• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berpikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.21 Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.22 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.23Oleh karena itu, kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi yang menjadi pegangan kongkrit dalam proses penelitian. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, maka konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.

20Muhammad Yusuf dan Wiroso, Bisnis Syariah, Mitra Wacana Media, Edisi Pertama, Jakarta, tahun 2007, hal. 162.

21Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulisan Ilmiah, Bumi Aksara, 2000, hal. 122.

22Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, LP3ES, tahun 1989, Jakarta. Hal. 34.

23Sumadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo, tahun 1998, Jakarta. Hal. 34.

Untuk menghindari terjadinya perbedaan pengertian tentang konsep yang dipakai dalam penelitian ini, maka perlu dikemukakan mengenai pengertian konsep yang dipakai, sebagai berikut:

1. Rahn adalah menahan salah satu harta milik di peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.

2. Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan). Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’

untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.

3. Syariah adalah secara harfiah berarti jalan Allah seperti yang ditunjukkan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Istilah ini dipakai untuk yang berhubungan dengan prinsip Islam.

4. Kantor pegadaian syariah adalah kegiatan usaha atau unit kerja yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah.

5. Lhokseumawe Aceh adalah salah satu daerah yang terletak dalam Wilayah Pemerintahan Kota Provinsi Aceh yaitu tempat dimana Kantor Cabang Pegadaian Syariah menjalankan kegiatan usahanya.

G. Metode Penelitian

Dalam setiap penelitian pada hakekatnya, mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.24Kata metode berasal dari yunani “Methods” yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.25

1. Sifat Metodelogi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah, bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan empiris yang mengacu pada norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat indonesia.

Empiris yang dimaksud pada penelitian ini adalah, berusaha melakukan pendekatan terhadap dasar hukum dan menganalisa permasalahan yang ada.

Menganalisa hukum baik yang tertulis, maupun yang di putuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Sedangkan sifat deskriptif analitis dalam penelitian ini deskiptif bertujuan untuk, mendeskripsikan secara sistimatis, faktual dan akurat, maksudnya bahwa penelitian ini menelaah dan menjelaskan serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan analitis di artikan sebagai kegiatan menganalisa data secara konferenshif, dan ditujukan untuk membatasi kerangkan studi pada suatu pemberian, suatu analisis, atau suatu klasifikasi tanpa secara

24Jujun S.Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hal. 328.

25Koenjtraranigrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, 1997 Jakarta, Hal.16.

langsung bertujuan untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.

Secara langsung penelitian ini memaparkan mengenai, Rahn pada Gadai Syariah dengan pendekatan terhadap prinsip syariah yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini.

2. Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul ini yaitu Tinjauan Yuridis Tentang Gadai Syariah (Rahn) pada Kantor Pegadaian Syariah Di Lhokseumawe, maka penelitian ini dilakukan berdasarkan kenyataan dilapangan. Maka dalam melakukan penelitian ini didukung dengan 1 (satu) orang Nasabah pada Pegadaian Syariah dan, 1 (satu) orang Manager Usaha Rahn pada Kantor Pegadaian Syariah, yang beralamat di Jalan pasar Inpres, Nomor. 10 Telepon (0645) 45303, Kode Pos 24313, Lhokseumawe.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data, yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research).

a. Penelitian kepustakaan

Yaitu untuk mendapat konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan, objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan-peraturan lainnya.

b. Penelitian lapangan

Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer guna akurasi

terhadap hasil yang dipaparkan, yang dapat berupa pendapat informan, laporan-laporan perusahaan dan lain-lain yang relevan dengan objek yang diteliti. Selain itu peneliti juga melakukan penelitian langsung ke tempat penelitian yakni kantor Pegadaian Syariah Lhokseumawe.

4. Metode Pengumpulan Data

Adapun alat yang digunakan untuk pengumpulan data dalam peneltian ini adalah, dengan menggunakan studi dokumen dan wawancara.

a. Studi Dokumen, Sumber utama penulisan tesis ini diperoleh dari data sekunder, berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu :

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru maupun pengertian baru mengenai studi gagasan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Pegadaian.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan pelajaran mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek telaah penelitian.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahwa hukum penunjang yang memberi penunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, majalah maupun internet.

b. Wawancara, kegiatan wawancara dilakukan terhadap responden serta narasumber atau informan untuk mengetahui lebih mendalam dan rinci

tentang hal-hal yang tidak mungkin dijelaskan dan akan ditemukan jawaban nantinya. Sehingga dengan adanya wawancara, diharapkan dapat memperoleh data yang lebih luas dan akurat tentang masalah yang diteliti.

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan selanjutnya di pilih guna memperoleh pasal-pasal, teori-teori yang berisi tentang uraian-uraian permasalahan dalam tesis ini, sehingga klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang di teliti dalam tesis ini.

Walaupun dalam penelitian ini nantinya akan bersinggungan dengan perspektif ilmu lain, namun penelitian ini tetap merupakan penelitian hukum, karena perspektif hukum disiplin ilmu hanya sekadar alat bantu.

5. Analisa Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maka setelah diperoleh data sekunder, dilakukanlah pengumpulan data, mensistemasi, menganalisis serta menarik kesimpulan data sesuai dengan kategori yang ditemukan. Setelah itu dengan menggunakan metode deduktif-induktif, ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah selesai dianalisis dimaksud yang merupakan hasil dari penelitian ini.

BAB II

PRINSIP GADAI (RAHN) BERDASARKAN SYARIAH HUKUM ISLAM

A.1.Istilah dan Pengertian Gadai (Rahn)

Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah atau Rahin sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang/pinjaman atau marhun bih yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, Pihak yang menahan atau penerima gadai atau murtahin memperoleh jaminan Untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.26

Menurut A.A. Basyir, rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’

sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.27

Menurut Imam Abu Zakariya Al Anshari, rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan dari (harga) benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar.28

Sedangkan Imam Taqiyyuddin Abu Bakar Al Husaini mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhunbih dan murtahin berhak menjual/melelang barang yang

26Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Cetakan 1, Kerjasama Gema Insani Press dengan Tazkia Institute, GIP, Jakarta: 2001. hal. 128.

27A.A. Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, Al-Ma’arif, Bandung:

1983, hal. 50.

28Rahmat Syafei, Konsep Gadai; Ar-Rahn dalam Fiqh Islam Antara Nilai Sosial dan Nilai Komersial dalam Huzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Ibid. hal. 60.

digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya. Barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat diperjual-belikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan. Berdasarkan definisi di atas, disimpulkan bahwa rahn itu merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih, sehingga rahin boleh mengambil marhun bih.

Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, lebih lanjut mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam sebagai berikut:

1. Ulama syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut :

Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.

2. Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut :

Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar utangnya.

3. Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut :

Sesuatu yang bernilai harta (Mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).

4. Ahmad Azhar Basyir mendefinisikan sebagai berikut :

Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara' sebagai

tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang seluruh atau sebagian utang dapat diterima.

5. Muhammad Syafi'I Antonio mendefinisikan sebagai berikut :

Gadai syariah (Rahn) adalah menahan salah satu yaitu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.29

Dewan redaksi dari Ensiklopedi Hukum Islam berpendapat bahwa Rahn yang dikemukakan oleh ulama Fiqh klasik tersebut hanya bersifat pribadi, artinya utang piutang hanya terjadi antara seorang pribadi yang membutuhkan dan seorang yang memiliki kelebihan harta, di zaman sekarang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, Rahn tidak hanya berlaku antar pribadi melainkan juga antara pribadi dan lembaga keuangan.30

Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli Hukum Islam diatas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau

29Ibid, Muhammad Syafi’i Antonio, hal.128.

30Abdul Ghofur Anshari, Gadai Syariah di Indonesia, Gajah Mada University Press, tahun 2006, hal. 103.

sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah.

Pegadaian syariah mengacu kepada Al-Qur`an dan Hadits. Adapun landasannya dalam Al-Qur`an sebagaimana firman Allah SWT :

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuammalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.

Dan barang siapa yang menyembunyikan, sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(QS. Al-Baqarah:283 Ayat 2).

Adapun dalam Hadits, Aisyah Ra berkata “Rasullulah membeli makanan dari seorang Yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah saw bersabda :

“Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya menjaganya.

Apabila ternak itu digadaikan, air susunya yang deras boleh diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya menjaganya.

Kepada orang yang naik dan minum, ia harus mengelurkan biaya perawatannya.”(HR.Jamaah, kecuali Muslim dan an-Nasa`i).31

Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”. (HR.Anas Ra).32

1. Fungsi Gadai Syariah

Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 283 Ayat 2 dijelaskan bahwa gadai pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muammalah, dimana sikap menolong dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam hadist Rasulullah Saw. dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah ra. yang diriwayatkan Abu Hurairah, di sana nampak sikap menolong antara Rasulullah Saw, dengan orang Yahudi saat Rasulullah Saw menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi tersebut.

Maka pada dasarnya, hakikat dan fungsi Pegadaian dalam Islam adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan

31Http://Www.Ekomarwanto.Com/2011/11/Penerapan Teori dan Aplikasi Pegadaian. Html.

Diakses Tgl 19 Mai 2012.

32Ibbid, http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/07/Konsep Gadai Syariah Ar-Rahn dalam Fiqh.html.

dengan bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersiil dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.33

Produk rahn disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiayaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman, berarti Pegadaian syariah hanya memperoleh imbalan atas biaya administrasi, penyimpanan, pemeliharaan, dan asuransi marhun, maka produk rahn ini biasanya hanya digunakan bagi keperluan fungsi sosial-konsumtif, seperti kebutuhan hidup, pendidikan dan kesehatan.34 Sedangkan rahn sebagai produk pembiayaan, berarti Pegadaian syariah memperoleh bagi hasil dari usaha rahin yang dibiayainya.

2. Syarat Sah dan Rukun Gadai Syariah

Sebelum dilakukan rahn, terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa’35adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu akad.

Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu :

(1) Shigat (lafadz ijab dan qabul);

33Muhammad dan Solikhul Hadi, Op.cit, hlm. 63

34 Yadi Janwari dan H.A. Djajuli, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat: Sebuah Pengenalan,Edisi 1, Cetakan 1, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2002. hlm. 80.

35Mustafa az-Zarqa’ dalam M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003, hlm. 102-103.

(2) Orang yang berakad (rahin dan murtahin);

(3) Harta yang dijadikan marhun; dan (4) Utang (marhum bih).

Ulama Hanafiyah berpendapat, rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang jaminan itu). Menurut Ulama Hanafiyah, agar lebih sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih itu termasuk syarat-syarat rahn, bukan rukunnya.36

Sedangkan syarat rahn, ulama fiqh mengemukakannya sesuai dengan rukun rahn itu sendiri, yaitu:

1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah cakap bertindak hukum (baligh dan berakal). Ulama Hanafiyah hanya mensyaratkan cukup berakal saja. Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan antara yang baik baik dan buruk) boleh melakukan akad rahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya. Menurut Hendi Suhendi, syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf, artinya mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan yang berkaitan dengan rahn.37

2. Syarat sight (lafadz). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan datang,

36Nasrun Haroen, Fiqh Mumalah, Cetakan Pertama, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2000. hlm. 254.

37Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002. hlm. 107.

karena akad rahn itu sama dengan akad jual-beli. Apabila akad itu dibarengi dengan, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhun bih telah habis dan marhun bih belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang 1 (satu) bulan, mensyaratkan marhun itu boleh murtahin manfaatkan.

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh tersebut, termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal.

Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnya rahn itu, pihak murtahin minta agar akad itu disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, sedangkan syarat yang batal, misalnya, disyaratkan bahwa marhun itu tidak boleh dijual ketika rahn itu jatuh tempo, dan rahin tidak mampu membayarnya.38

Sedangkan Hendi Suhendi menambahkan, dalam akad dapat dilakukan dengan lafadz, seperti penggadai rahin berkata; “Aku gadaikan mejaku ini dengan harga Rp 20.000” dan murtahin menjawab; “Aku terima gadai mejamu seharga Rp 20.000”. Namun, dapat pula dilakukan seperti: dengan surat, isyarat atau lainnya yang tidak bertentangan dengan akad rahn.39

3. Syarat marhun bih, adalah :

38Nasrun Haroen, Op.cit. hlm. 255.

39Ibid. hlm. 107

a. Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin;

b. Marhun bih itu boleh dilunasi dengan marhun itu;

c. Marhun bih itu jelas/tetap dan tertentu.

4. Syarat marhun, menurut pakar fiqh, adalah:

a. Marhun itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih;

b. Marhun itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan (halal);

c. Marhun itu jelas dan tertentu;

d. Marhun itu milik sah rahin;

e. Marhun itu tidak terkait dengan hak orang lain;

f. Marhun itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat; dan

g. Marhun itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.40 3. Hak dan Kewajiban para Pihak Gadai Syariah

Menurut Abdul Aziz Dahlan,41bahwa pihak rahin dan murtahin, mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajibannya adalah sebagai berikut:

1. Hak dan Kewajiban Murtahin a. Hak Pemegang Gadai

a.1 Pemegang gadai berhak menjual marhun, apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang

40Nasrun Haroen, Ibid, hal. 256.

41Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Cetakan Keempat, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 2000, hlm. 383.

berhutang. Sedangkan hasil penjualan marhun tersebut diambil sebagian untuk melunasi marhunbih dan sisanya dikembalikan kepada rahin;

a.2 Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun;

a.3 Selama marhun bih belum dilunasi, maka murtahin berhak untuk menahan marhun yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak retentie).

b. Kewajiban Pemegang Gadai

b.1 Pemegang gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga marhun, apabila hal itu atas kelalainnya;

b.2 Pemegang gadai tidak dibolehkan menggunakan marhun untuk kepentingan sendiri; dan

b.3 Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu kepada rahin sebelum diadakan pelelangan marhun.

2. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai Syariah a. Hak Pemberi Gadai

a.1. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan kembali marhun, setelah pemberi gadai melunasi marhun bih;

a.2. Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya marhun, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin;

a.3. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan marhun setelah dikurangi biaya pelunasan marhun bih, dan biaya lainnya;

a.4. Pemberi gadai berhak meminta kembali marhun apabila murtahin telah jelas menyalahgunakan marhun.

b. Kewajiban Pemberi Gadai

b.1 Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi marhun bih yang telah diterimannya dari murtahin dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang telah ditentukan murtahin;

b.2 Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas marhun miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi marhun bih kepada murtahin.

4. Perlakuan Bunga dan Riba dalam Gadai Konvensional

Gadai pada prinsipnya merupakan kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial. Namun, hal ini berlaku pada masa Rasulullah Saw, masih hidup.

Rahn pada saat itu belum berupa sebuah lembaga keuangan formal seperti sekarang ini, sehingga aktivitas gadai hanya berlaku bagi perorangan. Jadi pada saat itu masih mungkin jika aktivitas tersebut hanya berfungsi sosial dan rahin tidak berkewajiban memberikan tambahan apapun dalam pelunasan utangnya.42

Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari Pengadaian tersebut tentu sudah bersifat komersiil. Artinya Pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga Pegadaian mewajibkan

42Muhammad dan Solikhul Hadi, Op,cit, hlm. 61

menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa.43

menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa.43

Dokumen terkait