• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

2. Konsepsi

59 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.60 Pentingnya operasional adalah untuk menghindari perbedaan

pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.61

58

Ibid, hal. 480. 59

Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES, 1989, hal. 34. 60

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo, 1998, hal. 307. 61

Tan Kamelo, Hukum jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Bandung, Alumni, 2004, hal. 31.

Selain itu konsep diperlukan sebagai pegangan dalam penelitian.

Hans Kelsen mengemukakan: "Satu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan. Biasanya yakni dalam hal sanksi ditujukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Dalam kasus ini subjek dari tanggung jawab hukum dan subjek dari kewajiban hukum tertentu"62

Konsep dapat dilihat dari segi subyektif dan obyektif. Dari segi subyektif konsep merupakan suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi obyektif, konsep merupakan suatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut. Hasil dari tangkapan akal manusia itulah yang dinamakan konsep.63

Konsep merupakan "alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.64

Dalam kerangka konseptional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.

65

62

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni dengan Judul Buku asli General Theori of Law dan

State, Alih Bahasa oleh Somardi, Jakarta, Rimdi Press, 1996, hal. 65.

63

Komaruddin, Yooke Tjuparmah S Komaruddin, Op. Cit, hal. 122. 64

Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 70. 65

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 7.

Selanjutnya, konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala- gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan

defenisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.66

1. Tanggung Jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, diperkarakan dan sebagainya).

Beranjak dari judul tesis ini yaitu “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat dan Berindikasi Perbuatan Pidana” dan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini maka kerangka konsepsional tidak dapat dipisahkan dari 2 (dua) variabel yakni Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat dan akta tersebut Berindikasi Perbuatan Pidana. Selanjutnya dapatlah dijelaskan konsepsi ataupun pengertian dari kata demi kata dalam judul tersebut, sebagai berikut :

67

Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta tersebut. Ruang lingkup pertanggung jawaban notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya.68 Mengenai

tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil, Nico membedakannya menjadi 4 (empat) poin yakni:69

66

Koentjoro Ningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 21.

67

John Surjadi Hartanto, Kamus Bahasa Indonesia 1998, Surabaya, Indah, 1998, hal. 328. 68

Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia (Perspektif Hukum dan Etika), Cetakan Pertama, Yogyakarta, UII Press, 2009, hal. 34.

69

Lihat Nico, Tanggung jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta: Center for Documentation and Studies of Business Law, 2003, dikutib dari : Abdul Ghofur Anshori, Ibid, hal. 34.

1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya;

2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;

3. Tanggung jawab notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;

4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris.

2. Notaris adalah pejabat umum, yang berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tangggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta.70

Dari pengertian tersebut ada beberapa hal yang penting yang tersirat yaitu ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar), dikatakan demikian karena erat hubungannya dengan wewenangnya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta-akta otentik.

71

Selanjutnya R. Soegondo Notodisoerjo mengemukakan: "Bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang pegawai catatan sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta- akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran atau akta kematian, Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.72

70

Lihat Pasal 1 huruf (I) Juncto Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

71

R. Soegondo Notodisoerjo, Op. Cit, hal. 41. 72

3. Akta Otentik, sesuai pasal 1868 KUHPerdata “suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”, dan pasal 1870 KUHPerdata adalah "Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya"73

Menurut R.Subekti: "Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. la merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna.”

Pasal 1 angka 7 UUJN menguraikan definisi dari akta notaris sebagai akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Pengertian tersebut memberikan konsekuensi bahwa setiap notaris dalam pembuatan akta harus memperhatikan ketentuan- ketentuan dalam UUJN.

74

Akta otentik, demikian juga akta notaris, merupakan alat pembuktian yang kuat, hal ini merupakan akibat langsung dari ketentuan perundang-undangan, atas tugas yang dibebankan kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu, karena tidak semua pejabat dapat membuat akta otentik. Dalam pemberian tugas ini terletak kepercayaan kepada para pejabat tersebut dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang dibuat mereka.

73

R Subekti, R Tjitrosudibio, Op. Cit, hal. 475. 74

4. Berindikasi berasal dari kata “Indikasi yang berarti tanda-tanda yang menarik perhatian, sedangkan berindikasi sama artinya dengan mempunyai indikasi; mempunyai petunjuk (tanda-tanda); Mengindikasikan berarti memberi tanda; memberi petunjuk; mengisyaratkan”.75

5. Perbuatan dapat diartikan “sesuatu yang diperbuat (dilakukan) atau tingkah laku”.

Dalam tesis ini dipergunakan kata “Berindikasi” dengan maksud bahwa akta otentik yang dibuat oleh notaris mempunyai petunjuk, tanda-tanda yang mengisyaratkan adanya perbuatan pidana.

76

6. Pidana diartikan sebagai “hukum kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi, dan sebagainya); kriminal.”

Kata “Perbuatan” dalam tesis ini, diartikan sebagai sesuatu yang diperbuat atau dilakukan notaris dalam kewenangannya membuat akta otentik, berkaitan dengan akibat yang akan ditimbulkan dari akta tersebut dikemudian hari. Perbuatan dalam hal ini merupakan suatu tindakan atau sesuatu yang diperbuat oleh notaris, baik secara sengaja (culpa) maupun khilaf (alpa) bersama- sama penghadap atau pihak untuk membuat akta yang diniatkan sejak awal dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak/penghadap tertentu dan merugikan pihak/penghadap yang lain.

77

75

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, Jakarta, Balai Pustaka, 2001, hal. 430.

76

Ibid, hal. 168. 77

Ibid, hal. 871.

Dalam tesis ini pidana dimaksudkan adalah tindakan kriminal yaitu tindakan yang berkaitan dengan kejahatan atau pelanggaran hukum yang dapat dihukum menurut undang-undang hukum pidana.

Perbuatan notaris yang semula dalam ranah hukum administrasi dan hukum perdata, kemudian dikriminalisasikan78

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut. Tentunya pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan notaris dalam kedudukannya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan tidak dalam konteks individu sebagai warga Negara pada umumnya.

ke dalam perbuatan pidana. Dalam hal ini perbuatan pidana yang berkaitan dengan tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya.

Mengenai ketentuan sanksi pidana terhadap notaris tidak diatur di dalam UUJN namun tanggung jawab notaris secara pidana dapat dikenakan apabila notaris dapat dibuktikan telah turut serta atau membantu melakukan perbuatan pidana pada proses pembuatan akta otentiknya.

UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap ketentuan dalam UUJN. Sanksi akibat pelanggaran tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh notaris tidak memiliki kekuatan sebagai akta otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Terhadap notarisnya sendiri dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga pemberhentian dengan tidak hormat.

78

Kriminalisasi berarti proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Baca pengertian yang di uraikan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ibid, hal. 600.

G. Metode Penelitian

Dokumen terkait