• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsepsi diterjemahkan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.22

Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.23

Adapun yang menjadi kerangka konsepsi dalam penelitian ini adalah :

1. Perlindungan Hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif , baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, kepastian, ketertiban, kemanfaatan dan kedamaian.

22Samadi Suryabrata,Metodologi Penelitian,(Jakarta : Raja Grafindo Persada : 1998), hal. 31.

2. Kawasan Industri adalah Kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan saran dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri.

3. Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.

4. Eksekusi adalah pelaksanaan putusan yang dilakukan oleh badan peradilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara.

5. Hak Pengelolaan (HPL) adalah Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan pemerintah.

6. Alas Hak adalah dasar hak menguasai seseorang terhadap suatu bidang tanah. G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Metode Penelitian adalah suatu metode cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah pedoman cara seorang ilmuan mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan

yang dipahami.24 Sedangkan penelitian adalah suatu cara yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang bersifat ilmiah.

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah menggambarkan semua gejala dan fakta dilapangan serta mengaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan keadaan dilapangan. Dalam hal ini diarahkan menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya yang berlaku mengenai pemegang hak atas tanah dalam hal Hak Pengelolaan (HPL) sehingga diharapkan dapat diperoleh penjelasan tentang Pelaksanaan Eksekusi Di atas Hak Pengelolaan (HPL) No. 3 Milik PT. Kawasan Industri Medan (Persero) (Studi Kasus Putusan PK No. 94 PK/PDT/2004).

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian hukum normatif, yaitu meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.25

Metode pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normative, yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma-norma hukum,26 yang terdapat hukum pendaftaran tanah maka penelitian ini menekankan pada sumber-sumber bahan

24Soerjono Soekanto,Op.Cit(Jakarta : UI Press : 1986).

25

Mukti Fajar dan yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar : 2010 ), Hal 34.

26Bambang Waluyo,Metode Penelitian Hukum,(Semarang : PT. Ghalia Indonesia : 1996), hal. 13.

sekunder, baik berupa peraturan-peraturan maupun teori-teori hukum, disamping menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dimasyarakat, sehingga ditemukan suatu asas-asas hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang dibahas,27 yang dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu mengenai Pelaksanaan Eksekusi diatas Hak Pengelolaan (HPL) No. 3 milik PT. Kawasan Industri Medan (Persero). Disamping itu penelitian ini didukung dengan penelitian hukum sosiologis yang dibutuhkan untuk mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika system norma tersebut bekerja dalam masyarakat,28 yaitu penerapan kaidah-kaidah hukum dalam pelaksanaan eksekusi di atas Hak Pengelolaan (HPL) No. 3 milik PT. Kawasan Industri Medan (Persero) . 2. Bahan Hukum Penelitian

1) Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan terdiri dari :

a). Undang-undang Dasar 1945 b). KUH Perdata

c). HIR (Herziene Inlandsch Reglement)

d). RBg (Rechtsreglement Voor De Bintengewesten)

27Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada : 1995), hal. 13.

e). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

f). Undang-undang No. 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda

g). Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1954 Tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat

h). Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman i). Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1974 jo. Nomor 1 Tahun 1977

tentang Hak Pengelolaan

j). Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 Tentang Kawasan Industri 2).Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang tidak mengikat yang memberikan penjelasan yang ada hubungannya dengan masalah hukum acara perdata dan bahan yang mendukung, menunjang bahan hukum primer yang meliputi literature dan jurnal hukum tentang Pelaksaan Eksekusi Diatas Hak Pengelolaan (HPL) No. 3 Milik PT. Kawasan Industri Medan (Persero) (Studi Kasus Putusan PK No. 94/PK/PDT/2004).

3). Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun pejelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya : kamus hukum, Kamus Bahasa Indonesia.

3. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi dokumen yaitu dengan melakukan inventarisasi dan sistematisasi literature yang berkaitan dengan Pelaksanaan Eksekusi Diatas Hak Pengelolaan (HPL) No. 3 Milik PT. Kawasan Industri Medan (Persero) (Studi Kasus Putusan PK No. 94/PK/PDT/2004).

4. Metode Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang akan diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realita atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).29

Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan uraian dasar.30 Sedangkan metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.31

Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara kualitatif dengan mengumpulkan data sekunder, selanjutnya dilakukan pengelompokan dan penyusunan data secara berurutan dan sistematis, kemudian data yang telah disusun tersebut dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis sehingga dapat

29

Burhan Bungin,Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologi Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada : 2003), hal. 53.

30Lexy J. Moleong,Metode Kualitatif,( Bandung : Remaja Rosdakarya : 2004), hal. 103.

diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang Pelaksanaan Eksekusi Diatas Hak Pengelolaan (HPL) No. 3 Milik PT. Kawasan Industri Medan (Persero) (Studi kasus Putusan PK No. 94 PK/PDT/2004).

Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yaitu cara berfikir yang dimulai dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, untuk menjawab seluruh permasalahan yang telah dirumuskan.

BAB II

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PADA PUTUSAN PK NO. 94 PK/PDT/2004

A. Posisi Kasus

Dalam perkara pada tingkat Peninjauan kembali Nomor 94/PK/PDT/2004, yang menjadi Penggugat adalah Tugimin dan kawan-kawan (70 Kepala Keluarga), sedangkan yang menjadi Tergugat dalam perkara ini adalah PT. Kawasan Industri Medan (Persero).

Pada mulanya Tugimin dan kawan-kawan mengkleim bahwa lahan mereka yang seluas ± 46,11 Ha berada di dalam wilayah areal Hak Pengelolaan (HPL) No. 3 milik PT. Kawasan Industri Medan (Persero). Yang mana lahan tersebut berasal dari Perkebunan milik Bangsa Belanda yang telah bangkrut, kemudian lahan tersebut dibagi-bagi oleh mandornya kepada para mantan buruh perkebunan itu.

Dalam mengajukan gugatan perkara ke Pengadilan Negeri Lubuk pakam Pihak tergugat terdiri dari 70 Kepala keluarga, yang terdiri dari :

Tugimin, Maisarah, Sanding, Kasdi, Sugiono, Tumini, Mulaseh, Ngadimin Supono, Samin, Painem, Temon, Poniem, Sudjono, Amat, Parsi, Rajimin, Legiran, Loso, Kasmin, Tukidi, Abdul Manaf, Kasta Redjo, Tudjo, Pairun, Amin, Ari, Sumarman, Kamidjan, Rahmat, Senen, Rasidi, Saiman, Bontrak, Ngasimun, Darto, Homsiah, Saten, Suwono, Minem, Selamet, Paimin, Senen Hadi, Sarijo, Mariman, Maridi, Tumi, Sami’an, Subartono,S, Sutomario, Sariman Sahib, Paeran, Drs.Sri Mulyani, Umar Said, Sarino, Yahman, Abdul Karim, Legiman, M. Musni, Wir,

Terisno, Kadio, Malem, Kadi, Simin, Trosumito, Kromo Sardi, karso Sentono, Trimo, Karto. Para tergugat ini kemudian diwakilkan oleh Tugimin.

Namun dalam rangka Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan bangsa Belanda berdasarkan Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda , Peraturan Pemerintah masing-masing No. 2 Tahun 1959 dan No. 4 Tahun 1959, Pemerintah mengambil alih perusahaan perkebunan Bangsa Belanda. Kemudian dengan Surat Keputusan Menteri Agraria No. SK. 24/HGU/1965 tanggal 10 Juni 1965 Pemerintah memberikan HGU seluas + 59.000 Ha kepada PTPN II eks PTP-IX d/h PPN. Tembakau Deli.

Kemudian pada hari Senin tanggal 2 September 1996, dengan Nomor : 630.1/1920/IX/1996 dilakukan pelepasan Hak atas tanah dihadapan Sadji Surjana, Sarjana Hukum, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara di Medan antara Drs. H. Sofyan Raz, Direktur Utama PT. Perkebunan Nusantara II (Persero) Tanjung Morawa selaku Pihak Pertama kepada Drs. Papo Hermawan Direktur Utama PT. Kawasan Industri Medan (Persero) yang berkedudukan di Jalan Medan -Belawan Km. 10,5 Medan, selaku Pihak Kedua dimana pihak Pertama melepaskan segala hak yang dipunyai dan atau dapat dijalankan oleh pihak Pertama atas sebidang tanah seluas + 314,7525 Ha, dibuat dihadapan Notaris Hj. Siti Asni Pohan, Sarjana Hukum dengan Akta Perjanjian No.1 tanggal 2 September 1996 dan diatas tanah tersebut telah diterbitkan Hak Pengelolaan (HPL) No. 3 oleh Badan Pertanahan Nasional Pusat pada tahun 1996.

PT. Kawasan Industri Medan (Persero) adalah salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara dengan bidang usaha Jasa Pengelolaan Kawasan Industri. Kawasan ini didirikan pada tanggal 7 Oktober 1988, dengan komposisi saham terdiri dari :

1. Pemerintah Propinsi Sumatera Utara 30% 2. Pemerintah Kota Medan 10%

3. Pemerintah Pusat Republik Indonesia 60%.

Bersama dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah, kawasan ini tetap berupaya memajukan roda perekonomian Sumatera Utara, dengan memberi dukungan sepenuhnya bagi pertumbuhan industri di Sumatera Utara melalui Kawasan Industri Medan.

Visi perusahaannya yaitu :

- Menjadi kawasan industri yang berwawasan lingkungan dan penyedia sarana dan prasarana bisnis yang dapat meningkatkan nilai bagi Shareholders dan Stakeholder lainnya.

Misi perusahaannya yaitu :

a. Menyediakan sarana dan prasarana pendukung yang berwawasan lingkungan. b. Mengembangkan berbagai fasilitas bisnis yang dibutuhkan dunia usaha dan

investor.

c. Meningkatkan sumber daya manusia yang mampu memberikan layanan prima. Dengan luas area terdiri dari :

a. Kawasan Industri tahap I luas : 1.140.900,45 M2 b. Kawasan Industri tahap II luas : 4.510.889,69 M2 c. Kawasan industri tahap III luas : 1.000.000,00 M2 d. Kawasan Industri Tahap IV luas: 2.000.000,00 M2 e. Kawasan Industri Tahap V luas : 5.000.000,00 M2

Bidang dan kegiatan usaha yang dijalankan oleh PT. Kawasan Industri Medan (Persero) adalah sebagai berikut :

a. Pembebasan dan pematangan lahan untuk kaveling industri; b. Penjualan kaveling industri;

c. Penyewaan bangunan pabrik siap pakai; d. Penyewaan ruang kantor;

e. Jasa pengelolaan dan pemeliharaan kawasan; f. Jasa pengelolaan air limbah;

g. Jasa pengelolaan air bersih.

Sarana dan prasarana yang disediakan oleh PT. Kawasan Industri Medan (Persero) ini ditujukan untuk memberikan fasilitas yang baik dan lengkap demi terselenggaranya kegiatan dari masing-masing perusahaan yang beroperasi di Kawasan Industri Medan tersebut.

Kawasan Industri Medan terletak di Propinsi sumatera Utara. Tepatnya disebelah Utara Kota Medan dan menjadi lokasi yang sangat strategis, karena

berdekatan dengan infrastruktur pelabuhan laut bagi keluar dan masuknya berbagai produk industri. Hanya dengan jarak ± 15 Km dan jarak tempuh ± 10 menit ke Pelabuhan Belawan dapat dicapai melalui jalan Tol Belmera.

Ada banyak investor yang melakukan akitifitasnya di Kawasan Industri Medan tersebut. Berdasarkan data yang ada saat ini ada sekitar 335 perusahaan menjalankan bisnisnya di areal kawasan Industri Medan, yaitu Perusahaan Modal Dalam Negeri ada 303 perusahaan, Perusahaan Modal Asing ada 32 perusahaan, dengan jumlah tenaga kerja sebanyak + 35.000 pekerja.

Dalam menjalankan kegiatan usahanya PT. Kawasan Industri Medan (Persero) mengacu pada Peraturan pemerintah No. 24 Tahun 2010 tentang Kawasan Industri.

Dalam Pasal 1 PP No. 24 Tahun 2010 disebutkan tentang pengertian Kawasan Industri, yaitu :

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan Industri.

2. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan

dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri.

3. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri.

4. Perusahaan Industri adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha Industri di wilayah Indonesia.

5. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6. Tata Tertib Kawasan Industri adalah peraturan yang ditetapkan oleh Perusahaan Kawasan Industri, yang mengatur hak dan kewajiban Perusahaan Kawasan Industri, perusahaan pengelola Kawasan Industri, dan Perusahaan Industri dalam pengelolaan dan pemanfaatan Kawasan Industri.

7. Tim Nasional Kawasan Industri selanjutnya disingkat Timnas-KI adalah tim yang dibentuk oleh Menteri dengan tugas membantu dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri.

8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Hak Pengelolaan (HPL) tidak disebutkan secara eksplisit,

baik dalam Dictum, Batang tubuh maupun Penjelasannya. Namun secara implisit, pengertian itu diturunkan dari Pasal 2 Ayat (4) UUPA yang berbunyi sebagai berikut :32

“Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”.

Lebih lanjut, dalam Penjelasan Umum II (2) UUPA disebut bahwa :

“Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugas masing-masing ( Pasal 2 Ayat (4))”33

“Bertitik tolak dari Penjelasan Umum II (2) diatas, maka dapt disimpulkan bahwa landasan hukum dari hak pengelolaan didalam Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, telah disinggung oleh Penjelasan Umum Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tersebut. Namun Hukum Materiilnya berada diluar Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960”.34

Kalau kita melihat isi dari Penjelasan Umun II (2) UUPA diatas dapat disimpulkan bahwa setiap orang/badan hukum dapat mengajukan usulan untuk menerima hak pengelolaan atas tanah yang diajukan kepada negara dari negara atas peruntukan tanah yang dimaksud sesuai dengan keperluan dan peruntukannya.

Awal mula konsep HPL diperkenalkan dalam PP No 8/1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, tepatnya ditetapkan pada tanggal 24 Januari 1953.

32

Maria S.W. Sumardjono,Op.Cit, hal. 199.

33Ibid, hal. 199.

34R. Atang Ranoemiharjda,Perkembangan Hukum Agraria Indonesia, (Bandung : Tarsito : 1984), hal.16.

Kemudian Hak Penguasaan Tanah ini diperbaharui lagi dalam Peraturan Menteri Agraria (PMA) No. 9/1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya.

“Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tersebut menyatakan bahwa jika tanah negara yang dimaksud dalam Pasal 1, selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut diatas konversi menjadi hak pengelolaan yang dimaksud dalam Pasal 5a dan 6, berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan”.35

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pihak ketiga dapat memanfaatkan lahan yang dikelola oleh suatu badan atau instansi yang telah ditunjuk untuk menerima hak pengelolaan yang dimaksud dengan memenuhi syarat-sayarat yang ditentukan oleh pihak pengelola lahan.

Apabila tanah negara yang diberikan kepada suatu instansi tertentu, hanya dipergunakan untuk pelaksanaan tugasnya tanpa diberikan kepada pihak ketiga dengan sesuatu hak, maka oleh Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 dikonversi menjadi hak pakai.

”Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 ini dengan jelas menyatakan bahwa hak penguasaan atas tanah negara sebagai dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, yang diberikan kepada departemen-departemen, direktorat-direktorat dan daerah-daerah swatantra sebelum berlakunya

35Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia. Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, (Jakarta : Djambatan : 1983), hal. 129.

peraturan ini sepanjang tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri dikonversi menjadi hak pakai, sebagai dimaksud dalam Undang-undang Pokok Agraria, yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan”.36

Hak Pakai seperti itu A.P. Parlindungan menyebutnya dengan istilah Hak Pakai Khusus. Dalam hubungan ini A.P. Parlindungan juga menyatakan bahwa jika hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi atau lembaga itu saja , maka hak itu diberikan dengan hak pakai. Tetapi jika akan dipergunakan untuk orang ketiga, maka hak itu disebut dengan hak pengelolaan.

Hal ini sejalan pula dengan Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tersebut, yakni :

“Apabila tanah-tanah negara yang dimaksud dalam Pasal 4 diatas, selain dipergunakan oleh instansi-instansi itu sendiri, juga dimaksudkan untuk diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka oleh Menteri Agraria tanah-tanah tersebut akan diberikan dengan hak pengelolaan”.37

Berdasarkan pendapat para ahli agraria diatas dapatlah kita simpulkan bahwa pemberian hak atas tanah jika hanya dimanfaatkan oleh instansi atau lembaga itu sendiri maka hak yang diberikan adalah hak pakai. Akan tetapi jika hak atas tanah tersebut diperuntukkan dan dimanfaatkan oleh pihak ketiga maka hak yang diberikan adalah hak pengelolaan. Pemberian hak pengelolaan kepada pihak ketiga ini dikeluarkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang, atas usulan

36Boedi Harsono,Op.Cit, hal.129.

dari pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan. Hak pengelolaan didaftar dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.

Istilah “hak pengelolaan” kembali disebut oleh Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 Tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Hak Pengelolaan kembali disebut lagi oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 pada Pasal 12. Hak pengelolaan ini kemudian dipertegas keberadaannya oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah. Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 ini dengan jelas menyebutkan hak pengelolaan sebagai satu jenis diantara jenis-jenis hak atas tanah sebagaimana yang telah disebut oleh Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972. Selanjutnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974. Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan, juga menyebut hak pengelolaan pada Pasal 2 ayat (1) huruf (a).38

Kemudian diperbaharui lagi dengan munculnya Peraturan Pemerintah Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Hak Pengelolaan dan Pendaftarannya (Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah), untuk selanjutnya disebut Permendagri No.1/1977.

38Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, (Jakarta : Rineka Cipta : 1995), hal.53.

Dibandingkan dengan PMA No.9/1965, disatu pihak Permendagri No. 1/1977 lebih rinci dalam mengatur persyaratan pemberian hak atas tanah di atas HPL yakni mewajibkan perjanjian tertulis antara pemegang HPL dengan pihak ketiga sebagai dasar hubungan hukum antara kedua belah pihak. Demikian juga disebutkan tentang penguasaan tanah HPL setelah berakhirnya hak atas tanah pihak ketiga. Namun di lain pihak, dalam PMA no. 9/1965 luas tanah yang diberikan kepada pihak ketiga dibatasi dan pemberian hak kepada pihak ketiga hanya satu kali oleh pemegang HPL. Perubahan, perpanjangan dan penggantian selanjutnya dilakukan oleh instansi agraria (sekarang BPN). Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1/1977, luas tanah yang diberikan kepada pihak ketiga tidak dibatasi dan pemberian hak maupun perpanjangannya dilakukan oleh instansi agraria (sekarang BPN).39

Adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1/1977 tentang Hak Pengelolaan dan Pendaftarannya ini memberikan keleluasaan, baik kepada pihak pengelola maupun kepada pihak ketiga. Seperti yang disebutkan diatas yaitu dalam hal membuat perjanjian antara kedua belah pihak harus dilakukan secara tertulis sehingga menjamin adanya jaminan kepastian hukum untuk keduanya. Kemudian tentang masa penguasaan tanah oleh pihak ketiga tidak hanya dibatasi satu kali akan tetapi masih dapat diperpanjang hak pengelolaan lahannya dan ini telah diatur pula dalam peraturan yang dibuat oleh pemegang HPL. Dan yang lebih menggembirakan lagi adalah adanya peraturan bahwa pemberian luas lahan kepada pihak ketiga tidak dibatasi, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan lahan oleh pihak ketiga tersebut.

39A.P Parlindungan,Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA(Bandung : Mandar Madju : 1997), hal 203.

Semula HPL dimaksudkan sebagai “fungsi” pengelolaan, namun dalam perkembangannya kemudian, fungsi itu berubah menjadi “hak”. AP. Parlindungan

Dokumen terkait