• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci : Perjanjian Perkawinan, Perkawinan Campuran, Tanah Hak Milik A. PENDAHULUAN - PEMISAHAN HARTA DALAM PERKAWINAN CAMPURAN UNTUK MENGHINDARI KEPEMILIKAN TANAH HAK MILIK OLEH ORANG ASING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kata Kunci : Perjanjian Perkawinan, Perkawinan Campuran, Tanah Hak Milik A. PENDAHULUAN - PEMISAHAN HARTA DALAM PERKAWINAN CAMPURAN UNTUK MENGHINDARI KEPEMILIKAN TANAH HAK MILIK OLEH ORANG ASING"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMISAHAN HARTA DALAM PERKAWINAN CAMPURAN UNTUK MENGHINDARI KEPEMILIKAN TANAH HAK

MILIK OLEH ORANG ASING

Nabila Rosa, Dr. FX. Sumarja, S.H., M.H., Upik Hamidah, S.H., M.H.

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Jl. Prof.Dr.Ir. Soemantri Brojonegoro No. 1 Gedungmeneng, Bandar Lampung 35145

Abstract

Decision of the Constitutional Court Number 69 / PUU-XIII / 2015 has changed the norm and arrangement of marriage agreement set forth in Article 29 of the Marriage Law. In addition, the Constitutional Court's decision reinforces and strengthens the position of Article 21 of the UUPA. A marriage agreement may be made before, during, or after marriage, with the notarial deed attested. This decree provides a guarantee of equality of rights and legal certainty for Indonesian citizens of mixed marriages to own land of property rights.

Keywords : Marriage Agreement, Mixed Marriage, Property Land.

Abstrak

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah mengubah norma dan tatanan perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan. Selain itu putusan MK ini mempertegas dan memperkuat kedudukan Pasal 21 UUPA. Perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat, atau setelah perkawinan dilangsungkan dengan dibuktikan akta notaris. Keputusan ini memberikan jaminan kesetaraan hak dan kepastian hukum bagi WNI pelaku perkawinan campuran untuk memiliki tanah hak milik.

Kata Kunci : Perjanjian Perkawinan, Perkawinan Campuran, Tanah Hak Milik

A. PENDAHULUAN

Kebutuhan akan tanah dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan berkembangnya perekonomian Indonesia dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah. Seiring berkembangnya zaman di era globalisasi ini, maka semakin terbuka kesempatan

(2)

2 Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai tanah dengan status hak milik di Indonesia.

Prinsip nasionalitas atau yang kemudian disebut prinsip kebangsaan dipertegas dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA, bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hubungan hukum yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa.1 Atas dasar prinsip nasionalitas itulah, maka ada ketentuan Pasal 21, 26 dan Pasal 27 UUPA2 yang

1

FX. Sumarja, Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing, Yogyakarta: STPN Press, 2015, hlm. 6

2

Pasal 21 mengatur bahwa: ayat 1) Hanya warganegara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik; 2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya; 3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilpeaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung; 4) Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik. Pasal 26 ayat (2) mengatur, bahwa setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak

milik kepada orang asing, disamping

merupakan politik hukum larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing. Ketentuan yang membedakan antara WNI dan orang asing dalam pemilikan tanah, jika ditinjau dari segi hukum perdata internasional, pembatasan hak-hak orang asing atas tanah dapat dipertanggungjawabkan.

Lembaga perkawinan merupakan faktor yang penting sebagai salah satu sendi kehidupan dan susunan masyarakat Indonesia, dan perkawinan itu sendiri merupakan masalah hukum, negara, dan agama. Menurut Anita D.A. Kolopaking penyelundupan hukum melalui lembaga perkawinan biasanya terjadi melalui modus perkawinan siri, yang menggunakan nama wanita WNI yang diikat dengan perjanjian melalui Notaris antara WNA dengan pasangan wanita WNI dimana jika akan melakukan pelepasan hak kepemilikan atas tanah tersebut harus dilakukan dengan kedua pasangan sirih ini.3 Padahal dalam Pasal 3 PP Nomor 103 tahun 2015 menyatakan kewarganegaraan Indonesia adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membenaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Pasal 27 huruf a angka 4 mengatur bahwa hak milik hapus bila tanahnya jatuh pada Negara karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2).

3

(3)

3 bahwa Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang Asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya, hak atas tanah bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.

Sesuai ketentuan hukum adat, Penjelasan Pasal 42 UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia, dan Peraturan Mentri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 7 Tahun 1996 juncto

Nomor 8 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing,4 orang asing hanya dapat menguasai tanah hak pakai dengan kewenangan yang terbatas.5

Dampak negatif globalisasi terhadap kepemilikan tanah WNI perlu mendapat perhatian dari Pemerintah. Perhatian yang dapat dilakukan Pemerintah adalah memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak atas tanah WNI dari penguasaan dan

4

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Indang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2008. hlm. 223

5

Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Jakarta: Buku Kompas, 2007, hlm. 171

eksploitasi asing, sejalan dengan salah satu dari fungsi hukum. Dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab atas hak-hak atas tanah warganegara nya, sebagaimana jelas dikatakan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan6 “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

(4)

4

Permasalahan

1. Bagaimana pengaturan pemisahan harta dalam perkawinan campuran untuk menghindari kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing? 2. Apa sajakah faktor-faktor yang

mempengaruhi pemisahan harta dalam perkawinan campuran?

B. METODE PENELITIAN

Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dan empiris dimana pendekatan ini secara intensif dilakukan melalui proses analisis peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma hukum Indonesia dan doktrin-doktrin hukum yang berkaitan dengan kepemilikan rumah tinggal atau hunian oleh orang asing, serta penulis melakukan riset.

Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder. Dengan bahan hukum primer, yaitu hukum yang bersifat mengikat seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

69/PUU-VIII/2015, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penulisan ini. Serta, penulis melakukan riset pada Kantor Hukum Farida Law Office di Kuningan, Jakarta Selatan. Serta data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang dianggap menunjang dalam penelitian ini. Bahan hukum sekunder, juga memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti makalah hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari media internet, sepanjang memuat informasi yang berkaitan dengan pembahasan penulisan ini.

C. KERANGKA TEORI

UUPA hanya memuat ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan tentunya tidak lengkap, termasuk undang-undang perkawinan. UUPA masih harus ditindaklanjuti dan dijabarkan lebih lanjut dengan aturan-aturan pelaksanaan, sehingga membentuk sebuah struktur hukum tanah sendiri. Struktur adalah kelembagaan yang diciptakan sistem hukum dan mempunyai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum.8

Setiap sistem hukum akan menghadapai persoalan kontradiksi,

8

(5)

5 kekosongan hukum dan norma kabur. Peraturan hukum yang saling bertentangan (kontradiksi) perlu upaya konsistensi (sinkronisasi dan harmonisasi), kekosongan hukum karena tidak lengkap diperlukan pembentukan, dan norma kabur perlu adanya penemuan/interpretasi hukum. Suatu sistem dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organisme kompleks, di mana struktur, substansi, dan kultur berinteraksi. Efektif atau tidak suatu ketentuan hukum dipengaruhi ketiga komponen tersebut.

Mengingat UUPA dan undang-undang perkawinan adalah sebuah peraturan hukum, yang juga tidak luput dari sifat tidak lengkap atau tidak tuntas, maka untuk menjaga jangan sampai ada kekosongan hukum diperlukan pembentukan hukum.9 Peraturan pelaksanaan UUPA dan peraturan lain yang dibentuk inilah yang kemudian sering kali menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak terkecuali ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dilaksanakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.

9

Jurnal Masalah Masalah Hukum, Orang Asing Sebagai Subjek hak Atas Tanah di Indonesia, oleh FX. Sumarja, hlm. 306.

Melihat kondisi tersebut, maka perlulah adanya pembaharuan hukum yang mengatur mengenai pemisahan harta khususnya pada perkawinan campuran. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 ini memberikan jaminan kesetaraan hak dan kepastian hukum bagi WNI pelaku perkawinan campuran untuk memiliki tanah hak milik.

D. PEMBAHASAN

Pengaturan Pemisahan Harta Perkawinan Campuran

(6)

bermacam-6 macam hak atas tanah (Pasal 4 jo. Pasal 16 UUPA), dengan isi dan wewenang masing-masing, termasuk persyaratan tentang subyek (pemegang) hak atas tanah. Pasal 9 Ayat (1) UUPA menentukan bahwa hanya warga negara Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa; dengan perkataan lain, hanya WNI saja yang dapat mempunyai hak milik. Bagi WNA yang berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia dapat diberikan hak pakai. 10

Era globalisasi membutuhkan hukum yang dapat menjadi landasan bagi seluruh aktivitasnya. Mendesain hukum yang dapat melaksanakan fungsinya tersebut, khususnya lagi mengenai pengaturan hak atas tanah bagi orang harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

1. Pemisahan Harta Perkawinan Campuran Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015

Guna mengakomodir aspirasi masyarakat yang tergabung dalam organisasi perkawinan campuran (Perca Indonesia), Pemerintah menegaskan dan mengatur secara normatif kemungkinan

10

Maria S.W. Sumardjono, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, hlm. 6-7

bagi WNI yang melakukan perkawinan campuran untuk mendapatkan hak-haknya sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) UUPA dan Pasal 21 ayat (1) UUPA, dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia (PP 103/2015), pada tanggal 22 Desember 2015.

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 mengatur bahwa WNI yang melaksanakan perkawinan dengan orang asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan WNI lainnya. Hak atas tanah tersebut bukanlah merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris. Artinya hak yang diberikan kepada WNI yang melakukan pernikahan campuran untuk mendapatkan hak milik atas tanah dengan syarat atau hak bersyarat. Syaratnya adalah harta tersebut bukanlah harta bersama atau harta yang bersih dari unsur asing. Alat bukti yang diperlukan adalah perjanjian perkawinan pemisahan harta.

(7)

7 norma penegas, namun dampaknya akan lebih meluas bahwa WNI yang menikah dengan WNA mempunyai hak yang sama dengan WNI lainnya, sepanjang hak atas tanah yang dimiliki tidak ada unsur asingnya. Syarat agar hak atas tanah tidak ada unsur asingnya, maka harus ada penegasan bahwa hak atas tanah tersebut bukan harta bersama yang dibuktikan dengan akta notaris. Pasal 3 PP 103/2015 akan memacu seseorang untuk melakukan perjanjian perkawinan pisah harta. Hal ini akan semakin memberikan jaminan kepastian hukum kepada WNI yang menikah dengan WNA untuk tetap mendapatkan hak milik atas tanah.

Pasal 3 PP 103/2015 semakin lengkap dan semakin mendapatkan kepastian hukum untuk dapat dilaksanakan dengan adanya Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015. Mahkamah Konstitusi melalui putusannnya mengabulkan permohonan uji materi Pasal 29 UU Perkawinan. Inti putusan tersebut menetapkan bahwa perjanjian perkawinan dapat dilakukan baik sebelum, pada waktu, maupun selama perkawinan berlangsung. Artinya upaya dan perjuangan WNI yang menikah dengan WNA untuk mendapatkan tanah hak milik dapat terlaksana dengan melakukan perjanjian perkawinan pisah harta di kemudian hari atau selama

pasangan suami-isteri terikat pernikahan. Mengingat pada saat pernikahan atau sebelum pernikahan tidak terpikirkan untuk membuat perjanjian perkawinan pisah harta.

Bagi pasangan perkawinan campuran, dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 jo. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 29 Tahun 2016, memungkinkan orang asing untuk memiliki rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia dengan hak pakai. Adapun jangka waktu hak pakai berasal dari hak milik yang diberikan selama jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, untuk hak pakai yang berasal dari hak guna bangunan serta hak pakai atas sarusun diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015.

(8)

8 WNI, maka hak atas tanah tersebut gugur dan menjadi tanah negara. Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bukan berarti hak atas tanah yang sudah gugur itu otomatis hidup kembali, akan tetapi yang bersangkutan wajib melakukan permohonan ulang kepada BPN dengan membayar uang pemasukan kepada negara.

2. Pemisahan Harta Perkawinan Campuran Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-VIII/2015

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah mengubah norma dan tatanan (pembuatan) perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan berkaitan baik mengenai kapan dibuatnya maupun dapat diubah atau dicabutnya perjanjian perkawinan. Selain hal tersebut perubahan atas Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan tidak saja berlaku bagi pasangan WNA-WNI yang telah mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi tersebut, akan tetapi berlaku pula bagi pasangan perkawinan antara WNI-WNI.

Pembuatan perjanjian perkawinan dapat dilakukan pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, berarti bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat kapan saja yakni sebelum perkawinan menurut hukum,

masing-masing agamanya dan kepercayannya, sebelum pencatatan perkawinan Pegawai Pencatat Perkawinan atau selama perkawinan berlangsung. Selain kapan dibuatnya perjanjian perkawinan, diperbolehkannya selama perkawinan berlangsung atas persetujuan kedua belah pihak (suami-istri) mengubah atau mencabut perjanjian perkawinan yang mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, asal perubahan dan pencabutan tidak merugikan pihak ketiga. Ini berarti bahwa perubahan atau pencabutan perjanjian perkawinan dapat dilakukan terhadap perjanjian perkawinan yang telah dibuat baik sebelum atau setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.11

Berdasarkan ketentuan Pasal 29 Ayat (4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, sehingga dengan demikian oleh para pihak dapat bebas menentukan isi perjanjian perkawinan tersebut, hanya perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

11

Makalah pada Seminar Nasional dengan Tema

(9)

9 1. Tidak dapat diperjanjikan, bahwa

salah satu pihak akan menanggung hutang yang lebih besar daripada bagiannya dalam laba persatuan; 2. Untuk perjanjian perkawinan yang

dibuat sepanjang perkawinan sebaikanya dibuat daftar harta mana yang telah dimiliki sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan yang ditandatangani suami istri dan diletakkan pada minuta;

3. Perjanjian perkawinan tidak boleh menunjuk berlakunya perundang-undangan asing sebagai pilihan hukumnya;

4. Tidak boleh melepaskan hak yang diberikan undang-undang kepada mereka atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah, pun tidak boleh mengatur harta peninggalan itu. 5. Tidak boleh suami istri saling

menunjuk ahliwaris masing-masing atau menjanjikan apa yang harus dimuat dalam surat wasiat masing-masing.

3. Surat Kementrian Dalam Negeri R.I. Dukcapil Nomor 472.2/5876/ Dukcapil dan Surat Kementrian Agama RI 28 September 2017 Nomor B.2674/ DJ.III.KW.00/9/2017

Surat Kementrian Dalam Negeri RI Direktorat Jenderal

Kependudukan dan Pencatatan Sipil kepada kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia tanggal 19 Mei 2017 di Jakarta, Nomor 472/5876/Dukcapil, menyebutkan diantaranya;

“1. Perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat dan selama perkawinan berlangsung dengan akta notaris dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) Instansi Pelaksana;

2.Persyaratan dan tata cara pencatatan atas pelaporan perjanjian perkawinan atau pencabutan perjanjian perkawinan, sebagaimana dimaksud pada Lampiran I(...)”;

Adapun disertakan pada Surat Kementrian Dalam Negeri 472/5876/ Dukcappil tersebut lampiran lampiran sebagai berikut:

a. Lampiran I mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan diberikan petunjuk apa saja yang perlu dilampirkan apabila hendak melakukan pelaporan.

(10)

10 catatan pinggir baik untuk mencatatkan perjanjian perkawinan pada register dan kutipan akta perkawinan maupun untuk catatan pinggir perubahan/pencabutan. c. Lampiran III diberikan contoh

format surat keterangan pelaporan perjanjian perkawinan sebagai lampiran akta perkawinan akta perkawinan atau dengan nama lain yang diterbitkan oleh negara lain baik untuk mencatatkan pelaporan perjanjian perkawinan maupun untuk pencatatan perubahan/ pencabutan pelaporan perjanjian perkawinan.

Surat Kementrian Agama RI tanggal 28 September 2017 Nomor. B.2674/DJ.III.KW.00/9/2017 mengatur tentang pencatatan perjanjian perkawinan. Pencatatan perjanjian perkawinan yang dilakukan sebelum perkawinan, pada waktu perkawinan, atau selama dalam ikatan perkawinan yang disahkan oleh notaris dapat dicatat pegawai pencatat nikah. Perkawinan yang dicatat oleh negara lain, akan tetapi perjanjian perkawinan atau perubahan/pencabutan dibuat di Indonesia, maka pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk surat keterangan oleh KUA kecamatan setempat.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemisahan Harta Perkawinan Campuran

1. Faktor Penghambat

Walaupun kini sudah jelas pengaturan pemisahan harta perkawinan antara WNI dan WNA, yaitu salah satunya membuat perjanjian perkawinan pisah harta yang ditujukan untuk menghindari kepemilikan tanah hak milik oleh pihak WNA. Namun, perjanjian perkawinan ini belum terlaksana dengan optimal khususnya pada pasangan perkawinan campuran. Selalu ada faktor-faktor yang mempengaruhi, antara lain yaitu:

1. Masyarakat masih banyak yang belum mengetahui pengaturan perjanjian perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-VIII/2015. Hal ini

dikarenakan belum

tersosialisasikan secara optimal hasil dari putusan tersebut.

(11)

11 ini menjadi pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan.12

Hal tersebut mengakibatkan notaris acapkali tidak mau membuat perjanjian perkawinan yang berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, padahal putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan demikian. Mengapa demikian?13 Karena notaris tidak dapat menggali motivasi apa pelaku perkawinan campuran ataupun pelaku perkawinan biasa membuat perjanjian perkawinan dalam hal pisah harta, bisa jadi perjanjian perkawinan yang akan dibuat akan merugikan pihak ketiga, yakni perbankan sebagai debitur. Serta notaris menghindari terjadinya sengketa tanah di kemudian hari sebagai akibat perjanjian perkawinan tersebut, oleh karenanya notaris tidak mau membuat perjanjian tersebut, karena dapat di indikasikan pula sebagai perbuatan melawan hukum.14

2.Faktor Pendorong

Selain terdapat faktor-faktor penghambat dalam pembuatan perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan campuran, terdapat pula faktor yang

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu tim kuasa hukum Ibu Farida saat Judicial Review Bpk. Yahya Tulus Hutabarat, Pada Tanggal 6 November 2017.

14

Berdasarkan hasil wawancara dengan Majelis Pengawas Daerah Bandar Lampung, Bpk. FX. Sumarja, Pada Tanggal 10 November 2017.

mendorong terlaksananya perjanjian pemisahan harta pada perkawinan campuran pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, yaitu Organisasi Perkawinan Campuran Indonesia (Perca Indonesia) melakukan upaya seperti menyelenggarakan pertemuan konsultatif kepada masyarakat Indonesia khususnya para pelaku perkawinan campuran yang di dalamnya mengenai tata cara dan syarat pembuatan perjanjian perkawinan yang dilakukan dan dibuktikan dengan akta notaris sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.15

E.PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-VIII/2015, Surat Kementrian Dalam Negeri RI.Dukcapil Nomor 472.2/5876/Dukcapil

15

(12)

12 dan Surat Kementrian Agama RI 28

September 2017 Nomor

B.2674/DJ.III.KW.00/9/2017, bahwa warganegara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran, dapat mempunyai tanah hak milik dengan syarat atau ketentuan membuat perjanjian pemisahan harta perkawinan baik sebelum, pada saat, maupun setelah perkawinan berlangsung yang dibuktikan dengan akta notaris dan dicatatkan pada pegawai pencatat nikah.

Faktor pengambat pemisahan harta dalam perkawinan campuran adalah kurang tersosialisasikannya secara optimal mengenai hasil dari Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan adanya permasalahan dari pihak notaris yang tidak jarang menolak untuk membuatkan perjanjian pemisahan harta perkawinan pasca putusan mahkamah konstitusi, karena dapat diindikasikan sebagai perbuatan melawan hukum karena waktu berlakunya perjanjian perkawinan. Sedangkan Faktor pendorong pemisahan harta dalam perkawinan campuran adalah salah satunya Organisasi Perkawinan Campuran Indonesia (PerCa) yang aktif melakukan pertemuan Konsultatif dengan para pelaku perkawinan campuran yang tidak semuanya tergabung

dalam organisasi perca mengenai syarat dan pembuatan perjanjian pemisahan harta perkawinan sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-VIII/2015.

Saran

1. Perjanjian pemisahan harta yang terdapat dalam Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 harus dijelaskan lebih terperinci, misal dari penjelasannya: dimaknai sebagai alat pembuktian di kemudian hari jika terjadi perceraian, pewarisan, atau ketika tanah akan dijual kepada pihak lain untuk menghindari penyelundupan hukum. Sehingga jelas kepemilikan hak atas tanah tersebut bukan bagian dari harta bersama. Untuk itulah, seharusnya Pemerintah harus segera memperbaiki dengan mencantumkan penjelasan, atau mengeluarkan undang-undang pertanahan yang menjamin kepastian hukum.

(13)

13 3. Dengan adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-VIII/2015, seharusnya Kementrian Hukum dan HAM menerbitkan semacam surat edaran terkait pelaksanaan

tugas notaris selaku Pejabat Umum yang bertugas membuat surat perjanjian perkawinan dan menerbitkan akta sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-VIII/2015.

Literatur

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2008.

Kolopaking, Anita D.A., Kepemilikan Tanah Hak Milik Oleh WNA dan Badan Hukum Dikaitkan Dengan Penggunaan Nominee Sebagai penyelundupan Hukum, Disertasi UNPAD Bandung, 2009.

Sumardjono, Maria S.W., Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Jakarta: Buku Kompas, 2008.

---, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: Buku Kompas, 2007.

Sumarja, FX., Problematika Kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing, Bandar Lampung: Indepth Publishing, 2012

---, Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing, Yogyakarta: STPN Press, 2015. Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal

atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri No. 472.2/5876/Dukcapil tentang Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Orang Asing Sebagai Subjek Hak Atas Tanah di Indonesia,

(14)

14

Makalah pada Seminar Nasional dengan Tema “Akibat Hukum dan Pertanggungjawaban Dalam Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, Ditinjau Dari Kepentingan Pihak Ketiga, Ahliwaris, dan Notaris Sebagai Pejabat Umum”, Pengurus Wilayah Banten Ikatan Notaris Indonesia, di Kampus UPH Karawaci, Gedung D, Lt. 5, Ruang 502-503, Tangerang, 14 Oktober 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Penyelidikan yang telah dilakukan oleh P3GL (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan) berkaitan dengan Penyelidikan Seismik dan Percontohan Gaya berat di

Untuk hasil peramalan kebutuhan energi listrik tahun 2013 dan 2014 hanya terjadi error pehitungan 5,31% sampai 7,71% terhadap data real/actual dan metode ini

Setelah penulis mengetahui dan mengevaluasi sistem dan prosedur akuntansi penjualan tunai dan penerimaan kas yang dijalankan dalam perusahaan tersebut, penulis menarik

Untuk mencapai tujuan, dalam penelitian ini variabel yang diamati adalah jumlah parasit dalam 200 atau 500 leukosit dengan menggunakan sampel darah vena dan

Lulusan sekolah menengah pertama dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan (atau sederajat).Pelajar sekolah menengah

Tolak ukur dari prestasi belajar adalah pada nilai atau angka yang dicapai siswa dalam proses pembelajaran di sekolah, umumnya nilai yang dilihat dari sisi kognitif, karena

Penelitian ini bertujuan : Untuk mengkaji kontribusi kualitas penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2008 pada : (1) komponen konteks , (2) komponen Input, (3)

Dari landasan teori diatas dapat disimpulkan bahwa niat pembelian ulang dipengaruhi tiga faktor yaitu, kualitas layanan, kenyamanan pelanggan dan kepuasan pelanggan yang