• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Gender

Terdapat dua kelompok atau golongan yang mendefinisikan gender secara berbeda. Kelompok yang pertama adalah sekelompok feminis yang mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin tidak menyebabkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam tataran sosial. Kelompok kedua menganggap bahwa perbedaan jenis kelamin akan menyebabkan perbedaan perlakuan atau peran berdasarkan gender. Misalnya ada perlakuan khusus pada pekerja wanita karena kondisi biologisnya, seperti cuti hamil, cuti haid, pemberian jam kerja malam, dan sebagainya (Megawangi 1999). Gender diartikan sebagai konstruksi sosio kultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminin. Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (Moore, 1988 ; 1994 ; 10 diacu dalam Kodiran dkk 2001). Walaupun jenis kelamin laki-laki sering berkaitan erat dengan gender maskulin dan jenis

kelamin perempuan dengan gender feminin, kaitan antara jenis kelamin dengan gender bukan merupakan korelasi absolut (Mosse 1996 diacu dalam Kodiran dkk 2001).

Dalam pembahasan mengenai gender terdapat dua konsep teori, yaitu teori nature dan nurture. Menurut teori nature, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat sehingga harus diterima sedangkan menurut teori nurture, perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya (Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN & UNFPA 2005). Sandra Bem menjelaskan karakteristik feminin (seperti lembut, manja, perasa, sensitif, penuh perhatian, penuh rasa cinta) yang sangat erat dengan perempuan dan karakteristik maskulin (seperti berkepribadian keras, tegas, kerja keras, senang berkompetisi, punya rencana yang sistematis, kurang sensitif) yang sangat erat dengan laki-laki. Namun demikian, kedua sifat tersebut bercampur di dalam setiap individu baik laki-laki maupun perempuan (Bem 1990 diacu dalam Puspitawati 2006). Berikut ini adalah perbedaan seks dan gender :

Karakteristik Seks Gender

Sumber pembeda Tuhan Manusia (masyarakat) Visi dan misi Kesetaraan Kebiasaan

Unsur pembeda Biologis Kebudayaan Sifat Kodrat, tertentu, tidak

dapat dipertukarkan

Harkat, martabat, dapat dipertukarkan

Dampak Terciptanya nilai-nilai kesempurnaan,

kenikmatan, kedamaian, dan lain-lain sehingga menguntungkan kedua belah pihak

Terciptanya norma-norma atau ketentuan tentang pantas atau tidaknya peran laki-laki atau perempuan, sering merugikan salah satu pihak

Keberlakuan Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal pembedaan kelas

Dapat berubah, musiman, dan berbeda

antar kelas (Handayani & Sugiarti 2001).

Dalam memahami konsep gender ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu :

1. Ketidakadilan dan diskriminasi gender

Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat sistem dan struktur sosial dimana baik laki-laki dan perempuan menjadi korbannya. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender meliputi :

Pemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang disebabkan jenis kelaminnya merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender.

2. Subordinasi.

Subordinasi adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting dibandingkan jenis kelamin lainnya. Contohnya, apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar, ia harus mendapat izin dari suami. Namun, jika suami yang akan pergi, ia dapat mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapat izin dari istri.

3. Pandangan stereotipe.

Pelabelan (stereotipe) secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Contohnya, label kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga sangat merugikan mereka jika hendak aktif dalam kegiatan laki-laki, seperti kegiatan politik, bisnis maupun birokrasi.

4. Kekerasan.

Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman, dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya.

5. Beban kerja.

Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Berbagai observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga sehingga bagi perempuan yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di sektor publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik (Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN & UNFPA 2005).

Sebenarnya istilah diskriminasi tidak tepat karena secara de jure, tidak ada hambatan bagi perempuan untuk dapat setara dengan laki-laki. Secara de facto, banyak perempuan secara suka rela tidak dapat melepaskan faktor biologisnya (biological essentialism). Hambatan perempuan untuk dapat setara dengan laki-laki biasanya berasal dari dalam diri perempuan itu sendiri. Para feminis yang menginginkan kesetaraan gender sangat tidak setuju dengan hal

tersebut. Namun, awal tahun 1980-an beberapa feminis justru menggunakan teori biological essentialism untuk menonjolkan sifat khas feminin karena mereka menganggap sifat tersebut adalah sifat yang dapat memperbaiki kondisi dunia yang didominasi oleh kualitas maskulin (Megawangi 1999).

2. Kesetaraan dan keadilan gender

Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, dan seimbang. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki (Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN & UNFPA 2005).

Kaum egalitis menginginkan masyarakat yang setara 50/50, yaitu kondisi yang tidak ada ketimpangan dalam segala sendi kehidupan manusia. Jika diterapkan dalam konsep gender, maka kesetaraan 50/50 berarti tidak ada keragaman biologis manusia dan tidak ada pembagian peran (division of labor) dalam keluarga. Usaha kaum egalitis dan feminis ini menggunakan landasan ideologi sosial-konflik karena keragaman biologis dianggap sama dengan diskriminasi sehingga harus dihilangkan. Namun, landasan ideologi struktural-fungsional justru bertentangan dengan konsep kesetaraan gender 50/50 karena keseimbangan dan ketertiban bersumber dari adanya struktur-struktur dan differensiasi peran dalam keluarga (Megawangi 1999).

Teori Gender

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN & UNFPA (2005), teori gender dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Teori nurture

Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Aliran nurture melahirkan konsep sosial konflik menempatkan kaum laki-laki sebagai kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). Bagi kaum proletar tidak ada pilihan lain kecuali dengan perjuangan menyingkirkan penindas demi mencapai persamaan.

2. Teori nature

Menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat sehingga harus diterima. Aliran nature melahirkan konsep struktural fungsional yang menerima perbedaan peran asalkan dilakukan secara demokratis.

3. Teori equilibrium (keseimbangan)

Teori keseimbangan menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan.

4. Teori adaptasi awal

Pada prinsipnya teori ini menyatakan bahwa adaptasi awal manusia merupakan dasar pembagian kerja secara seksual, sekaligus dasar subordinasi perempuan.

5. Teori teknik lingkungan

Teori ini didasarkan pada apa yang dianggap sebagai hukum alam, yaitu kelangkaan sumber daya alam dan tekanan penduduk. Dalam konteks ini, perempuan berakar pada peran reproduktif mereka.

6. Teori struktural

Serangkaian teori yang dikelompokkan dalam kategori struktural dibangun berdasarkan asumsi bahwa subordinasi perempuan adalah kultural dan struktural. Satu kelompok teori yang beranggapan bahwa perempuan berstatus lebih rendah sekaligus otoritas yang lebih sedikit daripada laki-laki karena perempuan berhubungan dengan area domestik.

7. Teori struktural-fungsionalis

Teori ini mengakui adanya keanekaragaman dalam kehidupan sosial. Dalam kondisi seperti itu, dibuatlah suatu sistem yang dilandaskan pada konsensus nilai-nilai agar terjadi adanya stabilitas dan keseimbangan. Manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara sruktural dan fungsional. Laki-laki maupun perempuan memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sosial dan keluarga ada pembagian tugas (division of labor). Paham struktural-fungsionalis menerima perbedaan peran asalkan dilakukan secara demokratis dan dilandasi kesepakatan antara suami dan istri dalam keluarga atau antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat.

8. Teori konflik sosial

Teori ini meyakini bahwa inti perubahan dalam sistem sosial dimotori oleh konflik. Konflik ini timbul karena adanya kepentingan dan kekuasaan. Teori ini juga memandang institusionalisasi sebagai sistem yang melembagakan pemaksaan. Hal ini termasuk juga hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan (gender). Konsep sosial konflik menempatkan kaum laki-laki sebagai kaum penindas dan perempuan sebagai kaum tertindas. Bagi kaum

tertindas tidak ada pilihan lain kecuali dengan menyingkirkan penindas demi untuk mencapai kebebasan dan persamaan.

Analisis Gender

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN & UNFPA (2005), ada beberapa model teknik analisis gender yang pernah dikembangkan oleh para ahli, antara lain :

1. Teknik Analisis Model Harvard

Model ini terdiri atas sebuah matriks yang mengumpulkan data pada tingkatan mikro (masyarakat dan rumah tangga), meliputi pembagian tiga kegiatan (kegiatan produktif, reproduktif, dan sosial kemasyarakatan) berdasarkan jenis kelamin, rincian sumber-sumber apa yang dikuasai oleh laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan kegiatannya, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja berdasarkan gender. 2. Teknik Analisis Model Moser

Model ini mencakup penyusunan pembagian kerja berdasarkan gender dan mengembangkan kebutuhan gender dari sudut perempuan. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan praktis gender (kebutuhan yang harus segera dipenuhi) dan kebutuhan strategis gender (kebutuhan yang disebabkan posisi subordinat mereka).

3. Teknik Analisis Model SWOT

Model ini mengidentifikasi secara internal mengenai kekuatan dan kelemahan serta secara eksternal mengenai peluang dan ancaman. Aspek internal dan eksternal tersebut dipertimbangkan dalam rangka menyusun langkah-langkah untuk mencapai sasaran.

4. Teknik Analisis Model GAP

Model ini digunakan untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses, peran, manfaat, dan kontrol yang diperoleh laki-laki dan perempuan. Metode ini dapat digunakan oleh perencana dan pelaksana program di tingkat pusat dan daerah.

5. Teknik Analisis Model PROBA

Penggunaan model ini dimulai dari analisis masalah gender, menelaah kebijakan, membuat formulasi kebijakan baru yang responsif gender, penyusunan kegiatan intervenís. Langkah terakhir dalam model ini adalah melakukan monitoring dan evaluasi sehingga dapat melakukan perbaikan apabila diperlukan.

Pengertian Persepsi Tentang Konsep Gender

Persepsi adalah proses berbagi dan menginterpretasikan informasi. Persepsi akan membuat kita mengartikan dunia di sekitar kita dan memberi arti masukan sensori (Zanden 1984 diacu dalam Desiyani 2003). Persepsi juga merupakan pandangan atau penilaian seseorang objek tertentu yang dihasilkan oleh kemampuan mengorganisasi indera pengamatan (Alfian 1985 diacu dalam Desiyani 2003). Sedangkan menurut Sarwono (1997) diacu dalam Desiyani (2003), persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami.

Persepsi adalah proses dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus di dalam lingkungan (Atkinson 1991 diacu dalam Ginting 2003). Persepsi merupakan proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan alat indra. Proses perseptual dimulai dengan perhatian yaitu merupakan proses pengamatan selektif. Di dalammya mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian (Chaplin 1999 diacu dalam Ginting 2003). Menurut Baltus (1983) diacu dalam Ginting (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah :

1. Kemampuan dan keterbatasan fisik dari alat indera. 2. Kondisi lingkungan.

3. Pengalaman masa lalu. Bagaimana cara individu untuk menginterpretasikan suatu stimulus tergantung dari pengalaman masa lalunya.

4. Kebutuhan dan keinginan. Ketika seorang individu membutuhkan dan menginginkan sesuatu maka ia akan terus berfokus pada hal yang dibutuhkan dan diinginkan tersebut.

5. Kepercayaan, prasangka, dan nilai. Individu akan lebih menerima orang lain yang memiliki kepercayaan dan nilai yang sama dengannya, sedangkan prasangka dapat menimbulkan bias dalam mempersepsikan sesuatu.

Sedangkan menurut Chaplin (1999) diacu dalam Ginting (2003), persepsi secara umum bergantung pada faktor-faktor perangsang, cara belajar, keadaan jiwa atau suasana hati, dan faktor motivasi. Persepsi antara individu yang satu dengan individu yang lain berbeda-beda tergantung faktor-faktor tersebut. Persepsi adalah suatu objek yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri individu yang terbentuk dari nilai-nilai yang diproduksi individu tersebut.

Sedangkan, faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan luar individu.

Mahasiswa atau mahasiswi selaku individu juga mempelajari nilai gender baik dari keluarga maupun masyarakat. Disadari bahwa nilai-nilai gender yang dipelajari dari lingkungan keluarga dapat bertambah kuat, bertahan atau berubah dalam kesadaran mahasiswa karena adanya penguatan atau sebaliknya ada tarik-menarik dan tantangan dari nilai-nilai gender yang berbeda yang dipelajari dari dunia di luar keluarga seperti dalam institusi pendidikan, pengaruh media massa, atau sektor kehidupan masyarakat lainnya (Rahasthera & Prasodjo 2007). Persepsi mahasiswa/mahasiswi mengenai peran gender akan sesuai jika dikaitkan dengan persepsinya mengenai sifat gender. Peran-peran gender yang berkaitan dengan sifat-sifat maskulin juga akan dipersepsikan sebagai peran maskulin. Sebaliknya, sifat-sifat feminin tercermin dalam peran-peran yang feminin (Rahasthera & Prasodjo 2007).

Bias gender merupakan penyimpangan yang berhubungan dengan aspek budaya dan pandangan hidup dalam masyarakat Indonesia (Anonymous 2005). Bias-bias gender terlihat dalam peran dan aktivitas yang dilakukan perempuan dan laki-laki. Perilaku seseorang yang sudah terpola menyangkut hak dan kewajiban serta berhubungan dengan status pada kelompok ataupun masyarakat tertentu pada situasi sosial yang khas menyebabkan munculnya bias gender (Mastri 2005). Persepsi individu terhadap realita dapat menimbulkan bias disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah stereotipe (Bloom et al 1956 ; Gagne & Briggs 1977 diacu dalam Mugniesyah dkk 2002). Stereotipe gender merupakan deskripsi ringkas tentang maskulinitas dan feminitas. Perempuan dipandang kecil dan lemah sementara laki-laki dipandang besar dan kuat. Peran laki-laki dan perempuan juga dibedakan. Perempuan melakukan pekerjaan yang ringan sementara laki-laki melakukan pekerjaan yang berat. Perempuan biasanya dihubungkan dengan sifat introvert. Orang yang mempunyai sifat introvert biasanya tidak mempunyai emosi, tidak ramah, kurang bisa bergaul, tenang, kalem, berpengalaman dalam emosi yang kuat, tetapi mereka menutupinya. Sedangkan laki-laki biasanya dikaitkan dengan sifat extrovert. Orang extrovert biasanya dingin, sombong, cenderung emosional, realistik, praktis, pekerja keras, cenderung untuk muncul seorang diri, dan selalu mencari sesuatu yang baru (Jung diacu dalam Anonymous 2007). Stereotipe membentuk suatu penghargaan, dimana menurut gender, individu akan

bertingkah laku, berpenampilan, dan memiliki perasaan tertentu. Penghargaan ini juga mempengaruhi bagaimana kita mempersepsi dan memperlakukan orang lain (Martam 1994 diacu dalam Saleha 2003).

Perspektif gender menekankan bahwa maskulin maupun feminin sebenarnya merupakan pilihan. Tidak ada kewajiban bahwa laki-laki harus menampilkan dirinya sebagai sosok maskulin dan feminin bagi perempuan (Suwasana 2001 diacu dalam Widyatama 2006). Responsif gender memperhatikan perbedaan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, permasalahan, dan kepentingan laki-laki dan perempuan (Puspitawati 2007). Sedangkan persepsi yang netral gender adalah persepsi yang menganggap bahwa suatu sifat pantas dimiliki laki-laki dan perempuan dan suatu peran pantas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dengan kata lain persepsi yang netral gender tidak memihak pada salah satu jenis kelamin dan menyebabkan terjadinya pergeseran yang pesat terhadap nilai-nilai gender yang menyangkut persepsi mengenai sifat maupun peran gender di kalangan mahasiswa (Rahasthera & Prasodjo 2007).

Menurut W. A. Gerungan, sikap adalah kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek. Menurut S. S. Sargent, sikap adalah kecenderungan untuk bereaksi secara senang atau tidak terhadap orang, objek, dan situasi. Menurut Sarlito Wirawan, sikap adalah kecenderungan antara kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu ketika ia menghadapi suatu rangsang tertentu (Santosa 2004).

Perilaku setiap individu mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap), dan ranah psikomotorik (tindakan) (Bloom et al 1956 ; Gagne & Briggs 1977 diacu dalam Mugniesyah dkk 2002). Perilaku individu sangat dipengaruhi baik oleh karakteristik individu (motivasi, pendidikan, pengalaman, masalah yang dihadapi, aspirasi, dan kebutuhan), juga dipengaruhi oleh aspek-aspek yang berkenaan dengan budaya (nilai), struktur sosial, kondisi lingkungan dimana ia hidup. Perilaku manusia dipengaruhi oleh persepsi atas suatu realita bukan atas dasar realita itu sendiri. Tindakan manusia di bawah pengaruh otak bawah sadar adalah melakukan pilihan atas dasar pengalaman, kesan, dan cerita masa lalu serta persepsi manusia itu sendiri (Anonymous 2008).

Dokumen terkait