• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tataniaga Markisa Ungu di Kabupaten Karo (Studi Kasus Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Tataniaga Markisa Ungu di Kabupaten Karo (Studi Kasus Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara)"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS TATANIAGA MARKISA UNGU

DI KABUPATEN KARO

(Studi Kasus Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah,

Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara)

BOYLE PERANGINANGIN H34086016

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

iii RINGKASAN

BOYLE PERANGINANGIN. Analisis Tataniaga Markisa Ungu di Kabupaten Karo (Studi Kasus Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan RATNA WINANDI ASMARANTAKA.)

Buah-buahan tropis merupakan komoditas pertanian yang potensial untuk dikembangkan. Pada tahun 2003 hingga tahun 2009 kebutuhan buah nasional secara rata-rata meningkat 6,5 persen per tahun (BPS 2010). Salah satu buah lokal yang diharapkan menjadi buah andalan adalah buah markisa. Jenis markisa yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia yaitu markisa ungu (Passiflora edulis) atau dikenal juga dengan nama markisa asam karena memiliki rasa asam dan manis dengan aroma yang khas. Markisa ungu diperdagangkan dalam bentuk buah segar dan dalam bentuk olahan yaitu sirup atau jus markisa. Salah satu provinsi sentra penghasil markisa ungu di Indonesia adalah Provinsi Sumatera Utara. Markisa ungu memiliki arti yang penting di Sumatera Utara karena berperan sebagai salah satu ”trade mark”. Sentra penghasil markisa di Sumatera Utara adalah Kabupaten Karo yang selama tahun 2005 hingga tahun 2009 secara rata-rata menghasilkan 63,5 persen per tahun terhadap total buah markisa yang dihasilkan di Sumatera Utara. Permasalahan yang dihadapi petani markisa ungu di Kabupaten Karo adalah daya tawar (bargaining power) yang rendah dibandingkan dengan lembaga tataniaga yang lain. Petani markisa sebagai price taker menghadapi harga jual yang berfluktuasi dan farmer’s share yang rendah. Permasalahan tersebut dapat mengurangi motivasi petani dalam menanam markisa sehingga produksi markisa menurun. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi dan menganalisis tataniaga markisa ungu di Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo; (2) menganalisis tingkat efisiensi tataniaga markisa ungu yang terjadi di Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo dan alternatif saluran tataniaga.

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) karena Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah merupakan sentra penghasil markisa ungu di Kabupaten Karo. Penelitian di lapangan dilakukan pada Desember 2010 hingga Januari 2011. Pemilihan petani markisa ungu yang dijadikan sebagai responden dilakukan secara secara sengaja (purposive) yaitu 20 orang petani markisa ungu. Penentuan responden terhadap lembaga tataniaga markisa dilakukan dengan metode Snowball Sampling yaitu dengan cara mengikuti saluran tataniaga yang dilalui mulai dari petani hingga ke konsumen akhir. Metode analisis data dalam penelitian ini yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.

(3)

iv 18.000 kg (19,43 persen), kepada pedagang pengumpul sebanyak 52.080 kg (56,22 persen), kepada grosir sebanyak 19.200 kg (20,73 persen), kepada pedagang pengecer sebanyak 2.400 kg (2,59 persen) dan kepada cafe minuman sebanyak 960 kg (1,04 persen). Berdasarkan saluran penjualan dari tingkat petani hingga konsumen akhir dapat diketahui bahwa terdapat tujuh saluran pemasaran markisa ungu.

Struktur pasar yang dihadapi oleh petani yang menjual kepada pabrik pengolah adalah cenderung monopsoni dan petani yang menjual kepada grosir, pedagang pengecer dan café minuman menghadapi struktur pasar oligopsoni tidak terdeferensiasi sedangkan petani yang menjual kepada pedagang pengumpul menghadapi struktur pasar yang cenderung pasar persaingan (competitive market). Grosir sebagai penjual kepada pabrik pengolah menghadapi struktur pasar monopsoni sedangkan sebagai penjual kepada pedagang antar kota menghadapi struktur pasar oligopoli terdeferensiasi. Perilaku pasar dalam sistem penentuan harga yaitu pabrik pengolah sangat berperan dalam menentukan harga yang berlaku di pasar. Petani markisa memiliki daya tawar (bargaining power) yang rendah sebagai individu ketika berhadapan dengan lembaga tataniaga lain khususnya pabrik pengolah

Analisis efisiensi saluran tataniaga berdasarkan nilai marjin tataniaga, farmer’s share dan penyebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya, harga jual oleh petani dan volume markisa yang dapat ditampung. Saluran tataniaga yang paling efisien secara relatif dibandingkan dengan saluran tataniaga yang lain dengan produk akhir sirup markisa adalah saluran tataniaga 1. Pada saluran tataniaga 1 nilai farmer’s share 18,75 persen, marjin tataniaga 81,25 persen, penerimaan bersih petani Rp 2.710/kg dan menampung 19,43 persen volume markisa yang dihasilkan petani dengan nilai penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya relatif merata. Saluran tataniaga yang efisien secara relatif dengan produk akhir buah markisa adalah saluran tataniaga 5. Pada saluran tataniaga 5 nilai farmer’s share 43,07 persen, marjin tataniaga 56,93 persen, penerimaan bersih petani Rp 2.600/kg. Saluran tataniaga 7 dengan produk akhir jus markisa memiliki penerimaan bersih petani yang terbesar yaitu Rp 5.400/kg tetapi hanya dapat menampung 1,04 persen volume markisa yang dihasilkan oleh petani. Secara keseluruhan, saluran tataniaga 1 merupakan saluran tataniaga yang paling efisien secara relatif jika dibandingkan dengan saluran tataniaga lain.

(4)

ii

ANALISIS TATANIAGA MARKISA UNGU

DI KABUPATEN KARO

(Studi Kasus Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah,

Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara)

SKRIPSI

BOYLE PERANGINANGIN H34086016

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

v

ANALISIS TATANIAGA MARKISA UNGU

DI KABUPATEN KARO

(Studi Kasus Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah,

Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara)

BOYLE PERANGINANGIN H34086016

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

vi Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Markisa Ungu di Kabupaten Karo

(Studi Kasus Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara)

Nama : Boyle Peranginangin

NRP : H34086016

Disetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Ratna Winandi Asmarantaka, MS NIP. 19530718 197803 2 001

Diketahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

(7)

vii PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ”Analisis Tataniaga Markisa Ungu di Kabupaten Karo (Studi Kasus Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2011

(8)

viii RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 24 Agustus 1986. Penulis adalah anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan (Alm.) Bapak Pimanken Peranginangin dan Ibu Derpi br. Siburian.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri No.030301 Hutaraja pada tahun 1998 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP Negeri 2 Sidikalang. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMU Negeri 1 Sidikalang dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis diterima melalui jalur USMI pada program Diploma 3 Program Studi Teknik Informatika, Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan studi di Program Sarjana Agribisnis Penyelenggaraan Khusus, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

(9)

ix KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Tataniaga Markisa Ungu di Kabupaten Karo (Studi Kasus Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara)”. Penelitian ini bertujuan menganalisis tataniaga, mengidentifikasi tingkat efisiensi dan mengidentifikasi alternatif saluran tataniaga markisa ungu di Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo.

Skripsi ini diawali dari permasalahan dalam tataniaga markisa lalu meninjau pustaka berupa penelitian terdahulu mengenai tataniaga hortikultura dan selanjutnya landasan teori mengenai tataniaga. Metodologi penelitian menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis tataniaga markisa ungu di daerah penelitian mencakup analisis terhadap kelembagaan, saluran, fungsi-fungsi, struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam tataniaga markisa ungu seperti petani dan lembaga-lembaga tataniaga, instansi pemerintah di tingkat pusat dan daerah maupun bagi kalangan akademik sebagai sumber referensi.

Bogor, April 2011

(10)

x UCAPAN TERIMAKASIH

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada:

1. Dr. Ir. Ratna Winandi A, MS selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Ir. Juniar Atmakusuma, MS selaku dosen penguji utama pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini dan selaku dosen evaluator atas saran dalam perbaikan proposal penelitian.

3. Yanti Nuraeni Muflikh, SP, MABuss selaku dosen penguji komdik pada ujian sidang penulis atas kritik dan saran dalam perbaikan skripsi ini khususnya dalam hal penulisan.

4. Dra. Yusalina, MSi. yang telah menjadi pembimbing akademik penulis dan seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis.

5. Ayahanda tercinta (Alm) Bapak P. Peranginangin yang wafat sewaktu skripsi ini sedang disusun. Ibunda tersayang, D. br. Siburian. Semoga skripsi ini dapat menjadi salah satu hadiah terbaik di tahun ini.

6. Abang dan kakak tercinta Ir. Newton P, Abeed Nego P S.Si, MM, Josia P ST, Dalton P Amd, dan Saulina P S.Pd serta keponakan penulis, Lukas Totonta C P dan Filiani Leandra R P. Terimakasih atas dukungan dan khususnya bantuan materi selama ini.

7. Bapak drh. Ikin Mansyur MSc dan Ibu Prof. Dr. Sri Supraptini selaku bapak dan ibu kost yang penulis hormati sebagai orangtua angkat. Terima kasih banyak atas dukungan dan kebaikan selama ini.

8. Penyuluh pertanian Kabupaten Karo khususnya Bapak U. Barus, SP dan Bapak Irwan Depari atas waktu, informasi dan dukungan dalam pengumpulan data dari petani markisa ungu.

(11)

xi 10. Seluruh petani markisa ungu dan lembaga tataniaga yang menjadi responden yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas waktu dan informasi yang diberikan.

11. Anak-anak kost Cikuray’44 atas dukungan dan pertemanan selama ini.

12. Teman-teman seperjuangan di Ekstensi Agribisnis seperti Bayu Sumantri, Faisal, Titi, Sani, Erika dan Chrisnovita selaku pembahas seminar, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuannya.

Bogor, April 2011

(12)

xii

2.3 Hasil Penelitian Tentang Tataniaga Hortikultura ... 10

2.4. Penelitian Terdahulu Terhadap Markisa ... 15

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 16

3.1. Kerangka Teoritis ... 16

3.1.1. Pengertian Tataniaga ... 16

3.1.2. Kelembagaan dan Saluran Tataniaga ... 17

3.1.3. Fungsi-Fungsi Tataniaga ... 19

5.1. Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian ... 36

5.2. Keadaan Alam ... 36

5.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 37

5.4. Karakteristik Umum Usahatani Markisa ... 37

(13)

xiii

6.4.4. Perilaku Pedagang Antar Kota dan Pedagang Pengecer ... 77

6.5. Analisis Keragaan Pasar ... 78

6.5.1. Analisis Marjin Tataniaga ... 78

6.5.2. Analisis Efisiensi Tataniaga Markisa Ungu ... 88

(14)

xiv DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun 2005 – 2009

(milyar rupiah) ………... 1

2. Perkembangan Ekspor, Nilai Ekspor, Impor dan Nilai

Impor Buah-buahan di Indonesia Tahun 2003-2008 ... 3 3. Perkembangan Produksi Komoditas Markisa di Provinsi

Sumatera Utara dan Kabupaten Karo Tahun 2005 – 2009 . 5 4. Perkembangan Rata-Rata Harga Markisa di Pusat Pasar

Kabupaten Karo dan Pusat Pasar Medan Tahun 2005 –

2010 ... 7 5. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat ... 22 6. Data Luas Lahan, Jumlah Pohon Markisa dan Rata-Rata

Produksi Per Minggu Petani Responden ... 42 7. Persentase Petani Berdasarkan Sebaran Usia di Desa

Seberaya ... 43 8. Sebaran Tingkat Pendidikan Petani Responden di Desa

Seberaya ... 43 9. Lembaga, Fungsi dan Aktivitas Tataniaga Markisa Ungu . 46 10. Volume dan Harga Penjualan Buah Markisa Ungu di

Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga 1 Selama Tahun

2010 ... 58 11. Volume dan Harga Penjualan Buah Markisa Ungu di

Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga 2 dan 3 Selama

Tahun 2010 ... 61 12. Volume dan Harga Penjualan Buah Markisa Ungu di

Tingkat Grosir pada Tahun 2010 ... 62 13. Volume dan Harga Penjualan Buah Markisa Ungu di

Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga 4 dan 5 Selama

Tahun 2010 ... 65 14. Volume dan Harga Penjualan Buah Markisa Ungu di

Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga 6 Selama Tahun

2010 ... 66 15. Biaya Pemasaran, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga

Beli dan Harga Jual Markisa pada Saluran Tataniaga 1 .... 80 16. Biaya Pemasaran, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga

Beli dan Harga Jual Markisa pada Saluran Tataniaga 2 .... 81 17. Biaya Pemasaran, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga

(15)

xv 18. Biaya Pemasaran, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga

Beli dan Harga Jual Markisa pada Saluran Tataniaga 4 ....

84 19. Biaya Pemasaran, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga

Beli dan Harga Jual Markisa pada Saluran Tataniaga 5 .... 86 20. Biaya Pemasaran, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga

Beli dan Harga Jual Markisa pada Saluran Tataniaga 6 .... 87 21. Biaya Pemasaran, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga

Beli dan Harga Jual Markisa pada Saluran Tataniaga 7 .... 88 22. Sebaran Rasio Keuntungan terhadap Biaya pada Lembaga

Tataniaga Markisa di Desa Seberaya Tahun 2010 ... 89 23. Perbandingan Farmer’s Share dan Marjin Tataniaga pada

Saluran Tataniaga dengan Produk Akhir Sirup Markisa .... 90 24. Perbandingan Farmer’s Share dan Marjin Tataniaga pada

(16)

xvi DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Konsep Marjin Tataniaga ... 25

2. Skema Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ... 30

3. Saluran Tataniaga Markisa di Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah pada Tahun 2010 ... 57

4. Saluran Tataniaga 1 Markisa Ungu ... 58

5. Saluran Tataniaga 2 dan Saluran Tataniaga 3 Markisa Ungu ... 60

6. Saluran Tataniaga 4 dan Saluran Tataniaga 5 Markisa Ungu ... 65

7. Saluran Tataniaga 6 Markisa Ungu ... 66

8. Saluran Tataniaga 7 Markisa Ungu ... 67

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisa Pendapatan dan Pengeluaran Usahatani Markisa

Ungu di Desa Seberaya pada Tahun 2010 ... 97 2. Perincian Biaya-Biaya Pemasaran dan Pengolahan yang

(18)

xviii

Terimakasih Bapa...

atas semua kebaikan, teladan, didikan

dan disiplin serta pengorbananmu yang tak ternilai...

...hingga dukunganmu dalam penyusunan skripsi ini,

di akhir hidupmu di dunia yang fana ini...

Kesedihan yang sangat mendalam

setelah kepergianmu...

Begitu banyak kenangan,

yang tidak bisa kulupakan...

Banyak penyesalan,

yang membuatku sadar...

betapa Bapa sangat berarti dalam hidupku.

Tetapi aku yakin,

seperti juga yang Bapa yakini...

Pencipta kita, Pencipta alam semesta, Allah Yehuwa,

akan merindukan Bapa

dan mempertemukan kita

(19)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang berlimpah dengan kekayaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun tidak terbaharui. Indonesia berada pada lokasi yang sangat strategis yaitu pada kawasan yang terletak diantara Benua Asia dengan Benua Australia dan antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia juga terdiri dari ribuan pulau dengan luas wilayah 1.919.440 km2. Selain itu, Indonesia beriklim tropis dengan sinar matahari sepanjang tahun, tanah yang subur dan curah hujan cukup tinggi1. Salah satu sektor yang menjadi unggulan dan basis perekonomian Indonesia adalah sektor pertanian. Sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam penyerapan tenaga kerja, peningkatan perekonomian masyarakat, sumber bahan baku industri pengolahan dan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor pertanian menyerap sekitar 40 persen tenaga kerja. Pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB meningkat setiap tahun dengan laju pertumbuhan rata-rata mencapai 3,68 persen per tahun (BPS 2010).

Sektor pertanian mencakup tanaman pangan, hortikultura, biofarmaka, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian menjadi salah satu sumber pertumbuhan pertanian yang mempunyai peranan dalam pembangunan ekonomi nasional. Kontribusi subsektor hortikultura terhadap PDB meningkat dengan nilai rata-rata 7,67 persen per tahun selama tahun 2005 hingga 2009 (Tabel 1).

Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun 2005 – 2009 (milyar rupiah)

No. Komoditas Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 1. Buah-buahan 31.694 35.448 42.362 47.060 50.595 2. Sayuran 22.630 24.694 25.587 28.205 29.005 3. Tanaman Hias 4.662 4.734 4.741 4.960 5.348 4. Biofarmaka 2.806 3.762 4.105 3.853 4.109 Total Hortikultura 61.792 68.638 76.795 84.078 89.057

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010)

1

(20)

2 Hortikultura khususnya buah-buahan merupakan komoditas pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan agribisnis buah-buahan tropika mempunyai prospek yang cerah karena permintaan buah-buah-buahan cenderung meningkat setiap tahunnya. Total kebutuhan buah secara nasional pada tahun 2008 mencapai 17.461.157 ton. Pada tahun 2003 hingga tahun 2009 kebutuhan buah nasional secara rata-rata meningkat 6,5 persen per tahun (BPS, 2010). Peningkatan permintaan buah-buahan dalam negeri disebabkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan masyarakat dan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan nilai gizi dari buah-buahan (BPPP, 2005). Konsumsi buah-buahan di Indonesia sudah mencapai sekitar 35 kg per kapita per tahun. Namun, menurut FAO (Food and Agriculture Organization) angka tersebut masih kurang dari angka ideal yaitu 60 kg per kapita per tahun2. Artinya, pengembangan komoditas buah-buahan lokal masih mempunyai peluang yang baik dalam memenuhi kebutuhan buah secara nasional.

Selain mempunyai peluang, pengembangan agribisnis buah-buahan di Indonesia juga menghadapi ancaman berupa persaingan dengan buah impor sebagai produk substitusi. Seperti diperlihatkan pada Tabel 2, pada tahun 2003 hingga 2008 secara rata-rata setiap tahun negara Indonesia mengimpor buah-buahan dengan jumlah 404.786 ton dengan nilai US$ 312.701.000 sementara ekspor buah 229.540 ton dengan nilai US$ 142.421.000. Artinya, Indonesia masih menjadi negara net importir buah-buahan. Nilai impor buah-buahan yang lebih besar dibanding nilai ekspor akan mengurangi devisa negara. Buah-buahan impor juga merupakan saingan atau produk substitusi dari buah-buahan produksi lokal. Proporsi konsumsi buah-buahan impor yang semakin meningkat sehingga mengurangi proporsi konsumsi buah-buahan lokal berdampak menekan kemajuan industri buah-buahan secara nasional (Firdaus dan Wagiono 2010).

Beberapa jenis buah tropika unggulan Indonesia adalah pisang, jeruk siam, mangga, nenas, manggis, semangka, markisa, rambutan dan alpukat. Selain dikonsumsi untuk kebutuhan domestik, buah-buahan tersebut juga telah diekspor ke berbagai negara di dunia. Salah satu buah lokal yang diharapkan dapat dikembangkan menjadi buah andalan adalah buah markisa. Produksi markisa

2

(21)

3 terhadap produksi buah secara nasional masih sekitar satu persen. Namun, selama tahun 2003 hingga 2008 produksi markisa secara rata-rata meningkat sebesar 20 persen per tahun sementara produksi pisang hanya meningkat lima persen, jeruk meningkat tiga persen, mangga meningkat 14 persen dan manggis meningkat 12 persen. Tanaman markisa juga menempati urutan ketiga setelah nenas dan pepaya sebagai jenis buah dengan produktivitas paling tinggi (Direktorat Jenderal Hortikultura 2010). Selain itu, analisis kelayakan budidaya markisa oleh Bank Indonesia memperlihatkan bahwa kegiatan budidaya markisa layak dibiayai oleh perbankan3.

Tabel 2. Perkembangan Ekspor, Nilai Ekspor, Impor dan Nilai Impor Buah-buahan di Indonesia Tahun 2003 – 2008

Tahun Ekspor (ton) Nilai Ekspor (ribu US$)

Rataan 229.540 142.421 404.786 312.701

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) (diolah)

Pemasaran markisa di pasar internasional pada umumnya dalam bentuk sari buah (concentrate juice) dan pulp (sari buah markisa yang masih bercampur dengan biji buahnya). Pada dekade 1990-an, Indonesia telah berhasil mengekspor markisa baik dalam bentuk sari buah maupun pulp. Negara-negara pengimpor sari buah markisa adalah Belanda, Inggris, Prancis, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Australia, Arab Saudi, Kuwait dan Bahrain. Permintaan ekspor sari buah ke luar negeri khususnya Australia belum dapat dipenuhi4.

Dalam rangka meningkatkan daya saing produk khususnya dalam hal jaminan mutu maka buah markisa yang dihasilkan harus dapat memenuhi standar yang dapat diterima konsumen secara luas yaitu pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Oleh karena itu, Badan Standarisasi Nasional telah menetapkan standar mutu yang dapat dijadikan sebagai acuan mutu yang sesuai dengan

3

Bank Indonesia. Sistem Informasi Pembiayaan Usaha Kecil: Budidaya Markisa, Aspek Pemasaran http://www.bi.go.id/sipuk/ [25 November 2010]

4

(22)

4 permintaan pasar yaitu SNI 6947:2009 (BSN 2009). Acuan mutu akan dapat mempermudah petani dan lembaga-lembaga tataniaga dalam melakukan transaksi jual beli.

Buah markisa yang dibudidayakan di Indonesia ada beberapa jenis yaitu: markisa ungu atau siuh (Passiflora edulis), markisa kuning atau konyal (Passiflora lingularis) dan markisa sayur atau erbis (Passiflora quadrangularis). Markisa ungu merupakan salah satu jenis markisa yang paling banyak dibudidayakan untuk dijual dalam bentuk buah segar atau diambil sari buahnya. Buah markisa ungu mempunyai cita rasa asam-manis dengan aroma yang khas sehingga markisa ungu juga dikenal dengan nama markisa asam. Di Indonesia, sari buah markisa yang dijual dipasaran hanya berasal dari sari buah markisa ungu. Dalam perdagangan internasional, sebagian besar sari buah markisa yang diperdagangkan berasal dari sari buah markisa ungu. Buah markisa ungu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran untuk youghurt, ice cream, jelly, kue-kue atau dicampur dengan sari buah lain. Markisa erbis tidak dibudidayakan secara komersial sedangkan markisa konyal yang berwarna kuning diperdagangkan sebagai buah segar dengan ciri rasa manis dan aroma yang relatif tidak ada. Buah markisa bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena berperan sebagai sumber vitamin C, vitamin A dan passiflorance yang berkhasiat untuk menentramkan urat syaraf5.

Beberapa daerah sentra penghasil markisa di Indonesia adalah Provinsi Sumatera Utara (Kabupaten Karo), Sumatera Barat (Solok), Jawa Barat, Sulawesi Selatan (Gowa, Sinjai, Tana Toraja dan Polewali Mamasa). Markisa mempunyai arti yang penting di Sumatera Utara karena berperan sebagai salah satu ”trade mark” (Winarso 2004). Persentase produksi markisa di Sumatera Utara terhadap produksi markisa secara nasional selama tahun 2003 hingga 2009 secara rata-rata mencapai 12 persen per tahun.

Sentra penghasil markisa ungu di Provinsi Sumatera Utara adalah Kabupaten Karo. Berastagi terkenal sebagai kota kecil tujuan wisata dan pasar buah yang terletak di Kabupaten Karo. Oleh karena itu markisa yang diproduksi di Kabupaten Karo maupun Provinsi Sumatera Utara selain dikenal sebagai

5

(23)

5 markisa ungu juga dikenal dengan nama markisa berastagi. Daerah produsen markisa ungu lainnya adalah Kabupaten Langkat, Tapanuli Utara, Kabupaten Simalungun, Padang Sidempuan dan Kabupaten Dairi. Proporsi produksi markisa ungu di Kabupaten Karo terhadap produksi markisa di Provinsi Sumatera Utara dapat diperhatikan pada Tabel 3. Pada tahun 2005 hingga 2009 perbandingan produksi markisa ungu di Kabupaten Karo dengan di Provinsi Sumatera Utara secara rata-rata mencapai sekitar 63,5 persen per tahun.

Tabel 3. Perkembangan Produksi Komoditas Markisa di Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Karo Pada Tahun 2005 – 2009

Tahun Produksi (ton)

Prov.Sumut Kabupaten Karo Persentase Karo Terhadap Sumut (%)

2005 14.157 5.934 41,91

2006 15.438 8.596 55,68

2007 11.197 6.879 61,43

2008 11.029 7.938 71,97

2009 15.074 13.059 86,63

Sumber: Dinas Pertanian Sumatera Utara (2010) (diolah)

(24)

6 1.2. Perumusan Masalah

Markisa ungu dari Kabupaten Karo dipasarkan di Kabupaten Karo, Medan dan kota-kota di Sumatera Utara. Pada umumnya konsumen di wilayah Sumatera Utara mengkonsumsi markisa dalam bentuk buah segar untuk kebutuhan sehari-hari sementara sirup markisa dikonsumsi pada sehari-hari-sehari-hari besar tertentu. Konsumen di luar wilayah Sumatera Utara khususnya yang berada di kota-kota di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa mengkonsumsi sirup markisa. Selain itu, sirup markisa juga menjadi buah tangan atau oleh-oleh khas dari Sumatera Utara (Winarso 2004). Buah markisa ungu berastagi dapat ditemui di pasar tradisional dan toko buah di wilayah Sumatera Utara sedangkan sirup markisa dapat dibeli di toko minuman atau souvenir di Kota Kabanjahe, Berastagi, Siantar dan Medan.

Tanaman markisa ungu termasuk sebagai tanaman merambat dan tanaman tahunan. Pengusahaan markisa ungu di Kabupaten Karo mulai menghasilkan buah yang siap dipanen setelah kira-kira satu tahun dan dapat terus produktif hingga tanaman berumur enam tahun. Umur produktif tanaman ditentukan oleh perawatan petani terhadap tanaman markisa ungu. Tanaman markisa ungu menghasilkan buah sepanjang tahun tetapi musim panen pada umumnya terjadi pada bulan Agustus hingga Oktober. Para petani menggunakan tiang rambatan dari pohon lamtoro, kayu, kawat atau pucuk pohon bambu.

Produksi markisa ungu selama tahun 2005 hingga 2009 di Kabupaten Karo berfluktuasi setiap tahun (Dinas Pertanian Sumut 2010). Diduga ada beberapa penyebab fluktuasi produksi buah markisa yaitu serangan hama, persaingan penggunaan lahan dengan komoditas lain khususnya jeruk dan fluktuasi harga di tingkat petani. Serangan hama yang biasa terjadi adalah kutu pucuk daun, lalat buah dan jamur yang menyerang pangkal batang (Winarso 2004). Persaingan penggunaan lahan dengan komoditas jeruk yang dianggap lebih menguntungkan kemungkinan akan berhenti karena akhir-akhir ini jeruk juga menghadapi persoalan yang kompleks6. Sebaliknya, pohon jeruk yang sudah tua atau mengering karena penyakit digunakan oleh sebagian petani menjadi rambatan bagi pohon markisa.

6

(25)

7 Daya tawar petani yang lebih rendah jika dibandingkan dengan daya tawar pedagang membuat petani menjadi penerima harga (price taker) atau harga buah markisa ungu ditentukan oleh pedagang. Berdasarkan pengamatan di lapangan, permasalahan utama yang sering dihadapi petani adalah fluktuasi harga buah markisa ungu yaitu pada kisaran mulai dari Rp 500/kg hingga Rp 3.000/kg. Artinya, kisaran harga di tingkat petani dapat berubah sewaktu-waktu dengan peningkatan atau penurunan harga mencapai 500 persen. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian pemasaran bagi petani markisa. Di tingkat konsumen akhir harga beli tetap relatif tinggi. Harga di tingkat konsumen akhir bervariasi sesuai dengan lokasi pasar, jenis pasar, waktu pembelian dan kelas markisa yang dibeli. Harga markisa di tingkat konsumen akhir berada pada kisaran Rp 6.000/kg hingga Rp 10.000/kg atau mengalami peningkatan atau penurunan harga hanya sebesar 67 persen. Perkembangan harga buah markisa ungu di Pusat Pasar Kabupaten Karo dan Pusat Pasar Medan dapat diperhatikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Rata-Rata Harga Markisa di Pusat Pasar Kabupaten Karo dan Pusat Pasar Medan Tahun 2005 - 2010

Tahun Harga di Pasar Karo (Rp/kg)

Sumber: Dinas Pertanian Sumatera Utara (2010) (diolah)

(26)

8 tataniaga secara berurutan adalah 60 persen dan 66,5 persen. Fluktuasi harga di tingkat petani dan farmer’s share yang rendah dapat mengurangi motivasi petani dalam menanam markisa. Jika hal tersebut terjadi maka dapat mengakibatkan penurunan produksi buah markisa yang dihasilkan.

Petani markisa ungu di Kabupaten Karo mempunyai beberapa pilihan dalam memasarkan buah markisa yang telah dipanen. Petani dapat memasarkan sendiri buah markisa kepada pedagang pengecer di pasar tradisional setempat, kepada pedagang pengumpul atau kepada grosir maupun kepada pabrik pengolah buah markisa. Ada dua pabrik pengolah markisa yang berada di Berastagi dan di Kota Medan dengan produk akhir berupa sirup markisa dalam kemasan. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian belum terdapat kelompok tani atau koperasi yang berperan dalam mengembangkan agribisnis markisa khususnya pada subsistem usahatani dan pemasaran. Jumlah lembaga tataniaga yang terlibat akan mempengaruhi struktur pasar dan selanjutnya berdampak terhadap perilaku dari masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat. Masing-masing lembaga tataniaga akan melakukan kegiatan atau fungsi tertentu terhadap buah markisa ungu dalam proses pendistribusian mulai dari petani hingga konsumen akhir. Saluran tataniaga yang dipilih oleh petani, fungsi yang dilakukan dan biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat akan memberikan farmer’s share dan penyebaran marjin tataniaga yang berbeda-beda.

Analisis efisiensi tataniaga markisa ungu perlu dilakukan sehingga dapat diketahui penyebab rendahnya daya tawar petani dan fluktuasi harga serta tingkat efisiensi pada setiap saluran tataniaga. Berdasarkan uraian sebelumnya maka perumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana tataniaga markisa ungu di Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo?

(27)

9 1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi dan menganalisis tataniaga markisa ungu di Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo.

2) Menganalisis tingkat efisiensi tataniaga markisa ungu yang terjadi di Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo dan menemukan alternatif saluran tataniaga yang lebih efisien secara relatif jika dibandingkan dengan saluran tataniaga yang lain.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1) Penulis

Meningkatkan kemampuan penulis dalam mengidentifikasi masalah, menganalisis dan menemukan solusi sebagai perwujudan dari aplikasi ilmu yang diperoleh.

2) Petani dan lembaga-lembaga tataniaga dalam tataniaga markisa ungu

Penelitian ini dapat sebagai bahan informasi untuk meningkatkan kerjasama dan saling memahami kondisi masing-masing dalam proses tataniaga markisa berastagi. Calon perorangan atau perusahaan yang ingin terlibat dalam tataniaga markisa ungu di Kabupaten Karo.

3) Semua instansi pemerintah di tingkat pusat maupun daerah yang terkait

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk dapat membuat dan menetapkan kebijakan yang dapat mengatasi masalah dalam tataniga markisa berastagi khususnya di wilayah Kabupaten Karo.

4) Akademisi terutama mahasiswa dan perguruan tinggi

Penelitian ini dapat menjadi referensi dalam atau rujukan penelitian mengenai tataniaga markisa. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan penelitian berikutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(28)

10

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jenis Markisa

Tanaman markisa berasal dari Amerika Selatan dan merupakan tanaman tropis yang merambat. Tanaman markisa terdiri dari 400 spesies dan sekitar 50 spesies dapat dikonsumsi buahnya. Sebagian besar tanaman markisa yang dibudidayakan di Indonesia adalah varietas ungu (Passiflora edulis) dan markisa kuning (P. flavicarpa). Tanaman markisa dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 800 hingga 1500 meter dari permukaan laut dengan curah hujan minimal 1.200 mm per tahun7.

2.2. Manfaat Tanaman Markisa

Tanaman markisa ungu dapat dikonsumsi sebagai buah segar atau diolah menjadi sari buah markisa (sirup markisa), juice atau campuran berbagai macam minuman dan makanan lain. Buah markisa mengandung berbagai macam vitamin seperti vitamin C, vitamin A dan passiflorine yang bermanfaat untuk menentramkan urat syaraf. Kulit buah markisa juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pengolahan pakan ternak (Winarso 2004).

2.3. Hasil Penelitian Tentang Tataniaga Hortikultura

Bagian ini membahas penelitian sebelumnya mengenai tataniaga produk hortikultura khususnya buah-buahan. Tataniaga ditinjau dari aspek saluran dan lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, marjin tataniaga, farmer’s share dan struktur pasar. Penelitian sebelumnya yang dibahas pada bagian ini yaitu: penelitian Lubis (2009) yang menganalisis sistem pemasaran belimbing dewa di Kelurahan Pasir Putih, Kota Depok; penelitian Sumardi (2009) yang menganalisis efisiensi pemasaran jambu biji di Desa Cilebut Barat, Kabupaten Bogor; penelitian Kurniawati (2007) yang menganalisis sistem pemasaran buah stroberi di Desa Alamendah, Kabupaten Bandung; penelitian Maharani (2008) yang menganalisis cabang usahatani dan sistem tataniaga pisang tanduk di Desa Nanggerang, Kabupaten Sukabumi; penelitian Purba (2008) yang menganalisis pendapatan usahatani dan saluran pemasaran pepaya california di Desa Cimande,

7

(29)

11 Kabupaten Bogor; penelitian Adnany (2008) mengenai sistem tataniaga salak pondoh di Kabupaten Banjarnegara; penelitian Nalurita (2008) yang menganalisis sistem pemasaran belimbing dewa di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok; penelitian Hermansyah (2008) yang menganalisis tataniaga nenas palembang di Desa Sungai Medang, Kotamadya Prabumulih; penelitian Ariyanto (2008) yang menganalisis tataniaga sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir, Kabupaten Bogor.

Pada penelitian terdahulu, pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian tersebut merupakan salah satu sentra penghasil komoditas yang diteliti. Metode pengambilan sampel terhadap petani dilakukan dengan cara memperoleh informasi dari penyuluh pertanian (Adnany 2008; Lubis 2009), secara sengaja (Kurniawati 2007; Ariyanto 2008; Hermansyah 2008), simple random sampling (Nalurita 2008) dan accidental sampling (Purba 2008). Jumlah petani yang dijadikan sebagai responden bervariasi antara 10 hingga 45 responden. Metode pengambilan sampel terhadap lembaga pemasaran dilakukan dengan metode snowball sampling yaitu dengan mengikuti alur pemasaran mulai dari petani hingga konsumen akhir. Pertimbangan utama dalam penentuan seberapa besar jumlah responden yang diteliti adalah responden tersebut sudah dapat merepresentasikan kondisi populasi yang sebenarnya.

Metode analisis data yang dilakukan pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan dua cara yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan dalam analisis saluran tataniaga, analisis fungsi-fungsi tataniaga, analisis struktur pasar dan analisis perilaku pasar. Analisis kuantitatif digunakan dalam menghitung marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.

(30)

12 itu, semakin luas jangkauan distribusi suatu komoditas maka akan semakin banyak saluran tataniaga yang terlibat. Jumlah saluran tataniaga yang sedikit yaitu dua atau tiga saluran mempunyai tiga hingga empat lembaga tataniaga dan dipengaruhi oleh jangkauan distribusi yang terbatas (Ariyanto 2008; Hermansyah 2008; Maharani 2008; Purba 2008; Sumardi 2009). Jumlah saluran pemasaran yang terdiri dari empat hingga lebih dari lima saluran mempunyai lima hingga lebih dari enam lembaga tataniaga yang terlibat. Jangkauan distribusinya juga lebih luas karena komoditas tersebut sudah diperdagangkan hingga antar provinsi dan antar pulau (Kurniawati 2007; Adnany 2008; Nalurita 2008; Lubis 2009).

Jumlah lembaga tataniaga yang terlibat dalam suatu saluran tataniaga mempengaruhi efisiensi tataniaga. Efisiensi saluran tataniaga dapat ditinjau dari segi volume penjualan, marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Persentase volume penjualan yang paling tinggi, marjin tataniaga yang paling kecil, farmer’s share yang paling tinggi dan rasio keuntungan terhadap biaya yang merata antar lembaga tataniaga menandakan bahwa saluran tersebut sudah efisien. Akan tetapi indikator-indikator tersebut tidak selalu terdapat dalam suatu saluran pemasaran. Para peneliti sebelumnya lebih banyak menentukan saluran tataniaga yang paling efisien berdasarkan besarnya marjin tataniaga dan farmer’s share. Lembaga tataniaga dengan jumlah yang relatif lebih sedikit pada suatu saluran tataniaga maka saluran tersebut akan lebih efisien karena mempunyai farmer’s share tinggi dan marjin tataniaga rendah. Farmer’s share dapat mencapai 100 persen jika petani menjual langsung kepada konsumen akhir (Ariyanto 2008). Salah satu saluran tataniaga pada penelitian Purba (2008) juga menghasilkan farmer’s share 100 persen karena petani menjual langsung kepada pabrik pengolah. Namun perhitungan tersebut kurang tepat karena pabrik pengolahan bukan sebagai konsumen akhir tetapi masih merupakan bagian dari lembaga tataniaga. Volume penjualan pada saluran tersebut juga relatif kecil yaitu 10 persen dari total produksi. Kasus tersebut memperlihatkan bahwa efisien dari segi farmer’s share dan marjin tataniaga tetapi jika ditinjau dari volume penjualan belum efisien.

(31)

13 tataniaga yang terpendek memberikan nilai farmer’s share yang tinggi dan marjin tataniaga yang rendah (Kurniawati 2007; Ariyanto 2008; Hermansyah 2008; Maharani 2008; Purba 2008). Namun saluran pemasaran yang terpendek tidak selalu menjadi saluran yang paling efisien. Hal tersebut bisa disebabkan oleh efisiensi biaya pemasaran, kualitas dan volume komoditas pada saluran yang lebih panjang. Efisiensi biaya pemasaran dapat timbul karena adanya kelembagaan petani seperti koperasi sebagai salah satu lembaga pemasaran (Nalurita 2008; Lubis 2009). Hal tersebut sesuai dengan salah satu prinsip koperasi yaitu efisiensi ekonomi dari perusahaan koperasi (Baga et al. 2009). Saluran yang lebih panjang juga dapat menjadi lebih efisien karena saluran tersebut dapat menampung volume produksi yang besar (Adnany 2008). Selain volume penjualan yang besar, konsumen akhir yang membeli buah di pasar modern dan toko buah memberikan farmer’s share yang lebih tinggi terhadap petani jika dibandingkan dengan konsumen akhir yang membeli di pasar tradisional (Sumardi 2009). Hal tersebut bisa terjadi karena adanya perbedaan kualitas komoditas yang dipasarkan untuk pasar yang berbeda.

(32)

14 bentuk (form utility), tempat (place utility), waktu (time utility) dan kepemilikan (possession utility).

Struktur pasar yang dihadapi petani cenderung bersifat pasar persaingan (competitive market) karena jumlah petani dan pedagang pengumpul banyak, harga terbentuk oleh mekanisme pasar, produk yang bersifat homogen dan kebebasan untuk keluar masuk pasar (Adnany 2008; Ariyanto 2008; Hermansyah 2008; Lubis 2009). Namun petani juga menghadapi pasar yang bersifat oligopsoni jika jumlah petani banyak sementara hanya ada sedikit pedagang pengumpul atau tengkulak dan pedagang bebas untuk menentukan harga (Kurniawati 2007; Nalurita 2008; Sumardi 2009). Pedagang pengumpul di tingkat desa, tengkulak atau koperasi yang langsung membeli komoditas dari petani dan menjual kepada pedagang besar atau grosir cenderung menghadapi pasar oligopsoni. Pasar oligopsoni yang dihadapi pedagang pengumpul mempunyai karakteristik adanya keterbatasan untuk keluar pasar, jumlah pedagang pengumpul yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pedagang besar dan penentuan harga oleh pedagang besar. Pedagang besar, suplier atau grosir cenderung menghadapi pasar yang bersifat oligopoli dengan karakteristik jumlah pedagang besar sedikit sementara jumlah pembeli atau pedagang pengecer banyak, mempunyai kekuatan dalam penentuan harga dan sulit untuk keluar dari pasar. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer cenderung bersifat pasar persaingan (competitive market) dengan karakteristik jumlah pedagang pengecer banyak dan jumlah pembeli juga banyak, harga ditentukan berdasarkan mekanisme pasar dan dipengaruhi oleh kualitas produk serta konsumen mempunyai banyak pilihan barang substitusi.

(33)

15 daya tawar (bargaining power) yang lebih tinggi. Jika petani mendapat bantuan modal dari pedagang pengumpul atau tengkulak maka petani harus menjual produknya kepada tengkulak tersebut dimana harga ditentukan secara sepihak oleh tengkulak (Kurniawati 2007; Maharani 2008). Kerjasama antara petani dengan pedagang pengumpul dapat berjalan dengan baik karena kerjasama sudah berlangsung cukup lama, adanya rasa saling percaya dan hubungan kekerabatan antara petani dengan pedagang (Adnany 2008; Ariyanto 2008; Hermansyah 2008; Sumardi 2009).

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dalam hal metode pemilihan lokasi penelitian, metode pengambilan responden terhadap petani dan lembaga tataniaga dan metode analisis data. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu: jenis komoditas yang diteliti, lokasi penelitian dan waktu penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis tataniaga hortikultura seperti beberapa penelitian sebelumnya tetapi untuk komoditas yang berbeda sehingga penelitian yang sama belum pernah dilakukan sebelumnya.

2.4. Penelitian Terdahulu Terhadap Markisa

(34)

16

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Pengertian Tataniaga

Penggunaan kata tataniaga dan pemasaran sering digunakan secara bergantian karena mempunyai makna yang sama. Dalam bahasa Inggris kedua kata tersebut berasal dari kata yang sama yaitu marketing (Asmarantaka 2009). Pemasaran atau tataniaga dapat diartikan sebagai semua rangkaian kegiatan bisnis dalam menyalurkan (aliran) barang dan jasa hasil produksi dari produsen kepada konsumen akhir yang menggunakan secara langsung (Darrah 1965; Kohls dan Uhl 2002; Abbott 1990; Soekartawi 2002). Kegiatan tataniaga produk pertanian diawali pada aktivitas produksi oleh produsen atau petani. Sebagian besar hasil produksi pertanian dijual oleh petani untuk memperoleh pendapatan. Dalam praktik tataniaga, ada banyak pihak yang terlibat karena para petani pada umumnya tidak menjual langsung hasil panennya kepada konsumen akhir. Pihak yang terlibat yang dimaksud adalah perantara yang berperan dalam memberikan perlakuan khusus terhadap produk pertanian dan mengalirkannya hingga berada di tangan konsumen akhir. Menurut Abbott (1990) tugas dan tanggung jawab pelaku tataniaga adalah:

1) Mencari pembeli dan mengalihkan kepemilikan. 2) Penyusunan dan penyimpanan.

3) Menyortir, mengepak dan mengolah.

4) Menyediakan pembiayaan untuk tataniaga dan pengambilan risiko. 5) Memilah-milah dan menyajikan kepada konsumen.

(35)

17 Salah satu pendekatan dalam menganalisis sistem tataniaga adalah pendekatan Structure-Conduct-Performance (S-C-P). Tipe-tipe perbedaan dari pasar digolongkan dalam kelompok market structure. Praktik-praktik bisnis dikelompokkan dalam market conduct dan pengaruh-pengaruh terhadap harga dan output digolongkan dalam market performance. Pendekatan S-C-P bersifat dinamis dan menekankan pada aspek deskriptif, bersifat kasus-kasus, pembahasan aspek kelembagaan secara lebih detail (Gonarsyah dan Philips, dalam Asmarantaka 2009). Menurut Kohls dan Uhl (2002) minimal ada tiga pendekatan utama dalam menganalisis permasalahan tataniaga yaitu: pendekatan kelembagaan (the institutional approach), pendekatan fungsional (the functional approach) dan pendekatan sistem perilaku (the behavioral systems approach).

3.1.2. Kelembagaan dan Saluran Tataniaga

(36)

18 diketahui jalur mana yang lebih efisien dari semua kemungkinan jalur-jalur yang dapat ditempuh.

Pendekatan institusional (the institutional approach) menurut Kohls dan Uhl (2002) lebih menekankan kepada orang atau lembaga tataniaga yang menjadi pelaku aktivitas (fungsi-fungsi) tataniaga. Pelaku aktivitas tataniaga dalam produk pertanian dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Pedagang perantara (merchant middlemen) yang terdiri dari pengecer (retailers) dan grosir (wholesalers). Pedagang perantara mempunyai hak dan kepemilikan atas produk yang mereka tangani dan melakukan aktivitas jual beli untuk memperoleh keuntungan bagi mereka sendiri. Pengecer membeli produk dan menjualnya secara langsung kepada konsumen akhir. Grosir membeli secara langsung dari petani atau pedagang pengumpul lalu menjual kepada pengecer, grosir di kota lain atau kepada industri pengolahan.

2) Agen perantara (agent middlemen) yang terdiri dari makelar (brokers) dan komisioner (commission man). Agen perantara bertindak hanya sebagai wakil dari klien mereka dan tidak memiliki hak dan kepemilikan atas produk yang mereka tangani. Agen perantara memberikan jasa penjualan atau pembelian karena keahliannya dalam tawar-menawar dan mempunyai pengetahuan pasar. Agen memperoleh pendapatan dalam bentuk upah (fees) dan komisi (commissions). Komisioner mempunyai wewenang yang lebih banyak karena dapat menangani produk secara fisik, mengatur waktu penjualan dan tugas-tugas lainnya tetapi makelar mempunyai wewenang yang lebih terbatas dan tidak menangani produk secara fisik serta mengikuti pengaturan dari klien.

3) Perantara spekulatif (speculative middlemen) yaitu perantara yang mempunyai kepemilikan atas produk dengan tujuan utama memperoleh keuntungan dari pergerakan harga. Perantara spekulatif berperan dalam mengambil resiko fluktuasi harga dengan penangan minimum pada produk. 4) Pengusaha pengolahan dan pabrik (processors and manufacturers) yaitu

(37)

19 Aktivitas pabrik pengolah menambah kegunaan waktu, tempat, bentuk dan kepemilikan.

5) Organisasi pemfasilitasi (facilitative organizations) yang berperan untuk membantu atau memperlancar berbagai pelaku tataniaga dalam melakukan tugasnya. Fasilitator melakukan aktivitas seperti membuat peraturan-peraturan, kebijakan, asosiasi, jasa pengangkutan produk atau fungsi fasilitasi spesifik lainnya.

3.1.3. Fungsi-Fungsi Tataniaga

Fungsi-fungsi tataniaga merupakan aktivitas-aktivitas bisnis atau perlakuan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam proses tataniaga (Asmarantaka 2009). Setiap fungsi yang dilakukan merupakan kegiatan produktif karena setiap kegiatan menciptakan kegunaan yaitu kegunaan bentuk (form utility), kegunaan tempat (place utility), kegunaan waktu (time utility) dan kegunaan kepemilikan (possession utility) (Kohls dan Uhl 2002). Karakteristik permasalahan tataniaga produk pertanian di Asia (APO 1989) yang berhubungan dengan fungsi tataniaga yaitu:

1) Infrastruktur fisik dan teknologi pascapanen yang buruk. Kondisi jalan yang berlubang-lubang akan meningkatkan biaya transportasi, menyebabkan kerusakan produk dan keterlambatan pengiriman barang. Penanganan fisik produk yang buruk selama panen. Wadah penyimpanan produk yang kurang baik selama pengangkutan dan truk tanpa ruangan ventilasi. Kondisi gudang tanpa pendingin, ventilasi dan sanitasi yang tidak tepat. Pengepakan dan pengemasan yang tidak tepat serta tidak dilakukannya sortir.

2) Fasilitas pasar yang buruk. Pasar lokal dengan fasilitas kurang dalam penanganan produk.

3) Fungsi fasilitasi pemasaran yang kurang seperti dalam hal: ketersediaan kredit pembiayaan, tidak adanya asosiasi, pelatihan pemasaran, penyediaan jasa pemasaran, administrasi pemasaran dan perencanaan pengembangan, sistem informasi pemasaran yang tidak efisien.

(38)

20 antar lembaga dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga. Klasifikasi fungsi yang diterima secara luas adalah sebagai berikut:

1) Fungsi pertukaran yang terdiri dari fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang menyangkut transfer kepemilikan atas produk dan kemampuan untuk bernegosiasi khususnya dalam penentuan harga.

2) Fungsi fisik merupakan kegiatan yang menyangkut penanganan, perpindahan dan pertukaran produk secara fisik. Fungsi fisik menjawab permasalahan mengenai kapan, apa dan dimana dalam pemasaran. Fungsi fisik terdiri dari:

a) Fungsi penyimpanan bertujuan untuk membuat produk tersedia pada waktu yang diinginkan. Fungsi penyimpanan diperlukan untuk menyimpan barang selama belum dikonsumsi atau menunggu untuk diangkut ke daerah pemasaran. Selama pelaksanaan penyimpanan dilakukan beberapa tindakan untuk menjaga mutu, terutama hasil-hasil pertanian yang mempunyai sifat mudah rusak.

b) Fungsi transportasi bertujuan untuk membuat produk tersedia pada tempat yang sesuai. Jenis alat transportasi dan rute yang dipilih berpengaruh terhadap biaya transportasi. Adanya keterlambatan dalam pengangkutan dan jenis alat angkut yang tidak sesuai dengan sifat barang yang diangkut dapat menimbulkan kerusakan dan penurunan mutu barang yang bersangkutan.

c) Fungsi pengolahan adalah kegiatan yang mengubah bentuk dasar dari produk.

3) Fungsi fasilitas merupakan fungsi yang memperlancar kinerja dari fungsi fisik dan fungsi pertukaran. Fungsi fasilitas terdiri dari:

(39)

21 b) Fungsi pembiayaan dibutuhkan khususnya dalam kegiatan operasional

pemasaran.

c) Fungsi penanggungan risiko yaitu penerimaan atas kemungkinan terjadinya kerugian karena kehilangan produk.. Risiko yang dihadapi dapat dibedakan menjadi risiko fisik dan risiko pasar. Risiko fisik terjadi pada produk secara fisik karena kecelakaan dan bencana alam. Risiko pasar terjadi karena fluktuasi harga di pasar.

d) Fungsi intelijensi pasar merupakan kegiatan dalam mengumpulkan, mengolah dan menginterpretasikan data yang penting dalam memperlancar operasi dari proses tataniaga. Penetapan harga yang efektif tergantung dari seberapa baik pembeli dan penjual memperoleh informasi. Penelitian pasar yang dilakukan untuk mengevaluasi saluran tataniaga yang efektif, cara yang berbeda dalam melakukan suatu fungsi tertentu, sasaran pasar potensial untuk produk baru merupakan fungsi yang lebih luas dari intelijensi pasar.

3.1.4. Struktur Pasar

Struktur pasar adalah tipe atau jenis pasar yang didefenisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Mc Kie, dalam Asmarantaka 2009). Beberapa ukuran untuk melihat struktur pasar antara lain:

1) Konsentrasi pasar, diukur berdasarkan persentase dari penjual/aset/pangsa pasar.

2) Kebebasan masuk-keluar pembeli dan penjual; perusahaan yang besar mempunyai kelebihan dalam menentukan price control dalam rangka mempertahankan konsentrasinya di dalam pasar.

3) Diferensiasi produk; pada perusahaan yang mempunyai konsentrasi pasar yang tinggi mempunyai kelebihan dalam menentukan diferensiasi produk untuk usaha meningkatkan keuntungannya.

(40)

22 tataniaga yang berperan sebagai penjual dapat berbentuk pasar persaingan sempurna, monopolistik, oligopoli murni, oligopoli diferensiasi dan pasar monopoli. Struktur pasar yang dihadapi oleh lembaga tataniaga jika berperan sebagai pembeli dapat berbentuk pasar persaingan sempurna, monopsonistik, oligopsoni murni, oligopsoni diferensiasi dan pasar monopsoni. Pasar persaingan sempurna memiliki ciri-ciri: jumlah pembeli dan penjual banyak, produk terstandarisasi atau bersifat homogen, tidak ada pengendalian harga, dan pembeli maupun penjual mudah untuk masuk-keluar dari pasar. Struktur pasar monopoli memiliki ciri-ciri: jumlah penjual satu dan jumlah pembeli bervariasi, ada pengendalian harga, tidak terdapat produk substitusi dan sulit untuk keluar atau masuk ke pasar. Struktur pasar persaingan sempurna dalam realitanya tidak dapat ditemukan.

Tabel 5. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat

No. Karakteristik Struktural Struktur Pasar

Jumlah Perusahaan Sifat Produk Sisi Penjual Sisi Pembeli

1. Banyak Standarisasi Persaingan

Sempurna

Persaingan Sempurna 2. Banyak Diferensiasi Monopolistik Monopsonistik

3. Sedikit Standarisasi Oligopoli

Murni

Oligopsoni Murni

4. Sedikit Diferensiasi Oligopoli

Diferensiasi

(41)

23 output. Cara yang dilakukan dapat melalui adopsi teknologi baru, produk baru atau pengelolaan yang berbeda sehingga mengurangi biaya atau meningkatkan output. Kedua, sistem kekuatan (power system) dimana setiap lembaga tataniaga mencoba mengembangkan kekutan spesifik seperti reputasi akan kualitas, menjadi pemimpin pasar, menjadi pengikut atau inovator, memperoleh kepercayaan dari komunitas dan pertumbuhan yang cepat. Ketiga, sistem komunikasi (communications system) dimana lembaga tataniaga berusaha untuk menciptakan saluran informasi yang efektif sehingga memudahkan dalam membuat keputusan yang tepat. Keempat, sistem yang mengadaptasi perubahan internal dan eksternal (system for adapting to internal and external change) khususnya bagaimana cara beroperasi sehingga lembaga tataniaga tetap dapat bertahan. Keempat sistem tersebut beroperasi pada sistem tataniaga pada saat yang sama.

Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, kemampuan pasar menerima jumlah produk yang dijual, stabilitas pasar dan pembayaran serta kerjasama diantara berbagai lembaga tataniaga. Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui peubah harga, biaya, marjin tataniaga dan jumlah komoditi yang dipasarkan sehingga akan memberikan penilaian baik/tidaknya suatu sistem pemasaran.

3.1.6. Marjin Tataniaga dan Farmer’s Share

(42)

24 proses bisnis dari aliran tataniaga dengan menganalisis fungsi-fungsi, kelembagaan dan keseluruhan sistem, mulai dari petani hingga konsumen akhir (Tomek dan Robinson, dalam Asmarantaka 2009).

Marjin tataniaga merupakan cerminan dari pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga. Oleh karena itu, tingginya marjin tataniaga suatu komoditi tidak secara pasti mencerminkan proses tataniaga yang tidak efisien. Fungsi tataniaga yang dilakukan setiap lembaga tataniaga biasanya berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan perbedaan harga jual antara lembaga yang satu dengan yang lain sampai ke tingkat konsumer akhir. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat atau semakin banyak fungsi yang dilakukan maka semakin besar perbedaan harga antara produsen dengan harga di tingkat konsumen. Besarnya marjin tataniaga pada saluran tataniaga tertentu dapat dinyatakan sebagai jumlah dari marjin pada masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat. Bagian yang diterima lembaga tataniaga dinyatakan dalam bentuk marjin absolut dan atau persentase (Asmarantaka 2009).

Hammond dan Dahl (1977) menyatakan bahwa nilai marjin tataniaga (value of marketing margin) merupakan perkalian antara marjin tataniaga dengan volume produk yang terjual atau VMM = [(Pr-Pf).Qrf] yang mengandung dua komponen yaitu marketing cost dan marketing charge. Komponen marketing cost (returns to factor) yaitu penjumlahan dari biaya tataniaga, yang merupakan balas jasa terhadap input-input tataniaga yang bentuknya dapat berupa upah, bunga, sewa dan keuntungan. Komponen marketing charge (returns to institution) merupakan aspek balas jasa terhadap kelembagaan tataniaga yang terlibat dalam proses penyaluran atau pengolahan komoditi yang dipasarkan (pedagang pengumpul, pengolah, grosir, agen dan pengecer). Penjelasan melalui gambar dapat dilihat pada Gambar 1.

(43)

25 tingkat konsumen akhir relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga yang diterima oleh petani. Sebaliknya, farmer’s share mempunyai nilai yang relatif lebih tinggi jika harga di tingkat konsumen akhir tidak terpaut jauh jika dibandingkan dengan harga yang diterima oleh petani.

Keterangan:

Pr : Harga di tingkat pengecer Pf : Harga di tingkat petani Sr : Supply di tingkat pengecer Sf : Supply di tingkat petani Dr : Demand di tingkat pengecer Df : Demand di tingkat petani Qr.f : Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer

Gambar 1. Konsep Marjin Tataniaga Sumber: Hammond dan Dahl (1977)

3.1.7. Efisiensi Tataniaga

Tataniaga yang efisien merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem tataniaga. Efisiensi tataniaga dapat tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan kepada pihak-pihak yang terlibat yaitu produsen, konsumen akhir dan lembaga-lembaga tataniaga. Namun ukuran untuk

(44)

26 menentukan ukuran kepuasan tersebut adalah sulit dan sangat relatif. Oleh karena itu, indikator efisiensi yang sering digunakan adalah efisiensi operasional (teknik) dan efisiensi harga (Kohls dan Uhl 2002; Raju dan Open, dalam Asmarantaka 2009).

Soekartawi (2002) menyatakan bahwa konsep efisiensi tataniaga sangat luas dan tampaknya belum ada definisi yang pasti dari efisiensi tataniaga. Rashid dan Chaudry (1973) dalam Soekartawi (2002) menyadari sulitnya mengukur efisiensi tataniaga sehingga mengajukan preposisi bahwa efisiensi tataniaga terdiri dari efisiensi teknis dan ekonomi. Beberapa faktor yang menyatakan kegiatan tataniaga dikatakan efisien apabila biaya tataniaga dapat dihemat sehingga keuntungan tataniaga dapat lebih tinggi, persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi, tersedianya fasilitas fisik tataniaga dan adanya kompetisi pasar yang sehat.

Efisiensi operasional (teknis) berhubungan dengan penanganan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan rasio dari output-input tataniaga. Input adalah biaya berupa beragam sumberdaya yang digunakan dalam melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Output adalah kepuasan konsumen (benefits) terhadap barang dan jasa yang berhubungan dengan kegunaan waktu, bentuk, tempat dan kepemilikan. Biaya tataniaga secara sederhana adalah jumlah dari semua harga sumber daya yang dipergunakan dalam proses tataniaga. Efisiensi operasional dapat terjadi karena perbaikan dalam cara operasi karena penemuan metode baru atau teknologi baru. Efisiensi operasional dapat dicapai pada tiga kondisi yaitu: 1) Menurunkan biaya input tanpa menurunkan manfaat/kepuasan konsumen. 2) Meningkatkan kegunaan output tanpa meningkatkan biaya input.

3) Meningkatkan output dengan meningkatkan biaya input dengan catatan peningkatan output masih lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan biaya input.

(45)

27 tataniaga) mulai dari petani hingga ke konsumen akhir. Efisiensi operasional menurut Asmarantaka (2009) lebih tepat menggunakan rasio antara keuntungan (R) dengan biaya (C) karena pembanding opportunity cost dari biaya adalah keuntungan sehingga indikatornya adalah R/C dan nilainya harus positif. Jika penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya merata pada setiap lembaga tataniaga, maka secara teknis saluran tataniaga tersebut semakin efisien. Rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rasio keuntungan/biaya (R/C) = Ci

i

R

Keterangan : Ri : keuntungan lembaga tataniaga ke-i Ci : biaya pemasaran lembaga tataniaga ke-i

Berdasarkan struktur pasar maka pasar persaingan sempurna secara norma merupakan pasar yang efisien sedangkan monopoli merupakan pasar yang tidak efisien. Namun pasar persaingan sempurna maupun monopoli secara aktual sulit atau tidak ditemukan sehingga digunakan efisiensi relatif dimana sistem pasar yang mendekati karakteristik pasar persaingan sempurna (kompetitif) adalah efisien dan struktur pasar yang mendekati karakteristik monopoli adalah tidak efisien.

(46)

28 3.2. Kerangka Operasional

Tataniga markisa ungu di Kabupaten Karo melibatkan petani dan lembaga-lembaga tataniaga dalam mendistribusikan markisa hingga berada di tangan konsumen akhir. Daya tawar (bargaining position) petani markisa ungu lebih rendah jika dibandingkan dengan lembaga tataniaga markisa ungu di Kabupaten Karo sehingga petani menjadi penerima harga (price taker) dalam aktivitas jual beli buah markisa ungu. Petani menghadapi fluktuasi harga hingga 500 persen sementara fluktuasi harga di pedagang pengecer hanya 67 persen. Terdapat perbedaan yang signifikan antara harga yang diterima petani dengan harga beli oleh konsumen akhir. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan yang layak untuk diteliti yaitu: bagaimana tataniaga markisa ungu dan bagaimana tingkat efisiensi relatif tataniaga markisa ungu serta alternatif saluran tataniaga yang relatif efisien.

Petani dan masing-masing lembaga tataniaga saling berinteraksi dan mempunyai peranan yang berbeda-beda dalam saluran tataniaga. Lembaga tataniaga berfungsi sebagai perantara petani dengan konsumen akhir. Lembaga tataniaga terdiri dari pedagang pengumpul, grosir, pedagang antar kota, pabrik pengolah, pedagang pengecer, cafe minuman dan toko minuman. Dalam penelitian ini pengambilan responden terhadap petani dengan menggunakan metode purposive dan pengambilan sampel terhadap lembaga tataniaga dengan menggunakan metode snowball sampling. Interaksi yang terjadi dapat dianalisis dengan pendekatan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan dalam menganalisis lembaga dan saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Analisis kuantitatif digunakan dalam menganalisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.

(47)
(48)

30 Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Analisis

(49)

31 IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) karena Kabupaten Karo merupakan sentra utama penghasil markisa di Provinsi Sumatera Utara. Desa Seberaya dipilih karena merupakan salah satu desa sentra penghasil markisa di Kabupaten Karo. Penelitian juga dilakukan terhadap pedagang yang ada di Pasar Kecamatan Tigapanah, Pasar Bawah Berastagi, Pasar Buah Berastagi, Pasar Sentral Medan, pabrik pengolah markisa di Berastagi, cafe dan toko minuman. Penelitian di lapangan dilakukan pada bulan Desember 2010 hingga Januari 2011.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung (observasi), wawancara disertai pengisian kuesioner dengan para petani dan lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Data primer yang diperoleh dari responden mencakup aktivitas yang dilakukan, biaya-biaya yang dikeluarkan, harga beli dan harga jual.

Data sekunder diperoleh dari tinjauan pustaka dan berbagai referensi pendukung serta penelitian terdahulu yang berkaitan erat dengan penelitian ini. Data sekunder berupa data produksi, luas lahan dan produktivitas diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Direktorat Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Pertanian Kabupaten Karo, Penyuluh Pertanian Kecamatan Tigapanah dan Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara.

4.3. Metode Pengambilan Responden

(50)

32 mengusahakan markisa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir walapun tidak secara terus-menerus. Karakteristik petani markisa ungu di Desa Seberaya dengan luas lahan lebih sempit dan pohon markisa lebih sedikit akan menghasilkan jumlah produksi markisa yang berbeda dengan petani yang memiliki lahan lebih luas dan pohon markisa lebih banyak. Perbedaan jumlah produksi oleh petani markisa kemungkinan akan menyebabkan pola saluran tataniaga yang berbeda. Namun para petani markisa pada umumnya mempunyai kesamaan dalam hal sumber pembelian input usahatani dan kesuburan lahan. Petani markisa yang dipilih menjadi petani responden dengan bantuan petugas penyuluh pertanian Kecamatan Tigapanah. Dengan cara tersebut, maka petani responden yang dipilih diasumsikan sudah dapat mewakili populasi petani markisa di Desa Seberaya secara khusus dan Kabupaten Karo secara umum.

Penentuan responden terhadap lembaga tataniaga markisa ungu dilakukan dengan metode snowball sampling yaitu dengan cara mengikuti saluran tataniaga yang dilalui mulai dari petani responden (20 orang) hingga ke konsumen akhir. Jumlah lembaga tataniaga yang diwawancarai berdasarkan kondisi yang ada di lapangan.

4.4. Metode Analisis Data

Data dan informasi yang telah diperoleh dari lapangan dianalisis dengan metode yang sesuai sehingga diperoleh kesimpulan yang tepat. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan dalam menganalisis saluran dan kelembagaan tataniaga, analisis fungsi-fungsi tataniaga dan analisis struktur pasar serta analisis perilaku pasar. Analisis kuantitatif digunakan dalam menganalisis efisiensi tataniaga yaitu analisis marjin tataniaga, analisis farmer’s share dan analisis rasio keuntungan terhadap biaya.

4.4.1. Analisis Kelembagaan, Fungsi-Fungsi dan Saluran Tataniaga

Gambar

Gambar 1.  Konsep Marjin Tataniaga
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Analisis
Tabel 6.  Data Luas Lahan, Jumlah Pohon Markisa dan Rata-Rata Produksi per
Tabel 9.  Lembaga, Fungsi dan Aktivitas Tataniaga Markisa Ungu
+5

Referensi

Dokumen terkait

at 536 (finding that “[s]ection 113(i)’s legislative history reveals that CERCLA’s right of intervention was not intended to extend to non-settling [polluters] seeking to protect

adalah peserta didik yang ditunjuk bertugas menyanyikan lagu Indonesia Raya, lagu Mengheningkan Cipta, dan lagu wajib nasional lainnya pada saat yang telah ditentukan

(S1) Fakultas Hukum USU Medan, adapun judul penelitan ini adalah “ Penyelesaian Pembagian Harta Warisan menurut Hukum Adat Tapanuli Selatan, di Kecamatan Angkola Barat ”

Alur kerja penelitian yang dilakukan adalah dengan cara membuat instrumen penelitian yang terdiri dari beberapa peralatan yaitu sebuah pemancar gelombang elektromagnetik

Meskipun teknologi ini tetap membutuhkan kabel, namun tidak sebanyak pada jaringan lokal kabel, pada wireless hanya butuh kabel beberapa meter saja dan tidak sampai memerlukan

Karena fasilitas yang ditawarkannya kini berbagai pihak banyak yang mengembangkan system ini, Dimana sistem seperti ini dapat menguntungkan pihak konsumen untuk

In this research, we develop concept mapping between student characteristics and categories by Felder- Silverman Learning Style Model and appropriate content inside a

Adapun dari hasil bahwa pelanggaran hak siar dalam penyelesian perkara pidana dianggap sah karena pada hakikatnya yang terpenting dalam tindak pidana pelanggaran hak siar