• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstitusi dan Konstitusionalisme a. Teori Konstitusi

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori (Halaman 24-29)

Menurut K.C. Wheare (2015: 1) Konstitusi merupakan campuran dari peraturan legal dan non-legal yang mengatur sistem ketatanegaraan suatu negara. Mungkin contoh tepat yang dapat kita ambil dari makna konstitusi tersebut di atas adalah Konstitusi Inggris. Konstitusi Inggris adalah kumpulan peraturan legal dan non-legal yang mengatur ketatanegaraan di Inggris. Peraturan-peraturan hukum itu terwujud dalam undang-undang seperti Undang-Undang Pengalihan Kekuasaan (Act of Settlement) – yangmengatur perihal suksesi kekuasaan, Undang-Undang Perwakilan Rakyat (Representation of the People Acts) yang sejak tahun 1832 secara bertahap memperkenalkan pengakuan hak pilih universal, Undang-Undang Peradilan (Judicature Acts), dan Undang-Undang Parlemen (Parlemen Acts) pada tahun 1911 dan 1949 membatasi kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (House of Lord).

Pengertian konstitusi secara lebih sempit adalah sekumpulan peraturan yang biasanya dihimpun dalam satu dokumen atau dalam beberapa dokumen yang berkaitan erat (K.C. Wheare, 2015: 2). Barangkali contoh paling terkenal tentang Konstitusi dalam pengertian ini adalah Konstitusi Amerika Serikat. Pemerintahannya dijalankan dengan memperhatikan batasan-batasan yang ditentukan oleh Konstitusi sehingga bisa dikatakan bahwa Amerika Serikat memiliki “pemerintahan konstitusional” sejati (K.C. Wheare, 2015: 6).

“Constitutions” menurut Ivo D. Duchacek (dalam Jimly Asshiddiqie, 2011: 17), “identify the sources, purposes, uses, and

restraints of public power” (mengidentifikasikan sumber, tujuan penggunaan-penggunaan dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum).

Oleh sebab itulah pembatasan kekuasaan terhadap pemegang kekuasaan perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Namun menurut Leon Duguit, (dalam Abu Daud Busroh, 1990: 96) konstitusi bukanlah sekedar memuat norma-norma dasar tentang struktur negara, tetapi bahwa struktur negara yang diatur dalam konstitusi itu memang sungguh-sungguh terdapat dalam kenyataan hidup masyarakat sebagai faktor-faktor kekuatan riil yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.

Ferdinand Lasalle (1825-1864), dalam bukunya Uber Verfassungwesen (1862), membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu sebagai berikut (dalam Jimly Asshiddiqie, 2011: 98):

1) Pengertian sosiologis dan politis (sociologische atau politische begrip). Konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat, yaitu misalnya raja, parlemen, cabinet, kelompok-kelompok penekan (pressure groups), partai politik, dan sebagainya. Dinamika hubungan di antara kekuatan-kekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya apa yang dipahami sebagai konstitusi.

2) Pengertian yuridis (juridische begrip). Konstitusi dilihat sebagai satu naskah hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan negara.

Professor Hermann Heller (dalam Jimly Asshiddiqie, 2011: 99) dalam bukunya Staatsrecht, mengemukakan tiga pengertian konstitusi, yaitu:

1) Konstitusi dilihat dalam arti politis dan sosiologis sebagai cermin kehidupan sosial-politik yang nyata dalam masyarakat.

2) Konstitusi dilihat dalam arti yuridis sebagai suatu kesatuan kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat.

3) Konstitusi yang tertulis dalam suatu naskah undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

b. Teori Konstitusionalisme

Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi.

Gagasan inilah yang dinamakan Konstitusionalisme. Istilah konstitusionalisme tercipta pada abad ke 18-19 untuk menegaskan doktrin Amerika tentang supremasi Undang Dasar di atas Undang-Undang yang di undangkan sebagai produk badan legislatif (Ni’matul Huda, 2008: 37-38).

Menurut Carl J. Friedrich dalam bukunya “Constitutional Government and Democracy” (Ni’matul Huda, 2007: 25), konstitusionalisme ialah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak di salahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Lebih lanjut Friedrich mengatakan bahwa dengan jalan membagi kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan suatu sistem pembatasan yang efektif atas tindakan-tindakan pemerintah. Gagasan konstitusionalisme mengandung arti bahwa penguasa perlu dibatasi kekuasaannya dan karena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas.

Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara; kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya isi konstitusi di maksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu (Jimly Asshiddiqie, 2011: 23-24):

1) Menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara;

2) Mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain; dan

3) Mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.

Konstitusionalisme di zaman sekarang di anggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Sebab, paham konstitusi ini awalnya muncul di Inggris pada abad ke-18 untuk membatasi kekuasaan Raja di Inggris yang kekuasaannya tidak terbatas. Untuk menegakkan kembali konsep konstitusionalisme di zaman modern ini, basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang di idealkan berkenaan dengan negara. Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan, yaitu (William G. Andrews “Constitutions and Constitusionalism” dalam Jimly Asshiddiqie, 2011: 21):

1) Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama;

2) Kesepakatan tentang ‘rule of law’ sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara; dan

3) Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan.

Keseluruhan kesepakatan tersebut di atas, pada intinya menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Pada pokoknya, prinsip konstitusionalisme modern sebenarnya memang menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim disebut sebagai prinsip “limited government”.

c. Teori Amandemen Konstitusi 1) Pengertian Amandemen

Secara etimologis, amandemen berasal dari kata dasar emandare (bahasa Latin) yang secara harfiah berarti “mencabut sesuatu yang cacat” atau “mengoreksi” (Muntoha, 2003: 286). Menurut Hukum Tata

Negara, amandemen merupakan salah satu hak legislatif untuk mengusulkan perubahan dalam suatu rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Terdapat dua model sistem amandemen konstitusi yang berkembang dalam teori ketatanegaraan modern, yaitu:

a. Sistem insert, yaitu sistem yang dipraktekkan di beberapa negara di Eropa, misalnya Republik Perancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya. Perubahan dilakukan dengan cara memasukkan (insert) materi baru ke dalam naskah Undang-Undang Dasar.

Cara ini lebih tepat disebut sebagai pembaruan terhadap naskah lama menjadi naskah baru, yaitu setelah diadakan pembaruan dengan memasukkan tambahan materi baru tersebut (Jimly Asshiddiqie, 2012: 42).

b. Sistem renewal, sistem ini dilakukan dengan cara naskah konstitusi sama sekali diganti dengan naskah yang baru, seperti pengalaman Indonesia dengan konstitusi RIS 1949 dan UUDS tahun 1950. Pada umumnya negara-negara yang mempraktekkan sistem ini terhitung sebagai negara yang sistem politiknya belum mapan. Negara-negara miskin dan yang sedang berkembang di Asia dan Afrika banyak yang dapat dikategorikan masih berada dalam kondisi demikian ini. Tetapi pada umumnya, tradisi penggantian naskah konstitusi itu tidaklah dianggap ideal.

Praktek penggantian konstitusi itu terjadi semata-mata karena keadaan keterpakasaan (Jimly Asshiddiqie, 2012: 43-44).

c. Sistem amendment, dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon seperti Amerika Serikat. Sistem ini menghendaki bahwa apabila suatu konstitusi diubah (diamandemen), maka konstitusi yang asli tetap berlaku, dengan kata lain, hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau dilampirkan dalam konstitusinya (Muntoha, 2003: 287).

Indonesia merupakan negara yang mengubah Undang-Undang Dasarnya dengan sistem amendment. Amandemen tersebut telah

dilakukan sebanyak empat kali, yaitu dimulai pada tahun 1999 sampai pada tahun 2002.

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori (Halaman 24-29)

Dokumen terkait