I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian unggulan yang
memiliki beberapa peranan penting yaitu dalam pemenuhan kebutuhan gizi
masyarakat, peningkatan pendapatan petani, penyerapan tenaga kerja dan
peningkatan devisa negara melalui kontribusi terhadap pendapatan nasional. Salah
satu indikator ekonomi makro yang cukup penting untuk mengetahui peranan dan
kontribusi sektor hortikultura terhadap pendapatan nasional adalah dengan melihat
nilai PDB. Perkembangan PDB Hortikultura di Indonesia pada tahun 2005-2009
cenderung mengalami peningkatan, dengan rata-rata peningkatan adalah 9,38
persen setiap tahunnya (Tabel 1). Peningkatan PDB tersebut tercapai karena
terjadi peningkatan produksi di berbagai sentra dan kawasan, peningkatan luas
area produksi dan areal panen. Disamping itu, nilai ekonomi dan nilai tambah produk hortikultura yang cukup tinggi dibandingkan komoditas lainnya juga
memberikan pengaruh positif pada peningkatan PDB1.
Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun 2005 – 2009
Kelompok
Hortikultura
Nilai PDB (Milyar Rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009
Sayuran 22.629,88 24.694,25 25.587,03 28.205,27 30.505,71
Buah - buahan 31.694,39 35.447,59 42.362,48 47.059,78 48.436,70
Tanaman Hias 4.662,11 4.734,27 4.104,87 3.852,67 3.896,90
Biofarmaka 2.806,06 3.762,41 4.740,92 5.084,78 5.494,24
Total 61.792,44 68.638,53 76.795,30 84.202,50 88.333,56
Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura, Kementrian Pertanian, 2009
Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi dan prospektif dilihat dari keunggulan komparatif dan
kompetitif yang dimilikinya. Pada dasarnya, komoditas hortikultura
dikelompokkan kedalam empat kelompok utama yaitu buah-buahan, sayuran,
tanaman hias dan biofarmaka (tanaman obat-obatan). Komoditas hortikultura
1
terdiri dari 323 jenis, yaitu buah-buahan 60 jenis, sayuran 80 jenis, biofarmaka 66
jenis, dan tanaman hias 117 jenis2. Banyaknya jenis komoditas yang ditangani dan
berbagai pertimbangan strategis lain, pengembangan hortikultura saat ini
diprioritaskan pada komoditas-komoditas unggulan yang mengacu pada besarnya
pangsa pasar, keunggulan produk, tingginya potensi produksi, kesesuaian
agroekosistem, dan mempunyai peluang pengembangan teknologi.
Komoditas-komoditas unggulan tersebut adalah, anggrek, rimpang, pisang, mangga, manggis,
jeruk, nenas, kubis, cabe merah, kentang, dan bawang merah (Soleh Solahuddin
1999).
Tanaman sayuran adalah kelompok tanaman hortikultura yang banyak
ditanam dan dikembangkan di Indonesia. Tanaman sayuran memberikan
kontribusi terhadap PDB hortikultura kedua terbesar setelah tanaman
buah-buahan. Rata- rata persentase sumbangan PDB tanaman sayuran terhadap PDB
hortikultura dari tahun 2005-2009 adalah sebesar 34,74 persen (Ditjen
Hortikultura 2009). Selain itu, potensi tanaman sayuran di Indonesia dapat dilihat
dari perkembangan produksi yang cenderung fluktuatif setiap tahunnya, seperti
yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2005 – 2010
Tahun Kentang
(Ton)
Kubis (Ton)
Cabai (Ton)
Bawang Merah
(Ton)
Lain-Lain (Ton)
2005 1.009.619 1.292.984 1.058.023 732.609 4.641.475
2006 1.011.911 1.267.745 1.185.057 794.931 4.856.785
2007 1.003.733 1.288.740 1.128.792 802.810 4.798.744
2008 1.071.543 1.323.702 1.153.060 853.615 5.063.815
2009 1.176.304 1.358.113 1.378.727 965.164 5.239.799
2010 1.060.805 1.384.044 1.328.864 1.048.934 5.410.313
Sumber : Badan Pusat Statistik, 20123
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kentang termasuk salah satu tanaman
sayuran unggulan dengan tingkat perkembangan produksi yang menempati urutan
2
Pengelolaan Data dan Informasi Ditjen Hortikultura. http://www.deptan.go.id/[17 April 2012] 3
kedua setelah kubis. Perkembangan produksi kentang selama tahun 2005-2009
sangat fluktuatif, dimana pada tahun 2005, produksi kentang Indonesia adalah
1.009.619 ton, tahun 2006 meningkat 0,2 persen yaitu 1.011.911 ton, tahun 2007
mengalami penurunan sebesar 0,8 persen yaitu 1.003.733 ton, tahun 2008
meningkat kembali sebesar 6,75 persen yaitu 1.071.543 ton. Pada tahun 2009,
produksi kentang Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari tahun
sebelumnya sebesar 9,8 persen yaitu 1.176.304 ton, dan pada tahun 2010,
produksi kentang nasional kembali mengalami penurunan sebesar 9,8 persen yaitu
1.060.805 ton. Fluktuasi produksi kentang nasional diakibatkan oleh adanya
perubahan luas tanam, dan perubahan luas panen yang disebabkan oleh faktor
iklim dan cuaca.
Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan tanaman sayuran unggulan yang memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Dari segi teknis,
agribisnis komoditas kentang sudah cukup berkembang dan menyebar di sebagian
besar daerah di Indonesia. Dari segi produktivitas dan mutu, komoditas kentang
yang dikembangkan di Indonesia sudah tergolong cukup tinggi (Sihombing 2005).
Banyaknya manfaat kentang membuat pengusahaan komoditi ini terus berkembang. Menurut Wattimena (2000), selain menjadi bahan pokok industri
makanan, kentang juga digunakan untuk minuman, pakan ternak dan tekstil.
Kentang sebagai bahan makanan untuk konsumsi manusia merupakan salah satu
sumber nutrisi paling besar yang mengandung karbohidrat, zat besi,vitamin B1,
B2 dan Vitamin C. Kandungan lemak yang terdapat pada kentang lebih rendah
dibandingkan dengan padi, jagung dan gandum. Kandungan gizi yang dimiliki
oleh kentang ini telah menjadikannya salah satu alternatif sumber karbohidrat
nabati utama selain padi bagi masyarakat (Asandhi 1995).
Provinsi Jambi adalah salah satu daerah penghasil kentang di Pulau
Sumatera. Jumlah produksi kentang Provinsi Jambi rata-rata menyumbang 5,95
persen terhadap produksi kentang nasional. Pada Tabel 3, terlihat bahwa luas
panen kentang selama periode 2006 – 2009 mengalami kenaikan rata- rata 23,33 persen setiap tahunnya, dan produksi yang juga mengalami kenaikan rata-rata
27,03 persen setiap tahunnya. Namun produktivitas kentang di Provinsi Jambi
Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas tanaman kentang di
Provinsi Jambi selama periode 2006-2009 dapat dilihat pada Tabel 3.
Kabupaten Kerinci merupakan salah satu daerah yang menjadi sentra
produksi komoditas kentang di Provinsi Jambi. Jumlah produksi kentang di
Kabupaten Kerinci pada tahun 2009, yaitu 58.377 ton, dan Kabupaten Merangin
sebagai daerah produksi kedua terbesar, yaitu dengan jumlah produksi 35.991 ton
pada tahun 2009 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi 2010).
Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Kerinci (2012), terdapat
tujuh kecamatan yang menjadi daerah produksi kentang di Kabupaten Kerinci,
yaitu Kecamatan Kayu Aro, Kecamatan Gunung Tujuh, Kecamatan Gunung
Kerinci, Kecamatan Siulak, Kecamatan Air Hangat Timur, Kecamatan Gunung
Raya dan Kecamatan Batang Merangin.
Tabel 3. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang di Provinsi Jambi Tahun 2006 – 2009
Tahun Luas Panen
(Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas (Ton/Ha)
2006 2.902 48.356 16,7
2007 3.023 55.348 18,3
2008 3.653 58.905 16,1
2009 5.296 94.368 17,8
Sumber : Pusdatin Kementrian Pertanian, 20104
Kecamatan Kayu Aro adalah salah satu daerah produksi kentang terbesar
di Kabupaten Kerinci. Kecamatan ini berada di dataran tinggi di sekeliling kaki
Gunung Kerinci. Kondisi agroklimat daerah ini cocok untuk ditanami berbagai
tanaman sayuran, seperti kentang, kubis, cabai, dan bunga kol. Kentang yang
dipasarkan oleh petani – petani di kecamatan ini adalah kentang, yaitu kentang yang dikonsumsi sebagai sayuran oleh konsumen. Tujuan pemasaran kentang
Kayu Aro tidak hanya pada pasar induk di Kabupaten Kerinci, namun juga
ditujukan pada pasar induk di berbagai daerah Sumatera bagian selatan seperti
Provinsi Jambi, Riau, Sumatera Selatan dan Lampung, bahkan kentang Kayu Aro
juga dipasarkan sampai Pasar Induk Kramat Jati Jakarta.
4
Pada Tabel 4 terlihat bahwa selama periode 2008-2011 luas panen dan
produksi kentang di Kecamatan Kayu Aro mengalami peningkatan. Namun pada
tahun 2010, terjadi penurunan yang cukup besar pada luas panen dan produksi
kentang yaitu sebesar 23,8 persen dan 43,8 persen. Produktivitas tanaman kentang
di Kecamatan Kayu Aro pada periode 2009–2011 cenderung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh faktor iklim dan cuaca mengakibatkan
terjadinya penurunan jumlah produksi walaupun luas areal panen terus meningkat.
Adapun perkembangan luas panen, jumlah produksi, dan produktivitas tanaman
kentang di Kecamatan Kayu Aro dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kentang di Kecamatan Kayu Aro Tahun 2008 – 2011
Tahun Luas Panen
(Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas (Ton/Ha)
2008 1.581 34.782 22,0
2009 1.635 46.598 28,5
2010 1.246 26.166 21,0
2011 2.218 49.905 22,5
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kabupaten Kerinci, 2011
Harga kentang berfluktuasi setiap bulannya, baik pada tingkat petani
maupun pada tingkat konsumen. Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Kabupaten Kerinci (2012) , selama periode 2009–2012, harga kentang di tingkat petani cenderung fluktuatif. Pada tahun 2009 harga kentang rata- rata di tingkat
petani adalah Rp 3.291,7 per kilogram. Pada tahun 2010 harga kentang rata-rata
di tingkat petani mengalami penurunan sebesar 3 persen dari tahun sebelumnya
yaitu Rp 3.183,3 per kilogram, pada tahun 2011 harga kentang mengalami
kenaikan tertinggi yaitu sebesar 33 persen dengan harga kentang rata-rata Rp
4.241,6 per kilogram. Namun pada awal tahun 2012, harga kentang di tingkat
petani di Kabupaten Kerinci mengalami penurunan yang sangat tajam, yaitu
sebesar 31 persen, dengan harga rata-rata Rp 2.900 per kilogram. Turunnya harga
kentang ini, disebabkan karena masuknya kentang impor ke Pasar Induk Kramat
Jati, dengan harga yang lebih murah daripada harga kentang lokal. Hal ini
mengakibatkan kentang lokal kalah bersaing dengan kentang impor, dan harga
Harga kentang di tingkat konsumen di Kabupaten Kerinci pada periode
Januari 2009- Januari 2012 juga berfluktuasi setiap bulannya. Pada tahun 2009
dan 2010 rata-rata harga kentang di tingkat konsumen sama yaitu Rp 5.125 per
kilogram. Harga kentang rata – rata di tingkat konsumen mengalami penurunan sebesar 5 persen pada tahun 2011, yaitu menjadi Rp 4.875 per kilogram, dan pada
awal tahun 2012, harga kentang rata-rata di tingkat konsumen turun sebesar 0,8
persen yaitu menjadi Rp 4.833,3 per kilogram. Fluktuasi harga kentang di tingkat
konsumen di Kabupaten Kerinci dipengaruhi oleh harga kentang eceran di Pasar
Induk Kramat Jati Jakarta. Perkembangan harga kentang di tingkat petani dan
harga kentang di tingkat konsumen di Kabupaten Kerinci selama periode Januari
2009 - Januari 2012 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perbandingan Harga Kentang Rata-rata di Tingkat Petani dan di Tingkat Konsumen di Kabupaten Kerinci periode Januari 2009 – Januari 2012
Tahun
Harga Rata - rata di Tingkat Petani (Rp/Kg)
Harga Rata – rata di Tingkat Konsumen (Rp/Kg)
Margin (%)
2009 3.291,7 5.125,0 35,8
2010 3.183,3 5.125,0 37,9
2011 4.241,6 4.875,0 12,9
Januari 2012 2.900,0 4.833,3 39,9
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Kerinci, 2012
Pada Tabel 5 terlihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar antara
harga di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan konsumen. Hal tersebut
dapat terjadi akibat tidak efisiennya saluran tataniaga yang dilalui oleh produk,
panjangnya saluran tataniaga, banyaknya fungsi yang dilakukan oleh pedagang
perantara, tingginya biaya yang dikeluarkan dan tingginya keuntungan yang
diambil oleh pedagang perantara.
1.2 Perumusan Masalah
Kecamatan Kayu Aro merupakan salah satu kecamatan yang menyumbang
lebih dari 50 persen produksi kentang di Kabupaten Kerinci setiap tahunnya.
pasar yang ada di Kabupaten Kerinci, namun juga dilakukan sampai
pasar-pasar yang berada di luar Kabupaten Kerinci, bahkan dipasar-pasarkan sampai di luar
Provinsi Jambi. Semakin jauh daerah tujuan pemasaran kentang, maka semakin
banyak lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses pemasaran kentang
dari petani ke konsumen. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan harga di tingkat
petani dan di tingkat konsumen (Tabel 5) yang berarti adanya margin tataniaga
yang di ambil oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat.
Penurunan harga kentang di tingkat petani yang terjadi pada bulan Januari
2012 (Tabel 5) sebesar 68,4 persen dari harga rata-rata pada tahun sebelumnya
membuat resah petani kentang di Kecamatan Kayu Aro, karena dari harga yang
mereka terima tersebut, mereka mendapat keuntungan yang rendah, bahkan bagi
sebagian petani harga tersebut tidak memberikan mereka keuntungan sama sekali,
karena impas dengan biaya yang harus mereka keluarkan untuk bertanam kentang.
Ketidakseimbangan harga yang diterima petani dengan harga di tingkat pedagang
pengecer dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti tingginya biaya tataniaga
yang digunakan dalam kegiatan pemasaran kentang hingga ke tingkat konsumen
akhir, dan kurangnya informasi pasar yang dibutuhkan oleh pelaku pasar yang terlibat dalam aktivitas pemasaran. Informasi pasar dikatakan baik
ketersediaannya apabila pasar pada wilayah produksi terintegrasi cukup kuat
dengan pasar di wilayah konsumsi. Dengan demikian perubahan harga dapat
segera diketahui dan akhirnya proses pengambilan keputusan oleh petani dapat
dilakukan dengan baik dan tepat.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan permasalahan yang akan diteliti
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sistem tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten
Kerinci?
2. Bagaimana penyebaran margin, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing saluran tataniaga kentang di Kecamatan
Kayu Aro, Kabupaten Kerinci?
3. Bagaimana efisiensi operasional dan efisiensi harga pada sistem tataniaga
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian yang berjudul
―Analisis Sistem Tataniaga Kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci,
Provinsi Jambi‖ ini adalah :
1. Mengidentifikasi saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga kentang di
Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci.
2. Menganalisis struktur, perilaku dan keragaan pasar dari sistem tataniaga
kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci.
3. Menganalisis margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap saluran tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro,
Kabupaten Kerinci.
4. Menganalisis efisiensi operasional dan efisiensi harga dari sistem tataniaga
kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak
terkait. Adapun pihak–pihak yang dapat menggunakan hasil penelitian ini adalah : 1. Petani dan Lembaga Tataniaga Kentang
Penelitian ini dapat memberikan bahan informasi untuk melaksanakan
kerjasama yang saling menguntungkan dalam pemasaran.
2. Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan
pertimbangan dalam penetapan kebijakan untuk perkembangan agribisnis
komoditas kentang mulai dari subsistem sarana produksi, usahatani, hingga
pada subsistem pemasaran.
3. Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan referensi
ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai pemasaran
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi kegiatan sistem tataniaga dan
keterpaduan pasar kentang. Hal ini ditinjau melalui saluran, lembaga dan fungsi
tataniaga, analisis struktur dan perilaku pasar dan efisiensi tataniaga yang meliputi
margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan, dan indeks keterpaduan pasar. Penelitian ini dibatasi pada lembaga tataniaga kentang yang terlibat di
Kecamatan Kayu Aro hingga pedagang besar yang ada di Kabupaten Kerinci,
Kota Jambi, dan Kota Bukittinggi. Saluran tataniaga yang diteliti dibatasi pada
pola saluran tataniaga yang memasarkan komoditas kentang dalam bentuk
kentang mentah (tidak diolah) hingga ke konsumen akhir yaitu konsumen rumah
tangga.
Data harga yang digunakan untuk menganalisis keterpaduan pasar adalah
data harga rata-rata bulanan selama periode 2007-2011. Data harga terdiri atas
data harga di tingkat petani di Kabupaten Kerinci dan harga kentang ditingkat
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Umum Kentang
Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan jenis tanaman sayuran semusim, berumur pendek dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk
tanaman semusim. Umur kentang berkisar antara 90-180 hari bergantung pada
varietasnya. Tanaman kentang umumnya berdaun rimbun dan letak daun
berseling-seling mengelilingi batang dengan bentuk daun oval sampai oval agak
bulat dan ujungnya meruncing. Batangnya berbentuk segi empat atau segi lima,
bergantung pada varietasnya. Sistem perakaran tanaman kentang adalah perakaran
tunggang dan serabut. Diantara akar – akar tersebut ada yang akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi bakal umbi (stolon) dan selanjutnya menjadi umbi
kentang. Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), kentang diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Tubiflorae
Famili : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum tuberosum L.
2.2 Varietas Kentang
Dalam sejarah perkembangan teknologi pemuliaan tanaman sejak
dimulainya pembangunan lima tahun pertama (tahun 1969), khususnya kentang,
telah menghasikan beberapa varietas yaitu: varietas Thung, Cosima, Patrones,
Desiree, Radosa, Catella, Donata, dan Rapan. Penelitian selanjutnya akhirnya
dapat menemukan varietas baru yang dapat meningkatkan produksi kentang yaitu
varietas Granola. Varietas Granola lebih populer dibandingkan varietas baru
lainya yaitu seperti French Fries, Diamant, Cardinal, Primiere, Ausonia, Famosa, Hertha, Sante, Cipanas, Segunung, Alpha, Draga, Narita, Spunta, Redpontiac,
keunggulannya masing-masing, yaitu tampak dari segi bentuk, ukuran, warna
daging umbi, kadar gula, dan kadar air umbi yang dihasilkan. Selain itu juga
tampak dari segi daya adaptasi terhadap lingkungan, ketahanan terhadap hama dan
penyakit, serta produktivitas tanaman. Berikut deskripsi beberapa varietas kentang
yang laku di pasaran dan memiliki nilai ekonomi tinggi adalah :
1. Varietas Granola
Varietas Granola berpotensi produksi tinggi, yaitu mencapai 30-35 ton/ha.
Umbi berbentuk bulat sampai oval dan berkualitas baik. Kulit dan daging
umbi berwarna kuning. Umur tanaman ini tergolong pendek, yakni 80-90
hari.
2. Varietas Cipanas
Varietas ini merupakan hasil persilangan antara varietas Thung 1510 dengan
Desiree. Varietas ini termasuk jenis kentang berbunga yang mampu tumbuh
mencapai ketinggian 50-56 cm. Potensi hasil dapat mencapai 34 ton/ha dan
dapat dipanen pada umur 95-105 hari.
3. Vairetas Cosima
Varietas Cosima diintroduksi dari Jerman Barat. Umbi memiliki permukaan yang rata, kulit berwarna kuning muda, dan daging berwarna kuning tua.
Potensi hasil mencapai 36 ton/ha, dengan umur panen 101 hari.
4. Varietas Segunung
Varietas ini merupakan hasil persilangan antara varietas Thung 151C dengan
Desiree. Varietas ini memiliki umbi berbentuk bulat lonjong, dan kulit serta
daging umbi berwarna kuning. Potensi hasil mencapai 25 ton/ ha.
2.3 Syarat Tumbuh
Persyaratan kebutuhan hidup tanaman kentang meliputi : ketinggian, suhu,
cahaya, dan tanah.
1. Ketinggian
Daerah yang cocok untuk menanam kentang adalah dataran tinggi atau daerah
pegunungan dengan ketinggian 1.000–3.000 meter diatas permukaan laut (mdpl). Batasan minimum ketinggian lahan yang masih bisa ditanami kentang
2. Suhu
Suhu rata – rata yang sesuai untuk pertumbuhan kentang adalah 18o – 21oC. sedangkan suhu tanah optimum untuk pembentukan umbi yang normal
berkisar antara 15o –18oC, pertumbuhan umbi akan terhambat bila suhu tanah kurang dari 10oC atau lebih dari 30oC.
3. Cahaya
Faktor cahaya penting untuk pertumbuhan adalah intensitas cahaya dan lama
penyinaran. Semakin tinggi intensitas cahaya yang diterima maka akan
mempercepat proses pembentukan umbi dan waktu pembungaan yaitu 1.200
foot candle. Lama penyinaran yang diperlukan oleh tanaman kentang untuk proses fotosintesis adalah 9–10 jam per hari. Lama penyinaran juga berpengaruh terhadap pembentukan umbi terutama pada saat umbi baru mulai
terbentuk dan pada tahap perkembangan umbi di dalam tanah.
4. Tanah
Tanaman kentang membutuhkan tanah yang subur, gembur, banyak
mengandung bahan organik, bersolum dalam, aerasi dan drainase yang baik
dengan tingkat pH 5,0-6,5. Derajat kemiringan tanah yang diterima adalah kurang dari 30 persen selebihnya sudah merupakan faktor penghambat yang
besar. Pembudidayaan kentang ditempat miring atau bergelombang
memerlukan terasering dan tanggul-tanggul.
2.4 Panen dan Pasca Panen
Panen adalah proses pengambilan komponen-komponen produksi dengan
tujuan untuk dikonsumsi, diolah, dipasarkan atau digunakan untuk keperluan
lainnya. Sedangkan penanganan pascapanen meliputi semua kegiatan perlakuan
dan pengolahan langsung terhadap produk pangan, tanpa mengubah struktur asli
produk.
Pemanenan dilakukan dengan memperhatikan dua hal, yaitu umur
tanaman dan teknik memanen. Kentang dipanen apabila telah cukup umur yaitu
90–120 hari atau dengan melihat ciri tanaman yang siap panen yaitu, daun dan batang berwarna kekuning–kuningan tetapi bukan karena penyakit. Dalam pemanenan terdapat dua cara, yaitu (1) umbi dibongkar dnegan mencangkul tanah
(2) umbi dibongkar dengan menggemburkan tanah dari sebelah kiri dan kanan
sepanjang bedengan lalu umbi dibongkar dengan cara mencabutnya. Umbi
kentang yang telah dipanen dibiarkan terlebih dahulu beberapa saat hingga tanah
yang menempel terlepas dan umbi mengering.
Kegiatan pascapanen yang dilakukan untuk komoditas kentang meliputi
pembersihan, sortasi dan grading, penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan. Kegiatan pembersihan dilakukan untuk mengurangi atau meniadakan jasad-jasad
renik, sisa-sisa tanah yang masih tertempel dan berbagai macam kotoran yang bisa
menjadi sumber patogen dan dapat merusak umbi pada saat proses penyimpanan.
Sortasi dilakukan untuk memisahkan umbi yang baik dan sehat, yaitu umbi yang
tidak cacat dan tidak terserang hama atau penyakit. Kegiatan sortasi ini dapat
mencegah penularan penyakit dari umbi yang rusak. Setelah kegiatan sortasi,
dilakuan grading yaitu pengelompokkan umbi kentang yang sehat menurut ukuran umbi, varietas, dan tingkat ketuaan umbi. Mutu kentang secara umum
dapat dibedakan menjadi empat golongan mutu, yaitu :
1) Mutu super (Kelas I), mempunyai bobot 250-400 gram
2) Mutu besar (Kelas II), mempunyai bobot 100-250 gram 3) Mutu Sedang (Kelas III), mempunyai bobot 60-100 gram
4) Mutu Kecil (Kelas IV), mempunyai bobot 30-60 gram
Penyimpanan kentang untuk dikonsumsi dilakukan di dalam ruang gelap,
suhu yang rendah dan kelembapan yang sedang. Ruang penyimpanan harus
benar-benar terlindungi dari cahaya, karena cahaya dapat merangsang pertumbuhan
tunas dan warna umbi berubah menjadi hijau yang menunjukkan adanya racun
solanin yang berbahaya bagi tubuh. Kentang yang keadaannya seperti itu nilai ekonomisnya akan turun. Sortasi dan pengelompokkan mutu dapat dilakukan di
gudang penyimpanan atau dapat juga dilakukan di kebun setelah panen.
Kegiatan pengemasan bertujuan untuk melindungi hasil-hasil pertanian
dari kerusakan mekanis ataupun kerusakan fisiologis. Bahan pengemas kentang
dapat berupa peti kayu, krat, yang berbentuk silinder atau segi empat yang
memiliki ventilasi. Pada kegiatan pengemasan hendaknya diberi pelindung berupa
jerami atau guntingan-guntingan kertas pada dasar dan tepi alat pengemar agar
dengan baik dan memperhatikan penataan barang di dalam alat angkut.
Penyesuaian penggunaan alat angkut dengan jarak tempuh yang dituju dan
volume yang hendak diangkut juga perlu diperhatikan agar penggunaan alat
angkut lebih efisien dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi.
2.5 Penelitian Terdahulu
2.5.1 Penelitian mengenai Sistem Tataniaga
Penelitian Agustina (2008) mengidentifikasi saluran, lembaga dan fungsi
tataniaga, dan menganalisis keragaan pasar, margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya pada komoditas kubis di Desa Cimenyan,
Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Terdapat tiga saluran tataniaga kubis
di Desa Cimenyan yaitu: (1) Petani Pedagang Pengumpul I Grosir
Pengecer Konsumen. (2) Petani Pedagang Pengumpul II Grosir
Pengecer Konsumen. (3) Petani Grosir Pengecer Konsumen. Saluran
dua dibagi menjadi dua bagian, pertama pemasaran di daerah produksi (lokal) dan
kedua pemasaran di luar daerah produksi.
Struktur pasar yang dihadapi petani kubis dan pedagang pengumpul I yaitu
oligopsoni. Pedagang pengumpul II, grosir dan pengecer menghadapi pasar
oligopoli. Perilaku pasar diidentifikasi dengan mengamati kegiatan tataniaga
dalam proses pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem
pembayaran dan kerjasama antar lembaga tataniaga kubis di Desa Cimenyan.
Alternatif saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar
bagi petani dibandingkan dengan saluran lainnya berdasarkan nilai total margin,
farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya adalah saluran tiga dengan nilai
total margin sebesar Rp 1.681,87, farmer’s share terbesar yaitu 55,81 persen, rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 2,28.
Rachma (2008) melakukan penelitian mengenai Efisiensi Tataniaga Cabai
Merah (Studi Kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis,
Provinsi Jawa Barat). Pendekatan penelitian dilakukan melalui analisis deskriptif
terhadap analisis saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga, analisis struktur dan
perilaku pasar. Selain itu, analisis secara kuantitatif juga dilakukan terhadap
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima jenis saluran tataniaga
cabai merah di Desa Cibeureum. Saluran tataniaga I : pedagang pengumpul
pedagang grosir pedagang pengecer II. Saluran tataniaga II terdiri dari
pedagang pengumpul pedagang gosir pedagang pengecer I dan pedagang
pengecer II. Saluran tataniaga III terdiri dari pedagang pengumpul pedagang
grosir pedagang pengecer II. Sedangkan saluran tataniaga IV terdiri dari
pedagang pengumpul pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II. Saluran
V terdiri dari pedagang pengumpul pedagang pengecer I.
Struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah di Desa
Cibeureum adalah monopsoni karena hanya ada satu pedagang pengumpul yang
menampung langsung keseluruhan hasil pertanian cabai merah dari petani di Desa
Cibeureum dan beberapa penjual di setiap tingkat lembaga tataniaga lainnya.
Analisis perilaku pasar menunjukkan bahwa terjadi transaksi dengan nota
penjualan antara petani, pedagang pengumpul, dan pedagang grosir. Sedangkan
transaksi antara pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II
adalah secara tunai. Lembaga penentu harga cabai merah adalah pedagang grosir.
Hasil analisis margin tataniaga menunjukkan margin terbesar terdapat pada saluran II, III, dan IV, sedangkan margin terkecil terdapat pada saluran I dan
V. Secara operasional dari kelima saluran tataniaga cabai merah yang ada, saluran
V merupakan saluran tataniaga yang paling efisien. Hal ini terlihat dari margin
tataniaga yang rendah, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya yang paling tinggi.
Pada penelitian ini, juga diberikan alternatif saluran yang memberikan
keuntungan bagi petani dengan membuat beberapa skenario saluran tataniaga
yang belum dilakukan oleh petani melalui pendekatan margin tataniaga, farmer’s
share, dan rasio keuntungan dan biaya. Berdasarkan analisis skenario alternatif saluran tataniaga dengan pendekatan margin tataniaga, saluran tataniaga cabai
merah yang paling efisien adalah saluran X dan XI yang memberikan margin
tataniaga paling kecil. Hal ini dikarenakan volume pembelian dari kedua jenis
pedagang pengecer tersebut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pedagang
volume pembelian yang dilakukannya relatif besar sehingga semua hasil panen
petani dapat disalurkan.
Penelitian A’yun (2010) menganalisis sistem tataniaga bawang daun (Allium fistulosum L.) di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur. Saluran tataniaga pada sistem tataniaga bawang daun di kawasan agropolitan berjumlah
dua saluran utama yaitu saluran I terdiri dari petani pedagang pengumpul desa
pedagang pengecer (Pasar Bekasi) konsumen, saluran II terdiri dari petani
pedagang pengumpul desa pedagang grosir (Pasar Induk) pedagang
pengecer (Pasar Tradisional di Depok, Jakarta, Tanggerang) konsumen, dan
dua saluran alternatif yaitu saluran III terdiri dari petani pedagang pengumpul
desa konsumen (restoran), dan saluran IV terdiri dari petani pedagang
pengumpul desa supplier pedagang pengecer (Supermarket) konsumen.
Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bawang daun adalah pasar
bersaing. Pedagang pengumpul dengan supplier, dan restoran menghadapi struktur
pasar oligopsoni. Pedagang pengumpul dengan pedagang grosir dan pedagang
pengecer menghadapi struktur pasar bersaing. Supermarket menghadapi struktur
pasar oligopoli, dan pedagang pengecer di pasar tradisional menghadapi pasar bersaing. Saluran tataniaga yang paling efisien adalah saluran II yaitu dengan
biaya tataniaga paling rendah yaitu Rp 1.785,96 per kilogram, dan nilai rasio dan
keuntungan biaya yang paling besar yaitu 1,52.
Noviana (2011) melakukan penelitian mengenai Analisis Sistem Tataniaga
Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur). Ada dua pola saluran tataniaga jamur
tiram putih yang terbentuk dengan volume penjualan 430 kg per hari. Saluran I :
Petani Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Besar/ Grosir Pedagang
Pengecer Konsumen Akhir. Saluran II : Petani Konsumen Akhir (rumah
tangga). Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga
yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas.
Struktur pasar yang terjadi antara petani jamur tiram putih dan pedagang
pengumpul di Desa Cipendawa cenderung mengarah pada pasar monopsoni,
struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengumpul desa dan pedagang
pedagang besar/grosir dengan pedagang pengecer cenderung mengarah kepada
oligopoli murni, serta struktur pasar yang terjadi di tingkat pedagang pengecer
dengan konsumen akhir cenderung mengarah ke struktur persaingan murni.
Margin tataniaga terdapat pada saluran I sedangkan saluran II tidak
memiliki margin tataniaga. Hal ini disebabkan pada saluran dua penjualan jamur
tiram putih tidak melibatkan lembaga-lembaga tataniaga perantara.
Penelitian Wacana (2011) menganalisis pola saluran, fungsi, struktur dan
perilaku pasar, serta efisiensi saluran tataniaga bawang merah di Kelurahan
Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Saluran tataniaga bawang merah
di Kelurahan Brebes terdiri dari empat saluran tataniaga, yaitu pola saluran
tataniaga I : Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Pengirim Pedagang
Besar Non Lokal (Sumatera) Pedagang Pengecer Non Lokal (Sumatera)
Konsumen Non Lokal. Sedangakn pola saluran tataniaga II : Petani Pedagang
Pengumpul Pedagang Pengirim Pedagang Besar Non Lokal (Jawa)
Pedagang Pengecer Non Lokal (Jawa) Konsumen Non Lokal. Pola saluran
tataniaga III : Petani Pedagang Besar Lokal Pedagang Pengecer Lokal
Konsumen Lokal, dan pola saluran tataniaga IV: Petani Pedagang Pengecer Lokal Konsumen Lokal.
Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bersifat persaingan sempurna,
struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul dan pedagang pengirim lebih
mengarah kepada pasar oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang
pengecer adalah pasar persaingan monopolistik. Sistem penentuan harga baik di
tingkat petani hingga pedagang pengecer terjadi melalui proses tawar menawar
hingga tercapai kesepakatan bersama.
Berdasarkan analisis efisiensi tataniaga yang dilakukan terhadap empat
pola saluran tataniaga bawang merah yang terjadi di Kelurahan Brebes didapat
bahwa pola saluran IV merupakan pola saluran yang paling efisien, karena
memiliki margin tataniaga yang kecil dan farmer’s share yang besar, namun jumlah petani responden yang terlibat dalam pola saluran IV relatif sedikit
dibandingkan pola saluran lain. Pola saluran tataniaga I dianggap sebagai pola
saluran yang paling menguntungkan bagi petani ataupun bagi lembaga tataniaga
bawang merah yang lebih besar sehingga menghasilkan keuntungan total yang
lebih besar pula.
2.5.2 Penelitian mengenai Analisis Keterpaduan Pasar
Agustina (2008) menganalisis keterpaduan pasar kubis antara pasar
produsen-pasar Induk Caringin dan pasar produsen - pasar Induk Kramat Jati.
Analisis keterpaduan pasar kubis ini menggunakan metode Autoregressive Distributed Lag model dan Index of Market Connection (IMC). Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan bahwa pada kedua pola analisis tersebut
memiliki keterpaduan jangka pendek dengan nilai IMC masing-masing < 1 yaitu
0,920 dan 0,228. Nilai koefisien b2 pada masing-masing analisis < 1 yaitu 0,459
dan 0,674. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keterpaduan jangka panjang
antara kedua pola tersebut. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis ini adalah tidak bersaing
sempurna.
Rachma (2008) melakukan analisis keterpaduan pasar cabai merah antara
pasar petani di Desa Cibereum dengan Pasar Induk Caringin Bandung sebagai
pasar acuan. Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan nilai IMC > 1, yaitu
sebesar 2,205 artinya tidak ada keterpaduan jangka pendek dan nilai koefisien 2b
memiliki nilai < 1, yaitu sebesar 0,275 menunjukkan tidak ada keterpaduan jangka
panjang. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pasar yang terjadi dalam
tataniagacabai merah ini adalah tidak bersaing sempurna. Persaingan yang tidak
sempurna dalam tataniaga cabai merah ini menunjukkan bahwa sistem tataniaga
cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.
Dari hasil-hasil penelitian terdahulu dapat dilihat bahwa pada umumnya
sistem tataniaga komoditas hortikultura di Indonesia belum efisien. Hal ini dapat
dilihat dari sebaran margin yang tidak merata diantara lembaga tataniaga yang
terlibat. Petani sebagai produsen memperoleh bagian yang lebih kecil
dibandingkan dengan pedagang. Selain itu juga, informasi harga pasar dari tingkat
pedagang tidak dapat disalurkan dengan baik kepada pasar di tingkat petani.
Artinya, diantara kedua tingkat pasar tersebut tidak terdapat keterpaduan pasar.
Alat analisis yang paling banyak untuk menganalisis tingkat keterpaduan
ini dapat mengurangi kelemahan model analisis korelasi harga yang menganggap
perubahan harga di tingkat konsumen dengan produsen bergerak pada waktu yang
sama. Dengan demikian diharapkan hasil analisis dengan mempertimbangkan
perubahan (harga) pada waktu sebelumnya dapat lebih menunjukkan kondisi
sebenarnya. Atas pertimbangan tersebut, untuk menganalisis tingkat keterpaduan
pasar digunakan alat analisis model Ravallion dan Heytens (1986).
Terdapat beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya yaitu terletak pada komoditas, waktu dan lokasi tempat penelitian
dilakukan. Pada penelitian ini dianalisis keterpaduan pasar kentang, yaitu pasar
lokal (produsen) dengan menggunakan satu pasar acuan yaitu Pasar Induk
III
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Konseptual 3.1.1 Konsep Tataniaga
Tataniaga pertanian adalah sejumlah kegiatan bisnis yang ditujukan untuk
memberikan kepuasan dari barang atau jasa yang dipertukarkan dengan konsumen
atau pemakai dalam bidang pertanian, baik input, maupun produk pertanian
(Purcell 1979). Tataniaga pertanian menganalisis semua aktivitas bisnis yang
terjadi dengan produk pertanian atau produk agribisnis, setelah produk tersebut
lepas dari produsen primer sampai ke tangan konsumen akhir.
Pada kegiatan tataniaga, terdapat banyak pihak yang terlibat karena para
petani pada umumnya tidak menjual langsung hasil panennya kepada konsumen
akhir. Pihak yang terlibat tersebut adalah perantara yang berperan dalam
memberikan perlakuan khusus terhadap produk pertanian dan mengalirkannya
hingga berada di tangan konsumen akhir. Menurut Abbott (1990) tugas dan
tanggung jawab pelaku tataniaga adalah :
1. Mencari pembeli dan mengalihkan kepemilikan.
2. Penyusunan dan penyimpanan.
3. Menyortir, mengepak, dan mengolah.
4. Menyediakan pembiayaan untuk tataniaga dan pengambilan risiko.
5. Memilah-milah dan menyajikan kepada konsumen.
Menurut Mubyarto (1983), fungsi dan peranan tataniaga adalah
mengusahakan agar pembeli memperoleh barang yang diinginkan pada tempat,
waktu, bentuk, dan harga yang tepat. Salah satu pendekatan dalam menganalisis
sistem tataniaga adalah pendekatan Structure-Conduct-Performance (S-C-P). Tipe-tipe perbedaan pasar digolongkan dalam kelompok market structure. Praktik-praktik bisnis dikelompokkan dalam market conduct dan pengaruh-pengaruh terhadap harga dan output digolongkan dalam market performance.
Pendekatan S-C-P bersifat dinamis dan menekankan pada aspek deskriptif,
bersifat kasus-kasus, pembahasan aspek kelembagaan secara lebih detail
tataniaga yaitu : pendekatan kelembagaan (the institutional approach), pendekatan fungsional (the functional approach) dan pendekatan sistem perilaku (the behavioral approach).
3.1.2 Kelembagaan dan Saluran Tataniaga
Lembaga tataniaga adalah badan yang menyelenggarakan kegiatan atau
fungsi tataniaga, dimana terdiri dari golongan produsen, pedagang perantara dan
lembaga pemberi jasa. Saluran tataniaga (marketing channel) adalah saluran yang digunakan untuk menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke tangan
konsumen, dimana di dalamnya terlibat beberapa lembaga tataniaga (Limbong
dan Sitorus 1987). Setiap pelaku tataniaga akan memperoleh keuntungan yang
berbeda dalam proses tataniaga.
Beberapa faktor penting perlu dipertimbangkan dalam pemilihan saluran
tataniaga adalah ;
1. Pertimbangan pasar, meliputi konsumen akhir dengan melihat potensi
pembeli, geografi pasar, kebiasaan pembeli, dan volume tataniaga.
2. Pertimbangan barang, meliputi nilai barang per unit, besar, berat, harga,
tingkat kerusakan, dan jenis barang.
3. Pertimbangan intern perusahaan, meliputi sumber permodalan, pengalaman
manajemen, pengawasan, penyaluran dan pelayanan.
4. Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai tataniaga, meliputi segi
kemampuan lembaga perantara dan kesesuaian lembaga perantara dengan
kebijakan perusahaan.
Semakin jauh jarak pasar antara produsen dan konsumen akan
mengakibatkan panjangnya rantai tataniaga serta banyaknya fungsi-fungsi
tataniaga yang dilakukan. Selain itu banyaknya jumlah lembaga yang terlibat
dalam saluran tataniaga juga dipengaruhi oleh sifat komoditinya apakah cepat
rusak atau tidak. Komoditi yang cepat rusak membutuhkan rantai tataniaga yang
pendek dan harus dengan cepat diolah atau langsung diterima oleh konsumen.
Kemudian saluran tataniaga tergantung pula pada skala produksi. Bila produksi
berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil, maka jumlah produk yang dihasilkan
berukuran kecil pula, dan akan tidak menguntungkan bila produsen menjual
diharapkan, dan saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang. Kekuatan
modal dan sumberdaya yang dimiliki juga berpengaruh bagi keterlibatan
lembaga-lembaga tersebut dalam saluran tataniaga karena produsen atau pedagang yang
posisi modalnya kuat akan dapat melakukan lebih banyak fungsi tataniaga
sehingga tataniaga dapat diperpendek.
Menurut Kohls dan Uhl (2002), pendekatan kelembagaan (the institutional approach) lebih menekankan kepada orang atau lembaga tataniaga yang menjadi pelaku aktivitas (fungsi-fungsi) tataniaga. Pelaku aktivitas tataniaga
dalam produk pertanian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Pedagang perantara (merchant middleman) yang terdiri dari pengecer (retailers) dan grosir (wholesalers). Pedagang perantara mempunyai hak dan kepemilikan atas produk yang mereka tangani dan melakukan aktivitas jual
beli untuk memperoleh keuntungan bagi mereka sendiri. Pengecer membeli
produk dan menjualnya secara langsung kepada konsumen akhir. Grosir
membeli secara langsung dari petani atau pedagang pengumpul lalu menjual
kepada pengecer, grosir di kota lain atau kepada industri pengolahan.
2. Agen perantara (agent middleman) yang terdiri dari makelar (brokers) dan komisioner (comission man). Agen perantara bertindak hanya sebagai wakil dari klien mereka dan tidak memiliki hak dan kepemilikan atas produk yang
mereka tangani. Agen perantara memberikan jasa penjualan atau pembelian
karena keahliannya dalam tawar menawar dan mempunyai pengetahuan
pasar. Agen memperoleh pendapatan dalam bentuk upah dan komisi.
Komisioner mempunyai wewenang yang lebih banyak karena dapat
menangani produk secara fisik, mengatur waktu penjualan dan tugas-tugas
lainnya tetapi makelar mempunyai wewenang yang lebih terbatas dan tidak
menangani produk secara fisik serta mengikuti peraturan dari klien.
3. Perantara Spekulatif (speculative middleman) yaitu perantara yang mempunyai kepemilikan atas produk dengan tujuan utama memperoleh
keuntungan dari pergerakan harga. Perantara spekulatif berperan dalam
mengambil risiko fluktuasi harga dengan penanganan minimum pada produk.
pertanian primer menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir. Aktivitas
pabrik pengolah menambah kegunaan waktu, tempat, bentuk, dan
kepemilikan.
5. Organisasi pemfasilitasi (facilitative organizations) yang berperan untuk membantu atau memperlancar berbagai pelaku tataniaga dalam melakukan
tugasnya. Fasilitator melakukan aktivitas seperti membuat
peraturan-peraturan, kebijakan, asosiasi, jasa pengangkutan produk atau fungsi fasilitas
spesifik lainnya.
3.1.3 Fungsi – Fungsi tataniaga
Fungsi-fungsi tataniaga merupakan berbagai kegiatan atau aktivitas bisnis
yang terjadi dalam penyaluran barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
Apabila fungsi-fungsi tataniaga berperan sebagaimana mestinya, tataniaga dapat
meningkatkan nilai ekonomi dan nilai tambah hasil produksi (Limbong dan
Sitorus 1987).
Pendekatan fungsional (the functional approach) menurut Kohls dan Uhl (2002) bermanfaat dalam mempertimbangkan bagaimana pekerjaan harus
dilakukan, menganalisis biaya-biaya tataniaga dan memahami perbedaan biaya
antar lembaga dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga.
Menurut Limbong dan Sitorus, fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi
tiga fungsi, yaitu :
1. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik
dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran terdiri dari dua
fungsi yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan
merupakan kegiatan yang bertujuan mencari dan mengusahakan agar ada
pembeli atau ada permintaan pasar yang cukup baik pada tingkat harga yang
menguntungkan. Fungsi pembelian adalah pembelian persediaan produksi
untuk diolah dan dijual kembali.
2. Fungsi fisik adalah semua kegiatan atau tindakan yang menimbulkan
kegunaan tempat, bentuk, waktu, pada barang dan jasa. Fungsi fisik meliputi
penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan.
a. Fungsi penyimpanan bertujuan untuk membuat produk tersedia
beberapa tindakan untuk menjaga mutu, terutama hasil-hasil
pertanian yang mempunyai sifat mudah rusak.
b. Fungsi pengolahan merupakan kegiatan yang mengubah betuk
dasar dari produk.
c. Fungsi pengangkutan bertujuan untuk membuat produk tersedia
pada tempat yang sesuai. Jenis alat transportasi dan rute yang
dipilih berpengaruh terhadap biaya transportasi. Adanya
keterlambatan dalam pengangkutan dan jenis alat angkut yang
tidak sesuai dengan sifat barang yang diangkut dapat menimbulkan
kerusakan dan penurunan mutu barang yang bersangkutan.
3. Fungsi fasilitas adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan
pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas ini
terdiri dari fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan risiko,
fungsi pembiayaan dan fungsi informasi.
a. Fungsi standarisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu
suatu produk dengan berbagai bentuk, ukuran, kadar air, tingkat
kematangan, rasa, warna, dan kriteria lainnya. Grading merupakan tindakan menggabungkan suatu produk menurut standarisasi yang
diinginkan oleh pembeli.
b. Fungsi penanggungan risiko merupakan penerimaan atas
kemungkinan terjadinya kerugian karena kehilangan produk.
Risiko yang dihadapi dapat dibedakan menjadi risiko fisik dan
risiko pasar. Risiko fisik terjadi pada fisik produk karena
kecelakaan dan bencana alam. Risiko pasar terjadi karena fluktuasi
harga di pasar.
c. Fungsi pembiayaan dibutuhkan khususnya dalam kegiatan
operasional tataniaga.
d. Fungsi informasi merupakan kegiatan dalam mengumpulkan,
mengolah, dan menginterpretasikan data yang penting dalam
memperlancar operasi dari proses tataniaga. Penetapan harga yang
efektif tergantung dari seberapa baik pembeli dan penjual
3.1.4 Struktur pasar
Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan
keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar,
distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, deskripsi produk atau diferensiasi
produk, syarat-syarat masuk dan sebagainya atau penguasaan pangsa pasar.
Struktur pasar dicirikan oleh : (1) kosentrasi pasar (2) diferensiasi produk dan (3)
kebebasan untuk keluar masuk dalam pasar (Limbong dan Sitorus 1987).
Empat faktor penentu dari karakteristik suatu pasar : (1) jumlah atau
ukuran perusahaan (2) kondisi atau keadaan produk (3) kondisi keluar masuk
pasar dan (4) tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga,
misalnya biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan (Dahl dan Hammond
1977).
Hammond dan Dahl (1977) mengemukakan lima jenis struktur pasar
pangan dan serat dengan berbagai karakteristiknya yang secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, struktur pasar yang dihadapi oleh penjual
dapat berbentuk persaingan sempurna, persaingan monopolistik, oligopoli murni,
oligopoli diferensiasi, dan pasar monopoli. Sedangkan struktur pasar yang dihadapi oleh pembeli dapat berbentuk persaingan sempurna, persaingan
monopsonistik, oligopsoni murni, oligopsoni diferensiasi, dan pasar monopsoni.
Tabel 6. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat
Sumber : Dahl dan Hammond, 1977. No.
Karakteristik Struktur Pasar
Jumlah Penjual dan
Pembeli
Sifat Produk Sudut Penjual Sudut Pembeli
1 Banyak Homogen Persaingan sempurna Persaingan
sempurna
2 Banyak Diferensiasi Persaingan
monopolistik
Persaingan monopsonistik
3 Sedikit Homogen Oligopoli murni Oligopsoni
murni
4 Sedikit Diferensiasi Oligopoly
diferensiasi
Oligopsoni diferensiasi
3.1.5 Perilaku Pasar
Perilaku pasar adalah strategi produksi dan konsumsi dari lembaga
tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan pembelian dan
penjualan. Penentuan harga serta kerjasama antar lembaga tataniaga. Perilaku
pasar adalah pola tindak tanduk pedagang beradaptasi dan mengantisipasi setiap
keadaan pasar. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa perilaku pasar merupakan
tingkah laku lembaga tataniaga dalam struktur pasar yang meliputi kegiatan
penjualan, pembelian, penentuan harga dan siasat tataniaga. Perilaku pasar dapat
dilihat dari proses pembentukan harga dan stabilitas pasar. Serta ada tidaknya
praktek jujur dari lembaga tataniaga tersebut (Azzaino 1981). Ada empat
pendekatan sistem perilaku pasar, yaitu :
1. Input-output system, mencoba mengkombinasi atau memilih input melalui pengembangan teknologi, diversifikasi atau substitusi, sehingga kepuasan
konsumen meningkat dengan atau tanpa meningkatkan baiya (input).
2. Power system, dimana setiap perusahaan mempunyai kepentingan dan peranan yang berbeda. Sebagai market leader dapat mengembangkan produk melalui perbaikan kualitas, penetapan harga dan lain-lain kebijakan yang semakin memperkuat posisi. Berbeda dengan followers yang bergerak dalam ceruk pasar yang kecil dan mengikuti keputusan dari leaders. Secara teori
ekonomi dapat dijelaskan melalui monopoly dan imperfect competition behavior.
3. Communication system, mengembangkan sistem komunikasi antara pemilik perusahaan dengan tenaga kerja (buruh), pelanggan dan lain-lain.
4. The behavioral system for adapting to internal-external change, perusahaan perlu mengidentifikasi perubahan-peruabahan dan adaptasi terhadap
perubahan.
Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan
pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem
penentuan harga, kemampuan pasar menerima jumlah produk yang dijual,
stabilitas pasar dan pembayaran serta kerjasama diantara berbagai lembaga
tataniaga. Struktur dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat
dipasarkan sehingga akan memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem
tataniaga.
3.1.6 Margin Tataniaga dan Farmer’s Share
Insentif ekonomi merupakan salah satu faktor pendorong bagi petani
dalam menentukan pilihan komoditas pertanian yang akan diusahakan. Insentif
ekonomi tersebut diantaranya berupa bagian harga yang diterima petani, yang
dapat diketahui dari keragaan dan perkembangan margin tataniaganya.
Margin tataniaga didefenisikan sebagai perbedaan harga yang dibayar
konsumen dengan harga yang diterima produsen pada setiap level lembaga
tataniaga yang terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh lembaga
tataniaga (Limbong dan Sitorus 1987). Biaya tataniaga adalah semua jenis biaya
yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam sistem tataniaga
suatu komoditi dalam proses penyampaian barang dalam hal ini adalah kentang,
mulai dari petani sampai ke konsumen akhir. Keuntungan tataniaga adalah
pengurangan margin tataniaga dengan biaya-biaya tataniaga.
Pengertian statis dari margin tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat
petani (Pf) dengan harga di tingkat konsumen (Pr) atau MT = Pr– Pf. Pendekatan dinamis dari margin tataniaga merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa
pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas produktif atau konsep nilai tambah
(value added). Pengertian ini menunjukkan margin total atau Mi = Biaya-biaya tataniaga + keuntungan lembaga-lembaga tataniaga (Mi = Ci + πi). Pendekatan dinamis margin tataniaga ini juga memberikan pengertian semua proses bisnis dan
aliran tataniaga dengan menganalisis kelembagaan dan keseluruhan sistem, mulai
dari petani hingga konsumen akhir (Tomek dan Robinson 1990).
Dahl dan Hammond (1977) mendefenisikan margin tataniaga sebagai
perbedaan harga tingkat petani (Pf) dengan harga tingkat pengecer (Pr).
Sedangkan pengertian nilai margin tataniaga merupakan perkalian antara margin
Farmer’s share merupakan persentase perbandingan harga yang diterima petani (Pf) dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir (Pr). Secara
matematis farmer’s share (Fsi) dapat dirumuskan sebagai berikut :
Fsi = �
�� x 100%
Farmer’s share mempunyai nilai yang relatif lebih rendah jika harga
ditingkat konsumen akhir relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga yang
diterima oleh petani. Sebaliknya farmer’s share mempunyai nilai yang sangat relatif lebih tinggi jika harga di tingkat konsumen akhir tidak terpaut jauh jika
dibandingkan dengan harga yang diterima oleh petani.
3.1.7 Efisiensi Tataniaga
Dalam kegiatan tataniaga yang sering terjadi pertentangan kepentingan
dari tiga pihak yaitu produsen yang menghendaki hasil dari penghasilan yang baik, konsumen akhir yang menghendaki harga barang yang relatif murah dan
lembaga tataniaga yang menginginkan keuntungan yang tinggi. Namun
kenyataanya adalah petani atau produsen banyak dirugikan karena banyak
menerima harga yang relatif rendah. Hal yang mungkin menjadi alternatif
pemecahan yaitu dengan menekankan biaya tataniaga atau memperkecil margin
keuntungan dari tiap lembaga tataniaga. Biaya tataniaga tiap lembaga akan
mempengaruhi harga yang diterima oleh petani dan konsumen.
Sistem tataniaga yang produktif dan efisien bersumber pada penggunaan
sumberdaya yang efisien dalam proses penciptaan waktu, bentuk, dan tempat
dalam pergerakan barang dan jasa dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen
(Azzaino 1981). Efisiensi tataniaga adalah maksimisasi dari rasio input dan
output. Perubahan yang mengurangi biaya input tanpa mengurangi kepuasan
konsumen akan meningkatkan efisiensi. Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui
dua cara yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional
adalah efisiensi yang menekankan pada minimisasi biaya untuk melakukan fungsi
tataniaga. Dalam kenyataan di lapang, untuk mengetahui besaran indikator
efisiensi operasional (teknik), banyak peneliti menggunakan analisis margin
adalah kajian biaya-biaya tataniaga dan kegiatan produktif (fungsi-fungsi dan
lembaga tataniaga) mulai dari petani hingga ke konsumen akhir. Menurut
Asmarantaka (2009), efisiensi operasional lebih tepat menggunakan rasio antara
keuntungan (π) dengan biaya (C) karena pembanding oppurtunity cost dari biaya
adalah keuntungan, sehingga indikatornya adalah π/C dan nilainya harus positif.
Jika penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya merata pada setiap lembaga
tataniaga, maka secara teknis saluran tataniaga tersebut semakin efisien. Rasio
keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Rasio keuntungan/biaya (π/C) = �� � Keterangan : πi : Keuntungan lembaga tataniaga ke-i
Ci : Biaya pemasaran lembaga tataniaga ke-i
Efisiensi harga menekankan pada harga di berbagai tingkat lembaga pasar
dalam mengalokasikan komoditas dari produsen ke konsumen yang disebabkan
perubahan tempat, waktu, dan bentuk komoditas (Asmarantaka 2009). Hubungan
harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen
akhir dapat didekati dengan pendekatan korelasi harga dan model keterpaduan
pasar yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan dilanjutkan oleh Heytens
(1986).
Heytens (1986) mengemukakan bahwa dalam suatu pasar yang terintegrasi
secara efisien, akan selalu terdapat korelasi positif diantara harga dilokasi pasar
yang berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah
satu pasar disalurkan ke pasar lain. Keterpaduan pasar dapat terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat
dari satu pasar ke pasar lainnya. Ravalion (1986) mengembangkan model
keterpaduan pasar yang disebut metode autoregresive distributed lag model atau model autoregresi yang dilanjutkan oleh Heytens (1986). Model autoregresi
tersebut dapat mengurangi kelemahan model analisis korelasi harga yang
menganggap perubahan harga ditingkat konsumen dan produsen bergerak pada
Menurut Ravallion (1986) model keterpaduan pasar dapat digunakan
untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga di pasar
rujukan (acuan) dengan mempertimbangkan harga pada waktu tertentu (t) dan
harga pada waktu sebelumnya (t-1). Aktivitas pasar-pasar tersebut dihubungkan
oleh adanya arus komoditas, sehingga harga dan jumlah komoditas yang
dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain.Model statistik
yang mampu menjelaskan perubahan harga bulanan pada pasar lokal sebagai
fungsi dari beberapa variabel bebas menurut Heytens (1986) adalah sebagai
berikut :
Pit– Pit-1= (1+b1)Pit-1+ b2(Pjt– Pjt-1) + (b3 – b1) P
jt-1
+ b4Xt+ et...(1) Dimana :Pit = Harga di tingkat pasar lokal (ke-i) pada waktu ke-t
Pit-1 = Harga di tingkat pasar lokal pada waktu sebelumnya (t-1)
Pjt = Harga di tingkat pasar acuan untuk waktu ke-t
Pjt-1 = Harga di tingkat pasar acuan pada waktu sebelumnya (t-1)
Xt = Peubah exogenus (musim panen atau regional)
et = Random error
bt = Parameter estimasi
Jika diasumsikan bahwa deret waktu di pasar lokal dan pasar acuan
mempunyai pola musim yang sama, maka tidak perlu memasukkan peubah
boneka (Xt) untuk musim setempat. Untuk memudahkan interpretasi hasil maka
persamaan di atas disederhanakan lagi menjadi :
Pit = (1+b1)Pit-1+ b2(Pjt– Pjt-1) + ( b3 - b1) Pjt-1+ et...(2)
Dimana model akan diduga dengan menggunakan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) sebagai berikut :
Pit = 1Pit-1 + 2(Pjt– Pjt-1) + 3Pjt-1+ et...(3) Dimana :
1 = 1 + b1
2 = b2
1 = Koefisien perubahan harga di tingkat pasar lokal
2 = Koefisien perubahan margin harga di tingkat pasar acuan 3 = Koefisien perubahan harga di tingkat pasar acuan
Secara umum persamaan di atas menunjukkan bagaimana harga disuatu
pasar (pasar rujukan) mempengaruhi pembentukkan harga di pasar lainnya (pasar
lokal), dengan mempertimbangkan harga yang lalu (t-1) dan harga yang sekarang
(t). Berdasarkan persamaan (3) dapat diketahui bahwa koefisien 2 mengukur
bagaimana perubahan harga di pasar rujukan diteruskan ke pasar lokal.
Keterpaduan pasar dalam jangka panjang dicapai jika 2 = 1, maka perubahan
harga yang terjadi bersifat netral dan proposional dengan persentase yang sama.
Tentunya 2 tidak harus sama dengan satu, meskipun informasi perubahan harga
di tingkat pasar acuan secara langsung diteruskan ke pasar lokal.
Jika Pjt – Pjt-1= 0, maka pasar acuan berada pada keseimbangan jangka pendek, berarti koefisien 2 dikeluarkan dari persamaan. Koefisien yang
menghubungkan dua bentuk harga (1+b1) dan (b3 - b1) menjelaskan kontribusi
relatif dari pasar lokal pada saat diinginkan. Kedua bentuk harga yang diperoleh
ini dapat digunakan untuk mengetahui indeks keterpaduan pasar (IMC = Index Market connection). IMC merupakan rasio dari kedua bentuk harga tersebut, yaitu bentuk harga pasar lokal terhadap bentuk harga pasar rujukannya. Nilai IMC ini
dapat digunakan untuk mengetahui keterpaduan pasar dalam jangka pendek.
Secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut :
IMC = 1+ 1
3− 1
= 1
3...(4)
Jika harga yang terjadi di pasar rujukan pada waktu sebelumnya
merupakan faktor utama yang mempengaruhi harga yang terjadi di suatu pasar
lokal tertentu, berarti kedua pasar tersebut terhubungkan dengan baik. Hal ini
menunjukkan bahwa informasi permintaan dan penawaran di pasar rujukan
diteruskan ke pasar lokal dan akan mempengaruhi harga yang terjadi di pasar
lokal tersebut. Jika koefisien 1 = 0 dan 3 > 0 maka nilai IMC = 0 artinya harga
ditingkat pasar lokal/produsen pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh
terhadap harga yang diterima pada pasar lokal/produsen sekarang. Hal ini berarti
koefisien 1> 0 dan koefisien 3 = 0, maka IMC menjadi tak hingga. Hal ini
menunjukkan pasar tersebut mengalami segmentasi pasar. Integrasi pasar jangka
pendek akan cenderung terjadi pada kondisi dimana 1< 3 sehingga nilai IMC
antara 0 dan 1. Semakin mendekati nol maka derajat integrasi pasar jangka pendek
relatif tinggi. Jika nilai 2 = 1 berarti bahwa pasar berada dalam keseimbangan
jangka panjang yang kuat dimana kenaikan harga di pasar rujukan akan segera
diteruskan ke pasar lokal. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
koefisien 2 digunakan untuk mengetahui keterpaduan jangka panjang dan IMC
untuk mengetahui ketertpaduan pasar jangka pendek. Keterpaduan jangka pendek
disebut juga keterkaitan pasar dalam menjelaskan bagaimana pelaku pemasaran
berhasil menghubungkan pasar-pasar yang secara geografis terpisah melalui aliran
informasi dan komoditas.
Beberapa aktivitas seperti peningkatan informasi pasar, pemberian label,
grading dan standarisasi dapat meningkatkan efisiensi harga. Dalam beberapa
keadaan, peningkatan efisiensi operasional dapat menurunkan efisiensi harga atau
sebaliknya. Namun hal tersebut tidak perlu dipertentangkan karena yang menjadi
perhatian utama adalah tersedianya pilihan bagi konsumen dan harga yang
merefleksikan biaya (Kohls dan Uhl 2002).
3.2 Kerangka Operasional
Tataniaga kentang di Kabupaten Kerinci melibatkan petani dan
lembaga-lembaga tataniaga dalam mendistribusikan kentang hingga sampai kepada
konsumen akhir. Bargaining position petani dalam tataniaga kentang di Kabupaten Kerinci cukup lemah dibandingkan dengan lembaga tataniaga lainnya.
Hal ini terlihat dari besarnya selisih harga yang diterima petani dengan harga yang
diterima konsumen akhir (Tabel 5). Kondisi ini menimbulkan pertanyaan yang
layak untuk diteliti yaitu: Bagaimana tataniaga kentang dan bagaimana efisiensi
tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci.
Petani dan masing-masing lembaga tataniaga saling berinteraksi dan
mempunyai peranan yang berbeda-beda dalam saluran tataniaga. Lembaga
tataniaga berfungsi sebagai perantara petani dengan konsumen akhir. Lembaga
tataniaga terdiri dari pedagang pengumpul, grosir, pedagang antar kota, dan
dengan menggunakan metode purposive dan pengambilan sampel terhadap lembaga tataniaga menggunakan snowball sampling. Interaksi yang terjadi dapat dianalisis dengan pendekatan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis
kualitatif digunakan dalam menganalisis lembaga dan saluran tataniaga,
fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Analisis kuantitatif digunakan
[image:33.595.110.515.46.804.2]Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
Kentang di Kabupaten Kerinci : Daya Tawar (bargaining power) petani rendah Ketersediaan informasi pasar yang belum memadai
Bagaimana sistem tataniaga kentang di Kecamatan Kayu
Aro, Kabupaten Kerinci?
Bagaimana penyebaran margin, farmer’s share, dan rasio
keuntungan terhadap biaya pada masing-masing saluran
tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten
Kerinci?
Bagaimana efisiensi operasional dan efisiensi harga pada
sistem tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten
Kerinci?
Analisis Kualitatif :
Saluran dan Lembaga Tataniaga Fungsi-fungsi Tataniaga
Struktur dan Perilaku Pasar
Analisis Kuantitatif : Margin Tataniaga Farmer’s share
Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Analisis Keterpaduan Pasar Kentang di Kabupaten Kerinci :
Daya Tawar (bargaining power) petani rendah Ketersediaan informasi pasar yang belum memadai
Bagaimana sistem tataniaga kentang di Kecamatan Kayu
Aro, Kabupaten Kerinci?
Bagaimana penyebaran margin, farmer’s share, dan rasio
keuntungan terhadap biaya pada masing-masing saluran
tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten
Kerinci?
Bagaimana efisiensi operasional dan efisiensi harga pada
sistem tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten
Kerinci?
Hasil dan Kesimpulan
Efisiensi Tataniaga Kentang
di Kecamatan Kayu Aro Analisis Kualitatif :
Saluran dan Lembaga Tataniaga Fungsi-fungsi Tataniaga
Struktur dan Perilaku Pasar
Analisis Kuantitatif : Margin Tataniaga Farmer’s share
Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Analisis Keterpaduan Pasar Kentang di Kabupaten Kerinci :
Daya Tawar (bargaining power) petani rendah Ketersediaan informasi pasar yang belum memadai
Bagaimana sistem tataniaga kentang di Kecamatan Kayu
Aro, Kabupaten Kerinci?
Bagaimana penyebaran margin, farmer’s share, dan rasio
keuntungan terhadap biaya pada masing-masing saluran
tataniaga kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten
Kerinci?
Baga