbedaan pasar digolongkan dalam kelompok market structure. Praktik-praktik bisnis dikelompokkan dalam market conduct dan pengaruh-pengaruh terhadap harga dan output digolongkan dalam market performance.

Pendekatan S-C-P bersifat dinamis dan menekankan pada aspek deskriptif,

bersifat kasus-kasus, pembahasan aspek kelembagaan secara lebih detail

(21)

tataniaga yaitu : pendekatan kelembagaan (the institutional approach), pendekatan fungsional (the functional approach) dan pendekatan sistem perilaku (the behavioral approach).

3.1.2 Kelembagaan dan Saluran Tataniaga

Lembaga tataniaga adalah badan yang menyelenggarakan kegiatan atau

fungsi tataniaga, dimana terdiri dari golongan produsen, pedagang perantara dan

lembaga pemberi jasa. Saluran tataniaga (marketing channel) adalah saluran yang digunakan untuk menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke tangan

konsumen, dimana di dalamnya terlibat beberapa lembaga tataniaga (Limbong

dan Sitorus 1987). Setiap pelaku tataniaga akan memperoleh keuntungan yang

berbeda dalam proses tataniaga.

Beberapa faktor penting perlu dipertimbangkan dalam pemilihan saluran

tataniaga adalah ;

1. Pertimbangan pasar, meliputi konsumen akhir dengan melihat potensi

pembeli, geografi pasar, kebiasaan pembeli, dan volume tataniaga.

2. Pertimbangan barang, meliputi nilai barang per unit, besar, berat, harga,

tingkat kerusakan, dan jenis barang.

3. Pertimbangan intern perusahaan, meliputi sumber permodalan, pengalaman

manajemen, pengawasan, penyaluran dan pelayanan.

4. Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai tataniaga, meliputi segi

kemampuan lembaga perantara dan kesesuaian lembaga perantara dengan

kebijakan perusahaan.

Semakin jauh jarak pasar antara produsen dan konsumen akan

mengakibatkan panjangnya rantai tataniaga serta banyaknya fungsi-fungsi

tataniaga yang dilakukan. Selain itu banyaknya jumlah lembaga yang terlibat

dalam saluran tataniaga juga dipengaruhi oleh sifat komoditinya apakah cepat

rusak atau tidak. Komoditi yang cepat rusak membutuhkan rantai tataniaga yang

pendek dan harus dengan cepat diolah atau langsung diterima oleh konsumen.

Kemudian saluran tataniaga tergantung pula pada skala produksi. Bila produksi

berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil, maka jumlah produk yang dihasilkan

berukuran kecil pula, dan akan tidak menguntungkan bila produsen menjual

(22)

diharapkan, dan saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang. Kekuatan

modal dan sumberdaya yang dimiliki juga berpengaruh bagi keterlibatan

lembaga-lembaga tersebut dalam saluran tataniaga karena produsen atau pedagang yang

posisi modalnya kuat akan dapat melakukan lebih banyak fungsi tataniaga

sehingga tataniaga dapat diperpendek.

Menurut Kohls dan Uhl (2002), pendekatan kelembagaan (the institutional approach) lebih menekankan kepada orang atau lembaga tataniaga yang menjadi pelaku aktivitas (fungsi-fungsi) tataniaga. Pelaku aktivitas tataniaga

dalam produk pertanian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Pedagang perantara (merchant middleman) yang terdiri dari pengecer (retailers) dan grosir (wholesalers). Pedagang perantara mempunyai hak dan kepemilikan atas produk yang mereka tangani dan melakukan aktivitas jual

beli untuk memperoleh keuntungan bagi mereka sendiri. Pengecer membeli

produk dan menjualnya secara langsung kepada konsumen akhir. Grosir

membeli secara langsung dari petani atau pedagang pengumpul lalu menjual

kepada pengecer, grosir di kota lain atau kepada industri pengolahan.

2. Agen perantara (agent middleman) yang terdiri dari makelar (brokers) dan komisioner (comission man). Agen perantara bertindak hanya sebagai wakil dari klien mereka dan tidak memiliki hak dan kepemilikan atas produk yang

mereka tangani. Agen perantara memberikan jasa penjualan atau pembelian

karena keahliannya dalam tawar menawar dan mempunyai pengetahuan

pasar. Agen memperoleh pendapatan dalam bentuk upah dan komisi.

Komisioner mempunyai wewenang yang lebih banyak karena dapat

menangani produk secara fisik, mengatur waktu penjualan dan tugas-tugas

lainnya tetapi makelar mempunyai wewenang yang lebih terbatas dan tidak

menangani produk secara fisik serta mengikuti peraturan dari klien.

3. Perantara Spekulatif (speculative middleman) yaitu perantara yang mempunyai kepemilikan atas produk dengan tujuan utama memperoleh

keuntungan dari pergerakan harga. Perantara spekulatif berperan dalam

mengambil risiko fluktuasi harga dengan penanganan minimum pada produk.

(23)

pertanian primer menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir. Aktivitas

pabrik pengolah menambah kegunaan waktu, tempat, bentuk, dan

kepemilikan.

5. Organisasi pemfasilitasi (facilitative organizations) yang berperan untuk membantu atau memperlancar berbagai pelaku tataniaga dalam melakukan

tugasnya. Fasilitator melakukan aktivitas seperti membuat

peraturan-peraturan, kebijakan, asosiasi, jasa pengangkutan produk atau fungsi fasilitas

spesifik lainnya.

3.1.3 Fungsi – Fungsi tataniaga

Fungsi-fungsi tataniaga merupakan berbagai kegiatan atau aktivitas bisnis

yang terjadi dalam penyaluran barang dan jasa dari produsen ke konsumen.

Apabila fungsi-fungsi tataniaga berperan sebagaimana mestinya, tataniaga dapat

meningkatkan nilai ekonomi dan nilai tambah hasil produksi (Limbong dan

Sitorus 1987).

Pendekatan fungsional (the functional approach) menurut Kohls dan Uhl (2002) bermanfaat dalam mempertimbangkan bagaimana pekerjaan harus

dilakukan, menganalisis biaya-biaya tataniaga dan memahami perbedaan biaya

antar lembaga dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga.

Menurut Limbong dan Sitorus, fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi

tiga fungsi, yaitu :

1. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik

dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran terdiri dari dua

fungsi yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan

merupakan kegiatan yang bertujuan mencari dan mengusahakan agar ada

pembeli atau ada permintaan pasar yang cukup baik pada tingkat harga yang

menguntungkan. Fungsi pembelian adalah pembelian persediaan produksi

untuk diolah dan dijual kembali.

2. Fungsi fisik adalah semua kegiatan atau tindakan yang menimbulkan

kegunaan tempat, bentuk, waktu, pada barang dan jasa. Fungsi fisik meliputi

penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan.

a. Fungsi penyimpanan bertujuan untuk membuat produk tersedia

(24)

beberapa tindakan untuk menjaga mutu, terutama hasil-hasil

pertanian yang mempunyai sifat mudah rusak.

b. Fungsi pengolahan merupakan kegiatan yang mengubah betuk

dasar dari produk.

c. Fungsi pengangkutan bertujuan untuk membuat produk tersedia

pada tempat yang sesuai. Jenis alat transportasi dan rute yang

dipilih berpengaruh terhadap biaya transportasi. Adanya

keterlambatan dalam pengangkutan dan jenis alat angkut yang

tidak sesuai dengan sifat barang yang diangkut dapat menimbulkan

kerusakan dan penurunan mutu barang yang bersangkutan.

3. Fungsi fasilitas adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan

pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas ini

terdiri dari fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan risiko,

fungsi pembiayaan dan fungsi informasi.

a. Fungsi standarisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu

suatu produk dengan berbagai bentuk, ukuran, kadar air, tingkat

kematangan, rasa, warna, dan kriteria lainnya. Grading merupakan tindakan menggabungkan suatu produk menurut standarisasi yang

diinginkan oleh pembeli.

b. Fungsi penanggungan risiko merupakan penerimaan atas

kemungkinan terjadinya kerugian karena kehilangan produk.

Risiko yang dihadapi dapat dibedakan menjadi risiko fisik dan

risiko pasar. Risiko fisik terjadi pada fisik produk karena

kecelakaan dan bencana alam. Risiko pasar terjadi karena fluktuasi

harga di pasar.

c. Fungsi pembiayaan dibutuhkan khususnya dalam kegiatan

operasional tataniaga.

d. Fungsi informasi merupakan kegiatan dalam mengumpulkan,

mengolah, dan menginterpretasikan data yang penting dalam

memperlancar operasi dari proses tataniaga. Penetapan harga yang

efektif tergantung dari seberapa baik pembeli dan penjual

(25)

3.1.4 Struktur pasar

Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan

keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar,

distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, deskripsi produk atau diferensiasi

produk, syarat-syarat masuk dan sebagainya atau penguasaan pangsa pasar.

Struktur pasar dicirikan oleh : (1) kosentrasi pasar (2) diferensiasi produk dan (3)

kebebasan untuk keluar masuk dalam pasar (Limbong dan Sitorus 1987).

Empat faktor penentu dari karakteristik suatu pasar : (1) jumlah atau

ukuran perusahaan (2) kondisi atau keadaan produk (3) kondisi keluar masuk

pasar dan (4) tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga,

misalnya biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan (Dahl dan Hammond

1977).

Hammond dan Dahl (1977) mengemukakan lima jenis struktur pasar

pangan dan serat dengan berbagai karakteristiknya yang secara rinci dapat dilihat

pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, struktur pasar yang dihadapi oleh penjual

dapat berbentuk persaingan sempurna, persaingan monopolistik, oligopoli murni,

oligopoli diferensiasi, dan pasar monopoli. Sedangkan struktur pasar yang dihadapi oleh pembeli dapat berbentuk persaingan sempurna, persaingan

monopsonistik, oligopsoni murni, oligopsoni diferensiasi, dan pasar monopsoni.

Tabel 6. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat

Sumber : Dahl dan Hammond, 1977. No.

Karakteristik Struktur Pasar

Jumlah Penjual dan

Pembeli

Sifat Produk Sudut Penjual Sudut Pembeli

1 Banyak Homogen Persaingan sempurna Persaingan

sempurna

2 Banyak Diferensiasi Persaingan

monopolistik

Persaingan monopsonistik

3 Sedikit Homogen Oligopoli murni Oligopsoni

murni

4 Sedikit Diferensiasi Oligopoly

diferensiasi

Oligopsoni diferensiasi

(26)

3.1.5 Perilaku Pasar

Perilaku pasar adalah strategi produksi dan konsumsi dari lembaga

tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan pembelian dan

penjualan. Penentuan harga serta kerjasama antar lembaga tataniaga. Perilaku

pasar adalah pola tindak tanduk pedagang beradaptasi dan mengantisipasi setiap

keadaan pasar. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa perilaku pasar merupakan

tingkah laku lembaga tataniaga dalam struktur pasar yang meliputi kegiatan

penjualan, pembelian, penentuan harga dan siasat tataniaga. Perilaku pasar dapat

dilihat dari proses pembentukan harga dan stabilitas pasar. Serta ada tidaknya

praktek jujur dari lembaga tataniaga tersebut (Azzaino 1981). Ada empat

pendekatan sistem perilaku pasar, yaitu :

1. Input-output system, mencoba mengkombinasi atau memilih input melalui pengembangan teknologi, diversifikasi atau substitusi, sehingga kepuasan

konsumen meningkat dengan atau tanpa meningkatkan baiya (input).

2. Power system, dimana setiap perusahaan mempunyai kepentingan dan peranan yang berbeda. Sebagai market leader dapat mengembangkan produk melalui perbaikan kualitas, penetapan harga dan lain-lain kebijakan yang semakin memperkuat posisi. Berbeda dengan followers yang bergerak dalam ceruk pasar yang kecil dan mengikuti keputusan dari leaders. Secara teori

ekonomi dapat dijelaskan melalui monopoly dan imperfect competition behavior.

3. Communication system, mengembangkan sistem komunikasi antara pemilik perusahaan dengan tenaga kerja (buruh), pelanggan dan lain-lain.

4. The behavioral system for adapting to internal-external change, perusahaan perlu mengidentifikasi perubahan-peruabahan dan adaptasi terhadap

perubahan.

Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan

pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem

penentuan harga, kemampuan pasar menerima jumlah produk yang dijual,

stabilitas pasar dan pembayaran serta kerjasama diantara berbagai lembaga

tataniaga. Struktur dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat

(27)

dipasarkan sehingga akan memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem

tataniaga.

3.1.6 Margin Tataniaga dan Farmer’s Share

Insentif ekonomi merupakan salah satu faktor pendorong bagi petani

dalam menentukan pilihan komoditas pertanian yang akan diusahakan. Insentif

ekonomi tersebut diantaranya berupa bagian harga yang diterima petani, yang

dapat diketahui dari keragaan dan perkembangan margin tataniaganya.

Margin tataniaga didefenisikan sebagai perbedaan harga yang dibayar

konsumen dengan harga yang diterima produsen pada setiap level lembaga

tataniaga yang terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh lembaga

tataniaga (Limbong dan Sitorus 1987). Biaya tataniaga adalah semua jenis biaya

yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam sistem tataniaga

suatu komoditi dalam proses penyampaian barang dalam hal ini adalah kentang,

mulai dari petani sampai ke konsumen akhir. Keuntungan tataniaga adalah

pengurangan margin tataniaga dengan biaya-biaya tataniaga.

Pengertian statis dari margin tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat

petani (Pf) dengan harga di tingkat konsumen (Pr) atau MT = Pr– Pf. Pendekatan dinamis dari margin tataniaga merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa

pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas produktif atau konsep nilai tambah

(value added). Pengertian ini menunjukkan margin total atau Mi = Biaya-biaya tataniaga + keuntungan lembaga-lembaga tataniaga (Mi = Ci + πi). Pendekatan dinamis margin tataniaga ini juga memberikan pengertian semua proses bisnis dan

aliran tataniaga dengan menganalisis kelembagaan dan keseluruhan sistem, mulai

dari petani hingga konsumen akhir (Tomek dan Robinson 1990).

Dahl dan Hammond (1977) mendefenisikan margin tataniaga sebagai

perbedaan harga tingkat petani (Pf) dengan harga tingkat pengecer (Pr).

Sedangkan pengertian nilai margin tataniaga merupakan perkalian antara margin

(28)

Farmer’s share merupakan persentase perbandingan harga yang diterima petani (Pf) dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir (Pr). Secara

matematis farmer’s share (Fsi) dapat dirumuskan sebagai berikut :

Fsi =

x 100%

Farmer’s share mempunyai nilai yang relatif lebih rendah jika harga

ditingkat konsumen akhir relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga yang

diterima oleh petani. Sebaliknya farmer’s share mempunyai nilai yang sangat relatif lebih tinggi jika harga di tingkat konsumen akhir tidak terpaut jauh jika

dibandingkan dengan harga yang diterima oleh petani.

3.1.7 Efisiensi Tataniaga

Dalam kegiatan tataniaga yang sering terjadi pertentangan kepentingan

dari tiga pihak yaitu produsen yang menghendaki hasil dari penghasilan yang baik, konsumen akhir yang menghendaki harga barang yang relatif murah dan

lembaga tataniaga yang menginginkan keuntungan yang tinggi. Namun

kenyataanya adalah petani atau produsen banyak dirugikan karena banyak

menerima harga yang relatif rendah. Hal yang mungkin menjadi alternatif

pemecahan yaitu dengan menekankan biaya tataniaga atau memperkecil margin

keuntungan dari tiap lembaga tataniaga. Biaya tataniaga tiap lembaga akan

mempengaruhi harga yang diterima oleh petani dan konsumen.

Sistem tataniaga yang produktif dan efisien bersumber pada penggunaan

sumberdaya yang efisien dalam proses penciptaan waktu, bentuk, dan tempat

dalam pergerakan barang dan jasa dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen

(Azzaino 1981). Efisiensi tataniaga adalah maksimisasi dari rasio input dan

output. Perubahan yang mengurangi biaya input tanpa mengurangi kepuasan

konsumen akan meningkatkan efisiensi. Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui

dua cara yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional

adalah efisiensi yang menekankan pada minimisasi biaya untuk melakukan fungsi

tataniaga. Dalam kenyataan di lapang, untuk mengetahui besaran indikator

efisiensi operasional (teknik), banyak peneliti menggunakan analisis margin

(29)

adalah kajian biaya-biaya tataniaga dan kegiatan produktif (fungsi-fungsi dan

lembaga tataniaga) mulai dari petani hingga ke konsumen akhir. Menurut

Asmarantaka (2009), efisiensi operasional lebih tepat menggunakan rasio antara

keuntungan (π) dengan biaya (C) karena pembanding oppurtunity cost dari biaya

adalah keuntungan, sehingga indikatornya adalah π/C dan nilainya harus positif.

Jika penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya merata pada setiap lembaga

tataniaga, maka secara teknis saluran tataniaga tersebut semakin efisien. Rasio

keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat

dirumuskan sebagai berikut :

Rasio keuntungan/biaya (π/C) = �� � Keterangan : πi : Keuntungan lembaga tataniaga ke-i

Ci : Biaya pemasaran lembaga tataniaga ke-i

Efisiensi harga menekankan pada harga di berbagai tingkat lembaga pasar

dalam mengalokasikan komoditas dari produsen ke konsumen yang disebabkan

perubahan tempat, waktu, dan bentuk komoditas (Asmarantaka 2009). Hubungan

harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen

akhir dapat didekati dengan pendekatan korelasi harga dan model keterpaduan

pasar yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan dilanjutkan oleh Heytens

(1986).

Heytens (1986) mengemukakan bahwa dalam suatu pasar yang terintegrasi

secara efisien, akan selalu terdapat korelasi positif diantara harga dilokasi pasar

yang berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah

satu pasar disalurkan ke pasar lain. Keterpaduan pasar dapat terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat

dari satu pasar ke pasar lainnya. Ravalion (1986) mengembangkan model

keterpaduan pasar yang disebut metode autoregresive distributed lag model atau model autoregresi yang dilanjutkan oleh Heytens (1986). Model autoregresi

tersebut dapat mengurangi kelemahan model analisis korelasi harga yang

menganggap perubahan harga ditingkat konsumen dan produsen bergerak pada

(30)

Menurut Ravallion (1986) model keterpaduan pasar dapat digunakan

untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga di pasar

rujukan (acuan) dengan mempertimbangkan harga pada waktu tertentu (t) dan

harga pada waktu sebelumnya (t-1). Aktivitas pasar-pasar tersebut dihubungkan

oleh adanya arus komoditas, sehingga harga dan jumlah komoditas yang

dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain.Model statistik

yang mampu menjelaskan perubahan harga bulanan pada pasar lokal sebagai

fungsi dari beberapa variabel bebas menurut Heytens (1986) adalah sebagai

berikut :

Pit– Pit-1= (1+b1)Pit-1+ b2(Pjt– Pjt-1) + (b3 – b1) P

jt-1

+ b4Xt+ et...(1) Dimana :

Pit = Harga di tingkat pasar lokal (ke-i) pada waktu ke-t

Pit-1 = Harga di tingkat pasar lokal pada waktu sebelumnya (t-1)

Pjt = Harga di tingkat pasar acuan untuk waktu ke-t

Pjt-1 = Harga di tingkat pasar acuan pada waktu sebelumnya (t-1)

Xt = Peubah exogenus (musim panen atau regional)

et = Random error

bt = Parameter estimasi

Jika diasumsikan bahwa deret waktu di pasar lokal dan pasar acuan

mempunyai pola musim yang sama, maka tidak perlu memasukkan peubah

boneka (Xt) untuk musim setempat. Untuk memudahkan interpretasi hasil maka

persamaan di atas disederhanakan lagi menjadi :

Pit = (1+b1)Pit-1+ b2(Pjt– Pjt-1) + ( b3 - b1) Pjt-1+ et...(2)

Dimana model akan diduga dengan menggunakan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) sebagai berikut :

Pit = 1Pit-1 + 2(Pjt– Pjt-1) + 3Pjt-1+ et...(3) Dimana :

1 = 1 + b1

2 = b2

(31)

1 = Koefisien perubahan harga di tingkat pasar lokal

2 = Koefisien perubahan margin harga di tingkat pasar acuan 3 = Koefisien perubahan harga di tingkat pasar acuan

Secara umum persamaan di atas menunjukkan bagaimana harga disuatu

pasar (pasar rujukan) mempengaruhi pembentukkan harga di pasar lainnya (pasar

lokal), dengan mempertimbangkan harga yang lalu (t-1) dan harga yang sekarang

(t). Berdasarkan persamaan (3) dapat diketahui bahwa koefisien 2 mengukur

bagaimana perubahan harga di pasar rujukan diteruskan ke pasar lokal.

Keterpaduan pasar dalam jangka panjang dicapai jika 2 = 1, maka perubahan

harga yang terjadi bersifat netral dan proposional dengan persentase yang sama.

Tentunya 2 tidak harus sama dengan satu, meskipun informasi perubahan harga

di tingkat pasar acuan secara langsung diteruskan ke pasar lokal.

Jika Pjt – Pjt-1= 0, maka pasar acuan berada pada keseimbangan jangka pendek, berarti koefisien 2 dikeluarkan dari persamaan. Koefisien yang

menghubungkan dua bentuk harga (1+b1) dan (b3 - b1) menjelaskan kontribusi

relatif dari pasar lokal pada saat diinginkan. Kedua bentuk harga yang diperoleh

ini dapat digunakan untuk mengetahui indeks keterpaduan pasar (IMC = Index Market connection). IMC merupakan rasio dari kedua bentuk harga tersebut, yaitu bentuk harga pasar lokal terhadap bentuk harga pasar rujukannya. Nilai IMC ini

dapat digunakan untuk mengetahui keterpaduan pasar dalam jangka pendek.

Secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut :

IMC = 1+ 1

3− 1

= 1

3...(4)

Jika harga yang terjadi di pasar rujukan pada waktu sebelumnya

merupakan faktor utama yang mempengaruhi harga yang terjadi di suatu pasar

lokal tertentu, berarti kedua pasar tersebut terhubungkan dengan baik. Hal ini

menunjukkan bahwa informasi permintaan dan penawaran di pasar rujukan

diteruskan ke pasar lokal dan akan mempengaruhi harga yang terjadi di pasar

lokal tersebut. Jika koefisien 1 = 0 dan 3 > 0 maka nilai IMC = 0 artinya harga

ditingkat pasar lokal/produsen pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh

terhadap harga yang diterima pada pasar lokal/produsen sekarang. Hal ini berarti

(32)

koefisien 1> 0 dan koefisien 3 = 0, maka IMC menjadi tak hingga. Hal ini

menunjukkan pasar tersebut mengalami segmentasi pasar. Integrasi pasar jangka

pendek akan cenderung terjadi pada kondisi dimana 1< 3 sehingga nilai IMC

antara 0 dan 1. Semakin mendekati nol maka derajat integrasi pasar jangka pendek

relatif tinggi. Jika nilai 2 = 1 berarti bahwa pasar berada dalam keseimbangan

jangka panjang yang kuat dimana kenaikan harga di pasar rujukan akan segera

diteruskan ke pasar lokal. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa

koefisien 2 digunakan untuk mengetahui keterpaduan jangka panjang dan IMC

untuk mengetahui ketertpaduan pasar jangka pendek. Keterpaduan jangka pendek

disebut juga keterkaitan pasar dalam menjelaskan bagaimana pelaku pemasaran

berhasil menghubungkan pasar-pasar yang secara geografis terpisah melalui aliran

informasi dan komoditas.

Beberapa aktivitas seperti peningkatan informasi pasar, pemberian label,

grading dan standarisasi dapat meningkatkan efisiensi harga. Dalam beberapa

keadaan, peningkatan efisiensi operasional dapat menurunkan efisiensi harga atau

sebaliknya. Namun hal tersebut tidak perlu dipertentangkan karena yang menjadi

perhatian utama adalah tersedianya pilihan bagi konsumen dan harga yang

merefleksikan biaya (Kohls dan Uhl 2002).

3.2 Kerangka Operasional

Tataniaga kentang di Kabupaten Kerinci melibatkan petani dan

lembaga-lembaga tataniaga dalam mendistribusikan kentang hingga sampai kepada

konsumen akhir. Bargaining position petani dalam tataniaga kentang di Kabupaten Kerinci cukup lemah dibandingkan dengan lembaga tataniaga lainnya.

Hal ini terlihat dari besarnya selisih harga yang diterima petani dengan harga yang

diterima konsumen akhir (Tabel 5). Kondisi ini menimbulkan pertanyaan yang

layak untuk diteliti yaitu: Bagaimana tataniaga kentang dan bagaimana efisiensi

tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci.

Petani dan masing-masing lembaga tataniaga saling berinteraksi dan

mempunyai peranan yang berbeda-beda dalam saluran tataniaga. Lembaga

tataniaga berfungsi sebagai perantara petani dengan konsumen akhir. Lembaga

tataniaga terdiri dari pedagang pengumpul, grosir, pedagang antar kota, dan

(33)

dengan menggunakan metode purposive dan pengambilan sampel terhadap lembaga tataniaga menggunakan snowball sampling. Interaksi yang terjadi dapat dianalisis dengan pendekatan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis

kualitatif digunakan dalam menganalisis lembaga dan saluran tataniaga,

fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Analisis kuantitatif digunakan

[image:33.595.110.515.46.804.2]
(34)
[image:34.595.48.540.60.842.2]

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional

Kentang di Kabupaten Kerinci :  Daya Tawar (bargaining power) petani rendah  Ketersediaan informasi pasar yang belum memadai

 Bagaimana sistem tataniaga kentang di Kecamatan Kayu

Aro, Kabupaten Kerinci?

 Bagaimana penyebaran margin, farmer’s share, dan rasio

keuntungan terhadap biaya pada masing-masing saluran

tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten

Kerinci?

 Bagaimana efisiensi operasional dan efisiensi harga pada

sistem tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten

Kerinci?

Analisis Kualitatif :

 Saluran dan Lembaga Tataniaga  Fungsi-fungsi Tataniaga

 Struktur dan Perilaku Pasar

Analisis Kuantitatif :  Margin Tataniaga  Farmer’s share

 Rasio Keuntungan Terhadap Biaya  Analisis Keterpaduan Pasar Kentang di Kabupaten Kerinci :

 Daya Tawar (bargaining power) petani rendah  Ketersediaan informasi pasar yang belum memadai

 Bagaimana sistem tataniaga kentang di Kecamatan Kayu

Aro, Kabupaten Kerinci?

 Bagaimana penyebaran margin, farmer’s share, dan rasio

keuntungan terhadap biaya pada masing-masing saluran

tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten

Kerinci?

 Bagaimana efisiensi operasional dan efisiensi harga pada

sistem tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten

Kerinci?

Hasil dan Kesimpulan

Efisiensi Tataniaga Kentang

di Kecamatan Kayu Aro Analisis Kualitatif :

 Saluran dan Lembaga Tataniaga  Fungsi-fungsi Tataniaga

 Struktur dan Perilaku Pasar

Analisis Kuantitatif :  Margin Tataniaga  Farmer’s share

 Rasio Keuntungan Terhadap Biaya  Analisis Keterpaduan Pasar Kentang di Kabupaten Kerinci :

 Daya Tawar (bargaining power) petani rendah  Ketersediaan informasi pasar yang belum memadai

 Bagaimana sistem tataniaga kentang di Kecamatan Kayu

Aro, Kabupaten Kerinci?

 Bagaimana penyebaran margin, farmer’s share, dan rasio

keuntungan terhadap biaya pada masing-masing saluran

tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten

Kerinci?

 Baga

Gambar

Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
Tabel 8. Jumlah Penduduk Kecamatan Kayu Aro berdasarkan Jenis Pekerjaan
Tabel 10. Karakteristik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Petani –Pedagang Pengumpul Daerah – Agen Luar Daerah - Pedagang Pengecer Luar Daerah – Konsumen; (2) Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga, antara lain

Perbedaan (gap) harga buah markisa di tingkat petani dengan di tingkat pedagang pedagang pengecer menyebabkan bagian yang diperoleh petani atau farmer’s share relatif

menghasilkan warn, rasa dan aroma tersebut pihak industri tidak menggunakan bahan pengawet sehingga dodol kentang yang dihasilkan mampu bertahan hingga 1 bulan. Semua jenis

Keuntungan usahatani kentang granola lebih tinggi yaitu sebesar Rp 37.027.999/ha dibandingkan kentang atlantik yang sebesar Rp15.700.553/ha dan .(3) faktor-faktor

(2) Lembaga- lembaga yang terlibat dalam tataniaga sawi putih adalah pedagang pengecer desa, pedagang pengumpul, pedagang pengecer siantar, agen, pedagang luar

(Rp/Kg) Rp. Dari tabel 3 di atas, menunjukkan bahwa dari segi keuntungan lembaga pemasaran yang mendapatkan hasil paling tinggi adalah pengecer tradisonal Wajak yaitu

Saluran tataniaga satu merupakan saluran tataniaga yang terdiri dari petani, pedagang pengecer dan konsumen. Jenis saluran tataniaga ini dilakukan oleh 13 orang

Untuk tingkat harga ikan segar jenis ikan tongkol dan ikan kerapu dari produsen (nelayan) yaitu ikan tongkol rata- rata Rp.30.000/kilogram dan dijual oleh pedagang pengecer