• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep dan Wujud Keadilan dalam Hukum Kewarisan Islam (Faraidh)Islam (Faraidh)

HAK WARIS LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM AYAT-AYAT KEWARISAN

D. Konsep dan Wujud Keadilan dalam Hukum Kewarisan Islam (Faraidh)Islam (Faraidh)

Pada dasarnya al Qur’an telah menegaskan satu prinsip pokok dalam pembagian warisan, yaitu laki­laki dan perempuan sama­sama berhak mewarisi harta peninggalan kedua orang tua 29 Soraya Devy (ed.), Fiqh dalam Perspektif Gender, PSW Ar Raniry, Banda Aceh, 2009, hal. 251. Sebagaimana dikutip dalam Mufidah, Isu-Isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga, UIN Maliki Press, Malang, 2010, cet. I, Nopember, hal. 163­165.

42 Dra. Hj. Wahidah, M.H.I.

mereka dan karib kerabat mereka masing­masing­masing.30 Bagi laki­laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, baik sedikit mau pun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan al Qur’an surat al Nisa ayat (7).

Sedangkan, ayat yang menunjukkan bagian perempuan lebih sedikit dibandingkan laki­laki adalah al Qur’an surat al Nisa ayat (11). Bertolak dari pemahaman ayat ini, ditegaskan bahwa tidak adanya hak (bagian) yang sama antara anak laki­laki dan anak perempuan, sehingga diasumsikan hal tersebut tidak adil bagi perempuan. Muncul pertanyaan, apakah asumsi ketidakadilan tersebut yang demikian benar adanya?.

Asghar, salah seorang tokoh pemerhati perempuan, me nge­ mukakan argumentasinya, bahwa mereka yang mempertahan­ kan perempuan mendapatkan bagian separuh dari saudara laki­ lakinya didasarkan pada kenyataan, bahwa perempuan selain mendapatkan bagian dari warisan, setelah menikah dia akan men dapatkan tambahan harta berupa mas kawin dari suaminya. Di samping itu, dia juga tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menafkahi dirinya sendiri dan anak­anaknya, karena se­ muanya sudah menjadi tanggung jawab suaminya.

Dalam rumah tangga, suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya meskipun istri tersebut kaya. Sementara istri dalam perkawinan ia berhak menuntut mas kawin yang ter­ kadang dalam jumlah yang sangat banyak. Melihat kenyataan ini bisa jadi bagian yang diterima perempuan (pada akhirnya akan/ jauh) lebih banyak daripada yang bagian diperoleh waris laki­laki. Menurut Asghar, persoalan kewarisan ini harus dilihat dalam perspektif yang tepat dengan mempertimbangkan kon disi laki­laki dan perempuan masa kini dan masa yang akan datang.

43

Hak Waris Laki-Laki dan Perempuan dalam Ayat-Ayat Kewarisan

Dalam masa sekarang, perempuan mungkin mendapatkan se­ paroh dari bagian laki­laki, tetapi dengan melihat masa yang akan datang pada akhirnya perempuan mendapatkan lebih banyak dari laki­laki.31

Senada dengan pendapat ini, Amina Wadud Muhsin me­ nya takan bahwa secara implisit ketidaksetujuannya dengan formula pembagian waris dua banding satu itu. Pembagian waris menurut Amina Wadud, harus dilihat dari berbagai faktor. Diantaranya, pembagian untuk keluarga dan kerabat laki­laki dan perempuan yang masih hidup; sejumlah kekayaan yang bisa di­ bagikan; keadaan orang­orang yang ditinggalkan, man faat bagi yang ditinggalkan, dan manfaat harta warisan itu sendiri.

Dengan cara berfikir seperti itu, dan juga berdasarkan ke­

mungkinan cara pembagian yang dijelaskan oleh al Qur’an, maka pembagian warisan tersebut sangatlah fleksibel, bisa berubah, dan yang pasti harus memenuhi asas manfaat dan keadilan.32

Pada dasarnya perbedaan hak waris menurut jenis kelamin tidak mesti melahirkan perdebatan pejuang gender. Sebab, ukuran kua litatif di sisi Tuhan tidak dihubungkan dengan persoalan jenis kelamin, sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an surat al Nisa ayat (124).33

Ayat­ayat yang senada dengan ini, yaitu menyatakan kese­ taraan laki­laki dan perempuan, antara lain Qur’an surat ali Imran ayat (290), al Nahl ayat (58), Fathir ayat (11), Fushilat ayat (47). Ayat­ayat ini menggunakan istilah al dzakar dan al untsa. Adapun kata al untsa berasal dari kata antsa berarti lemas, lembek (tidak keras), halus.34

31 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bisa Laki-laki dalam Penafsiran, LkiS, Yogyakarta, 2003, hal. 201.

32 Ibid, hal. 202. Dapat pula dilihat pada Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al Qur’an, hal. 117­118.

33 Ibid, hal.169.

34 Lihat al Munawwir, hal. 46. Bandingkan dengan al Munjid, hal. 106, yang mengartikannya dengan “kaana ghaira syadid” (tidak keras).

44 Dra. Hj. Wahidah, M.H.I.

Namun demikian, terkait dengan hak kewarisan laki­laki dan perempuan yang dalam bahasa al Qur’an menggunakan kata­ kata al dzakar dan al untsa untuk menunjukkan bagian/fardh laki­ laki dan perempuan, maka adalah wajar jika kemudian terdapat pendapat yang konsisten menyatakan bahwa perolehan dua ber­ banding satu untuk ahli waris laki­laki dan perempuan itu, tetap dipahami apa adanya, tanpa melihat fungsi gendernya.

Pemahaman seperti ini cukup beralasan. Sebab, ketika ayat­ ayat kewarisan yang menjelaskan porsi perbandingan hak waris laki­laki dan perempuan dalam tiap kasusnya, kenyataan nya tidak menjadi sebuah rumusan bahwa “laki­laki” tidak selalu dipahami mendapat bagian lebih banyak daripada perempuan. Dua ayat waris dalam surat al Nisa ayat (11 dan 176) porsi per­ bandingan tersebut terbatas hanya pada dua golongan ahli waris saja, yaitu anak dan saudara. Wallahu a’lam.35

Firman Allah Swt. dalam al Quran surat al Nisa ayat (11): ”... tentang bapak­bapak kalian, kalian tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian ...”. Potongan ayat ini menunjukkan, bahwa sesungguh­ nya Allah swt. sendiri yang telah menentukan pembagian waris dan tidak menyerahkan terhadap seorangpun dari makhluk­ Nya. Meski pun mereka bermaksud hendak merealisasikan ke­ adilan, tapi mereka tidak akan bisa, atau tidak akan dapat men­ apai keadilan secara sempurna.

Mereka tidak akan sanggup mendatangkan semacam pem­ bagian yang adil karena mereka tidak mengetahui kedudukan orang tua dan anak­anaknya, dan mereka tidak dapat mende­ teksi siapa diantara mereka (orang tua atau anak­anaknya) yang

35 Selain ada beberapa hikmah yang bisa digali oleh “akal” untuk memahamai maksud Musyarri’ terhadap tekstual ayat tersebut itu, kenyataan di beberapa contoh kasus dalam faraidh juga menjadi bukti bahwa pemahaman dua banding satu, tidak berarti “merugikan” waris perempuan dalam operasional penyelesaian pembagiannya.

45

Hak Waris Laki-Laki dan Perempuan dalam Ayat-Ayat Kewarisan

lebih memberi manfaat. Adapun Allah Swt. Yang Maha Besar, Dia­lah Yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu, Yang membagi warisan secara adil, yang memberi serta meridhai ...”.36

36 Muhammad Ali al Shabuny, terj. M. Samhuji Yahya, Hukum Waris dalam Syariat Islam Disertai Contoh-Contoh pembagian Harta Pusaka, CV. Diponegoro, Bandung, cet. II, 1413 H./1992 M., hal. 32­33.

B

eberapa contoh dan penyelesaian kasus kewarisan konkret yang terjadi di belasan abad yang silam, kemudian di padu­ kan dengan makna “kesetaraan” di tengah isu gender, sambil menghubungkannya dengan aplikasi penyelesaian kasus di tengah­tengah masyarakat sekarang ini, termasuk percikan­per­ cik an pemikiran yang mempertanyakan hak waris perem puan konteks sekarang, masihkah perempuan “dihargai” dua banding satu1, maka beberapa hal yang patut diperhatikan se bagai rambu­ rambu persyaratan khusus yang harus dipenuhi dalam kait­ an penyelesaian pembagian harta warisan di setiap kasus nya adalah:

1. Rukun dan syarat kewarisan yang menjadi standar sah tidak­ nya, atau batal tidaknya pembagian warisan yang telah di­ lakukan

2. Asbab al irtsi, untuk melihat prioritas (mana) di antara ahli waris tersebut yang harus didahulukan atau diakhirkan dalam penerimaannya terhadap harta warisan. Termasuk kaitan nya dengan ahli waris sababiyah yang tertolak mene­ rima radd jika terdapat kelebihan harta.

3. Mawani’u al irtsi, sebagai perhatian untuk menggugurkan hak kewarisan orang yang tercegah dalam mewarisi oleh sebab 1 Baca Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, PT. Elex Media Komputindo Kompas Gramedia, Jakarta, 2014, hal. 112­116.

BAB IV