• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya mengeluarkan sebuah putusan yang dianggap merusak kebijakannya sendiri dalam melakukan judicial review atas putusannya yang dianggap gagal dalam mengawal konsistensi putusan. Menurut hemat saya, Mahkamah tidak “Istiqomah” dalam mengambil kebijakan yang seharusnya menjadi acuan kedepan tetapi dapat berubah dan menimbulkan ketidakpastian dalam hukum. Ini dianggap Mahkamah konstitusi tidak menghormati pembentuk Undang-Undang dan tergesa-gesa dalam menuangkan kedalam suatu putusan.

Dengan adanya putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang di eliminasi dengan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013 tentu menimbulkan benturan hukum

serta ketidakkonsisten ketika adanya dua putusan dengan subtansi yang sama tetapi dengan hasil putusan berbeda. Menginggat sebelumnya Mahkamah konstitusi mendapatkan kewenangan menangani sengketa pemilukada sebagai lembaga Peradilan yang berwenang tetapi kemudian, Mahkamah Konstitusi dengan putusanya mengeliminasi kewenangannya tersebut dan mengembalikan kembali ke Mahkamah Agung selaku mandat konstitusi dalam menangani sengketa pemilukada. Tentu kedua kerangka keputusan ini mensyaratkan Mahkamah konstitusi gagal mengawal konsistensi putusannya dalam menjaga kepastian hukum, menginggat kepastian hukum merupakan faktor penting dalam menjaga kepercayaan kepada institusi lembaga peradilan tersebut.

2.4.1 Analisa Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013

Menurut MK dalam Putusan No. 51-52-59/PUU-VI/2008 merupakan (1) norma konkret penjabaran Pasal 6A ayat (2) UUD N RI Tahun 1945, legal policy terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD N RI Tahun 1945, dan tata cara pilpres berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD N RI Tahun 1945 sebagai kebijakan legislasi dan kebijakan threshold yang didelegasikan dalam pelaksanaan pemilu; (2) tidak ada korelasi logis dengan pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil karena dengan syarat tersebut berarti proses demokrasi dengan mengesampingkan segala perdebatan yang terjadi tentang formalitas maupun substansi putusan dikaitkan dengan tugas dan kewenangan MK yang telah dieksploitasi dalam tulisan ini, seperti yang sudah

diawal tulisan ini kita harus menerima putusan MK sebagai finaland binding

1. Pemohon I (Saurip Kadi)

dan menerima MK sebagai the sole interpreter of the constitution.

Dalam gugatan uji materi kostitusionalitas Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adanya tiga pemohon yaitu:

2. Pemohon II (Partai Bulan Bintang)

3. Para Pemohon III (Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Republik Nusantara)

Dalam Konklusinya Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Dalil-dalil permohonan Para Pemohon tidak beralasan.64

Dalam Amar Putusannya menyatakan dengan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran 43 Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).65

64

Lihat Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, mengenai Konklusi

65

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,lihat Ps. 56 ayat (5) menyatakan Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Analisa Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013

Gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud diajukan oleh Effendi Gazali. Adapun muatan pasal yang dilakukan pengujian adalah Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berwenang untuk melakukan uji materiil (constitutional review) suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar memutus permohonan uji materiil dari pemohon. Mengacu pada dokumen hukum berupa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menjadi salah satu pertimbangan pemohon didasarkan pada kerangka Action-Research pemohon yang akhirnya menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang secara signifikan menghambat kemajuan negara Indonesia.66

Dalam Konklusi penilaian Mahkamah Kostitusi diuraikan berkesimpulan

(a) Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo Pemohon, (b)

Menurut penulis pengajuan uji materiil ini berbeda mengenai pasal yang di uji, tetapi obyek kajian yang sama yang di pertanyakan kenapa dibolehkan suatu pengujian padahal sebelumnya sudah dijelaskan bahwa jika objek kajian yang sama tidak dapat dilakukan pengujian kembali di Mahkamah Konstitusi. Tentunya Mahkamah Konstitusi melakukan tindakan yang mengagalkan konsistensi suatu putusannya atas interpentasi hukum ini.

Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

66

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, (c) Dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Berikut Amar putusan menyatakan:

1.1Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

1.2Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.3 Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk

penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya;

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Dari dua putusan tersebut terjadi beberapa kebijakan, berikut merupakan tabel analisa Perbedaan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013:

Tabel I

Analisa Perbedaan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013.

No. Subtansi Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008

Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013

1. Permohonan Pengujian Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 dianggap bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) junto Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Nomor 42 tahun 2008 dianggap bertentangan dengan terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD1945.

2. Alasan Pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tidak serentak dengan

Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (2) junto Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Alasan konstitusional baru dan yang berbeda yaitu Hak warga Negara untuk Memilih Secara Cerdas dan Efisien pada Pemilihan Umum Serentak yang diamantakan pasal 22 E ayat (1) dan ayat (2).

3. Pertimbangan hukum

Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 merupakan cara atau persoalan prosedural melihat kebiasaan (Konvensi Ketatanegaraan). Sedangkan, Pasal 9 UU 42/2008 tercantum kebijakan threshold menginggat Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan

Dalam Pengujian putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 pada Pasal 3 merupakan kebiasaan (Konvensi Ketatanegaraan) merupakan penafsiran hakim saat putusan dijatuhkan. praktik

dalam pelaksanaan Pemilu adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan threshold yang diamanatkan dalam UUD 1945.

menjadi norma konstitusional untuk menentukan

konstitusionalitas norma dalam pengujian Undang-Undang. Kekuatan mengikat dari praktik ketatanegaraan tidak lebih dari keterikatan secara moral. Sedangkan,

Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008, menurut Mahkamah karena pasal-pasal tersebut

merupakan prosedur lanjutan dari Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 maka seluruh pertimbangan mengenai Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula terhadap pasal-pasal tersebut.

4. Amar Putusan Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9

tidak bertentangan dengan UUD. Dalil permohonan tidak beralasan.

Mengabulkan permohonan pemohon sebagian. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112

bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

*(pertimbangan hukum lebih menyeluruh lihat di bab Kajian Putusan MK Tentang Penyelenggaran Pemilu Serentak).

2.4.2 Analisa Putusan Nomor 25/PHPU.D-VI/2008 dengan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013.

Kewenangan MK dalam menyelesaikan pemilukada diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 236C menetapkan, ”Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini. UU Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke dalam rezim Pemilu yang terdapat pada Pasal 1 ayat (4) Ketentuan Umum berbunyi:“Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan pasal 29 ayat (1)

huruf ekewenangan lain yang

diberikan oleh undang-undang”. Kemudian terdapat frasa tentang penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penjelasan dari Pasal 29 ayat (1) huruf e yang mengatakan bahwa kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Putusan Nomor MK 97/PUU-XI/2013 kewenangan MK menangani sengketa pemilukada dianggap inkonstitusional dan masih di pegang oleh MK sampai ada peraturan yang mengatur lebih lanjut mengenai Pemilukada.

Ini berarti MK menyerahkan kembali kewenangan kepada pembuat undang-undang yaitu Presiden dan DPR untuk membuat kembali peraturan lebih lanjut mengenai MA sebagai lembaga yang berwenang mengadili mengenai pemilukada. Tentu dalam hal ini MK dianggap tidak bertanggung jawab dalam mengeluarkan putusan mengenai pemilukada. Menurut Mahkamah penambahan kewenangan MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional. Meski MK tidak lagi berwenang mengadili sengketa pemilukada, semua putusan pemilukada tetap dinyatakan sah karena sebelumnya kedua pasal itu produk hukum yang sah dan valid.

Perlu juga singgung pertimbangan putusan MK No. 25 /PHPU.D-VI/2008 yang menyebut “...pemilihan kepala daerah termasuk dalam rezim hukum pemilu. Sebagai konsekwensinya, perselisihan hasil pemilukada secara hukum menjadi kewenangan MK....” Anwar menegaskan MK sudah beratus-ratus kali menyatakan dirinya berwenang menangani perkara sengketa pemilukada. kalaupun Mahkamah menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili sengketa pemilukada dengan alasan tidak diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, seharusnya hal tersebut dinyatakan sejak pertama kali menerima permohonan sengketa pemilukada pada tahun 2008. Sebab, ini menyangkut kewenangan mutlak yang membawa akibat hukum tersendiri.67

67

Menilai kewenangan sengketa pemilukada yang dibatalkan terkesan MK tidak konsisten dan dalam kewenangannya seharusnya memahami bahwa pemilu dengan pemilukada tidak ada perbedaan jika dilihat dari instrumen dan elemen yang terlibat di dalamnya. Jika kewenangan sengketa Pemilukada itu mau dialihkan lagi ke MA berarti harus mengubah Undang-Undang lain yakni UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan MK memutus sengketa Pemilukada selama ini diatur dalam tiga undang-undang itu. Tentu akan mengubah tatanan hukum yang berkaitan.

Berikut untuk mengetahui perbedaannya, dibuat tabel analisa mengenai perbedaan kedua putusan ersebut:

Tabel II

Analisa Perbedaan Putusan Nomor 25/PHPU.D-VI/2008 dengan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013.

No. Subtansi Putusan Nomor 25/PHPU.D-VI/2008

Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013

1. Permohonan Keberatan terhadap PHPU Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara .

Pengujian UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman terhadap UUD 1945.

2. Alasan Bahwa sesuai Pasal 24C ayat 1, Pasal 10 (1) huruf d UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, dan Pasal 12 ayat (1) huruf d UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan Mahkamah ialah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pemilu), yang dalam hal ini adalah Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Penambahan ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi terhadap penyelesaian sengketa Pemilukada akibat Pasal 236C UU 12 tahun 2008 dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), 22E ayat (2), dan 24C ayat (1).

3. Pertimbangan Hukum

UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum telah menetapkan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah

merupakan rezim hukum pemilihan umum;

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 236 telah menentukan sengketa hasil penghitungan suara

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi; Menginggat belum habis tenggat 18 (delapan belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 236C UU 12/2008. Oleh karena tindakan hukum yang demikian hingga saat ini belum ada, maka kewenangan tersebut belum secara efektif beralih ke Mahkamah.

Pasal 236C dan pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48 tahun 2009 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 24C ayat (1);

mepertimbangkan kembali segala aspek yang terkait dengan pemilihan kepala daerah baik dari segi original intent, makna teks, dan sistematika

pengaturannya menurut UUD 1945.

4. Amar Putusan Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

1.Menyatakan

Permohonaan pemohon diterima seluruhnya;

2. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut;

3.Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Dokumen terkait