• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Konsep tentang Kader

2.2.1. Pengertian dan Tugas Kader

Kader adalah warga masyarakat pada tempat yang dipilih atau dituju oleh masyarakat, dengan kata lain kader kesehatan merupakan wakil dari warga setempat untuk membantu masyarakat dalam masalah kesehatan, agar diperoleh kesesuain ántara fasilitas pelayanan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan (Depkes RI, 2005).

Kader adalah siapa saja dari anggota masyarakat yang mau bekerja secara suka rela dan iklas, mau dan sanggup malaksanakan kegiatan usaha perbaikan gizi keluarga. Secara umum kader diartikan sebagai tenaga sukarela yang tertarik dalám bidang tertentu, tumbuh dalam masyarakat dan merasa berkewajiban untuk melaksanakan dan meningkatkan serta membina kesejahteraan termasuk dalam bidang kesehatan (Depkes RI, 2005).

Adapun Tugas Kader adalah sebagai berikut :

Mengingat bahwa kader bukanlah tenaga profesional dan teknis, melainkan hanya membantu dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar, untuk itu perlu adanya pembagian tugas yang diembankan padanya, baik menyangkut jumlah maupun jenis pelayanan. Adapun tugas kader adalah sebagai berikut:

a. Sehari sebelumnya semua ibu hamil, ibu menyusui, ibu balita diberitahu akan adanya kegiatan posyandu.

b. Mencatat semua sasaran wanita usia subur, pasangan usia subur dan lanjut usia. Mempersiapkan alat-alat dan bahan yang akan diperlukan, bila ada yang

kurang dan belum tersedia dapat meminjam dan meminta pada petugas atau membuat sendiri.

c. Pembagian tugas diantara sesama kader dan dibantu oleh ibu-ibu lainnya, misalnya: kegiatan sebelum hari H posyandu (H+), hari H posyandu, dan

sesudah H (H-).

2.2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Keaktifan Kader

Keaktifan kader adalah keterlibatan kader dalam kegiatan kemasyarakatan yang merupakan pencerminan akan usahanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang dirasakan dan pengabdian terhadap pekerjaannya sebagai kader. Keaktifan kader posyandu tersebut dari ada atau tidaknya dilaksanakan kegiatan-kegiatan posyandu sebagai tugas dan tanggungjawab yang diembankan padanya, kegiatan ini akan berjalan dengan baik bila didukung oleh fasilitas yang memadai. Fasilitas yang disediakan hendaknya harus cukup dan sesuai dengan tugas dan fungsi yang harus dilaksanakan serta adanya tersedia waktu, tempat yang tepat, sesuai dan layak untuk menunjang kegiatan posyandu (Depkes RI, 2006).

Menurut Martoyo (2000) mengutip pendapat Maslow (1970), menyatakan bahwa sebagian besar perilaku sadar dari manusia berdasarkan adanya motif (kebutuhan tertentu). Disebutkan pula bahwa motif memiliki tingkatan-tingkatan mulai dari yang terendah sampai tertinggi. Motif terendah adalah kebutuhan psikologis seperti makan, minum, seks, dan sebagainya. Di atas kebutuhan dasar adalah kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan rasa disukai dan menyukai, kebutuhan

akan kedudukan atau status, tertinggi adalah kebutuhan akan meningkatnya peran serta diri atau pengabdian. Rasa pengabdian sesungguhnya akan dimiliki oleh orang yang telah mencapai tingkatan kebutuhan tertinggi.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan para peneliti sebelumnya yang dianggap ada relevansinya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis antara lain adalah penelitian yang dilakukan Anies dan Irawati tahun 2000.

Hasil penelitian Anies dan Irawati (2000) yang berjudul “faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan kader posyandu” melakukan penelitian di Kecamatan Mianggo Kabupaten Jepara ditemui beberapa masalah dan hambatan kader dalam pelaksanaan kegiatan posyandu antara lain sebagai berikut:

Kurangnya korodinasi antara tokoh masyarakat, pamong pemerintah, tenaga kesehatan dan kader, serta lintas program dan lintas sektor yang terkait di luar kesehatan, yaitu sebagai berikut;

1. Tokoh masyarakat (pemuka agama) belum sepenuhnya berperan aktif

2. Kader (yang bersifat tenaga sukarela) tidak dapat melaksanakan aktifitasnya secara rutin.

3. Latar belakang pendidikan serta perekonomian kader relatif masih rendah. 4. Kurangnya pembinaan (supervisi) dari puskesmas dan dinas kesehatan.

5. Buku petunjuk pedoman (manual) posyandu yang belum tersebar secara merata.

6. Belum ada keserasian jadwal kerja puskesmas dengan kegiatan posyandu. Menurut Anies dan Irawati (2000) di Sukabumi dan Kerawang meneliti pada masyarakat nelayan dan tani sebanyak 67 posyandu, 170 kader, 50 pembina dan

1.234 pengguna posyandu menemukan bahwa ciri-ciri kader aktif adalah sebaiknya tidak mempunyai pekerjaan tetap, mempunyai pengalaman menjadi kader sekurangnya 60 bulan, tidak ada pergantian kader sedikitnya dalam setahun dan jumlah kader setiap posyandu 5 orang, layanan yang diharapkan pengguna posyandu agar mendapat PMT untuk balita, kesediaan pengguna memberi imbalan untuk kader yang bekerja secara suka rela, pendidikan kader harus SLTA ke atas.

Menurut Razak (2006) dalam penelitiannya di Makasar menemukan bahwa kader posyandu sebaiknya tidak mempunyai pekerjaan tetap, mempunyai pengalaman menjadi kader sekurang-kurangnya 60 bulan, jumlah kader sedikitnya 5 orang, tidak ada pergantian kader sedikitnya dalam setahun, pendidikan SLTA ke atas.

Sementara itu pada penelitian yang dilakukan di kelurahan Tegal II Sumatera Utara menemukan ciri-ciri kader aktif adalah : sudah menikah, berpenghasilan, ada sarana dan fasilitas posyandu, adanya pelatihan dan pembinaan dari tenaga kesehatan dan tenaga lain yang terkait (Nurhayati, 1997).

Menurut para ahli dan beberapa peneliti tentang kader antara lain Hartono (1978) Sumardilah (1985) di Kebayoran Lama Jakarta menemukan ciri-ciri kader yang aktif adalah : berumur 25-34 tahun, ibu rumah tangga, tidak bekerja, pendidikan tamat SLTP dan sederajad, mempunyai rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya, dapat mengikuti kegiatan sosial bermasyarakat, inovatif, tinggal di RW/RT posyandu berada, mempunyai motivasi yang positif.

Menurut Prayudha (1990) jumlah kendala yang menghadang upaya revitalisasi posyandu diantaranya, kurang kesadaran warga akan arti pentingnya keberadaan posyandu, keterbatasan ketrampilan kader, serta minimnya pendanaan.

2.2.3. Keaktifan dan Pembentukan Kader

Keaktifan kader adalah keterlibatan kader dalam kegiatan kemasyarakatan, yang merupakan pencerminan akan usahanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang dirasakan dan pengabdian terhadap pekerjaannya sebagai kader posyandu. Keaktifan kader tersebut dapat dilihat dari ada atau tidaknya dilaksanakan kegiatan- kegiatan sebagai tugas dan tanggung-jawab yang diembankan padanya, kegiatan ini akan berjalan dengan baik bila didukung oleh fasilitas yang memadai. Bila fasilitas kerja yang disediakan harus cukup dan sesuai dengan tugas dan fungsi yang harus dilaksanakan serta adanya tersedia waktu dan tempat yang tepat (Depkes RI, 2006).

Pembentukan kader merupakan salah satu metode pendekatan edukatif, untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan di bidang kesehatan. Dan menjadi pelopor pembaharuan untuk mencapai visi dan misi Indonesia sehat tahun 2010 bagi masyarakat. Dalam rangka mencapai Indonesia sehat tahun 2010 untuk pelayanan kesehatan diarahkan pada prinsip bahwa manusia bukan objek dari misi dan visi tersebut, pada hakekadnya pelayanan kesehatan dipolakan mengikutsertakan masyarakat secara aktif dan bertanggung jawab. Keikutsertakan masyarakat dalam meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan adalah atas dasar terbatasnya daya dan dana di dalam operasional pelayanan kesehatan masyarakat.

Dengan demikian sangat menentukan keaktifan masyarakat akan memamfaatkan sumber daya yang ada di dalam masyarakat seoptimal mungkin. Pemikiran ini merupakan penjabaran dari karsa pertama, berbunyi meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan (Depkes RI, 2006).

2.2.4. Karakteristik dan Strategi Revitalisasi Posyandu a. Umur

Umur adalah usia seseorang yang dihitung mulai sejak lahir sampai dengan batas terahkir masa hidupnya. Umur sangat mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan di posyandu.

Menurut Bahri (1981), Sumardilah (1985), menyatakan bahwa ciri-ciri kader yang aktif sebaiknya berumur antara 25-34 tahun, karena pada masa muda kader mempunyai lebih motivasi yang positif, merasa lebih bertanggungjawab, dan inovatif.

b. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh dan dimiliki oleh seorang kader posyandu dengan mendapatkan sertifikasi kelulusan/ijazah, baik sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), dan perguruan tinggi (PT).

Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari masukan (input), yaitu sasaran pendidikan, keluaran (output) yaitu suatu bentuk perilaku baru

atau kemampuan baru dari sasaran pendidikan. Proses tersebut dipengaruhi oleh perangkat lunak (soft ware) yang terdiri dari kurikulum, pendidik, metode dan sebagainya serta perangkat keras (hard ware) yang terdiri dari ruang, perpustakaan (buku-buku), dan alat-alat bantu pendidikan lain (Notoatmodjo, 2005).

Jalur pendidikan formal akan membekali seseorang dengan dasar-dasar pengetahuan, teori dan logika, pengetahuan umum, kamampuan analisis serta pengembangan kepribadian. H.L. Blum menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu proses dengan tujuan utama menghasilkan perubahan perilaku manusia yang secara operasional tujuannya dibedakan menjadi 3 aspek yaitu; pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan aspek ketrampilan (psikomotor).

Azwar, 2002 menerangkan bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan untuk memperoleh hasil berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang. LW.Green, (1980) menyatakan bahwa gangguan terhadap penyakit juga disebabkan oleh manusia itu sendiri, terutama menyangkut pendidikan, pengetahuan dan sikap seseorang dalam menjaga kesehatan, sehingga ia mempunyai kesadaran tinggi terhadap kesehatan baik kesehatan pribadi maupun kesehatan keluarga, begitu juga dalam mengkonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi dan cukup kalori sehingga dapat menjaga kesehatannya terutama pada saat ibu hamil (Azwar, 2007).

Pendidikan yang tinggi seseorang akan lebih mudah memahami tentang suatu imformasi, bila pendidikannya tinggi maka dalam menjaga kesehatan sangat diperhatikan, termasuk cara menjaga bayi, mengatur gizi seimbang, dan sebaliknya dengan pendidikan rendah sangat sulit menterjemahkan tentang imformasi yang ia

dapatkan, baik dari petugas kesehatan maupun dari media-media lainnya. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesehatan keluarga. Jika pendidikan tinggi, maka banyak mengetahui, ada kemauan untuk mengerjakan apa yang dapat bermanfaat bagi keluarganya.

Penelitian di 11 negara oleh pusat Demografi Amerika Latin (Grant, 1984) menunjukan bahwa pengaruh pendidikan ibu terhadap kesempatan hidup anak ternyata lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh tingkat pendapatan rumah tangga. Pengamatan di Kenya mencatat adanya penurunan tingkat kematian bayi sebesar 86% setelah dilaksanakan program peningkatan pendidikan kaum wanita (Kardjati, 2000).

c. Pekerjaan

Pekerjaan adalah tugas utama atau kegiatan rutinitas yang dimiliki oleh seorang kader posyandu untuk membantu, dan membiayai kehidupan keluarganya serta menunjang kebutuhan rumah tangganya. Pekerjaan juga dapat mempengaruhi seseorang dalam menjaga kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan keluarga. Karakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan karena kesibukan membuat seseorang terabaikan akan kesehatannya, termasuk kader posyandu. Kesibukan akan pekerjaan terkadang ibu lupa terhadap tugas dan tanggungjawab yang diembankan padanya. Sebaiknya seorang kader posyandu tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, dan mempunyai pengalaman yang lama menjadi kader sekurang-kurangnya 60 bulan, dan tidak adanya pergantian kader dalam satu tahun, serta jumlah kader setiap posyandu lima orang (Benny, 2005).

Disamping itu adanya hubungan antara jenis pekerjaan dengan keaktifannya sebagai keder, misalnya saja seorang ibu yang dengan kesibukan tertentu akan mempengaruhi keaktifan posyandu sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan setiap bulannya. Begitu juga dengan status sosial ekonomi yang lemah dapat mempengaruhi kelancaran kegiatan posyandu dan menjadi faktor penghambat dalam melaksanakan tugasnya ( Notoadmodjo,2005 ).

d. Status Perkawinan

Status perkawinan adalah suatu bentuk perkawinan antara laki-laki dan perempuan secara syah dipandang dari segi agama melalui pernikahan dengan mempunyai surat nikah dan terdaftar di kantor agama. Status perkawinan sangat mempengaruhi seseorang kader dalam melaksanakan kegiatan posyandu, karakteristik yang berkaitan dengan perkawinan karena larangan suami membuat seseorang kader terabaikan akan kegiatan posyandu setiap bulan, sebaliknya yang sudah kawin mempunyai motivasi tinggi untuk menjadi kader, karena adanya keinginan untuk menambah pendapatan keluarga (Nurhayati, 1997).

e. Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi seseorang. Newcomb dalam buku Notoatmodjo(2005), menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup.

Sikap terdiri-dari 3 komponen pokok yaitu; kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave). Artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Ketiga komponen tesebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total adtitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo, 2005).

f. Motivasi

Motif adalah sesuatu yang merupakan alasan mengapa seseorang memulai tindakan. Motivasi adalah suatu set atau kumpulan perilaku yang memberikan landasan bagi seseorang untuk bertindak dalam suatu cara yang diarahkan kepada tujuan spesifik tertentu (spesific goal directed way). Memotivasi adalah menunjukan arah tertentu kepada seseorang sekelompok orang dan mengambil langkah yang perlu untuk memastikan mereka sampai ketujuan (Soeroso, 2003). Motivasi adalah: kemampuan individu, kecerdasan, keterampilan, dan pengetahuan. Persepsi peranan, perasaan individu tentang pekerjaan yang ditugaskan. Motivasi muncul dalam dua bentuk dasar, yaitu :

1. Motivasi ekstrinsik (dari luar)

Berdasarkan pendapat McClelland dan Edward Murray, dapat dikemukakan bahwa karakteristik orang mempunyai motivasi berprestasi tinggi antara lain : memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi, memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta berjuang untuk merealisasinya, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil resiko yang dihadapinya, melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan, mempunyai keinginan untuk menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya motivasi, antara lain kebutuhan. Teori yang paling terkenal adalah teori hierarki.

Abraham Maslow (1970), menyatakan bahwa terdapat lima kelompok kebutuhan utama manusia, yaitu : kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan bersosialisasi, kebutuhan ego/penghargaan, kebutuhan beraktualisasi diri. Pada hakekadnya manusia selalu mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhannya.

Terdapat beberapa cara terbaik untuk menerapkan konsep motivasi dengan mengembangkan model motivasi, melalui pengenalan motivasi model-model motivasi seseorang dapat dimotivasi berproduksi dan berprestasi. Adapun model- model tersebut adalah; Model manusia rasional, seseorang akan termotivasi mendapatkan penghargaan berupa uang bila berprestasi atau hukuman bila tidak berprestasi. Model hubungan manusia ini menunjukkan bahwa produktifitas secara langsung berhubungan dengan kepuasan kerja yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor instrinsik.

Menurut Mangkunegara (2005) mengutip pendapat Amstrong; Robins (1991) (1998) bahwa Model aktualisasi diri, seseorang tidak dipengaruhi oleh sistem yang mengendalikan dari luar, tetapi bisa mengarahkan diri dan mengendalikan diri sendiri dalam pencapaian sasaran.

Model komplek, memandang dua faktor utama yang menentukan motivasi seseorang pada saat diberikan penugasan yaitu, nilai penghargaan kepada individu, harapan bahwa usaha yang dilakukan akan menghasilkan penghargaan yang mereka inginkan. Usaha tersebut harus efektif apabila akan menghasilkan prestasi kerja yang dikehendaki.

Menurut Mangkunegara (2005) mengutip pendapat Osborne dan Plastrik (2000), terdapat tujuh faktor penting yang dapat digunakan untuk memotivasi kinerja seseorang (Motivator) yaitu; Prestasi, pengakuan, tantangan, kepentingan, tanggung jawab, promosi, gaji dan tunjangan.

g. Pelatihan

Pelatihan adalah suatu upaya kegiatan yang dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan, pengetahuan, ketrampilan teknis dan dedikasi kader posyandu. Memperluas sistem posyandu dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan di hari buka dan kunjungan rumah. Serta menciptakan iklim kondusif untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan pemenuhan sarana, prasarana, pelaporan dan pendataan kerja posyandu (Depkes RI, 2005).

Menurut Frank Sherwood dan Wallas Best dalam (Moekijat,1981 : 5), pelatihan adalah : Training is the procåss of aiding employees to gain effektiviness in thair

present of future work through the development of appropriate habist of thought and action, skill, knowledge, and attitudes ( pelatihan adalah proses membantu pegawai

untuk memperoleh efektifitas dalam pekerjaan mereka yang sekarang atau yang akan datang melalui pengembangan kebiasaan-kebiasaan pikiran, tindakan, dan keterampilan.

Materi dalam pelatihan kader dititik beratkan pada keterampilan teknis menyusun rencana kerja kegiatan di posyandu, cara yang benar dalam menimbang balita, menilai pertumbuhan anak baik fisik maupun mental, cara menyiapkan kegiatan pelayanan seseuai dengan kebutuhan anak dan ibu, menyiapkan peragaan cara pemberian makanan tambahan (PMT), makanan pendamping ASI untuk anak yang pertumbuhannya tidak sesuai, membantu pemeriksaan ibu hamil dan menyusui, serta membuat pelaporan.

Pelatihan bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sekaligus dedikasi kader agar timbul kepercayaan diri untuk melaksanakan tugas sebagai kader posyandu dalam melayani masyarakat, baik di posyandu maupun saat melakukan kunjungan rumah (Depdagri & Otda, 2001)

Menurut Mortoyo (2000) mengutip pendapar Moekijat (1981) tujuan umum dari pelatihan sebenarnya adalah :

1. Untuk mengembangkan keahlian seseorang sehingga pekerjaan dapat

diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif.

2. Untuk mengembangkan keahlian dan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional.

3. Untuk mengembangkan sikap sehingga menimbulkan kemajuan kerja sama dengan sesama teman sekerja dan di luar kerja serta dengan pimpinan (Moekijad, 1981)

Plippo membedakan antara pelatihan (training) dengan pendidikan adalah “training is concerned with increasing knowledge and skill in doing a particular job,

education is concerned with increasing general knowledge and understanding our total environment”. General knowledge and understanding our total environment”

(training/pelatihan berhubungan dengan menambah pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, pendidikan berhubungan dengan penambahan pengetahuan umum dan pengertian tentang seluruh lingkungan kita).

Agar pelatihan kader dapat berjalan efektif, maka diperlukan unsur pelatih kader yang mampu berdedikasi dalam memberikan pelatihan secara efektif dan berkesinambungan, yakni melalui pendampingan dan bimbingan. Pelatihan kader diberikan secara berkelanjutan berupa pelatihan dasar dan berjenjang yang berpedoman pada modul.

h. Dukungan

Sarwono (1990) mendeskripsikan bahwa dukungan sosial adalah suatu kesenangan, perhatian, penghargaan dan bantuan yang diberikan dan dirasakan oleh orang lain atau kelompok. Dukungan juga merupakan suatu upaya yang diberikan kepada kader posyandu baik secara moril maupun materil untuk mendorong kader dalam melakukan kegiatan posyandu. Dukungan ini seharusnya diberikan oleh masyarakat dan pemimpin dalam masyarakat. De Santis dkk (1996) berpendapat

bahwa kepuasan kerja seseorang dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adalah dukungan dari lingkungan kerjanya, ciri pekerjaannya dan situasi.

Menurut Yusuf (2007) mengutip pendapat Daravino (1990), dukungan juga merupakan suatu upaya yang diberikan kepada kader posyandu, baik secara moril maupun materil untuk mendorong kader dalam melakukan kegiatan posyandu. Sedangkan menurut penulis sendiri berpendapat bahwa tugas kader posyandu untuk mengelola dan melayani masyarakat dalam rangka mendukung peningkatan kualitas SDM dini merupakan tugas yang berat dan dilakukan secara suka rela. Berkaitan dengan hal tersebut, mengingat berbagai keterbatasan yang dimiliki kader, maka keberhasilannya akan sangat tergantung dari seberapa jauh upaya pelaksanaan tugas kader mendapatkan dukungan pendampingan maupun bimbingan dari tenaga profesional terkait maupun dari para tokoh masyarakat.

Secara teknis dukungan pendampingan dapat dilakukan oleh tenaga profesional pada saat posyandu buka, yakni melalui pelayanan pada meja II, III, IV dengan cara meningkatkan keterampilan kader dalam menimbang, mencatat hasil penimbangan, serta melakukan penyuluhan perorangan tentang hal-hal yang perlu diketahui oleh para ibu baik untuk dirinya maupun untuk anak dan keluarganya.

i. Struktur

Struktur adalah merupakan suatu titik organisasi posyandu untuk mengendalikan atau membedakan bagian yang satu dengan bagian yang lain, kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lain yang akan memudahkan organisasi dalam mengendalikan perilaku para karyawan/pegawai. Artinya para pegawai tidak mampu

membuat pilihan yang mutlak dan bebas dalam melakukan sesuatu pekerjaan dan cara mengerjakannya. Struktur juga sangat mempengaruhi perilaku dan fungsi kegiatan di dalam organisasi. Untuk dapat menciptakan efektivitas dan efisienci organisasi diperlukan keputusan yang sarat dengan mendesain struktur organisasi, isi dari keputusan sangat penting dipusatkan kepada pekerjaan individu bagaimana membagi tugas secara menyeluruh menjadi tugas yang lebih kecil secara berurutan, dan bagaimana membagi wewenang kepada pekerjaan (Riduwan, 2005)

Menurut Riduwan (2005) mengutip pendapat Robins (1994:260) menjabarkan sebuah struktur organisasi mempunyai 3 (tiga) komponen yaitu:

1. Kompleksitas, mempertimbangkan tingkat diferensiasi yang ada dalam organisasi termasuk di dalamnya tingkat spesialisasi atau tingkat pembagian kerja serta jumlah kegiatan di dalam hirarkhis organisasi serta tingkat sejauh mana unit-unit organisasi tersebar secara geografis.

2. Formulasi, beberapa organisasi beropersi dengan pedoman yang telah

distandarkan secara minimum.

3. Sentralisasi, mempertimbangkan dimana letak dari pusat pengambilan keputusan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa keputusan desain (pembagian kerja, pendelegasian wewewnang, departementalisasi, dan rentang kendali) yang menghasilkan struktur organisasi. Dengan memakai konsep struktur organisasi dari hubungannya dengan prestasi perilaku, kepuasan, kemampuan, motivasi, dan pelayanan serta variabel lain terhadap 3 (tiga) dimensi yang lazim digunakan yaitu : formasi, sentralisasi dan kompleksitas.

j. Keaktifan Kader

Secara umum keaktifan kader posyandu adalah suatu frekwensi keterlibatan dan keikutsertaan kader dalam melaksanakan kegiatan posyandu secara rutin setiap bulan, yaitu bila kader membantu melaksanakan seluruh kegiatan di posyandu lebih dari 8 (delapan) kali dalam dua belas (12) bulan atau sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terakhir secara berturut-turut (Depkes RI, 2005).

Aktif atau tidaknya pelaksanaan kegiatan posyandu sangat dipengaruhi oleh perilaku dari pada kader dalam melakukan kegiatan di posyandu. Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia mempunyai bentangan yang sangat lugas, mencakup : berbicara, berjalan, bereaksi, berpakaian, dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan internal seperti berpikir, persepsi, dan emosi juga merupakan perilaku manusia.

Menurut Green (2005), perilaku manusia merupakan refleksi dari beberapa gejala kejiwaan, seperti keinginan, minat, kehendak pengetahuan, emosi, berpikir, sikap, motivasi, reaksi dan sebagainya, namun sulit dibedakan antara refleksi dengan kejiwaan. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan yang tercermin dalam perilaku manusia itu adalah pengalaman, keyakinan, sarana fisik, dan sosio masyarakat, aktif tidaknya seseorang dalam melakukan suatu tindakan sangat

Dokumen terkait