• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1. Teori Negara Hukum

Menurut Aristoteles negara adalah persekutuan daripada keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya. Negara yang dimaksud adalah negara hukum yang di dalamnya terdapat sejumlah warga negara yang ikut serta dalam permusyawaratan negara (ecclesia) (Sarja, 2016: 16).

Augustinus membagi negara atas dua bagian: Pertama, negara Civitas Dei, artinya negara Tuhan. Negara Tuhan bukanlah negara dari dunia ini, akan tetapi jiwanya sebagian dimiliki oleh beberapa orang di dunia untuk mencapainya dan yang melaksanakannya adalah gereja yang dianggap mewakili negara Tuhan. Keadilan hanya dapat dicapai jika negara diperintah oleh seorang Kristen dalam Civitas Dei.

Kedua, Civitas Terrena atau Civitas Diaboli, artinya negara-negara duniawi dan negara iblis. Dalam negara duniawi yang merupakan Civitas Diaboli pemerintahannya bertindak sewenang-wenang oleh karena negara duniawi itu dipegang oleh orang-orang yang terjerumus dalam keadaan dosa.

Kehancuran Negara Romawi disebabkan nafsu akan kemegahan keduniawian (Sarja, 2016: 17).

a. Tipe-tipe Negara

Negara dalam pertumbuhan sejarah memiliki tipe-tipe pokok negara yang dapat dibagi atas enam bagian, yaitu:

1) Tipe Negara Timur Kuno / Purba

Menurut para ahli Barat tipe Negara Timur Kuno adalah Tiranie atau Despotie (Sarja, 2016: 1). Hal tersebut dikemukakan karena Negara Timur Kuno itu diperintah oleh raja-raja yang berkuasa mutlak dan sewenang-wenang. Pendapat tersebut tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar, sebab penyelewengan-penyelewengan juga banyak terjadi di negara-negara Barat. Tindakan sewenang-wenang

(2)

oleh raja adalah suatu penyelewengan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena penyelewengan ini tidak berarti bahwa tipe daripada Negara Timur kuno itu adalah Tirani.

2) Tipe Negara Yunani Kuno / Purba

Tipe Negara Yunani Kuno mempunyai tipe negara Kota / Polis.

Negara Kota ini mempunyai wilayah sebesar Kota yang dilingkari oleh tembok-tembok yang merupakan benteng pertahanan terhadap serangan musuh dari luar. Penduduknya masih sedikit dan pemerintahannya demokratis. Negara-negara ini ditemukan di Athena dan Sparta. Susunan pemerintahannya, rakyat langsung ikut serta dalam pemerintahan, merupakan pemerintahan demokrasi langsung (Syaiful Bakhri, 2010: 106).

3) Tipe Negara Romawi Kuno / Purba

Digambarkan sebagai suatu imperium yang mempunyai wilayah yang sangat luas karena jajahan-jajahannya. Pada saat itu di Romawi terdapat suatu ajaran yang diperolehnya dari Yunani sebagai hasil daripada proses akulturasi. Proses akulturasi ini timbul karena Yunani pada waktu itu menjadi daerah jajahan dari Romawi. Akibat dari jajahan tersebut timbul pertemuan antara dua kebudayaan dari orang- orang Romawi yang pulang ke negeri asalnya sambil membawa kebudayaan Yunani. Struktur masyarakat Romawi yang berbeda-beda menyebabkan ajaran yang mereka bawa mengalami kegagalan.

Ajaran yang dibawa pulang dari Yunani tersebut tidak membawa pengaruh terhadap susunan pemerintahan di Romawi (Syaiful Bakhri, 2010: 107).

4) Tipe Negara Abad Pertengahan

Setelah jatuhnya imperium Romawi sejarah pemikiran tentang negara dan hukum memasuki zaman baru, yaitu zaman abad pertengahan. Sejalan dengan runtuhnya peradaban bangsa Romawi, keruntuhan ketatanegaraan pun tidak dapat dihindari. Sebaliknya kekuasaan dari agama Kristen semakin berkembang dan kemudian

(3)

menggantikan sistem ketatanegaraan menurut ketentuan gereja (Sarja, 2016: 5-6). Negara-negara pada abad pertengahan sudah merupakan country state yang sifatnya mendua. Dualisme itu disebabkan oleh karena adanya dua macam hak yang menjadi dasar terbentuknya: hak raja untuk memerintah yang disebut Rex, dan hak rakyat yang disebut Regnum. Hak raja untuk memerintah, dapat berpindah tangan misalnya karena para bangsawan telah banyak berjasa terhadap rajanya, dan sebagai balas jasanya mereka diberi tanah, sehingga hak atas tanah tersebut berpindah kepada kaum bangsawan. Oleh karena itu, tipe dari abad pertengahan ialah Feodalistis berdasarkan hak perseorangan yang mutlak (Syaiful Bakhri, 2010: 108).

5) Tipe Negara Kekuasaan

Negara Kekuasaan adalah negara yang pemerintahannya dipegang oleh pemimpin yang memiliki kekuasaan mutlak, diperoleh tidak dari hasil seleksi kepemimpinan, melainkan terjadi, yang oleh Bouman diklasifikasikan sebagai negara yang dipimpin oleh pemimpin yang tradisional. Kepemimpinan tradisional adalah yang mendasarkan hanya pada kepercayaan, kebiasaan, dan kepatuhan pada kepemimpinan turun-temurun, atau pada pemimpin kharismatis (charisma berarti pengampunan). Seseorang atau beberapa orang pemimpin ditaati atas dasar kesaktian, kekuatan, atau atas dasar keteladanannya (Sarja, 2016: 10).

6) Tipe Negara Hukum

Negara Hukum diartikan sebagai negara dimana tindakan pemerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum, untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa, dan tindakan rakyat menurut kehendaknya sendiri (Sayiful Bakhri, 2010: 109). Menurut Sudargo Gautama (dalam Sarja, 2016: 25) terdapat tiga ciri atau unsur-unsur dari negara hukum, yaitu:

a) Terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang,

(4)

tindakan negara dibatasi oleh hukum, individu mempunyai hak terhadap penguasa.

b) Asas Legalitas, setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.

c) Pemisahan kekuasaan agar hak asasi betul-betul terlindungi, dengan membuat badan atau peraturan perundang-undangan baik yang melaksanakan maupun mengadili harus terpisah satu sama lain dan tidak berada dalam satu tangan.

b. Ciri Negara Hukum Model Rechtsstaat dan The Rule of Law

Konsep negara hukum adalah konsep yang universal dan memiliki karakteristik yang beragam. Hal ini karena adanya pengaruh situasi kesejarahan, sehingga konsep negara hukum muncul dalam berbagai model. Negara Hukum berdasarkan konsep negara Eropa Kontinental dinamakan Rechtsstaat, sedangkan negara hukum menurut Anglo-Saxon dinamakan Rule of Law. Gagasan negara hukum di masa Yunani masih sangat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara eksplisit pada abad ke-19, yaitu dengan munculnya konsep Rechtsstaat dari Frederik Julius Stahl, yang dipahami oleh Immanuel Kant. Menurut Stahl unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat), adalah (Syaiful Bakhri, 2010: 133):

1) Perlindungan hak asasi manusia;

2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;

3) Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan;

4) Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Pada saat yang sama muncul pula konsep negara hukum Rule of Law dari A.V. Dicey yang lahir dalam naungan sistem hukum Anglo-Saxon.

Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule of Law sebagai berikut (Syaiful Bakhri, 2010: 134):

1) Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absency of arbitrary power)

(5)

dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.

2) Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law).

3) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang serta keputusan- keputusan pengadilan.

c. Perbandingan Konsep Rechtsstaat dengan The Rule of Law

Negara Anglo-Saxon tidak mengenal negara hukum atau rechtsstaat, tetapi mengenal atau menganut apa yang disebut “the rule of law” atau pemerintahan oleh hukum (government of judiciary) (Syaiful Bakhri, 2010: 143). Sehingga dapatlah diketahui perbedaan konsep negara model rechtsstaat dengan konsep negara model the rule of law, sebagai berikut:

Rechtsstaat Rule of Law

Order and Priority and Doctrin

Prioritas diberikan pada doktrin (termasuk codified report).

Prioritas dalam sistem common law adalah jurisprudence.

Kode sipil Prancis (French Civil Law) mengadopsi teori Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan, dimana fungsi legislator adalah melakukan legislasi, sedangkan pengadilan berfungsi untuk menetapkan hukum.

Sistem Common Law menganut prinsip judge made precedent sebagai hal yang utama dari hukum (judge made precedent the core of its law).

Fungsi Doktrin Fungsi doktrin dalam

Kode Sipil,

menggambarkan atau

Dalam common law, pengarang ditantang untuk membedakan

(6)

menjelaskan tidak terorganisirnya kasus- kasus, buku-buku, dan kamus hukum, aturan- aturan dan prinsip- prinsip yang akan menjelaskan suatu subjek, yang elemennya tidak murni. Sehingga akan mengarahkan praktik dan pengadilan untuk memberikan solusi pada kasus tertentu di kemudian hari.

kasus yang muncul dan tidak cocok untuk civilest (penganut civil code) dan mengekstrak dari aturan yang spesifik (ada poin dimana pengarang dalam common law akan menolak untuk menggambarkan aturan spesifik yang tidak ada dasar kebijakannya, dan akan mengkritisi secara terbuka suatu putusan yang absurd.

Doctrin: Style Menelusuri sejarah, mengidentifikasi

fungsi, menentukan wilayah penerapan, dan menerangkan akibatnya dalam konteks hak dan kewajiban.

Memfokuskan diri pada patern kenyataan (facts patern). Menganalisis kasus yang muncul secara mirip, tetapi tidak identik secara faktual, mengekstrak dari aturan yang spesifik, kemudian melalui metode deduksi, menentukan frekuensi variasi dalam skop yang sempit dari setiap aturan, terkadang mengusulkan aturan baru untuk meng-cover

(7)

fakta yang belum muncul.

Fungsi Yurisprudensi Menerapkan prinsip- prinsip umum dan penjelasannya melalui sumber-sumber hukum sekunder.

Memperhatikan sebuah aturan baru, yang spesifik terhadap suatu fakta-fakta spesifik serta menyediakan, sumber prinsipil utama sumber hukum.

Stare Decisis Stare Decisis tidak dikenal dalam sistem kode sipil.

Sebagai salah satu metode untuk mengadili suatu perkara yang mirip atau sama, similar case should be tried similarly.

Jurisprudence: Style Mengidentifikasi prinsip-prinsip hukum yang relevan, kemudian memverifikasi jika fakta-fakta mendukung untuk penerapannya.

Secara luas (extensive) mengekspos fakta, membandingkan atau membedakan dengan kasus-kasus

sebelumnya, dan memutuskan (jika tidak, menciptakan) aturan hukum spesifik yang relevan dengan fakta yang sedang dihadapi.

Fungsi Undang- Undang (Statutes:

Function)

Kitab undang-undang dalam sistem civil code mengupas core of the law dan prinsip-prinsip

Statute dalam common law melengkapi hukum yang bergulir di pengadilan dari kasus

(8)

umum secara sistematik dan menyeluruh.

ke kasus atau case law yang mana case law merupakan core of the law yang diekspresikan melalui aturan spesifik yang diterapkan pada fakta yang spesifik.

Gaya Perumusan Hukum (Style of Drafting Laws)

Dalam statute civil law tidak disajikan definisi dan prinsip-prinsip secara luas dan fase umum, sebab hal ini tidak dibaca secara restriktif, tetapi perlu dinyatakan secara ringkas apabila diterapkan.

Menyajikan definisi secara detail, setiap aturan secara spesifik dijabarkan dengan enumerasi yang panjang dan dikaitkan dengan aplikasi spesifik, serta

eksepsi atau

pengecualiannya.

Penafsiran Hukum (Interpretation of Law)

Dalam yurisdiksi civil law, penafsiran hukum

adalah untuk

menemukan maksud dari legislator dengan memeriksa semua legislasi dan mengandung teks yang obscure.

Dalam yurisdiksi common law, statute dalam common law harus ditafsirkan dengan menggunakan latar belakang case law.

Pengangkatan Hakim (Appointment of Judges)

Hakim civil law yang memegang fungsi utama dalam ajudikasi diangkat dan dipilih

Hakim common law memegang peranan penting dalam memutuskan apa dan

(9)

dari sekolah hukum dengan spesialisasi tertentu.

bagaimana suatu hukum dibuat, ditunjuk dari sekian praktisi lawyer.

Konsekuensi Evolusi Hukum

(Consequences- Evolution of the Law)

Prinsip-prinsip civil law dibakukan dan mengkristal ke dalam suatu kode dan sering diwarnai dengan doktrin yang rigid dan diterapkan oleh pengadilan.

Kebanyakan common law dapat berubah dari waktu ke waktu dengan mendasarkan pada doktrin stare decisis.

Konsep Aturan Hukum (Conceps of the Legal Rule)

Sistem hukum tertutup, dalam arti setiap keadaan yang mungkin hanya diatur oleh aturan dan prinsip-prinsip umum yang sangat terbatas.

Sistem hukum yang terbuka dengan pengertian, bahwa setiap aturan baru dapat diciptakan atau dimasukkan ke dalam fakta-fakta baru.

Pengkategorian

Hukum (Categories of Law)

Menentukan kategori hukum berdasarkan aturan itu sendiri, misalnya hukum publik dan hukum privat.

Dapat dijumpai dalam berbagai yurisdikdi pengadilan yang menangani perkara

berbeda oleh

pengadilan yang berbeda.

Rights versus Remedies Memfokuskan pada hak dan kewajiban.

Yurisdiksi pengadilan tertentu memberikan hak dan kewajiban setelah melalui remedy.

(10)

Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Namun, Azhari (dalam Sayuti, 2011:

95-96) beranggapan bahwa konsep negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum yang dianut oleh kelompok Anglo-Saxon dan Eropa Kontinental. Konsep negara hukum pada dua kelompok tersebut didasarkan pada paham liberal individualistis, sedangkan negara hukum Indonesia didasarkan pada pandangan hidupnya sendiri yaitu Pancasila.

Oemar Senoadji (dalam Triyanto, 2013: 11) berpendapat bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri khas Indonesia. Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum. Oleh karena itu, negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.

Pandangan Azhari mengenai istilah rechtsstaat dalam penjelasan UUD NRI TAHUN 1945 jelas merupakan suatu genus begrip yang dapat diterjemahkan dengan istilah negara hukum dalam Bahasa Indonesia.

Dengan demikian, istilah negara hukum Pancasila merupakan pengertian khusus yang dimaksudkan secara implisit oleh penjelasan UUD NRI TAHUN 1945 (Triyanto, 2013: 17-18).

2. Teori Kekuasaan

a. Pengertian Kekuasaan

Secara etimologi kekuasaan berasal dari bahasa Inggris yang berarti power yang memiliki makna kemampuan berbuat dan bertindak. Menurut Robert A. Dahl (dalam M. Alfan Alfian, 2009: 223) power identik dengan influence, authority, and rule. Kekuasaan secara umum dan sederhana diartikan sebagai “kemampuan berbuat atau bertindak” (power is an ability to do or act). Menurut Miriam Budiardjo (dalam Sarja, 2016: 7) bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk memengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang

(11)

yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan juga dapat didefinisikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin. Keberhasilan seorang pemimpin banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam memahami situasi serta keterampilan dalam menentukan macam kekuasaan untuk merespon tuntutan situasi.

Michel Foucault menganggap bahwa kekuasaan menjadi domain utama dalam proses perubahan pola pikirnya sebagaimana yang dijelaskan oleh George Ritzer bahwa pergeseran pemikiran Foucault dalam arkeologi dan genealoginya yang mempertimbangkan faktor kekuasaan, yang dianggapnya bahwa sebelumnya karyanya bungkam terhadap kekuasaan (George Ritzer, 2008: 78). Dalam hal ini Foucault menjadikan kekuasaan itu sebagai suatu domain yang sangat berpengaruh terhadap pola tingkah laku dan interaksi sosial. Selain Foucault juga terdapat pakar sosiolog yang melontarkan kajian dalam bidang kekuasaan seperti J.J. Rousseau, Thomas Hobbes, dan John Locke, yang masing-masing berbeda dalam menafsirkan kekuasaan.

Kekuasaan memiliki beberapa varian dalam penafsirannya. Sallie Westwood dari beberapa hasil bacaanya mencatat beberapa hal penting terkait kekuasaan, antara lain (Eman Hermawan, 2001: 219):

1) Kekuasaan dipandang sebagai zero sum (tumpas kelor) dengan penekanan pada dua kata kunci, yakni repression (represi) dan coersion. Konsep kekuasaan zero sum game ini mempertentangkan antara yang powerful dan yang powerless.

2) Kekuasaan dipandang sebagai konsekuensi dari gagasan hegemoni dan kontra hegemoni.

3) Sebagai konsekuensi atas pandangan zero sum, kekuasaan dipandang sebagai manipulasi dan strategi.

4) Kekuasaan terkait dengan pengetahuan (knowledge), disiplin dan governance.

5) Kekuasaan performatif merupakan produk dari pelanggaran (transgression) gangguan (disruption).

(12)

Sementara menurut Steven Lukes menekankan bahwa kekuasaan terkait dengan mempengaruhi orang lain dalam hal apa yang ia pikirkan, yang ia mau, dan yang ia butuhkan (Eman Hermawan, 2001: 223). Hal ini sejalan dengan pandangan Miriam Budiardjo tentang kekuasaan. Selain itu kekuasaan memiliki karakteristik, menurut Wirawan kekuasaan merupakan sesuatu yang abstrak, milik interaksi sosial, dan pemegang kekuasaan yang egois cenderung menyalahgunakannya (Eman Hermawan, 2001: 230).

b. Jenis Kekuasaan

French dan Raven (Gary A Yukl 1994 dalam Muhliadi, 2013: 28- 29) mengidentifikasi ada lima bentuk kekuasaan yang dirasakan mungkin dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu:

1) Kekuasaan ganjaran (Reward Power) merupakan suatu kekuasaan yang didasarkan atas pemberian harapan, pujian, penghargaan atau pendapatan bagi terpenuhinya permintaan seseorang pemimpin terhadap bawahannya.

2) Kekuasaan paksaan (Coercive Power) yaitu suatu kekuasaan yang didasarkan atas rasa takut, seorang pengikut merasa bahwa kegagalan memenuhi permintaan seorang pemimpin dapat menyebabkan dijatuhkannya suatu bentuk hukuman.

3) Kekuasaan legal (Legitimate Power) yaitu suatu kekuasaan yang diperoleh secara sah karena posisi seseorang dalam kelompok atau hierarki keorganisasian.

4) Kekuasaan keahlian (Expert Power) yaitu kekuasaan yang didasarkan atas keterampilan khusus, keahlian atau pengetahuan yang dimiliki oleh pemimpin dimana para pengikutnya menganggap bahwa orang itu mempunyai keahlian yang relevan dan yakin keahliannya itu melebihi keahlian mereka sendiri.

5) Kekuasaan acuan (Referent Power) yaitu suatu kekuasaan yang didasarkan atas daya tarik seseorang, seorang pemimpin yang dikagumi oleh para pengikutnya karena memiliki suatu ciri khas.

(13)

Bentuk kekuasaan ini secara popular dinamakan kharisma.

Pemimpin yang memiliki daya kharisma yang tinggi dapat meningkatkan semangat dan menarik pengikutnya untuk melakukan sesuatu, pemimpin yang demikian tidak hanya diterima secara mutlak namun diikuti sepenuhnya.

Boulding (dalam Skripsi Muhliadi, 2013: 30) mengatakan ada tiga jenis kekuasaan dalam mempertahankan organisasi, yaitu:

1) Kekuasaan destruktif adalah kekuasaan yang berpotensi untuk menghancurkan dan mengancam.

2) Kekuasaan produktif atau menghasilkan bersifat ekonomik dan meliputi kekuasaan untuk menghasilkan dan menjual.

3) Kekuasaan integratif berarti mendorong kesetiaan, menyatukan orang bersama dan mampu menggerakkan orang ke arah tujuan bersama.

Menurutnya juga kekuasaan integratif adalah bentuk kekuasaan yang paling dominan. Pandangan ini melihat secara praktek memang benar dan secara konsep lebih meyakinkan untuk menciptakan loyalitas kenggotaan agar kekuasaan dapat dimaksimalkan atas dasar kerjasama untuk mencapai tujuan yang berkesinambungan.

c. Cara Meraih Kekuasaan

Seseorang atau sekelompok kecil orang dapat memiliki kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari sementara yang lain tidak. Seseorang atau sekelompok kecil orang yang tidak memiliki kekuasaan tersebut suka atau tidak suka harus tunduk dan patuh pada kehendak pihak-pihak yang berkuasa. Hal ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan, seperti dari manakah seseorang atau sekelompok kecil orang tadi memperoleh kekuasaan? Kekuasaan yang melekat dan dimiliki seseorang atau sekelompok kecil orang tadi datang dengan sendirinya, ataukah kekuasaan itu perlu dicari? Seandainya kekuasaan itu perlu dicari, maka di manakah mencarinya dan dengan cara seperti apa untuk memperolehnya? Sederet pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang wajar terutama yang

(14)

berkaitan dari manakah seseorang atau sekelompok kecil orang memperoleh kekuasaan.

Menurut Miriam Budiardjo (dalam Haryanto, 2017: 60), kekuasaan dapat diperoleh dari kedudukan, kekayaan, dan dapat pula pada kepercayaan. Pertama, kedudukan dapat memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang, karena yang bersangkutan menduduki posisi tersebut. Dengan demikian, secara otomatis seseorang atau sekelompok orang yang menduduki posisi tertentu akan memiliki kekuasaan yang melekat pada posisi tersebut. Semakin tinggi kedudukan, maka akan semakin besar pula kekuasaan yang berada pada genggaman orang yang menduduki posisi tersebut. Pada umumnya, semakin tinggi kedudukan, maka akan semakin sulit pula untuk memperoleh posisi tadi.

Kedudukan tersebut dapat diperoleh dengan berbagai cara, yaitu: (1) melalui dukungan dari anggota masyarakat agar orang yang bersangkutan dapat memegang kedudukan tertentu. Pada umumnya, pada masyarakat yang menganut paham demokrasi, upaya untuk memperoleh dukungan agar dapat menempati kedudukan tertentu dapat ditemukan. Sebaliknya, upaya untuk memperoleh dukungan agar seseorang atau sekelompok orang dapat menduduki posisi tertentu akan sulit, bahkan merupakan suatu kemustahilan, jika masyarakat kurang atau bahkan tidak demokratis; (2) melalui cara pewarisan, cara ini menunjukkan bahwa kedudukan yang dipegang oleh seseorang atau sekelompok orang dapat diperoleh melalui pemberian dari pemegang kedudukan sebelumnya. Pewarisan kedudukan mengandung arti bahwa pihak yang memperoleh warisan secara otomatis juga akan memperoleh kekuasaan yang melekat pada kedudukan tersebut.

Pada umumnya, cara pewarisan kedudukan berlangsung di masyarakat yang mempunyai adat istiadat tertentu yang memang menyepakati bahwa kedudukan tersebut dapat diberikan kepada pihak lain dengan cara pewarisan.

Kedua, kekuasaan dapat diperoleh melalui kekayaan, atas dasar kekayaan yang dimilikinya, seseorang atau sekelompok orang dapat

(15)

memaksakan keinginannya kepada pihak-pihak lain agar bersedia mengikuti kehendaknya. Berlaku pula sebaliknya, pihak yang hanya memiliki sedikit kekayaan atau tidak memiliki dapat diperintah dan tidak dapat melakukan pemaksaan kepada pihak lain. Kekayaan yang digunakan untuk memperoleh kekuasaan berkaitan dengan pemilikan sumber-sumber ekonomi. Semakin besar kepemilikan terhadap sumber-sumber ekonomi maka akan semakin besar pula kekuatannya untuk memaksakan keinginannya. Sebaliknya, semakin sedikit dan kecil kepemilikan terhadap sumbersumber ekonomi akan mengakibatkan kekuatan menjadi semakin mengecil dan pada gilirannya, akan semakin sulit untuk memaksakan keinginannya kepada pihak-pihak lain. Kekayaan tadi dapat diperoleh melalui berbagai macam cara. Ada kemungkinan sumber-sumber ekonomi dapat diperoleh melalui cara pewarisan atau pemberian. Di samping itu, ada kemungkinan sumber-sumber ekonomi diperoleh dengan cara pertukaran sesuai kesepakatan bersama.

Ketiga, kekuasaan dapat pula bersumber pada kepercayaan. Adapun maknanya, seseorang atau sekelompok orang dapat memiliki kekuasaan karena yang bersangkutan memang dipercaya oleh masyarakat. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kepercayaan yang diyakini secara turun-temurun oleh masyarakat dapat memberi keabsahan apakah seseorang atau sekelompok orang dapat memiliki kekuasaan atau tidak.

Hal lain yang perlu dicatat adalah kekuasaan yang bersumber pada kepercayaan hanya muncul di masyarakat yang anggotanya mempunyai kepercayaan yang sama dengan kepercayaan yang dimiliki pemegang kekuasaan. Hal ini disebabkan pemegang kekuasaan tidak mungkin dapat memerintah atau memaksakan keinginannya kepada anggota-anggota masyarakat yang memiliki kepercayaan yang berbeda dengan kepercayaannya, ataupun kepada pihak-pihak lain yang memang sama sekali tidak memiliki kepercayaan sama seperti yang dianut pemegang kekuasaan. Jadi, dengan adanya perbedaan kepercayaan antara pihak penguasa dengan pihak yang dikuasai menyebabkan tidak hadirnya

(16)

kekuasaan yang bersumber pada kepercayaan, tetapi pada sumber lain (Haryanto, 2017: 64).

d. Sumber-Sumber Kekuasaan

Sumber kekuasaan yang dimaksud disini adalah mempersoalkan tentang sumber atau darimanakah asal kekuasaan yang ada di dalam suatu negara. Menurut Soehino (2005: 149) terdapat dua sumber kekuasaan, yaitu:

1) Teori Teokrasi, yang menyatakan bahwa asal atau sumber kekuasaan berasal dari Tuhan. Teori ini berkembang di abad pertengahan, yaitu dari abad ke V sampai pada abad ke-XV. Dalam perkembangannya teori ini sangat erat hubungannya dengan perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu, yaitu agama Kristen, yang kemudian diorganisir dalam suatu organisasi keagamaan yaitu gereja, yang dikepalai oleh seorang Paus. Penganut-penganut teori teokrasi antara lain adalah: Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Persoalan di dalam ajaran teokrais sebenarnya bukanlah mempersoalkan siapakah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu, karena dalam hal ini telah ada persamaan pendapat bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah Tuhan. Namun, yang dipersoalkan lebih lanjut adalah, siapakah di dalam suatu negara tersebut yang mewakili Tuhan, Raja ataukah Paus.

2) Teori Hukum Alam, teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat. Teori ini berkembang dalam bentuk baru atau modern pada abad ke-XVII dan abad ke-XVIII. Namun, pada kedua abad tersebut, ajaran hukum alam mempunyai perbedaan. Perbedaan tersebut tidak mengenai materi atau isi pokok ajarannya, melainkan hanya mengenai sifat, fungsi atau cara penggunaannya. Ajaran hukum alam dipelopori oleh Johannes Althusius, yang mengatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada pada rakyat ini tidak lagi dianggap dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan

(17)

kepada seseorang yang disebut Raja, untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat (Soehino, 2005: 150). Selain Althusius, ada Hugo de Groot atau Grotius yang menjadi orang pertama yang meletakkan dasar-dasar daripada hukum alam modern, kemudian ada Thomas Hobbes, Benedictus de Spinoza, dan John Locke. Abad ke-XVIII tokoh ajaran hukum alam antara lain: Frederik Yang Agung, Montesquieu, Jean, Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant.

e. Teori Pembagian Kekuasaan (Distribution of Power)

Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Menurut Locke negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Perlu adanya kekuasaan terpisah untuk mencapai tujuan tersebut, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.

Dalam teori pembagian kekuasaan negara Locke, kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat peraturan, sedangkan kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang- undang, mempertahankan peraturan dan mengadili perkara. Kekuasaan federatif dalam teori Locke adalah kekuasaan-kekuasaan lain yang tidak termasuk dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hubungan luar negeri termasuk dalam contoh kekuasaan federatif.

Teori pembagian kekuasaan John Locke lahir karena raja kerap kali mengakuisisi tanah milik para bangsawan secara sewenang-wenang, untuk melindungi properti para bangsawan. Teori ini hanya memengaruhi pemikiran di Inggris karena isinya adalah pandangan Locke terhadap negaranya. Kekuasaan federatif adalah contoh pembagian kekuasaan negara menurut Locke yang sangat terpusat pada Inggris. Kekuasaan federatif erat kaitannya dengan hubungan luar negeri, membangun aliansi

(18)

perang, mengangkat duta besar, dan lain-lain. Kekuasaan federatif cocok dengan kondisi negara inggris pada saat itu yang memiliki banyak koloni.

Indonesia pun sebelum adanya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI TAHUN 1945), menganut teori pembagian kekuasaan. Hal ini disebabkan kedaulatan rakyat tercermin dalam kekuasaan tertinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat yang disebut sebagai “wadah” penjelmaan seluruh rakyat. Dari lembaga tertinggi inilah kekuasaan dari rakyat tersebut dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara yang lain secara distributif. Oleh karena itu, paham yang dianut bukan pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal (horizontal separation of power), melainkan pembagian kekuasaan dalam arti vertikal (vertical distribution of power) (Jimly Asshiddiqie, Edisi 2 Cetakan 2, 2012: 39-40).

f. Teori Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power)

Awal munculnya teori pemisahan kekuasaan adalah kritik John Locke terhadap kekuasaan absolut raja-raja dalam bukunya yang berjudul

“Two Treaties on Civil Government”. Locke tidak setuju dengan pemikiran Hobbes yang mau menyerahkan kekuasaan mutlak kepada raja.

Baginya, untuk mencapai keseimbangan dalam suatu negara, kekuasaan negara harus dipilah kepada tiga bagian, yaitu: (a) kekuasaan legislatif; (b) kekuasaan eksekutif; (c) kekuasaan federatif.

Kekuasan legislatif yaitu kekuasaan yang berwenang untuk membuat undang-undang dan kekuasaan lain harus tunduk kepada keuasaan ini. Kekuasaan eksekutif meliputi kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang termasuk mengadili. Kekuasaan federatif mengurusi kekuasaan keamanan negara, urusan perang, dan damai dalam kaitannya dengan hubungan luar negeri.

Pemikiran Locke ini kemudian di kembangkan oleh Montesquieu dengan memisahkan kekuasaan negara ke dalam tiga aspek kekuasaan yang di kenal dengan teori “Trias Politica”. Tiga kekuasaan tersebut antara lain:

(19)

1) Kekuasaan legislatif, yang bertugas untuk membuat hukum;

2) Kekuasaan eksekutif, yang bertugas menjalankan hukum;

3) Kekuasaan yudikatif, bertugas untuk mengadili orang yang melanggar hukum.

Konsep Montesquieu sama seperti halnya konsep Locke, yang merupakan suatu pemikiran untuk mengimbangi kekuasaan absolut melalui pemisahan kekuasaan. Oleh karena itu, pemisahan kekuasaan lebih merupakan doktrin hukum daripada dalil politik. Pemisahan kekuasaan Montesquieu tidak menentukan siapa yang akan menjalankan kedaulatan, tetapi hanya mengatur bagaimana kekuasaan itu harus di atur agar tercapai tujuan tertentu (Ni’matul Huda, 2007: 70).

Pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin konstitusional atau doktrin pemerintahan terbatas. Terbatas karena masing-masing cabang pemerintahan membagi sebagian kekuasaannya pada cabang yang lain dalam rangka membatasi tindakan tiap-tiap cabang kekuasaan.

Cabang kekuasaan tersebut terkait erat dan tidak dapat dipisahkan serta sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Hal itulah yang sesuai dengan prinsip checks and balances.

Kekuasaan dan fungsi dari masing-masing cabang adalah terpisah dan di jalankan oleh orang yang berbeda, sehingga tidak terdapat otoritas yang menjalankan kekuasaan secara penuh, karena masing-masing bergantung satu sama lain. Kekuasaan yang terbagi semacam inilah yang mencegah absolutisme atau mencegah korupsi kekuasaan yang timbul karena kemungkinan kekuasaan tanpa pengawasan. Walaupun menurut Ismail Suny (dalam Ni’matul Huda, 2007: 73) pemisahan kekuasaan dalam arti material tidak terdapat dan tidak pernah di laksanakan di Indonesia melainkan pembagian kekuasaan, pada intinya, prinsip-prinsip pembagian atau pemisahan kekuasaan itu di maksudkan untuk membatasi kekuasaan negara dari kemungkinan menjadi sumber penindasan dan tindakan sewenang-wenang para penguasa. Pengaturan dan pembatasan kekuasaan itulah yang menjadi ciri konstitusionalisme dan sekaligus tugas

(20)

utama konstitusi, sehingga kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan (Jimly Asshiddiqie, 2011: 134).

g. Prinsip Checks and Balances dalam Kekuasaan

Prinsip checks and balances merupakan prinsip ketatanegaraan yang menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama- sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi (C.F. Strong dalam Sunarto, 2016:

159).

Mekanisme checks and balances dalam suatu demokrasi merupakan hal yang wajar, bahkan sangat diperlukan. Hal itu untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh seseorang atau pun sebuah institusi, atau juga untuk menghindari terpusatnya kekuasaan pada seseorang atau sebuah institusi, karena dengan mekanisme seperti ini, antara institusi yang satu dengan yang lain akan saling mengontrol atau mengawasi, bahkan bisa saling mengisi (Sofyan Hadi dalam Sunarto, 2016: 159). Negara kekuasaan yang tidak menyediakan hadirnya checks and balances system akan mudah menjumpai tercampuraduknya selera dan kepentingan pribadi dengan urusan negara. Kesemrawutan peran dan fungsi lembaga-lembaga negara adalah lahan subur bagi penguasa untuk fokus pada satu tujuan, yakni “bagaimana mempertahankan kekuasaan” dan tidak pada

“bagaimana menyejahterakan rakyat” (Sarja, 2016: 12).

Prinsip checks and balances berawal dari prinsip yang diterapkan dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat. Sistem ketatanegaraan yang dimaksud memadukan antara prinsip pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances. Kekuasaan negara dibagi atas kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang masing-masing dipegang oleh lembaga yang berbeda tanpa adanya kerjasama satu sama lain, sedangkan

(21)

dengan checks and balances, antara satu lembaga dan lembaga lainnya terdapat keseimbangan kekuasaan dan mekanisme saling kontrol. Prinsip checks and balances tidak dapat dipisahkan dari masalah pembagian kekuasaan.

Di Amerika Serikat sebagai perwujudan prinsip checks and balances, Presiden diberi wewenang untuk memveto rancangan undang- undang yang telah diterima oleh Congress, akan tetapi veto ini dapat dibatalkan oleh Congress dengan dukungan 2/3 suara dari kedua Majelis.

Mahkamah Agung mengadakan check terhadap badan eksekutif dan badan legislatif melalui judicial review. Di lain pihak, Hakim Agung yang diangkat seumur hidup oleh badan eksekutif dapat diberhentikan oleh Congress jika ternyata melakukan tindakan kriminal. Presiden dapat di- impeach oleh Congress. Presiden boleh menandatangani perjanjian internasional, tetapi baru dianggap sah jika senat juga mendukungnya.

Begitu pula untuk pengangkatan jabatan-jabatan yang menjadi kewenangan presiden, seperti Hakim Agung dan Duta Besar, diperlukan persetujuan dari Senat. Sebaliknya, menyatakan perang (yang merupakan tindakan eksekutif) menjadi kewenangan Congress (Miriam Budiardjo, 2010: 284).

Prinsip checks and balances ini dapat dioperasionalkan melalui cara- cara sebagai berikut (Sunarto, 2016: 160):

1) Pemberian kewenangan untuk melakukan tindakan kepada lebih dari satu lembaga. Misalnya kewenangan pembuatan undang-undang diberikan kepada pemerintah dan parlemen;

2) Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu lembaga, misalnya eksekutif dan legislatif;

3) Upaya hukum impeachment lembaga yang satu terhadap lembaga lainnya;

4) Pengawasan langsung dari satu lembaga terhadap lembaga negara lainnya, seperti eksekutif diawasi oleh legislatif;

(22)

5) Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai lembaga pemutus perkara sengketa kewenangan antara lembaga eksekutif dan legislatif.

3. Teori Lembaga Negara

Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut lembaga negara di gunakan istilah political institution, sedangkan terminologi dalam bahasa Belanda terdapat istilah staat organen. Sementara itu, di Indonesia menggunakan istilah lembaga negara, badan negara, atau organ negara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “lembaga” di artikan sebagai: (1) asal mula (yang akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, dan tumbuhan); (2) bentuk (rupa, wujud) yang asli; (3) acuan, ikatan (tentang mata cincin dsb); (4) badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (5) pola perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan.

Menurut Kamus Hukum Fockema Andreae yang di terjemahkan Saleh Adiwinata dkk, kata “organ” di artikan sebagai berikut (dalam Ni’matul Huda, 2007: 76):

“Organ adalah perlengkapan. Alat perlengkapan adalah orang atau majelis yang terdiri dari orang-orang yang berdasarkan undang-undang atau anggaran dasar wewenang mengemukakan dan merealisasikan kehendak bdan hukum… selanjutnya negara dan badan pemerintahan rendah mempunyai alat perlengkapan. Mulai dari raja (presiden) sampai pada pegawai yang rendah, para pejabat itu dapat dianggap sebagai alat-alat perlengkapan. Akan tetapi, perkataan ini lebih banyak dipakai untuk badan pemerintahan tinggi dan dewan pemerintahan yang mempunyai wewenang yang di wakilkan secara teratur dan pasti”.

Oleh karena itu, istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara perlu di bedakan sehingga tidak menimbulkan

(23)

kebingungan. Menurut Natabaya, penyusun UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara. Konstitusi RIS 1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan UUD NRI Tahun 1945 setelah amandemen keempat, melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan negara (Jimly Asshiddiqie, 2004: 32).

Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State menguraikan bahwa siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang di tentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ (Ni’matul Huda, 2007:

77). Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang di tentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying) (Jimly Asshiddiqie, 2012: 32).

Dalam UUD NRI Tahun 1945 (sebelum amandemen) tidak ditemui satu pun kata “lembaga negara”, sehingga menyulitkan dalam mengidentifikasi dan memaknai lembaga negara. Dalam ketentuan UUD NRI Tahun 1945 hasil amandemen sama sekali tidak terdapat ketentuan hukum yang mengatur tentang definisi “lembaga negara” sehingga banyak ahli hukum Indonesia yang melakukan “ijtihad” dalam mendefinisikan dan mengklasifikasikan lembaga negara (Isharyanto, 2016: 4). Pasca amandemen UUD NRI TAHUN 1945 dikenal dua istilah untuk mengidentifikasi organ-organ penyelenggaran negara, yakni istilah “badan” (lihat UUD NRI Tahun 1945 pasca amandemen Pasal 23E, 23F, dan 23G tentang BPK) dan “lembaga” (lihat UUD NRI Tahun 1945 pasca amandemen pasal 24C ayat 1 mengenai salah satu bentuk kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus sengketa antar “lembaga negara” yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945).

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang (UU) merupakan organ UU. Sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan

(24)

Presiden, lebih rendah tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Harus diakui bahwa di tengah masyarakat kita masih berkembang pemahaman yang luas bahwa pengertian lembaga negara dikaitkan dengan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif disebabkan warisan sistem lama.

4. Konstitusi dan Konstitusionalisme a. Teori Konstitusi

Menurut K.C. Wheare (2015: 1) Konstitusi merupakan campuran dari peraturan legal dan non-legal yang mengatur sistem ketatanegaraan suatu negara. Mungkin contoh tepat yang dapat kita ambil dari makna konstitusi tersebut di atas adalah Konstitusi Inggris. Konstitusi Inggris adalah kumpulan peraturan legal dan non-legal yang mengatur ketatanegaraan di Inggris. Peraturan-peraturan hukum itu terwujud dalam undang-undang seperti Undang-Undang Pengalihan Kekuasaan (Act of Settlement) – yangmengatur perihal suksesi kekuasaan, Undang-Undang Perwakilan Rakyat (Representation of the People Acts) yang sejak tahun 1832 secara bertahap memperkenalkan pengakuan hak pilih universal, Undang-Undang Peradilan (Judicature Acts), dan Undang-Undang Parlemen (Parlemen Acts) pada tahun 1911 dan 1949 membatasi kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (House of Lord).

Pengertian konstitusi secara lebih sempit adalah sekumpulan peraturan yang biasanya dihimpun dalam satu dokumen atau dalam beberapa dokumen yang berkaitan erat (K.C. Wheare, 2015: 2). Barangkali contoh paling terkenal tentang Konstitusi dalam pengertian ini adalah Konstitusi Amerika Serikat. Pemerintahannya dijalankan dengan memperhatikan batasan-batasan yang ditentukan oleh Konstitusi sehingga bisa dikatakan bahwa Amerika Serikat memiliki “pemerintahan konstitusional” sejati (K.C. Wheare, 2015: 6).

“Constitutions” menurut Ivo D. Duchacek (dalam Jimly Asshiddiqie, 2011: 17), “identify the sources, purposes, uses, and

(25)

restraints of public power” (mengidentifikasikan sumber, tujuan penggunaan-penggunaan dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum).

Oleh sebab itulah pembatasan kekuasaan terhadap pemegang kekuasaan perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Namun menurut Leon Duguit, (dalam Abu Daud Busroh, 1990: 96) konstitusi bukanlah sekedar memuat norma-norma dasar tentang struktur negara, tetapi bahwa struktur negara yang diatur dalam konstitusi itu memang sungguh-sungguh terdapat dalam kenyataan hidup masyarakat sebagai faktor-faktor kekuatan riil yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.

Ferdinand Lasalle (1825-1864), dalam bukunya Uber Verfassungwesen (1862), membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu sebagai berikut (dalam Jimly Asshiddiqie, 2011: 98):

1) Pengertian sosiologis dan politis (sociologische atau politische begrip). Konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat, yaitu misalnya raja, parlemen, cabinet, kelompok-kelompok penekan (pressure groups), partai politik, dan sebagainya. Dinamika hubungan di antara kekuatan-kekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya apa yang dipahami sebagai konstitusi.

2) Pengertian yuridis (juridische begrip). Konstitusi dilihat sebagai satu naskah hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan negara.

Professor Hermann Heller (dalam Jimly Asshiddiqie, 2011: 99) dalam bukunya Staatsrecht, mengemukakan tiga pengertian konstitusi, yaitu:

1) Konstitusi dilihat dalam arti politis dan sosiologis sebagai cermin kehidupan sosial-politik yang nyata dalam masyarakat.

2) Konstitusi dilihat dalam arti yuridis sebagai suatu kesatuan kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat.

3) Konstitusi yang tertulis dalam suatu naskah undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

(26)

b. Teori Konstitusionalisme

Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi.

Gagasan inilah yang dinamakan Konstitusionalisme. Istilah konstitusionalisme tercipta pada abad ke 18-19 untuk menegaskan doktrin Amerika tentang supremasi Undang-Undang Dasar di atas Undang- Undang yang di undangkan sebagai produk badan legislatif (Ni’matul Huda, 2008: 37-38).

Menurut Carl J. Friedrich dalam bukunya “Constitutional Government and Democracy” (Ni’matul Huda, 2007: 25), konstitusionalisme ialah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak di salahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Lebih lanjut Friedrich mengatakan bahwa dengan jalan membagi kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan suatu sistem pembatasan yang efektif atas tindakan-tindakan pemerintah. Gagasan konstitusionalisme mengandung arti bahwa penguasa perlu dibatasi kekuasaannya dan karena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas.

Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara; kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya isi konstitusi di maksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu (Jimly Asshiddiqie, 2011: 23-24):

1) Menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara;

(27)

2) Mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain; dan

3) Mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.

Konstitusionalisme di zaman sekarang di anggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Sebab, paham konstitusi ini awalnya muncul di Inggris pada abad ke-18 untuk membatasi kekuasaan Raja di Inggris yang kekuasaannya tidak terbatas. Untuk menegakkan kembali konsep konstitusionalisme di zaman modern ini, basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang di idealkan berkenaan dengan negara. Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan, yaitu (William G. Andrews “Constitutions and Constitusionalism” dalam Jimly Asshiddiqie, 2011: 21):

1) Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama;

2) Kesepakatan tentang ‘rule of law’ sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara; dan

3) Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan.

Keseluruhan kesepakatan tersebut di atas, pada intinya menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Pada pokoknya, prinsip konstitusionalisme modern sebenarnya memang menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim disebut sebagai prinsip “limited government”.

c. Teori Amandemen Konstitusi 1) Pengertian Amandemen

Secara etimologis, amandemen berasal dari kata dasar emandare (bahasa Latin) yang secara harfiah berarti “mencabut sesuatu yang cacat” atau “mengoreksi” (Muntoha, 2003: 286). Menurut Hukum Tata

(28)

Negara, amandemen merupakan salah satu hak legislatif untuk mengusulkan perubahan dalam suatu rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Terdapat dua model sistem amandemen konstitusi yang berkembang dalam teori ketatanegaraan modern, yaitu:

a. Sistem insert, yaitu sistem yang dipraktekkan di beberapa negara di Eropa, misalnya Republik Perancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya. Perubahan dilakukan dengan cara memasukkan (insert) materi baru ke dalam naskah Undang-Undang Dasar.

Cara ini lebih tepat disebut sebagai pembaruan terhadap naskah lama menjadi naskah baru, yaitu setelah diadakan pembaruan dengan memasukkan tambahan materi baru tersebut (Jimly Asshiddiqie, 2012: 42).

b. Sistem renewal, sistem ini dilakukan dengan cara naskah konstitusi sama sekali diganti dengan naskah yang baru, seperti pengalaman Indonesia dengan konstitusi RIS 1949 dan UUDS tahun 1950. Pada umumnya negara-negara yang mempraktekkan sistem ini terhitung sebagai negara yang sistem politiknya belum mapan. Negara-negara miskin dan yang sedang berkembang di Asia dan Afrika banyak yang dapat dikategorikan masih berada dalam kondisi demikian ini. Tetapi pada umumnya, tradisi penggantian naskah konstitusi itu tidaklah dianggap ideal.

Praktek penggantian konstitusi itu terjadi semata-mata karena keadaan keterpakasaan (Jimly Asshiddiqie, 2012: 43-44).

c. Sistem amendment, dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon seperti Amerika Serikat. Sistem ini menghendaki bahwa apabila suatu konstitusi diubah (diamandemen), maka konstitusi yang asli tetap berlaku, dengan kata lain, hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau dilampirkan dalam konstitusinya (Muntoha, 2003: 287).

Indonesia merupakan negara yang mengubah Undang-Undang Dasarnya dengan sistem amendment. Amandemen tersebut telah

(29)

dilakukan sebanyak empat kali, yaitu dimulai pada tahun 1999 sampai pada tahun 2002.

2) Pelaksana Kewenangan Mengubah Konstitusi

Ketentuan mengenai MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD terdapat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang disahkan pada sidang amandemen UUD yang ketiga. Namun, sebelum terbentuknya MPR, terdapat dua lembaga yang mengisi peran MPR sebagai pelaksana kewenangan mengubah Konstitusi, yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Konstituante.

a) Bintan R. Saragih (dalam Jajang Indra Fadila, 2014: 140) menggambarkan bahwa KNIP setara dengan MPR, dan Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) yang terbentuk tanggal 17 Oktober 1945 disamakan dengan DPR. Kedaulatan kekuasaan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat. Desakan pemerintah yang begitu besar untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara kesatuan, Parlemen dan KNIP RIS mengesahkan rancangan UUD pada tanggal 17 Agustus 1950 yang dikenal sebagai Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).

b) Konstituante menurut ketentuan Pasal 134 UUDS 1950 merupakan sidang pembuat Undang-Undang Dasar yang bersama-sama dengan Pemerintah menetapkan UUD RI yang akan menggantik UUDS 1950. Usaha yang dilakukan oleh Konstituante untuk membentuk Undang-Undang Dasar (UUD) baru dapat dikatakan gagal, sebab lembaga ini tidak merampungkan tugasnya sampai UUD yang disusunnya ditetapkan oleh MPR.

Amandemen atau bahkan pergantian terhadap konstitusi perlu dilakukan apabila konstitusi sudah tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Perbaikan terhadap suatu catatan atau dokumen penting negara yang disusun pada situasi mendesak mencakup bentuk, struktur, dan

(30)

juga prosedur agar menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Selain itu, amandemen terhadap konstitusi perlu dilakukan apabila terjadi penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah.

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) merupakan konstitusi bangsa Indonesia yang telah di amandemen atau

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kedudukan dan Kewenangan MPR sebelum Amandemen

UUD 1945

Kedudukan dan kewenangan MPR setelah Amandemen

UUD 1945

Analisis Kekurangan dan Kelebihan MPR

Konsep Ideal MPR dalam Sistem Ketatanegaraan RI Ditinjau Aspek

Konstitusionalisme

(31)

dilakukan perubahan selama empat kali. Perubahan konstitusi yang telah berlangsung sebanyak empat kali tersebut telah memberikan banyak pengaruh dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat organ-organ atau lembaga negara yang kedudukannya diatur oleh UUD NRI Tahun 1945. Salah satu lembaga negara yang kedudukannya diatur oleh UUD NRI TAHUN 1945 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR.

Kedudukan MPR berubah seiring dengan perubahan UUD NRI Tahun 1945.

Sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945, MPR merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat dan merupakan lembaga negara tertinggi di Indonesia yang kedudukannya berada di atas Presiden dan lembaga-lembaga negara tinggi yang lain. Namun, setelah perubahan keempat UUD NRI Tahun 1945, kedudukan MPR tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi, tetapi sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Antara UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan dengan UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan, terdapat baik kekurangan maupun kelebihan masing- masing, utamanya kedudukan MPR. Kelebihan maupun kekurangan tugas dan fungsi MPR dalam penulisan hukum ini, penulis analisis menggunakan teori konstitusionalisme. Hasil dari perbandingan dan analisis yang ditulis dalam penulisan hukum ini akan dapat memberikan penulis ide atau gambaran tentang bagaimana konsep ideal Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

This research concluded that if organizations want to measure the maturity level of data governance is based on the fulfillment of the governance structure of the

Produk yang dibuat dalam program ini adalah sabun, yang kami beri nama SABUN ASAFLA dengan berbahan dasar bunga kecombrang dengan warna merah muda serta memberikan aroma

Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa kepuasan yang diperoleh peserta dalam pelayanan masih banyak pekerjaan untuk memberikan pelayanan prima pada peserta dan

[r]

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut : 1 Prestasi kerja pada PT Kereta Api (Persero) Daop II Bandung cukup baik karena dalam penilaian dilakukan dengan

Apabila seorang turis ingin datang ke daerah untuk berwisata atau melihat keindahan alam maka orang tersebut akan mencari info lewat internet, mungkin yang

Kemudian peneliti menerapkan metode penemuan terbimbing yang dikembangkan oleh Eggen & Kauchak dalam Sari (2014) yang terdiri atas 4 fase, yaitu: 1) fase pendahuluan,

Dari total areal perairan 9.939,0 ha yang layak menurut kriteria kedalaman hanya menyisakan seluas 1.264,0 ha areal perairan dengan ketinggian ombak di bawah 0,5 m yang