• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEPSI TUGAS TNI SELAIN PERANG DALAM UPAYA MENGHADAPI ANCAMAN NON KONVENSIONAL

13. Umum .

Seperti diketahui bahwa dalam penyelenggaraan pertahanan negara didasarkan pada spektrum “ancaman dan gangguan” serta “permintaan bantuan” dari pihak yang berwenang. Oleh karenanya dalam penggunaan komponen utama TNI dalam setiap tugas-tugas selain perang maka senantiasa dibutuhkan legitimasi politik dan payung hukum yang memadai. Secara umum pola penggunaan kekuatan TNI pada prinsipnya terefleksi pada pokok-pokok pelibatan kekuatan TNI selain perang sebagaimana yang tertuang dalam UU tentang Pertahanan Negara No. 3 tahun 2002 pada Pasal 10 ayat (3) c.

Konsepsi Tugas TNI Selain Perang yang kini dikembangkan tidak terlepas dari perkembangan dinamika dan situasi dan kondisi lingkungan strategis yang semakin kompleks sehingga konsepsi dan pola penanganan setiap ancaman akan sangat tergantung dari bentuk-bentuk serta “trend” dan “issues” yang berkembang di tengah-tengah masyarakat baik dalam dimensi nasional maupun internasional. Secara universal tugas Angkatan Bersenjata di dunia telah menekankan pentingnya “Operasi Militer Selain Perang” dengan menitik beratkan pada kemampuan untuk melaksanakan bantuan yang bersifat kemanusiaan (civic mission) serta bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue) menyusul bergesernya bentuk-bentuk ancaman yang bersifat konvensional yang sarat dengan ancaman penggunaan persenjataan pemusnah massal termasuk ancaman proliferasi nuklir menuju ke dalam sebuah ancaman non-konvensional yang bernuansa global. (Lihat : Gambar Spektrum Konflik dan pelaksanaan operasi militer selain perang pada Lampiran 5a).

Di samping itu, dengan semakin mengemukanya ancaman-ancaman non-konvensional, maka TNI dituntut agar memiliki system penggunaan kekuatan di luar

perang yang menjadi bagian dari wujud posturnya. Untuk itu TNI harus mampu

/ merespon….. merespon dan menjawab tantangan ancaman di mana menempatkan TNI sebagai unsur integratif dalam konteks pengerahan kekuatannya, kemampuannya, serta gelar pasukannya sesuai dengan peran, tugas dan fungsi yang diproyeksikan dalam pola operasi militer selain perang, khususnya dalam melaksanakan tugas bantuan kemanusiaan, perbantuan kepada Kepolisian Negara dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat, bantuan kepada pemerintahan sipil, bantuan pencarian dan pertolongan, bantuan pengungsian dan penanggulangan bencana alam serta bantuan perdamaian dunia.

14. Kebijaksanaan .

Titik pangkal tugas TNI selain perang merupakan langkah pengoperasian kekuatan TNI yang dilaksanakan tidak dalam konteks pertempuran maupun perang bangsa untuk menghadapi ancaman militer negara lain. Akan tetapi Penggunaan kekuatan TNI dalam kerangka kepentingan nasional untuk mengeliminir adanya ancaman yang bersifat non-militer yang dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional serta keselamatan bangsa dan kedaulatan negara. Tugas ini tidak hanya dilakukan oleh TNI saja, namun merupakan pengintegrasian dari seluruh kekuatan nasional yang meliputi kekuatan TNI dan elemen sipil lainnya serta melibatkan seluruh departemen pemerintahan dan swasta terkait sebagai bentuk dari penjabaran Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta).

Karena itu formulasi dan konsepsi Tugas TNI dalam menghadapi berbagai ancaman khususnya ancaman non-konvensional, maka pendekatan pola operasionalnya lebih diarahkan pada kebijaksanaan implementasi Tugas TNI selain Perang yang dikenal sebagai “Military Operations Other Than War (MOOTW)” yang berlaku secara universal sebagai landasan pokok bagi TNI baik secara politik maupun hukum dalam melibatkan dirinya sebagai aparat negara dalam kerangka pencapaian kepentingan nasional.

Dalam penyelenggaraan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan negara, secara legalistik TNI mempunyai peran terutama dalam bidang pertahanan

yang dikaitkan dengan ancaman yang datang dari luar negeri.18 Namun tidak berarti bahwa TNI tidak

/ dapat…… dapat digunakan dalam bidang keamanan, sebab secara konseptual masalah pertahanan adalah bagian dari masalah keamanan. Namun dalam aktualisasi perannya dalam pemeliharaan keamanan nasional, TNI digunakan dalam kapasitas membantu Polri atau Pemerintahan Sipil melalui prosedur permintaan bantuan militer dengan dipayungi peraturan hukum perundang-undangan yang berlaku.19

Untuk itu, TNI secara struktural dan sistemik dalam melaksanakan kewajibannya berperan memperkuat keamanan nasional dengan membangun kepercayaan internasional dan mencegah konflik melalui penangkalan agresi dari luar negeri. Di samping itu, TNI juga berperan sebagai penegak kedaulatan negara, penindak dan penyanggah awal terhadap ancaman, pelatih rakyat dalam tugas pertahanan negara, penegak hukum di laut dan di udara, serta berperan sebagai unsur pelaksana sumbangan bangsa dalam turut memelihara perdamaian dunia.

Oleh karenanya definisi kerja yang digunakan sebagai dasar penentuan tataran penyelenggaraan fungsi TNI dalam rangka pertahanan dan “keamanan nasional” adalah “tataran yang mengatur kewenangan penyelenggaraan pertahanan negara, baik secara vertikal dilihat dari strata organisasi pertahanan, kepolisian dan pemerintahan, maupun horizontal ditinjau dari pembagian daerah geografis dalam masa damai maupun perang.”

Adapun kebijaksanaan mendasar yang menjadi acuan dalam mengembangkan konsepsi Tugas TNI khususnya dalam menangkal ancaman non-konvensional dititikberatkan pada tiga hal penting diantaranya sebagai berikut :

a. Tataran Kewenangan Pertahanan dan Keamanan Negara . 18 Indria Samego (Ed), Sistem Pertahanan Keamanan Negara, Analisis Potensi dan Problem, The Habibie Center, 2001, hal. 48-49.

Masalah tataran kewenangan penyelenggaraan dan fungsi pertahanan dan keamanan negara secara mendasar mengacu pada kaidah penuntun sebagai berikut:

1) Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri; Ketetapan ini menjelaskan tentang pemisahan secara institusional baik TNI maupun Polri dalam menjalankan perannya sebagai aparat pertahanan dan keamanan.

/2) Ketetapan…. 2) Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri; Ketetapan ini menjelaskan tentang peranan dan kewenangan TNI dan Polri di dalam melaksanakan fungsinya dimana TNI sebagai instrumen negara di bidang pertahanan yang dikaitkan dengan ancaman yang datang dari luar negeri sedangkan Polri berfungsi untuk memelihara keamanan yang meliputi pemeliharaan ketertiban umum, penanggulangan masalah kejahatan, perlindungan terhadap warga/penduduk dari gangguan kejahatan dan atau bencana alam. Namun demikian dalam Pasal 4 (1), TNI dapat membantu kegiatan kemanusiaan (civic mission) sedangkan dalam Pasal 4 (2), disebutkan bahwa “TNI dapat memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam Undang-Undang. Selain itu, dalam Pasal 4 (3) TNI dapat melaksanakan tugas-tugas Peace Keepeing Operation (PKO) di bawah bendera PBB. Dari ketiga ayat tersebut dalam Pasal 4 diterapkan dalam keadaan tertib sipil maupun dalam kedaan darurat sipil.

3) Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara; Dalam Undang - Undang tersebut Polri ditetapkan sebagai pengemban fungsi kepolisian dengan peran memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberi perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 13, 14 dan

15. Namun demikian, dalam pasal 41 (1) juga dijelaskan bahwa “dalam rangka melaksanakan tugas keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan kepada TNI yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP).

4) Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara; Dalam Undang-Undang ini di samping menjelaskan bahwa pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman

/dan….. dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara juga menekankan bahwa sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman non-militer menempatkan lembaga pemerintahan di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa seperti yang dijelaskan dalam Pasal 7 (3), serta pada Pasal 10 (3) c tentang Operasi Militer Selain Perang.

5) Undang-Undang No 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya; Undang-Undang tersebut pada dasarnya telah dirubah menjadi Undang – Undang PKB yang telah disetujui oleh DPR, tetapi belum diundangkan oleh pemerintah. Dalam Undang-Undang ini terdapat tiga skala tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya yakni; untuk darurat sipil menjadi keadaan khusus; darurat militer menjadi keadaan darurat; dan perang menjadi keadaan perang.

6) Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 Tahun 1960 tentang Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer serta Undang Undang Nomor 28 tahun 1997. Dalam peraturan No 16 tahun 1960 sesuai Pasal 3 bahwa, dalam keadaan tertib sipil TNI dapat memberikan bantuan militer kepada pemerintah daerah, sedangkan dalam Pasal 27 UU No. 28 tahun 1997, TNI dapat

memberi bantuan kepada Polri berdasarkan mekanisme pelibatan “atas permintaan”.

7) Perpu No. 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Anti Terorisme) serta pemberlakuan Perpu No 1 Tahun 2002 pada peristiwa peledakan bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 ; Dalam Perpu No. 1 Pasal 26 menyebutkan bahwa “untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan laporan intelijen”. Adapun laporan intelijen yang dimaksud adalah bersumber dari Kepolisian, Kejaksaan, Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Tentara Nasional Indonesia (TNI), atau Badan Intelijen Negara.20

/8) Inpres…. 8) Inpres No. 5/2002 tentang Koordinasi Intelijen yang melibatkan BIN, BAIS TNI, Badan Itelijen Kepolisian serta lembaga intelijen lainnya seperti kejaksaan. Inpres ini sesungguhnya mengatur mekanisme koordinasi intelijen nasional meskipun masing-masing lembaga mempunyai otoritas, akan tetapi melalui Inpres tersebut juga menunujukkan bahwa intelijen TNI menjadi salah satu bagian penting dalam memberikan informasi awal tentang gangguan dan ancaman keamanan yang kelak terjadi serta dapat menjadi bukti permulaan yang cukup dalam penyidikan. 9) Rule of Engagement yang berdimensi internasional (resolusi-resolusi PBB atau konvensi tentang keamanan bersama) yang berdasarkan Piagam PBB; Hal ini dapat digunakan sebagai dasar pelibatan yang berlaku secara universal sesuai tingkat kepentingannya misalanya menyangkut upaya “humanitarian intervention” yang memperbolehkan militer terlibat sebagai mediator atau peace keeping dalam ikut mengatasi berbagai konflik yang dapat mengarah pada ancaman kemanusiaan seperti crime against humanity atau genocide.

Meskipun demikian, sesungguhnya beberapa peraturan hukum dan perundang-undangan tersebut masih membutuhkan penjabaran lebih 20 Sosilo Bambang Yudoyono, Selamatkan Negeri Kita dari Terorisme, Kementerian Koordinator

lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Penjabaran ini sangat mendesak agar tidak terjadi kesalahan persepsi dalam penafsirannya, khususnya yang terkait dengan Tugas TNI Selain Perang.

Salah satu contoh aktual yang bisa dikutip adalah tentang perbantuan satuan TNI dalam tugas kepolisian, sebagaimana diatur dalam Tap MPR RI No VII/MPR/2000 Pasal 4 (2). Pasal 4 (2) menyebutkan bahwa “Tentara Nasional Indonesia memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam Undang-undang”. Hingga saat ini, belum ada Peraturan Pemerintah yang menjabarkannya.

Sementara pada Undang-Undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, walaupun sudah diatur tentang Tugas TNI Selain Perang pada Pasal 10

/ ayat 3….. ayat 3 (c), namun cakupannya sangat sempit karena hanya menyangkut civic mission, disaster relief dan bantuan SAR. Undang-undang tersebut tidak memasukkan ancaman-ancaman non-konvensional seperti pembajakan dan perompakan di laut, imigran ilegal, penyelundupan senjata dan lain sebagainya sebagai cakupan Tugas TNI Selain Perang. Mengingat bahwa cakupan Tugas TNI Selain Perang cukup luas dan melibatkan berbagai aspek di luar aspek militer, maka eksistensi Pasal 10 ayat 3 (c), dipandang kurang memayungi MOOTW di lingkungan TNI. Meskipun untuk jangka pendek dapat saja dianggap sudah memayungi pada tingkat minimal, tetapi alangkah lebih baiknya bila ke depan terdapat undang-undang yang mengatur pelibatan TNI secara rinci.

Namun begitu, sejumlah peraturan hukum dan perundang-undangan tersebut juga secara tegas menggambarkan keberadaan fungsi TNI dalam memainkan perannya sebagai unsur pertahanan dan keamanan dalam sistem nasional secara keseluruhan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tataran kewenangan pertahananan dan keamanan negara dapat dilaksanakan oleh TNI berdasarkan tugas dan perannya

berlaku serta disesuaikan pada tingkat keadaan yang diperlukan. Artinya bahwa TNI dapat menjalankan tugas, peran dan fungsinya dengan menempatkan konsepsi “Operasi Militer Selain Perang” sebagai sebuah pola yang berlaku secara universal dalam penanganan berbagai spektrum ancaman keamanan nasional yang bersifat non-konvensional/non-tradisional. (Lihat Model Operasi Militer Selain Perang/MOOTW pada Lampiran 5b).

b. Sistem Manajemen Pertahanan Negara .

Untuk mewujudkan kemampuan pertahanan negara yang handal, diperlukan upaya nasional terpadu yang melibatkan segenap potensi dan kekuatan bangsa. Oleh karenanya terciptanya keterpaduan dalam mewujudkan kemampuan tersebut merupakan tuntutan mutlak agar upaya yang dilakukan dapat

/ berhasil…… berhasil secara optimal dalam menghadapi berbagai masalah yang dapat mengancam keselamatan dan kedaulatan negara Republik Indonesia. Ditinjau dari segi kesisteman, upaya pertahanan negara dapat dipandang sebagai suatu sistem yang memadukan berbagai kegiatan dalam rangka mentransformasikan segenap potensi dan kekuatan nasional menjadi kekuatan dan kemampuan pertahanan yang siap digunakan untuk mengatasi setiap ancaman, tantangan, gangguan, dan hambatan. Dengan mengacu pada peraturan dan perundang-undangan serta berbagai doktrin yang ada, maka sistem manajemen pertahanan negara menjadi penting dalam mendukung terlaksananya tugas TNI sebagai instrumen dan komponen utama pertahanan negara.

Dalam sistem manajemen pertahanan negara dapat diposisikan sebagai supra sistem yang didalamnya terdapat tiga sistem yaitu: (1) sistem manajemen sumber daya pertahanan negara, (2) sistem manjemen pembinaan kekuatan/kemampuan pertahanan negara, (3) dan sistem manajemen penggunaan kekuatan/kemampuan pertahanan negara. Berkaitan dengan tugas-tugas TNI dalam menghadapi ancaman non-konvensional, maka dari ketiga sistem yang menjadi fokus perhatian

pemerintah adalah menyangkut manajemen penggunaan kekuatan/kemampuan pertahanan negara menyusul pemisahan dan peran TNI-Polri dalam konteks pertahanan dan keamanan.

Dalam Tugas TNI Selain Perang, penggunaan kekuatan/kemampuan pertahanan negara adalah memobilisasi kemampuan dan kekuatan komponen pertahanan yang dibutuhkan untuk menghadapi ancaman. Komponen pertahanan dimaksud adalah komponen utama yaitu TNI, komponen cadangan dan komponen pendukung. Dalam penggunaan kekuatan/kemampuan pertahanan negara tersebut untuk MOOTW, terkandung prinsip-prinsip pengerahan yaitu prinsip legalitas, prinsip prioritas dan prinsip kesatuan komando. Prinsip legalitas berarti pengerahan kekuatan/kemampuan sumber daya pertahanan negara untuk MOOTW harus sesuai dengan peraturan dan perundang – undangan yang berlaku.

/ Prinsip… Prinsip prioritas maksudnya pengerahan kekuatan/ kemampuan sumber daya pertahanan negara untuk MOOTW harus mempertimbangkan prioritas kebutuhan yang dihadapi. Sedangkan prinsip kesatuan komando adalah pengerahan kekuatan/kemampuan segenap komponen kekuatan pertahanan negara dalam rangka MOOTW diselenggarakan dan menjadi tanggungjawab TNI, khususnya yang organik pembinaannya di bawah wewenang TNI.

Khusus untuk penyiapan komponen cadangan dan komponen pendukung, secara teknis berada di bawah pembinaan lembaga fungsional. Mengingat bahwa hingga saat ini masih kurangnya pemahaman lembaga fungsional akan peran dan partisipasi mereka dalam pertahanan negara, maka dipandang perlu upaya-upaya untuk meningkatkan pemahaman tersebut, selain melengkapi berbagai peraturan perundang-undangan yang masih kurang.

Terlebih lagi saat ini berlaku otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota sesuai dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999,

sehingga pengelolaan sebagian dari potensi nasional sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung berada di kabupaten/kota. Di tengah upaya berbagai kabupaten/kota untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya melalui berbagai cara, terkadang sangat mencolok adanya kurang perhatian pemerintah kabupaten/kota akan pemeliharaan dan pembinaan potensi nasional yang ada di daerahnya masing-masing.

Padahal sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa fungsi teritorial adalah fungsi pemerintahan dan sama sekali bukan eksklusif milik TNI semata. Ketika negara atau suatu kabupaten/kota berada dalam kondisi tertib sipil, pelaksana utama fungsi teritorial adalah pemerintahan setempat. TNI hanya akan mengambil kendali fungsi teritorial saat negara atau suatu kabupaten/kota berada dalam kondisi darurat, baik darurat sipil, darurat militer maupun darurat perang. Tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan saat ini, aparat fungsional khususnya pada tingkat kabupaten/kota belum memahami sesungguhnya apa maksud dan tujuan dari penyelenggaraan fungsi teritorial tersebut.

/ c. Hakikat….. c. Hakikat dan Spektrum Ancaman Disesuaikan Dengan Kepentingan Nasional.

Hakikat ancaman merupakan totalitas dari semua masalah yang dapat membahayakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Dilihat dari keberadaan ancaman dan tujuannya, serta pengaruhnya baik terhadap keamanan nasional pada khususnya, maupun kepentingan nasional pada umumnya. Spektrum ancaman memiliki wilayah cakupan yang sangat luas, mulai dari yang halus sampai dengan keras.

Dalam Tugas TNI Selain Perang, dipandang perlu perumusan hakekat dan spektrum ancaman non-konvensional bagaimana yang potensial berubah menjadi ancaman konvensional sehingga pada akhirnya mengancam kepentingan nasional. Hingga saat ini, dalam menghadapi Low Intensity Conflict, Kepolisian masih diberi wewenang untuk mengatasinya dengan dibantu oleh MOOTW TNI. TNI baru bisa mengambil alih wewenang apabila konflik telah berubah menjadi High Intensity Conflict yang dinilai mengancam kepentingan nasional.

Spektrum ancaman pada Low Intensity Conflict masihlah sebuah ancaman non-konvensional yang dianggap tidak berpengaruh besar terhadap kepentingan nasional. Namun bila telah berubah menjadi High Intensity Conflict, secara otomatis ancaman berubah pula menjadi ancaman konvensional yang dianggap mengancam kepentingan nasional sehingga menjadi wewenang dan tanggungjawab TNI untuk menanganinya.

Dalam MOOTW, spektrum ancaman terbagi ke dalam dua bentuk yaitu non kombatan dan konflik non-konvensional. Non kombatan sendiri meliputi pameran kekuatan, bantuan dan pendampingan militer dan ekonomi, pemeliharaan perdamaian dan kontijensi kemanusiaan. Sedangkan konflik non-konvensional mencakup Operasi Khusus/Special Operation dan Low Intensity Conflict. (Lihat Spektrum konflik dan MOOTW yang digunakan US yang berlaku Universal pada Lampiran 5c).

Operasi Khusus sendiri meliputi kontrateror, penyelamatan sandera, pelopor, serangan pembedahan (surgical strikes) dan serangan hit and run. Sementara

/ Low….. Low Intensity Conflict mencakup kombinasi bantuan dan pendampingan non militer, pengiriman tim pelatihan menembak, bantuan dan pendampingan kepolisian serta pelatihan kader-kader militer.

Di Indonesia, spektrum ancaman disesuaikan dengan kondisi yang tengah berlaku. Pada saat kondisi tertib sipil dan darurat sipil, wewenang dan tanggungjawab dipegang oleh Kepolisian bersama kepala daerah setempat. Saat tertib sipil, Kepolisian dapat meminta perbantuan TNI dalam tugas kepolisian. Kepala Kepolisian yang menerima bantuan satuan TNI, merumuskan dan memberi tugas satuan TNI yang diperbantukan dengan mempertimbangkan tingkat kekuatan dan kualitas kemampuan, bentuk dan kualitas gangguan keamanan serta karakteristik wilayah yang dihadapkan.

Ketika kondisi berubah menjadi darurat sipil, wewenang Gubernur selaku Kepala Daerah diperbesar. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.16/1960 tentang Permintaan Dan Pelaksanaan Bantuan Militer, Gubernur berhak untuk meminta bantuan militer kepada TNI untuk mengamankan wilayahnya. Dalam kondisi ini, wewenang hukum masih di bawah wewenang Kepolisian, namun pelaksanaannya oleh TNI. Baik dalam kondisi tertib sipil maupun darurat sipil, operasi yang dilaksanakan TNI adalah MOOTW. (lihat : Gambar Spektrum Keamanan dan Pertahanan pada Lampiran 5d).

Apabila kondisi dinyatakan darurat militer dan atau perang, TNI berada di garis depan dibantu oleh Kepolisian dan segenap komponen bangsa lainnya. Sejak kondisi darurat militer, terjadi pengalihan komando dan pengendalian dari Gubernur dan Kepala Kepolisian Daerah kepada TNI dan operasi yang digelar TNI adalah military operation.

Semua itu berlandaskan pada Undang-undang No.23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya. Sementara Pada Undang-undang No.16/1999 tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya yang sudah disetujui oleh DPR namun belum diundangkan oleh pemerintah, terdapat perbedaan istilah meskipun skala konfliknya

sama. Selain tertib sipil yang tetap digunakan pada Undang-undang No.16/1999,

/darurat….. darurat sipil menjadi keadaan khusus, darurat militer menjadi keadaan darurat dan perang menjadi keadaan perang.21

Pada hakikat dan spektrum ancaman saat ini, dikenal terminologi operasi kamdagri, yang wilayahnya membentang dari tertib sipil hingga darurat militer menurut Undang-undang No.23/Prp/1959. Nampaknya terminologi operasi kamdagri sesuai dengan Tap MPR No.VII/MPR/2000 kurang tepat lagi untuk digunakan TNI, mengingat bahwa gangguan keamanan dalam negeri tidak hanya bersifat konflik vertikal dengan gerakan separatis bersenjata tetapi juga mencakup konflik horizontal 21 Lihat, Operasi TNI AL Selain Perang (Naval Operation Other Than War), Kajian Strategik Tim

yang berbasis agama, suku dan ras. Dalam keadaan tertentu dimana gangguan tersebut masih dapat dikendalikan serta belum sepenuhnya mengancam keutuhan dan kedaulatan negara NKRI maka penanganannya oleh Polri. Bila diperlukan TNI dapat memberikan bantuan kepada polri atas permintaan. Dengan demikikian bila dikaitkan dengan skala konflik menurut Undang-undang No.23/Prp/1959, dapat disimpulkan bahwa sebaiknya terminologi operasi kamdagri mungkin lebih tepat menjadi operasi non pertahanan, karena fungsi TNI dalam hal ini membantu Kepolisian di mana pada saat itu bukan hanya mengemban fungsi keamanan, tetapi juga fungsi polisionil dan fungsi diplomasi serta membantu penanggulangan bencana bisa meliputi semua kegiatan-kegiatan operasi militer selain perang.

15. Strategi

a. Tujuan. Strategi ini bertujuan untuk memberikan konsep dasar tindakan dan kegiatan tugas-tugas TNI selain perang yang bersifat bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat, bantuan kepada pemerintahan sipil, mengatasi kejahatan lintas negara (transnational organized crime), mencegah penyelundupan manusia/migran gelap, mencegah masuknya dan beredarnya narkoba, mencegah aksi terorisme, mengatasi konflik etnik yang berbasis SARA, mencegah perdagangan dan peredaran senjata ringan/kaliber kecil.

/b. Metoda ……

b. Metoda. Metoda yang digunakan untuk Tugas TNI Selain Perang adalah mekanisme “manajemen krisis”. Dalam menghadapi berbagai ancaman baik konvensional maupun non - konvensional,

Dokumen terkait