• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

2. Konsepsi

Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan, maka perlu dikemukakan definisi secara oprasional untuk menghindarkan adanya penafsiran yang berbeda dalam pelaksanaan penelitian ini, definisi istilah atau konsep berfungsi untuk menyederhanakan arti kata atau pengertian tentang ide-ide, hal-hal dan kata benda-benda maupun gejala sosial yang digunakan, agar sipembaca dapat segera memahami maksudnya sesuai dengan keinginan penulis yang memakai konsep tersebut, dan pengaturan konsep atau defenisi istilah tersebut akan memperlancar komunikasi antara penulis dengan pembaca yang ingin memahami isi tulisan didalam tesis ini, oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara oprasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu:

1. Wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.34

2. Wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu

34Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001), hal. 30.

sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan atau kesejateraan umum menurut syariah.35

3. Penggantian Benda Wakaf adalah proses atau cara perbuatan mengganti atau menggantikan.36

4. Harta Benda Wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.37

5. Harta Benda Wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.38 G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Hal ini tidaklah selalu berarti metodologi penelitian yang dipergunakan berbagai ilmu pengetahuan pasti akan berbeda secara utuh. Ilmu pengetahuan pada hakekatnya timbul karena adanya hasrat ingin tahu dalam diri manusia, yang mana

35 Departemen Agama, Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan, (Jakarta : Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), hal. 2.

36Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hal.334.

37 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan & Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), hal. 305.

38Departemen Agama, Op. Cit , hal. 3.

hasrat keingintahuan tentang hal-hal ataupun aspek-aspek kehidupan yang masih gelap bagi mansia. 39 Maka metode ini menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.40

1. Sifat dan Metode Pendekatan

Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat didalam tujuan penyusunan bahan analisis, maka jenis penelitian yang diterapkan adalah bersifat deskriptif analisis. Deskriptif artinya mampu memberi gambaran secara jelas dan sistematis tentang masalah yang akan diteliti. Analisis artinya menganalisis secara teliti permasalahan berdasarkan gambaran dan fakta sehingga mampu menjawab permasalahan yang berkaitan dengan Penggantian Benda Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

2. Sumber Data

Penelitian normatif ini dilakukan dengan batasan studi dokumen atau bahan pustaka saja yaitu berupa data primer, selain data primer, untuk mendukung penelitian juga digunakan data yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru maupun pengertian mengenai fakta yang diketahui maupun mengenai

39Soerjono Soerkanto. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1998), hal 1.

40 Koenjtaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977), hal 16.

studi gagasan dalam bentuk Kompolasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek telaah penelitian.

c. Bahan hukum tertier, yaitu, bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, majalah maupun internet.

3. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan, pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu Studi dokumen, yang

digunakan untuk memperoleh data sekunder, suatu penelitian yang ingin dicapai konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainya, dan dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan penelitian. Studi dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini antara lain penggantian benda wakaf menurut KHI (Kompolasi Hukum Islam) dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif, yaitu penelitian dilakukan dengan menganalisis terhadap data-data. Selanjutnya, ditarik kesimpulan dengan metode deduktif, yakni berfikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif. Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif analisis, maka setelah diperoleh data primer, sekunder dan tertier dilakukanlah pengumpulan data, mentabulasi, mensistematisasi, menganalisis serta menarik kesimpulan data sesuai dengan kategori yang ditemukan.

Sehingga memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.

BAB II

PRINSIP-PRINSIP PENGGANTIAN BENDA WAKAF MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

A. Prinsip-Prinsip Penggantian Benda Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

1. Prinsip-Prinsip Penggantian Benda Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 berisi Instruksi Presiden untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam selanjutnya disingkat KHI, yang terdiri dari Buku I (pertama) tentang Hukum Perkawinan, Buku II (kedua) tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III (ketiga) tentang Hukum Perwakafan. Hukum Perwakafan terdiri dari lima bab dan lima belas Pasal yang memuat ketentuan umum tentang wakaf, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, kewajiban dan hak-hak nazhir, tata cara perwakafan, pendaftaran wakaf, perubahan benda wakaf, penyelesaian perselisihan benda wakaf, pengawasan dan ketentuan peralihan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini disusun dengan maksud untuk dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan ketiga bidang hukum tersebut, baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat yang memerlukannya.

Penjelasan umum dinyatakan bahwa pedoman yang dipergunakan Peradilan Agama dalam bidang-bidang hukum tersebut yaitu tiga belas kitab fiqih Mażhab Syafi'i dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan bahwa KHI

merupakan hasil lokakarya yang diselenggarakan pada bulan Februari 1988 di Jakarta yang telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia disertai perbandingan dengan yurisprudensi peradilan agama maupun perbandingan dengan negara-negara lain.

Beberapa catatan terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pelaksanaannya dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Dari sisi formal, Kompilasi Hukum Islam (KHI) diberi baju dalam bentuk Instruksi Presiden yang oleh sementara pihak dianggap kurang kuat karena tidak memiliki landasan hukum/rujukan konstitusi maupun Ketetapan MPR yang selama ini ada. Namun pendapat ini disanggah oleh Ismail Sanny yang merujuk pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 17 tentang wewenang Presiden untuk menetapkan peraturan-peraturan dan kebijakan dalam rangka menjalankan pemerintahan serta para menteri Negara sebagai pembantu Presiden memimpin departemen untuk melaksanakan keputusan dan atau instruksi presiden. Oleh karena itu, akan semakin kuat dan mantap apabila KHI yang di dalamnya mengatur tentang hukum perwakafan dapat ditingkatkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang.

2. Dari sisi substansial atau materi, Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya memuat beberapa ketentuan masalah wakaf menurut hukum Islam. Oleh karena itu, seyogyanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan peraturan

perundangan yang lain dalam hal ini PP nomor 28 Tahun 1977 sehingga perlu disatukan dalam bentuk undang-undang. Dalam konteks perwakafan, maka lembaga hibah dan wasiat merupakan cara penyampaian kehendak dari pihak pemberi wakaf kepada penerima wakaf. Oleh karena itu selain diatur dalam hukum pewarisan, seharusnya juga diatur dan dimasukan ke dalam salah satu bagian tentang pemberian wakaf dengan cara wasiat (baik lisan maupun tertulis) serta pemberian wakaf dengan cara hibah wakaf.

3. Dalam kaitannya dengan PP 28 Tahun 1977, maka penyelesaian perselisihan perwakafan tanah milik atau menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) penyelesaian perselisihan benda wakaf, seyogyanya tidak hanya melalui proses perdata (Pengadilan Agama) tetapi dapat pula diajukan secara pidana sebagaimana diatur pada pasal 14 dan 15 PP 28 Tahun 1977.

4. Perlu diatur lebih lanjut tentang perubahan benda wakaf atas dasar alasan tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan atau karena adanya alasan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam pasal 225 KHI agar tidak menyalahi ketentuan-ketentuan Syariat Islam serta tujuan pemberian wakaf semula dalam ikrak wakaf.41 Membicarakan masalah perwakafan pada umumnya dari perwakafan tanah di Indonesia, pada dasarnya adalah membicarakan sebuah pranata hukum yang unik dan rumit. Oleh karena itu di Indonesia tidak ada pranata hukum yang dalam waktu bersamaan diatur oleh berbagai ketentuan hukum yang berasal dari berbagai sub

41Ibid.

sistem keberadaanya perlu dilihat sedemikian rupa dan dapat mengundang perbedaan pendapat yang cukup tajam, bergantung dari sudut mana kita memandangnya.42

Dari sudut lingkup makna hukum yang ideal, kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang dapat mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Islam Indonesia, terutama tentang:

a. Adanya norma hukum yang hidup dan ikut bahkan mengatur interaksi sosial;

b. Aktualnya dimensi normative akibat terjadi eksplanasinya fungsional ajaran Islam yang mendorong terpenuhinya tuntutan kebutuhan hukum;

c. Respon struktural yang dinilai melahirkan rangsangan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Alim Ulama Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas dengan kesepakatan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah rumusan tertulis hukum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan kondisi masyarakat Indonesia.43

Berikut ini merupakan prinsip-prinsip yang harus di pertahankan didalam perwakafan:

a Prinsip Keabadian dan Prinsip Kemanfaatan

b Seluruh harta benda wakaf harus diterima sebagai sumbangan dari wakif c dengan status wakaf sesuai dengan syariah

42 Siah Khosyi’ah, Op. Cit., hal. 191.

43Ibid.

d Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya

e pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif f Jumlah harta wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan

dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan44

Pada dasarnya benda wakaf tidak dapat diubah atau dialihkan. Dalam pasal 225 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan, bahwa benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.

Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat dilaksanakan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:

a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;

b. Karena kepentingan umum.

2. Fungsi Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Mengenai fungsi wakaf yang tertuang didalam Pasal 216 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu, fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.

44Internet,http://suhairistain.blogspot.com, wakaf-uang-dalam mewujudkan.html, Suhairi blog Stain Jurai Siwo Metro, Wakaf Uang Dalam Mewujudkan Ekonomi Umat, (diakses tanggal, 21 Mei 2012).

Dari uraian di atas dapatlah kita ketahui bahwa hikmah dari disyari’atkanya wakaf itu banyak sekali, diantaranya ialah:

1. Untuk membela nasib fakir miskin, atau orang-orang yang kurang mampu di dalam meneruskan hidupnya.

2. Dengan adanya bantuan berupa wakaf, zakat fitrah, sadakah dan lain-lainnya akan terpelihara agama orang yang tidak berkemampuan.

3. Bila orang-orang miskin tidak berkemampuan sudah dibantu mereka tidak akan menempuh jalan yang salah, dan bila mereka tidak menempuh jalan yang salah akan tercipta pulalah keamanan pada masyarakat sekitarnya.

4. Dengan adanya bantuan orang yang mampu, akan terjalinlah hubungan persaudaraan yang lebih erat dan rasa cinta mencintai sesama muslim. Dengan terciptanya rasa persatuan, terciptalah persatuan. Persatuan adalah pokok kekuatan.

5. Dengan adanya harta wakaf akan bertambahlah modal ummat Islam. Dengan modal akan terciptalah rencana dan ekonomi yang kuat, dengan ekonomi yang kuat itu makmurlah ummat Islam.

Bagi orang yang berwakaf juga akan mendapat pahala yang berkepanjangan selama harta wakafnya itu masih dapat dipergunakan dan juga wakaf itu adalah sebagai amal shaleh baginya.45

Wacana tentang wakaf, belakangan muncul kembali ke permukaan dan tidak hanya sekedar membincangkan tentang pandangan para ulama fiqih yang belum

45Hasbalah Thaib, Fiqih Wakaf, Op. Cit., hal. 77.

seragam tentang pengertian dan hakikat wakaf itu sendiri, tetapi lebih pada bagaimana mereposisi institusi wakaf agar lebih berperan dalam kancah problem sosial masyarakat terkait dengan kesejahteraan ekonomi. Karena disamping sebagai salah satu bentuk ajaran yang berdimensi spiritual, wakaf merupakan ajaran Islam yang berdimensi sosial, atau dalam bahasa agama disebut sebagai ibadah.

Agar wakaf lebih memiliki makna yang relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan umat menjadi suatu yang sangat strategis. Merujuk pada praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh Nabi dan dicontohkan oleh para Sahabat, dimana sangat menekankan pada pentingnya menahan eksistensi benda wakaf, dan diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari pengelolaan benda tersebut.

Pemahaman yang mudah dicerna dari kondisi tersebut adalah bahwa substansi wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf) tetapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan umum.46

Imam Malik mengemukakan bahwa wakaf itu adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang diperjanjikan atau yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan. Pendapat Imam Malik ini wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi sah bila berlaku

46Achmad Kholiq, Kontektualisasi dan Reposisi Fungsi Wakaf, Internet:http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?Itemid=57&catid=2:islamkontemporer&id=1248:

kontektualisasi-dan-reposisi-fungsiwakaf&option=com_content&view=article, (diakses, tanggal 09 Mei 2012).

untuk waktu tertentu saja (misalnya untuk satu tahun), sesudah itu kembali kepada pemiliknya.47

Pendapat ini dinilai cukup relevan dengan kondisi hukum positif di Indonesia saat ini yang mengenal dengan Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dengan sistem kontrak. Jika pendapat Imam malik ini yang diterapkan, maka wakaf akan mendapat perluasan makna dan perluasan kesempatan kepada para pihak yang tidak memiliki benda permanen yang ingin diwakafkan tetapi memiliki benda yang bersetatus temporer. Selain membuka lebih lebar kepada calon wakif, bisa juga dikembangkan secara maksimal.48

3. Unsur-Unsur Dan Syarat-Syarat Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

a. Unsur-Unsur Wakaf

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf terletak didalam bab II Pasal 217 yaitu:

1. Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusanya yang sah menurut hukum.

47 Abdul Manan, Loc. Cit

48 Ibid.

3. Badan wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI), harus merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.

Sebagaimana Pasal tersebut diatas dilanjutkan di dalam Pasal 218 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu:

1. Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nazhir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagai mana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6) yang kemudian menuangkanya dalam bentuk Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi.

2. Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.49

Meskipun para pakar hukum Islam berbeda pendapat dalam merumuskan defenisi wakaf, namun mereka sepakat dalam menentukan rukun wakaf sebab tanpa rukun, wakaf tidak dapat berdiri sendiri atau wakaf tidak sah. Menurut Abdul Wahab Khallaf rukun wakaf atau unsur-unsur wakaf Ada empat, yaitu:

1. Wakif (orang yang berwakaf) adalah pemilik harta yang mewakafkan hartanya. Seseorang yang akan mewakafkan hartanya harus mempunyai syarat-syarat berikut :

49Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Op. Cit., hal. 306-307.

a) Wakif itu adalah pemilik sah dari harta yang akan diwakafkan. Harta yang belum jelas pemiliknya tidak boleh di wakafkan, seperti harta warisan yang belum dibagikan, harta berserikat yang belum ditentukan siapa-siapa pemiliknya, harta yang telah dijual tapi belum lunas pembayaranya dan sebagainya. Karena itu perlu diteliti kedudukan suatu harta yang akan diwakafkan.

b) Wakif mempunyai kecakapan melakukan tabru; yaitu kecakapan seseorang telah dapat melakukan tabarru; ialah telah mempunyai kemampuan mempertimbangkan sesuatu yang dikemukakan kepadanya dengan baik.50 2. Mauquuf (harta yang diwakafkan)

a. Kekal zatnya, berarti diambil manfa’atnya zat barang tidak rusak.

b. Kepunyaan yang mewakafkan, walaupun musya, (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dengan yang lain).51

3. Mauquuf’alaih (tujuan wakaf) adalah yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, benda-benda yang dijadikan sebagai objek wakaf hendaknya berbeda-beda yang termasuk dalam bidang mendekatkan diri kepada Allah SWT.52

4. Sighat Wakaf ( Ikar wakaf)

50Zakiah Daradjat, Husni Rahiem dan Suaibu Thalib, Ilmu Fiqih, (Jakarta : Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986). hal. 212.

51Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1954). hal. 325.

52Abdul Manan, Op. Cit., hal. 241.

Tentang Sighat Wakaf ( Ikar wakaf) ini merupakan rukun wakaf yang disepakati oleh wakif. Tanpa adanya ikrar wakaf, menganggap wakaf belum sempurna dilaksanakan. Yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan yang merupakan penyerahan barang-barang wakaf kepada nazir untuk dikelola sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi wakaf. Ikrar wakaf yang diucapkan pemberi wakaf pada umumnya sebagai berikut: “saya wakafkan harta saya ini kepada Madrasah Polan untuk dipakai pembelanjaan dan penyelenggaraanya atau saya wakafkan kebun kelapa ini untuk digunakan hasilnya bagi penyelenggaraan yayasan yatim piatu polan dan sebagainya”.

Pada umumnya, lafaz Kabul hanya diperuntukkan kepada wakaf perorangan, tetapi bagi wakaf untuk umum tidak disyaratkan adanya lafaz kabul, cukup dengan ikrar penyerahan saja.53

b. Syarat-Syarat Wakaf

Selanjutnya syarat-syarat wakaf dilanjutkan dalam pasal 219 Kompolasi Hukum Islam (KHI) yaitu:

1. Nazhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia.

b. Beragama Islam.

c. Sudah dewasa.

d. Sehat jasmani dan rohani.

53Ibid.

e. Tidak berada di bawah pengampuan.

f. Bertempat tinggal dikecamatan tempat ketak benda yang diwakafkanya.

2. Jika berbentuk badan hukum, paka nazhir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

b. Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkanya.

3. Nazhir sebagaimana dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.

4. Nazhir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:

“Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi nazhir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apa pun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga.”

“Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku nazhir dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuanya.”

Jumlah nazhir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan camat setempat.54

Syarat-syarat sahnya suatu perwakafan benda atau harta seseorang adalah sebagai berikut :

1. Perwakafan benda itu tidak dibatasi untuk jangka waktu tertentu saja, tetapi untuk selama-lamanya. Wakaf yang dibatasi waktunya untuk lima tahun saja misalnya, adalah tidak sah.

2. Tujuanya harus jelas, tanpa menyebutkan tujuannya secara jelas perwakafan tidak sah. Namun demikian, apa bila seorang wakif menyerahkan tanahnya

2. Tujuanya harus jelas, tanpa menyebutkan tujuannya secara jelas perwakafan tidak sah. Namun demikian, apa bila seorang wakif menyerahkan tanahnya

Dokumen terkait