• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGELUARKAN PUTUSAN YANG BERBEDA DENGAN PUTUSAN SEBELUMNYA DENGAN SUBTANSI YANG SAMA 2.1. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi - INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KONSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGELUARKAN PUTUSAN YANG BERBEDA DENGAN PUTUSAN SEBELUMNYA DENGAN SUBTANSI YANG SAMA 2.1. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi - INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK Repository "

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGELUARKAN PUTUSAN YANG BERBEDA DENGAN PUTUSAN SEBELUMNYA

DENGAN SUBTANSI YANG SAMA

2.1. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Indonesia merupakan Negara ke-78 yang memiliki lembaga pengadilan

konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji materiil sebuah

undang-undang.14 Negara Amerika Serikat merupakan Negara yang pertama kali memperkenalkan fungsi pengadilan konstitusionalitas dengan kasus terkenal pada

waktu itu, yaitu kasus “Marbury versus Madison”tahun 1803.15 Ketua Mahkamah agung Amerika Serikat John Marsall16

Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan adalah pertama kali menafsirkan konstitusi

untuk membatalkan undang-undang yang sebelumnya telah disahkan oleh

Kongres Amerika konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu, kasus tersebut

dapat dipandang sebagai judicial intrerpetation, yakni perubahan konstitusi

melalui penafsiran hakim atau pengadilan.

14

Jimly Asshiddiqie dalam Pengantar Mahkamah Kon8stitusi Kompilasi konstitusi Undang-undang dan Peraturan di 78 negara,Pusat studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, 2003, h. 1.

15

David P. Currie, The Constitution of the United States, A prime for the people, Chicago and London, The University of the Chicago Press, 1988, h. 14; dan Lawrence M.friedman,

Amerika Law an Introducation, second edition, terjemahan wisnu basuki dalam buku Taufiqurahman Syahuri, Tafsir Konstitusi berbagai Aspek Hukum,Jakarta,Kecana, 2011, h. 109.

16

(2)

keadilan. Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai

hukum tertinggi agar dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusi disebut

dengan the guardian of the constitution.

Kedudukan Mahkamah Konstitusi ini setingkat atau sederajat dengan

Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka17 dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam menjalankan kewenangannya, termasuk di

dalamnya adalah menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,

Mahkamah Konstitusi juga melakukan penafsiran konstitusi, sehingga Mahkamah

Konstitusi juga disebut the Sole Interpreter of the Constitution.

Lembaga penafsir tunggal konstitusi, banyak hal dalam mengadili

menimbulkan akibat terhadap kekuasaan lain dalam kedudukan

berhadap-hadapan, terutama terhadap lembaga legislatif di mana produknya di review. 1

17

Miftakhul Huda, Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang, dalam Jurnal Konstitusi Volume 4 Nomor 3 September 2007, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, , Jakarta, h. 144

Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah

sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi yudisial dengan kompetensi

obyek perkara ketatanegaraan. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dipahami

sebagai pengawal konstitusi untuk memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme

dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu

pelaku kekuasaan kehakiman diharapkan mampu mengembalikan citra lembaga

peradilan di Indonesia sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dapat

(3)

Dasar filosofis dari wewenang dan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah

keadilan substantif dan prinsip-prinsip good governance. Selain itu, teori-teori hukum juga memperkuat keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi beserta segenap wewenang dan kewajibannya, dinilai telah merubah doktrin parlemen (parliamentary supremacy) dan menggantikan dengan ajaran supremasi konstitusi.18

Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) mengariskan wewenang dan kewajiban

Mahkamah Konstitusi sebagai berikut.

Keadilan substantive (substantive

justice) merupakan bagian untuk tidak mengarahkan kepada persamaan, melainkan

bagian berpihak kepada yang benar. Dalam penerapan keadilan substantif ini, pihak yang benar akan mendapat kemenangan sesuai dengan bukti-bukti akan kebenarannya. Teori-teori yang menjadi dasar pentingnya reformasi konstitusi dan menjadi dasar wewenang serta kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah teori kedaulatan negara, teori konstitusi, teori negara hukum demokrasi, teori kesejahteraan, teori keadilan, dan teori kepastian hukum.

Dasar yuridis wewenang Mahkamah Konstitusi berasal dari

Undang-Undang Dasar 1945 yang diatur dalam Pasal 7A, pasal 7B, Pasal 24C dan

dijabarkan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 atas perubahan Nomor

8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi . Terhadap perorangan, kesatuan

masyarakat adat sepanjang masih hidup, badan hukum publik atau privat, lembaga

negara, partai politik, ataupun pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, jika hak

dan/atau wewenang konstitusionalnya dirugikan, dapat mengajukan permohonan

ke Mahkamah Konstitusi.

18

(4)

1.Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan

memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

2.Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden

menurut UUD.

Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi dalam

pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai

berikut.

a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945).

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenanganya

diberikan oeh UUD 1945.

c. Memutus pembubaran partai politik.

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Sebagai organ konstitusi Mahkamah Konstitusi didesain untuk menjadi

pengawal dan penafsir undang-undang dasar melalui putusan-putusannya. Dalam

menjalankan tugas konstitusionalnya, Mahkamah Konstitusi berupaya

mewujudkan tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum

dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.

(5)

diembannya secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai dengan amanat

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mahkamah Konstitusi membuka diri untuk menerima permohonan dari

masyarakat yang merasa hak-haknya dan kewenangan konstitusionalnya dilanggar

akibat berlakunya suatu undang-undang. Landasan kerugian hak dan/atau

kewenangan konstitusional di uraikan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus

dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Konstitusi menjamin sebagai hukum tertinggi yang dapat ditegakkan

sebagaimana mestinya, yang dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal

konstitusi, Sebagai penafsir tunggal atas konstitusi, Mahkamah Konstitusi dalam

perkembangannya oleh sebagian penggiat hukum dikhawatirkan akan menjadi

lembaga yang memiliki kewenangan super body. Khususnya dalam

menyelesaikan perkara terkait dengan kewenangan yang melekat, Mahkamah

Konstitusi secara sepihak bisa menafsirkan Undang-Undang Dasar tanpa dapat

dipersoalkan, selain itu putusan yang dihasilkan Mahkamah Konstitusi bersifat

final dan mengikat, sehingga ketika ada salah satu pihak yang merasa dirugikan

dengan putusan Mahkamah Konstitusi tidak bisa melakukan upaya hukum yang

(6)

2.2. Konsep Pengujian Undang-Undang

Konsep judicial review itu sendiri sebenarnya dilihat sebagai hasil

perkembangan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan

atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation

of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of

fundamental rights)19. Pengujian peraturan perundang-undangan dapat dibagi berdasarkan subyek yang melakukan pengujian, obyek peraturan yang diuji, dan

waktu pengujian. Dilihat dari segi subyek yang melakukan pengujian, pengujian

dapat dilakukan oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial review),

pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review), maupun pengujian oleh

lembaga eksekutif (executive review). 20

Indonesia mengatur ketiga pengujian tersebut. Pengujian oleh hakim

(toetsingsrecht van de rechter atau judicial review) diatur baik sebelum dan

sesudah perubahan UUD 1945.21

19

Herbert Hausmaninger, The Austrian Legal Sistem,Wien, 2003, h. 139 dalam Jimly Asshiddiqie, 2010, Model-model Pengujian Konstitutional di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie I), h. 8.

20

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , Jakarta, Cetakan pertama, agustus 2010, h. 82. (selanjutnya disebut Hukum acara MK)

21Ibid

Pengaturan mengenai pengujian peraturan

perundang-undangan pada masa berlakunya UUD 1945, pertama kali diatur dalam

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur pengujian terhadap peraturan

(7)

Setelah perubahan UUD 1945, kewenangan pengujian peraturan

perundang-undangan di bawah UU terhadap UU tetap merupakan kewenangan Mahkamah

Agung, sedangkan pengujian UU terhadap UUD merupakan kewenangan

Mahkamah Konstitusi.

Pengujian UU oleh lembaga legislatif (legislative review) dilakukan dalam

kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas serta menyetujui UU

(bersama-sama Presiden). Sebelum perubahan UUD 1945, pengujian UU terhadap

UUD berada pada MPR berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000

tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Alasan

mengapa Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji hanya terhadap

peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU pada masa sebelum

perubahan UUD 1945, menurut Padmo Wahjono didasarkan pada pemikiran

bahwa UU sebagai konstruksi yuridis yang maksimal untuk mencerminkan

kekuasaan tertinggi pada rakyat, sebaiknya diuji/diganti/diubah oleh yang

berwenang membuatnya, yaitu DPR. Berdasarkan praktik kenegaraan yang pernah

berlaku.22

22

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Cet. 2, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986, h. 15.

Sebagaimana pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review)

yang dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas

serta menyetujui UU (bersama dengan Presiden), pengujian oleh lembaga

eksekutif (executive review) dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan

yang dibentuk oleh lembaga eksekutif. Salah satu contoh pengujian oleh lembaga

eksekutif (executive review) adalah dalam pengujian Peraturan Daerah (Perda).

(8)

daerah (pemerintah daerah dan DPRD) membentuk Perda, yang akan ditetapkan

oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Berdasarkan

Pasal 136 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Perda dilarang

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, Pemerintah dapat membatalkan Perda yang bertentangan

dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, dan keputusan pembatalan Perda ditetapkan dalam Peraturan Presiden.

Analisis mendalam diperlukan jika mengkaji pengujian peraturan dari segi

obyeknya, karena harus memperhatikan sistem hukum yang digunakan, sistem

pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan dari sebuah negara sehingga sangat

mungkin terdapat kekhasan pada negara tertentu. Dilihat dari obyek yang diuji,

maka peraturan perundang-undangan yang diuji terbagi atas:

1. Seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan

executive acts) dan tindakan administratif (administrative action)

terhadap UUD diuji oleh hakim pada seluruh jenjang peradilan.

Pengujian dengan obyek seperti ini dilakukan dalam kasus yang

kongkrit, dan secara umum dilakukan pada negara yang

menggunakan common law system.23

23

Black’s Law, judicial review diartikan sebagai: power of courts to review decisions of another department or level of government.” Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary with Pronunciations. 6th ed. (United States of America: West Publishing Co, 1990), hal. 849. Encyclopedia Americana mengemukakan pengertian judicial review sebagai berikut: “Judicial review is the power of the courts of the country to determine if the acts of the legislature and executive are constitutional. Acts that the courts declare to be contrary to the constitution are considered null and void and therefore unenforceable.” The Encyclopedia Americana Vol. 16, Cet. 7, (Canada: Grolier Limited, 1977), hal. 236. Sedangkan Erick Barendt mengemukakan

(9)

digunakan adalah judicial review, akan tetapi perlu diperhatikan

lagi penggunaan istilah itu pada negara-negara yang menggunakan

sistem hukum civil law system, sebagimana yang dikemukakan

dalam poin b berikut.

2. UU terhadap UUD diuji oleh hakim-hakim pada Mahkamah

Konstitusi (Constitutional Court), sedangkan peraturan

perundang-undangan di bawah UU terhadap UU diuji oleh hakim-hakim di

Mahkamah Agung (Supreme Court). Pengujian dengan pembagian

obyek seperti ini secara umum tidak dilakukan dalam kasus yang

kongkrit, dan secara umum dilakukan pada negara yang

menggunakan sistem hukum civil law. Jimly Asshiddiqie

membedakan jika pengujian itu dilakukan terhadap norma hukum

yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norms)

secara “a posteriori”, maka pengujian itu dapat disebut sebagai

judicial review”, akan tetapi jika ukuran pengujian itu dilakukan

dengan menggunakan konstitusi sebagai alat pengukur maka, maka

kegiatan pengujian semacam itu dapat disebut sebagai

constitutional review” atau pengujian konstitusional, yaitu

pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang

sedang diuji (judicial review on the constitutionality of law).24

pengertian judicial review sebagai berikut: “Judicial review is a feature of a most modern liberal constitutions. It refers to the power of the courts to control the compatibility of legislation and executive acts of the term of the constitutions.” Erick Barendt, An Introduction to Constitutional Law, (Great Britain: Biddles Ltd, Guildford and King’s Lynn, 1998), hal. 17. Dikutip dari Hukum acara MK ,h. 83-84.

24

(10)

Konsep constitusional review adalah merupakan buah dari perkembangan

gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang sebelumnya sudah

dijelaskan didasarkan atas ide-ide Negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan

kekuasaan (separation of powers), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi

manusia (the protection of fundamental rights). Dengan demikian, dalam sistem

constitusional review tercakup dua tugas pokok, yaitu: (1) untuk menjamin

perimbangan sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran antara cabang

kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial, dalam kerangka mencegah

penyalahgunaan kekuasaan oleh suatu cabang kekuasaan Negara. (2) untuk di

masing-masing negara, untuk menegakkan konstitusi sebagai barometer

penyelenggaran kegiatan bernegara.25 Namun demikian, di setiap Negara, konsep-konsep judicial review berbeda-beda cakupan pengertiannya satu sama

lain. Pengertian istilah-istilah itu juga tidak boleh di identikan antara satu Negara

dengan Negara yang lain yaitu: Inggris, Amerika serikat, Kanada, dan Australia,

meskipun sama-sama menggunakan bahasa inggris, tetapi sistem konstitusi dan

sistem pengujian konstitusionalnya berbeda-beda satu sama lain.26

Konsep Negara hukum, senantiasa meletakan jaminan perlindungan

hak-hak asasi manusia warga negarnya sebagai tujuan utamanya. Dalam

penyelenggaran ketatanegaran yang harus bersumber dari konstitusi sebagai

hukum dasar. Mekanisme kontrol terhadap norma-norma hukum tersebut agar

pembuatan dan substansi normanya tidak bertentangan dengan

peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Menurut ph. Klentjes sebagaimana dikutip oleh sri

25

Jimly asshiddiqie I,Op.Cit., h. 10-11

(11)

soemantri, hak menguji terdapat dua macam, yaitu: (a) hak menguji formil

(formale toetsingsrecht) dan (b) hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht).

Selanjutnya dikatakan bahwa hak menguji formil adalah wewenang menilai

apakah produk legislatif terjelma melalui cara-cara (prosedur) yang benar ataukah

tidak. Sedangkan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menilai

apakah suatu kekuasaan tertentu (verordende macht) berhak mengeluarkan suatu

peraturan tertentu.27

a. Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)

Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam ketentuan

tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa

pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945. Dalam

Pasal 1 angka 3 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan diatur bahwa: “Undang-Undang adalah Peraturan

Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan

persetujuan bersama Presiden.

Sri Soemantri dan Harun Alrasid mendefinisikan pengujian formil

sebagaimana yang dikemukakan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi. Sri Soemantri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk

legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)

27

(12)

sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku ataukah tidak,28 sedangkan Harun Alrasid mengemukakan bahwa hak menguji formil ialah mengenai prosedur pembuatan UU.29 Akan tetapi apa yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie merupakan pendapat yang mencakup

berbagai aspek mengenai pengujian formil. Jimly Asshiddiqie mengemukakan

bahwa secara umum, yang dapat disebut sebagai pengujian formil (formeele

toetsing) tidak hanya mencakup proses pembentukan UU dalam arti sempit, tetapi

juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk UU, dan pemberlakuan UU.30 Juga dijelaskan bahwa pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal

prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang

membuatnya.31

Pengujian formil mengenai pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan

berdasarkan UUD 1945 telah diputus dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009

perkara pengujian formil UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU

Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung terhadap UUD 1945.32

28Ibid

, h. 28. 29

Harun Alrasid, Masalah Judicial Review, makalah disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat tentang Judicial Review di Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta: 2003), h. 2.

30

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara pengujian Undang-Undang, h. 62-63 (selajutnya disebut Jimly asshiddiqie II)

31

Jimly Asshiddiqie, Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang “Judicial Review” atas PP No. 19/2000 yang bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999,” (tanpa tempat, tanpa tahun), hal. 1. Dikutip dari Hukum acara MK.,Op.Cit., h. 93.

Alasan permohonan oleh para pemohon

32

(13)

adalah bahwa pengambilan keputusan DPR tidak memenuhi syarat kuorum,

pengambilan keputusan Ketua DPR tidak memenuhi syarat pengambilan

keputusan, dan pembahasan UU Nomor 3 Tahun 2009 melanggar prinsip

keterbukaan.33

1. Dalam uji formil UU terhadap UUD 1945, yang menjadi ukuran adalah

formalitas pembentukan UU, yang meliputi:

Terdapat beberapa hal dalam putusan tersebut terkait pengujian formil,

yaitu:

34

c. pengambilan keputusan, yaitu menyetujui secara aklamasi atau voting, atau

tidak disetujui sama sekali. Pengujian formil mempunyai karakteristik yang

berbeda dengan pengujian materiil, oleh karenanya persyaratan legal standing

yang telah diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian materiil

tidak dapat diterapkan untuk pengujian formil.

a. institusi atau lembaga yang mengusulkan dan membentuk UU;

b. prosedur persiapan sampai dengan pengesahan UU yang meliputi rencana

dalam prolegnas, amanat Presiden, tahap-tahap yang ditentukan dalam Tata

Tertib DPR, serta kuorum DPR; dan

35

Syarat legal standing dalam

pengujian formil UU, yaitu bahwa Pemohon mempunyai hubungan pertautan

yang langsung dengan UU yang dimohonkan.36

Arsyad Sanusi, dan dua orang hakim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Achmad Sodiki dan Muhammad Alim.

33

(14)

hubungan pertautan yang langsung dalam pengujian formil tidaklah sampai

sekuat dengan syarat adanya kepentingan dalam pengujian materiil

sebagaimana telah diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena akan

menyebabkan sama sekali tertutup kumungkinannya bagi anggota masyarakat

atau subjek hukum yang disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK untuk

mengajukan pengujian secara formil.37

2. Dalam hal terdapat cacat prosedural dalam pembentukan UU yang diajukan

permohonan pengujian, namun demi asas kemanfaatan hukum, UU yang

dimohonkan tersebut tetap berlaku.

38

Perkembangan pengujian formil dalam praktik, menyebabkan kategori

pengujian formil tidak hanya mencakup pengujian atas proses pembentukan UU.

Dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, diatur asas-asas yang merupakan asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik, sehingga merupakan alat untuk

melakukan pengujian formil, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ

37 Ibid

38

Ibid., h. 93-94. Dalam putusan tersebut, dikemukakan pertimbangan hukum terkait dengan UU yang diuji: “Bahwa apabila Undang-Undang a quo yang cacat prosedural tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih baik karena:

a. Dalam Undang-Undang a quo justru terdapat substansi pengaturan yang isinya lebih baik dari Undang-Undang yang diubah;

b. Sudah diterapkan dan menimbulkan akibat hukum dalam system kelembagaan yang diatur dalam Undang a quo dan yang berkaitan dengan berbagai Undang-Undang, antara lain Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, dan lembaga lain seperti hubungan antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung yang sekarang telah berjalan berdasarkan UU 3/2009;

(15)

pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat

dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan

keterbukaan.39 Perkembangan pengujian formil mencakup pula pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.40 Hal itu diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/2005, yang

mengatur sebagai berikut: “Pengujian formil adalah pengujian UU yang

berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk

pengujian materiil”. Saldi Isra mengemukakan bahwa proses pembentukan UU

merupakan masalah yang masih sering diperdebatkan dan sering diabaikan

dan/atau dilanggar aturan proses pembentukan UU, yaitu dalam hal hubungan

antara DPR dan DPD, partisipasi publik dalam pembentukan UU, kehadiran

anggota DPR dalam proses pengambilan keputusan di Rapat Paripurna DPR, dan

dalam hal terkuaknya praktik moral hazard berupa suap dan/atau korupsi dalam

proses pembentukan UU.41

39

Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, lihat Ps. 5.

40

Jimly Asshiddiqie II, Op Cit., hal. 66

41

Saldi Isra, Purifikasi Proses Legislasi Melalui Pengujian Undang-Undang, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 11 Februari 2010, hal. 12-18. Dikuti dari Jimly asshidiqie hukum acara Pengujian perundang-undangan h. 95.

Dalam praktiknya, luasnya istilah pengujian formil

juga dapat ditemui dalam hal adanya tindak pidana dalam pembentukan UU

sebagaimana dalam putusan pengujian Undang-Undang Ketenagalistrikan yang

diputus tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, bukan

pasal, ayat, atau bagian tertentu saja; dan apabila terjadi kekosongan hukum

(16)

undang-undang lama yang mengatur hal yang sama, yang dinyatakan tidak

berlaku atau diganti dengan undang-undang yang dibatalkan tersebut.

Dalam Pasal 16 ayat (1) PMK Nomor 006/PMK/2005 tentang Pedoman

Beracara dalam Perkara Pengujian UU diatur bahwa dalam hal pemohon

mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan UU yang

dimohonkan pengujiannya, Mahkamah dapat menghentikan sementara

pemeriksaan permohonan atau menunda putusan.42 Tidak adanya tindak pidana dalam proses pembentukan undang-undang adalah prinsip dan prosedur

pembentukan undang-undang yang sudah lazim dalam doktrin ilmu hukum dan

praktik legislasi, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang

menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, adanya tindak pidana

penyuapan atau korupsi dalam pembentukan suatu undang-undang juga

bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik

yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004, khususnya asas keterbukaan.43

b. Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)

Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam ketentuan

tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi

muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan

UUD 1945. Mengenai hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) PMK

42

Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia, Op.Cit., ps. 16 ayat (1).

43

(17)

Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian

Undang-Undang, mengatur mengenai pengujian materiil sebagai berikut:

Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945.”

Harun Alrasid mengemukakan bahwa hak menguji materiil ialah mengenai

kewenangan pembuat UU dan apakah isinya bertentangan atau tidak dengan

peraturan yang lebih tinggi.44 Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pengujian materiil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan

dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut

kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma- norma yang

berlaku umum.45 Beliau menjelaskan lebih lanjut: “Misalnya, berdasarkan prinsip ’lex specialis derogate legi generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus

dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan

materi peraturan yang bersifat umum. Sebaliknya, suatu peraturan dapat pula

dinyatakan tidak berlaku jika materi yang terdapat di dalamnya dinilai oleh hakim

nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi sesuai dengan

prinsip “lex superiori derogate legi inferiori’.46

Maruarar Siahaan menjelaskan bahwa pengujian UU terhadap UUD tidak

dapat hanya dilakukan terhadap pasal tertentu saja akan tetapi UUD harus dilihat

44

Harun Alrasid, Op.Cit., h. 2.

45

Jimly Asshiddiqie II, Op.Cit., h. 1.

46

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, cet. 1., (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 29.

(18)

sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari Pembukaan dan batang tubuh.47 Dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi diatur mengenai pengujian materiil pada ayat, pasal, dan/atau bagian

UU, dan dalam Pasal 57 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi48

Dalam Pasal 24C UUD 1945 Mahkamah Konstitusi menguji

Undang terhadap UUD, dalam hal ini tidak dijelaskan apakah satu

Undang-Undang saja atau diperluas dalam pengertian bahwa dua Undang-Undang-Undang-Undang atau

lebih yang saling bertentangan dapat diujikan melalui Mahkamah

Konstitusi.Misalnya jika ada muatan pasal di undang-undang yang berbeda tetapi

mengatur hal yang sama dapat di ajukan di Mahkamah Konstitusi. Menurut

Mahfud MD, dalam pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial bahwa alasan juga diatur bahwa putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan tentang

ayat, pasal, dan/atau bagian UU, akan tetapi dalam hal salah satu pasal atau

pasal-pasal tertentu tersebut menyebabkan UU secara keseluruhan tidak dapat

dilaksanakan karenanya, maka tidak hanya pada ayat, pasal, dan/atau bagian UU

yang dinyatakan bertentangan dengan UUD, akan tetapi keseluruhan UU tersebut

yang dinyatakan bertentangan dengan UUD.

47

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, Nomor 01-021-022/PUU-I/2003, 15 Desember 2004.

48

Lihat pasal 57 UU Mahkamah konstitusi 2004 (1)Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(19)

ketentuan pengawasan yang ada dalam Undang-Undang Komisi Yudisial bersifat

rancu dan tak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam

Undang-Undang lain. Apa yang ditunjukkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah kerancuan

Undang-Undang Komisi Yudisial dengan Undang-Undang lain, kalau benar ini

yang menjadi alasan, maka putusan Mahkamah Konstitusi melampaui batas alias

tidak benar. Sebab pembenturan isi satu Undang-Undang dengan Undang-Undang

lainnya tidak dapat diselesaikan melalui judicial review.49

2.2.1. Batasan-Batasan MK dalam Pengujian Undang-Undang.

Ketentuan UUD 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak mengatur secara jelas dan rinci dalam menilai dan menentukan pertentangan

norma hukum, baik secara materiil maupun pengujian formil. Dalam pandangan

M. Fajrul Falaakh bahwa pengaturan yang singkat dalam UUD 1945 terkait tidak

diaturnya ketentuan Undang-Undang dapat diuji secara materiil dan formil

merupakan permasalahan dalam judicial review.50

Undang-Undang Dasar 1945 harus dimaknai sebagai konstitusi yang hidup

(the living constitution) guna menegakan hukum dan keadilan Mahkamah

Konstitusi memiliki kewenangan dalam menguji Undang-Undang terhadap UUD

baik secara vertikal maupun horizontal, aspek keberlakuan sebuah

Undang-Undang merupakan bagian dari pengujian materiil, bukan pengujian formil,

makna “bertentangan dengan UUD 1945” harus dielaborasi secara komprehensif

49

Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers, 2010, h. 109.

50

(20)

dalam putusan dengan mengutamakan tegaknya hukum dan keadilan. Mahkamah

Konstitusi tidak boleh mengutamakan penafsiran original intent dan

mengenyampingkan model penafsiran lain jika hal tersebut justru menyebabkan

tidak berjalannya konstitusi, ketentuan non konstitusi dapat dibenarkan dalam

pengujian formil, namun dalam pengujian materiil tidaklah tepat,

pengenyampingan asas hukum acara “nemo judex idoneus in propria causa

(seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri) dapat dibenarkan

demi tegaknya konstitusi dan mengutamakan “asas curia novit” (hakim dianggap

mengetahui semua hukum), pertentangan norma secara fomil dapat disimpangi

oleh asas kemanfaatan demi substansi Undang-Undang putusan berlaku surut

menyebabkan ketidakkepastian hukum.

Sistem norma hukum Indonesia membentuk bangunan piramida, norma

hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berjenjang-jenjang,

berlapis-lapis, sekaligus berkelompok-kelompok.51 Dalam arti bahwa norma hukum tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi,

dan norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma

hukum yang lebih tinggi pula, demikian seterusnya sampai pada suatu norma

dasar negara Indonesia, yaitu: Pancasila (cita hukum rakyat Indonesia, dasar dan

sumber bagi semua norma hukum di bawahnya).52

Bangunan piramida hukum ini untuk menentukan derajat norma

masing-51

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta, Kanisius, 1998, h. 25-26.

52

(21)

masing susunan norma hukum yang lebih tinggi dan norma yang lebih rendah.

Konsekuensi bangunan piramida hukum adalah jika terdapat norma hukum/

peraturan yang saling bertentangan (pertentangan norma), maka yang dinyatakan

berlaku adalah yang derajatnya lebih tinggi. Dalam konteks ini berlaku asas

hukum lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang derajatnya lebih tinggi

mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih rendah).53

Pemberian kewenangan pengujian Undang-Undang pada Mahkamah

Konstitusi tidak diatur secara detail dan jelas dalam konstitusi maupun dalam

Undang-Undang, sehingga untuk melihat desain pengujian Undang-Undang khas Selain itu,

konsekuensi bangunan piramida hukum tersebut adalah adanya harmonisasi antar

berbagai lapisan hukum (misalnya setingkat Undang-Undang), dalam arti bahwa

antar norma hukum dalam lapisan/ jenjang yang sama tidak boleh saling

bertentangan. Untuk menilai pertentangan norma hukum setiap negara memiliki

skema yang berbeda. Setelah amandemen UUD 1945, di Indonesia kewenangan

pengujian norma dipusatkan pada kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung

(menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap

Undang-Undang) dan Mahkamah Konstitusi (menguji Undang-Undang terhadap

UUD). Pengujian norma hukum/Undang-Undang terhadap UUD oleh Mahkamah

Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas Undang-Undang

(constitutionality of law), yang mana konsekuensinya harus ada mekanisme yang

dapat menjamin bahwa Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk

undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.

53

(22)

Indonesia harus melakukan elaborasi komprehensif terhadap peraturan terkait

berikut putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.54 Hal ini yang membuat skema pengujian Undang-Undang baik ranah teoritis maupun praktik masih menyisakan

berbagai problem, lemahnya bangunan nilai-nilai Pancasila/Pembukaan sebagai

tolok ukur, tidak tepatnya penggunaan dualisme konstitusi sebagai tolok ukur,

lemahnya penggunaan tolok ukur “UUD 1945” sebagai konstitusi yang hidup,

ketentuan yang tidak jelas mengenai pemahaman pengujian norma hukum vertikal

dan horizontal oleh Mahkamah Konstitusi dan batasan pengujian formil dan

materiil serta implikasinya, rumitnya menyusun makna “bertentangan dengan

UUD”, ragamnya menyusun makna pertentangan norma hukum melalui

penafsiran hukum, tidak adanya batasan penggunaan ketentuan non konstitusi,

pertentangan antar asas-asas hukum acara dalam praktik, ketidakjelasan batasan

pengenyampingan pertentangan norma hukum dan pemberlakuan surut demi nilai

hukum. Dalam arti terkadang Mahkamah Konstitusi membuat putusan progresif

terkait permasalahan tersebut, dan terkadang Mahkamah Konstitusi terjebak pada

pemahaman yang kurang tepat dalam memahami pertentangan norma hukum yang

menyebabkan lemahnya bangunan sistem hukum.55

Kewenangan menginterpretasikan konstitusi sebagai pijakan penguji

undang-undang oleh hakim konstitusi dirasa sangat begitu besar, sehingga dapat

membuka peluang kesewenang-wenangan hakim konstitusi menafsirkan tanpa

rasa keadilan terhadap persoalan hukum yang dimohonkan, sehingga berdasarkan

kewenangan hakim konstitusi yang sangat besar tersebut, walaupun ada aturan

54

Tanto Lailam, Konstruksi Pertentangan Norma Hukum dalam Skema Pengujian Undang-Undang, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 1, Maret 2014, h. 19

55

(23)

dalam pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi dapat mengesampingkan

rambu-rambu hukum tersebut. Misalkan dalam perkara pengujian Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang dimohonkan oleh

seorang hakim Pengadilan Negeri di Padang (Perkara No.004/PUU-I/2003).

Mahkamah Konstitusi tercatat pernah menguji perkara tersebut walaupun jelas

dalam Pasal 50 Undang-undang Tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan

bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang

yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945. 56

Menurut Pakar Akademisi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga

M. Hadi Shubhan lembaga negara yang tanpa kontrol dan jika dibiarkan terus

akan menjadi penguasa absolut. Hikmah dari kejadian ini semua adalah mari kita

selamatkan Mahkamah Konstitusi dengan cara mereposisi kedudukan dan

kewenangan MK untuk dikembalikan sesuai dengan amanat kontitusi negara.

Batasi kewenangan MK dan bentuk lembaga pengawas eksternal terhadap MK.

Hanya Firaun yang tak mau diawasi dan dibatasi kekuasaannya.

Dalam hal

ini permohonan dapat dilakukan ke Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan

pengujian setelah amandem UUD.

57

Dengan demikian Mahkamah Konstitusi menafsirkan konstitusi tidak

dibenarkan sampai membawa konstitusi menjadi lain atau menjadi konstitusi baru.

Karena perubahan konstitusi merupakan kewenangan legislatif yakni DPR melalui

perubahan formil. Berkaitan dengan belum diatur ketentuan hukum acara secara

terperinci, Mahkamah Konstitusi berhak mengatur penjabaran dalam PMK dan

56

Refly Harun, Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Perss, Jakarta, 2004,h. 231.

57

(24)

dalam perjalanan menemukan hukumnya dalam kekuasaan mengadili. Batasan

yang dibenarkan dalam memutuskan tetap berlandaskan hukum acara tertulis

dengan sifat hukum, asas-asas hukum, karakteristik yang membedakan hukum

acara pengujian UU dengan yang lain.

2.2.2 Konstitusionalisme

Walton H.Hamilton mengenai artikel Constitutionalism dalam Clopedia of

Social Sciences tahun 1930 dengan kalimat:”Constitutionalism is the name given

to the trust which men repose in the power of word engrossed on parchment to

keep a government in order”.58 Dalam tujuan to keep a goverment in order itu diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan

dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana

mestinya. Gagasan mengatur membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul.

karena adana kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan

umum dalam kehidupan umat manusia.59

Sedangkan prinsip konstitusionalisme modern menyagkut mengenai

pembatasan kekuasaan atau bisa disebut sebagai prinsip “limited government”.60

58

Walton H.Hamilton,Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin R.A.,Seligman & Alvin Johnson, edisi.,1931,hal.255 Dikutip dari Gagasan Konstitusi dan Konstitusinalisme., Jimly Assdiqie h. 19.

59Ibid.

, lihat Gagasan Konstitusi dan Konstitusinalisme Jimly Assdiqie h. 19-20.

60Ibid ., h. 22.

Konstitusionalisme mengatur dua hubungan satu sama lain,yaitu: Pertama

hubungan antara pemerintahan dengan warga Negara dan Kedua, hubungan antara

(25)

Karena itu, bisanya, isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal

penting, yaitu: (a) pembatasan kekuasaan organ-organ negara,

(b) lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain,

(c) kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.61

1. Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.

Dengan demikian konstitusi dapat difungsikan sebagai sarana kontrol

politik,menurut jimly asshidiqie fungsi-fungsi konstitusi dapat dirinci sebagai

berikut:

2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.

3. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan

warga negara.

4. Fungsi pemberi atau sumber legimitasi terhadap kekuasaan Negara

ataupun kegiataan penyelenggaraan kekuasaan negara.

5. Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan

yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ

negara.

6. Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity).

7. Fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan

(identity of nation).

8. Fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony).

(26)

9. Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik

dalam arti sempit hanya ada dibidang politik maupun dalamarti luas

mencakup bidng social ekonomi.

10. Fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat

(social engineering atau social reform), baik dalam arti sempit

maupun dalam arti luas.62

Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

adalah sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi yudisial dengan

kompetensi obyek perkara ketatanegaraan. Keberadaan Mahkamah Konstitusi

dipahami sebagai pengawal konstitusi untuk memperkuat dasar-dasar

konstitusionalisme dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu,

Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan dengan batasan yang jelas sebagai

bentuk penghormatan atas konstitusionalisme. Batas-batas kewenangan yang

dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yudisial

merupakan bentuk terselenggaranya sistem perimbangan kekuasaan di antara

lembaga negara (checks and balances).

Kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah menguji

konstitusionalitas suatu undang-undang. Jadi, batu uji yang digunakan dalam

melaksanakan kewenangan tersebut adalah konstitusi atau UUD.

Konstitusionalitas itu tidak hanya terbatas pada apa yang tertulis dalam naskah

UUD. Karena itu, menurut Jimly Asshiddiqie, untuk menilai atau menguji

konstitusionalitas suatu undang-undang, alat pengukurnya meliputi: (1) naskah

62

Jimly Asshiddiqie, Gagasan kedaluatan rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksannannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, 1994 dikutip dari Gagasan Konstitusi dan Konstitusinalisme

(27)

Undang-Undang Dasar yang resmi tertulis, (2) dokumen-dokumen tertulis yang

terkait erat dengan naskah Undang-Undang Dasar itu, seperti risalah-risalah,

keputusan dan ketetapan MPR, undang-undang tertentu, peraturan tata-tertib, dan

lain-lain, (3) nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek ketatanegaraan yang

telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan

kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, dan (4) nilai-nilai yang

hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum

warga Negara yang diangap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan yang

ideal dalam perikehidupan dan berbangsa dan bernegara.63

2.3 Tinjauan Acara Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan berlaku ke depan sejak

diucapkan (prospective) dan tidak berlaku surut ke belakang (retroactive). Hampir

semua bidang hukum menganggap putusan pengadilan berlaku ke depan termasuk

di Mahkamah Konstitusi dalam pengaturan maupun praktik yang

dilaksanakannya. Namun kenyataan di Indonesia dalam mengeluarkan putusan

MK masih melakukan kesalahan dengan “menciderai” aturan yang sudah di putus.

Dalam pelaksanaannya prinsip-prinsip tidak ditegak dalam pengujian

undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Padahal berdasarkan surat edaran

Mahkamah agung No.3 tahun 2002 tentang penangan perkara yang berkaitan,

Bangir Manan menghimbau pelaksanakan Asas ne bis in idem dengan baik demi

kepastian bagi pencari keadilan dengan menghindari adanya putusan yang

63

(28)

berbeda. Suatu gugatan dinyatakan ne bis in idem dalam hal telah ada putusan

berkukuatan hukum tetap sebelumnya yang memutus perkara yang sama dan

terdapat objek dan materi perkara yang sama.

MK sendiri menganut prinsip ne bis in idem sesuai dengan ketentuan pasal

60 ayat (1) dan ayat (2)Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan:

(1) ”Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”. (2) “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika

materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”.

Sedangkan larangan menguji terhadap materi muatan yang yang sama

telah dijabarkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Pasal 42 ayat (1) dan

ayat (2) Peraturan MK No.06/PMK/2005 tentang pedoman perkara pengujian UU

menyatakan:

(1) “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”.

(2) “Telepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda”.

Dalam hal ini penulis berpendapat, ketentuan permohonan pengujian yang

diperluas dalam pengujian di MK memudahkan proses permohonan pengujian

yang lebih terbuka. Dengan demikian, seseorang yang pernah mengajukan

pengujian materi sebuah undang-undang atau oleh pemohon baru, dapat

mengajukan untuk kedua kalinya terhadap materi yang sama, asalkan

alasan-alasan yang digunakan untuk menguji norma berbeda dengan sebelumnya dengan

(29)

untuk para pemohon menyampakain alasan konstitusionalitasn dalam melakukan

permohonan kepada MK. Tetapi dilain sisi mengakibatkan hakim di Mahkamah

dapat menilai secara luas mengenai suatu permohonan di MK. sehingga

berdampak pada suatu permohonan tersebut dapat diterima maupun ditolak,

tergantung bagaimana interprestasi seorang hakim menilai suatu alasan

permohonan, hal ini menyangkut kewenangan yang MK yang dimiliki begitu luas.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat diartikan bahwa putusan MK yang

menimbulkan interpretasi hukum yang berbeda dan akan mengakibatkan

ketidakpastian hukum suatu perkara, meskipun dalam hal ini memberikan

keadilan bagi orang yang berperkara, sehingga diperlukan pengaturan baru

mengenai PK dalam suatu peraturan perundang-undangan.

2.4. Konsistensi Putusan MK Dalam Subtansi yang Sama.

Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya mengeluarkan

sebuah putusan yang dianggap merusak kebijakannya sendiri dalam melakukan

judicial review atas putusannya yang dianggap gagal dalam mengawal konsistensi

putusan. Menurut hemat saya, Mahkamah tidak “Istiqomah” dalam mengambil

kebijakan yang seharusnya menjadi acuan kedepan tetapi dapat berubah dan

menimbulkan ketidakpastian dalam hukum. Ini dianggap Mahkamah konstitusi

tidak menghormati pembentuk Undang-Undang dan tergesa-gesa dalam

menuangkan kedalam suatu putusan.

Dengan adanya putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang di eliminasi

(30)

serta ketidakkonsisten ketika adanya dua putusan dengan subtansi yang sama

tetapi dengan hasil putusan berbeda. Menginggat sebelumnya Mahkamah

konstitusi mendapatkan kewenangan menangani sengketa pemilukada sebagai

lembaga Peradilan yang berwenang tetapi kemudian, Mahkamah Konstitusi

dengan putusanya mengeliminasi kewenangannya tersebut dan mengembalikan

kembali ke Mahkamah Agung selaku mandat konstitusi dalam menangani

sengketa pemilukada. Tentu kedua kerangka keputusan ini mensyaratkan

Mahkamah konstitusi gagal mengawal konsistensi putusannya dalam menjaga

kepastian hukum, menginggat kepastian hukum merupakan faktor penting dalam

menjaga kepercayaan kepada institusi lembaga peradilan tersebut.

2.4.1 Analisa Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013

Menurut MK dalam Putusan No. 51-52-59/PUU-VI/2008 merupakan (1)

norma konkret penjabaran Pasal 6A ayat (2) UUD N RI Tahun 1945, legal

policy terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD N RI Tahun 1945,

dan tata cara pilpres berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD N RI Tahun 1945

sebagai kebijakan legislasi dan kebijakan threshold yang didelegasikan dalam

pelaksanaan pemilu; (2) tidak ada korelasi logis dengan pemilu yang demokratis,

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil karena dengan syarat tersebut

berarti proses demokrasi dengan mengesampingkan segala perdebatan yang

terjadi tentang formalitas maupun substansi putusan dikaitkan dengan tugas dan

(31)

diawal tulisan ini kita harus menerima putusan MK sebagai finaland binding

1. Pemohon I (Saurip Kadi)

dan

menerima MK sebagai the sole interpreter of the constitution.

Dalam gugatan uji materi kostitusionalitas Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan

Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Adanya tiga pemohon yaitu:

2. Pemohon II (Partai Bulan Bintang)

3. Para Pemohon III (Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Demokrasi

Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat

Nasional, Partai Republik Nusantara)

Dalam Konklusinya Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan Pasal 3

ayat (5) dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Dalil-dalil permohonan Para

Pemohon tidak beralasan.64

Dalam Amar Putusannya menyatakan dengan mengingat Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 56 ayat (5)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran 43

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4316).65

64

Lihat Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, mengenai Konklusi

65

(32)

Analisa Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013

Gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud diajukan

oleh Effendi Gazali. Adapun muatan pasal yang dilakukan pengujian adalah Pasal

3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berwenang untuk

melakukan uji materiil (constitutional review) suatu Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar memutus permohonan uji materiil dari pemohon. Mengacu

pada dokumen hukum berupa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

14/PUU-XI/2013 yang menjadi salah satu pertimbangan pemohon didasarkan pada

kerangka Action-Research pemohon yang akhirnya menyimpulkan bahwa

faktor-faktor yang secara signifikan menghambat kemajuan negara Indonesia.66

Dalam Konklusi penilaian Mahkamah Kostitusi diuraikan berkesimpulan

(a) Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo Pemohon, (b)

Menurut penulis pengajuan uji materiil ini berbeda mengenai pasal yang di

uji, tetapi obyek kajian yang sama yang di pertanyakan kenapa dibolehkan suatu

pengujian padahal sebelumnya sudah dijelaskan bahwa jika objek kajian yang

sama tidak dapat dilakukan pengujian kembali di Mahkamah Konstitusi. Tentunya

Mahkamah Konstitusi melakukan tindakan yang mengagalkan konsistensi suatu

putusannya atas interpentasi hukum ini.

Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

66

(33)

Memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a

quo, (c) Dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Berikut Amar

putusan menyatakan:

1.1Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

1.2Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal

112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

1.3 Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan

Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk

penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum

seterusnya;

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

(34)

Dari dua putusan tersebut terjadi beberapa kebijakan, berikut merupakan

tabel analisa Perbedaan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan Putusan

Nomor 14/PUU-VI/2013:

Tabel I

Analisa Perbedaan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013.

No. Subtansi Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008

Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013

1. Permohonan Pengujian Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 dianggap bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) junto Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Nomor 42 tahun 2008 dianggap bertentangan dengan terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal

2. Alasan Pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tidak serentak dengan

Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (2) junto Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Alasan konstitusional baru dan yang berbeda yaitu Hak warga Negara untuk Memilih Secara Cerdas dan Efisien pada Pemilihan Umum Serentak yang diamantakan pasal 22 E ayat (1) dan ayat (2).

3. Pertimbangan hukum

Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 merupakan cara atau persoalan prosedural melihat kebiasaan (Konvensi Ketatanegaraan). Sedangkan, Pasal 9 UU 42/2008 tercantum kebijakan threshold menginggat Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan

(35)

dalam pelaksanaan Pemilu adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan Pasal 112 UU 42/2008, menurut Mahkamah karena pasal-pasal tersebut

merupakan prosedur lanjutan dari Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 maka seluruh pertimbangan mengenai Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula terhadap pasal-pasal tersebut.

4. Amar Putusan Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9

tidak bertentangan dengan UUD. Dalil permohonan tidak beralasan.

Mengabulkan permohonan pemohon sebagian. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112

bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(36)

2.4.2 Analisa Putusan Nomor 25/PHPU.D-VI/2008 dengan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013.

Kewenangan MK dalam menyelesaikan pemilukada diatur dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang-Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 236C

menetapkan, ”Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala

daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling

lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini. UU Nomor 22 Tahun

2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum, menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke

dalam rezim Pemilu yang terdapat pada Pasal 1 ayat (4) Ketentuan Umum

berbunyi:“Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu

untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan pasal 29 ayat (1)

huruf ekewenangan lain yang

diberikan oleh undang-undang”. Kemudian terdapat frasa tentang penambahan

kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penjelasan dari Pasal 29 ayat (1) huruf

e yang mengatakan bahwa kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil

pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dalam Putusan Nomor MK 97/PUU-XI/2013 kewenangan MK

menangani sengketa pemilukada dianggap inkonstitusional dan masih di pegang

(37)

Ini berarti MK menyerahkan kembali kewenangan kepada pembuat

undang-undang yaitu Presiden dan DPR untuk membuat kembali peraturan lebih lanjut

mengenai MA sebagai lembaga yang berwenang mengadili mengenai pemilukada.

Tentu dalam hal ini MK dianggap tidak bertanggung jawab dalam mengeluarkan

putusan mengenai pemilukada. Menurut Mahkamah penambahan kewenangan

MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan

memperluas makna pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah

inkonstitusional. Meski MK tidak lagi berwenang mengadili sengketa pemilukada,

semua putusan pemilukada tetap dinyatakan sah karena sebelumnya kedua pasal

itu produk hukum yang sah dan valid.

Perlu juga singgung pertimbangan putusan MK No. 25 /PHPU.D-VI/2008

yang menyebut “...pemilihan kepala daerah termasuk dalam rezim hukum

pemilu. Sebagai konsekwensinya, perselisihan hasil pemilukada secara hukum

menjadi kewenangan MK....” Anwar menegaskan MK sudah beratus-ratus kali

menyatakan dirinya berwenang menangani perkara sengketa pemilukada.

kalaupun Mahkamah menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili sengketa

pemilukada dengan alasan tidak diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, seharusnya

hal tersebut dinyatakan sejak pertama kali menerima permohonan sengketa

pemilukada pada tahun 2008. Sebab, ini menyangkut kewenangan mutlak yang

membawa akibat hukum tersendiri.67

67

(38)

Menilai kewenangan sengketa pemilukada yang dibatalkan terkesan MK

tidak konsisten dan dalam kewenangannya seharusnya memahami bahwa pemilu

dengan pemilukada tidak ada perbedaan jika dilihat dari instrumen dan elemen

yang terlibat di dalamnya. Jika kewenangan sengketa Pemilukada itu mau

dialihkan lagi ke MA berarti harus mengubah Undang-Undang lain yakni UU No.

12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggaraan Pemilu dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Kewenangan MK memutus sengketa Pemilukada selama ini diatur

dalam tiga undang-undang itu. Tentu akan mengubah tatanan hukum yang

berkaitan.

Berikut untuk mengetahui perbedaannya, dibuat tabel analisa mengenai

perbedaan kedua putusan ersebut:

Tabel II

Analisa Perbedaan Putusan Nomor 25/PHPU.D-VI/2008 dengan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013.

No. Subtansi Putusan Nomor 25/PHPU.D-VI/2008

Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013

1. Permohonan Keberatan terhadap PHPU Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara .

Pengujian UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

(39)

2. Alasan Bahwa sesuai Pasal 24C ayat 1, Pasal 10 (1) huruf d UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, dan Pasal 12 ayat (1) huruf d UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan Mahkamah ialah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pemilu), yang dalam hal ini adalah Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Penambahan ruang lingkup

UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum telah menetapkan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah

merupakan rezim hukum pemilihan umum;

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 236 telah menentukan sengketa hasil penghitungan suara

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi;

Menginggat belum habis tenggat 18 (delapan belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 236C UU 12/2008. Oleh karena tindakan hukum yang demikian hingga saat ini belum ada, maka kewenangan tersebut belum secara efektif beralih ke Mahkamah.

Pasal 236C dan pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48 segala aspek yang terkait dengan pemilihan kepala daerah baik dari segi original intent, makna teks, dan sistematika

pengaturannya menurut UUD 1945.

4. Amar Putusan Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

1.Menyatakan

(40)

2. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut;

3.Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Gambar

Tabel I

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa variabel profesionalisme – dimensi pengabdian pada profesi berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat materialitas, sehingga apabila

Oleh karena sejak awal perkawinan model tersebut dilakukan karena adanya masalah dan motif-motif lain yang tidak bisa sepenuhnya dipertanggungjawabkan, maka dalam

Berbicara merupakan aktifitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan berbahasa yaitu setelah aktifitas mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi bahasa

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak kunyit sampai level 0,06 ml pada ransum babi bali tidak mempengaruhi warna, aroma, tekstur, citarasa dan

 &endapatkan keputusan dari Kepala Puskesmas <anti serta :inas Kesehatan untuk dapat melaksanakan mengadakan pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan #$!

Sekresi ion bikarbonat pada keadaan normal tidak ditemukan pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik anhidrase III dengan kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring,

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran praktik pemesinan di perguruan tinggi vokasi, sebagaimana yang dituntut oleh

Puji syukur atas karunia yang Allah SWT berikan, atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan, sehingga penulis