• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Tanah a. Pengertian Tanah

Pengertian tanah dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak (Urip Santoso, 2005:10).

Negara Indonesia mengatur mengenai tanah dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Pokok-Pokok Dasar Agraria (UUPA). Dimana dalam Pasal 4 Ayat (1) UUPA menyebutkan pengertian dari tanah adalah :

“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”

Pengertian tanah yang dimaksud, istilah tanah dalam Pasal di atas ialah permukaan bumi. Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap orang atau badan hukum.

Oleh karena itu, hak-hak yang timbul di atas hak atas permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk di dalamnya bangunan atau benda- benda yang terdapat di atasnya merupakan suatu persoalan hukum (Supriadi, 2006:3).

Jika melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tertulis bahwa yang dimaksud dengan tanah adalah lapisan permukaan atau lapisan bumi yang di atas sekali (Mohammad Hatta, 2005:24).

(2)

Setiap benda di dunia ini mempunyai harga dan nilai walaupun ia tidak diperjualbelikan. Demikian pula dengan tanah. Tetapi nilai tanah tidak diukur dari beratnya berapa kilogram atau ons sebagaimana halnya emas beras. Pada hakekatnya tanah dinilai berdasarkan harga yang berlaku diantara penjual dan pembeli, berdasarkan harga permintaan dan penawaran. Jadi tanah termasuk benda yang mempunyai nilai ekonomis juga. Tanah dapat menjadi milik seseorang atau badan hukum.Suatu ketika tanah menjadi bagian dari warisan atau aset perusahaan. Tidak jarang kadang- kadang tanah juga menjadi benda keramat. Terlepas dari masalah keramat atau tidak, menurut hukum adat, manusia dengan tanahnya mempunyai hubungan magis religius selain hubungan hukum.

Hubungan itu tidak hanya antara individu dengan tanah tetapi juga antar kelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat (Rechtgemeenschap) di dalam hubungan dengan hak ulayat. Hal ini dapat dilihat atau diketemukan di Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan lain- lain pulau (Mohammad Hatta, 2005:40).

Bernilainya tanah bagi kehidupan manusia, tempat ia lahir, dibesarkan dan kemudian meninggal dunia. Tanah memberikan kehidupan. Beberapa suku masyarakat dipelosok Indonesia dimanapun mereka berada tidak jarang seusai panen, mereka mengadakan pesta upacara-upacara adat, bukan karena tradisi adat saja, bukan pula karena luapan kegembiraan karena hasil panennya bagus, tetapi mereka lebih bersyukur lagi karena tanah miliknya telah membuahkan hasil panen untuk kelangsungan hidup mereka (Mohammad Hatta, 2005:41).

Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum yang konkret (Effendi Perangin, 1989:195).

(3)

Ketentuan-ketentuan hukum tanah yang tertulis bersumber pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan pelaksanaanya yang secara khusus berkaitan dengan tanah sebagai sumber hukum utamanya, sedangkan ketentuan-ketentuan hukum tanah yang tidak tertulis bersumber pada hukum adat tentang tanah dan yurisprudensi tentang tanah sebagai sumber hukum pelengkapnya (Urip Santoso, 2005:12).

Sumber hukum tanah Indonesia, yang lebih identik dikenal pada saat ini yaitu status tanah dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah kepemilikan dan penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Status tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat dan hak-hak lainnya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang mejelaskan pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa lampau dan saat ini (B.F. Sihombing, 2004:55). Sumber hukum tanah Indonesia dapat dikelompokkan dalam :

1) Hukum Tanah Adat, dibagi 2, yaitu a. Hukum Tanah Adat masa Lampau;

b. Hukum Tanah Adat masa Kini;

2) Kebiasaan;

3) Tanah-tanah Swapraja;

4) Tanah Partikelir;

5) Tanah Negara;

6) Tanah Garapan;

7) Hukum Tanah Belanda;

8) Hukum Tanah Jepang;

9) Tanah-tanah Milik Perusahaan Asing Belanda;

10) Tanah-tanah Milik Perseorangan Warga Belanda;

(4)

11) Surat Izin Perumahan (SIP) atau Verhuren Besluit (V.B);

12) Tanah Bondo Deso;

13) Tanah Bengkok;

14) Tanah Wedi Kengser;

15) Tanah Kelenggahan;

16) Tanah Pekulen;

17) Tanah Res Extra Commercium;

18) Tanah Absentee;

19) Tanah Oncoran, dan tanah bukan Oncoran (Supriadi, 2006:8).

Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah (Urip Santoso, 2005:11).

b. Asas-asas Hukum Tanah

Asas-asas yang mengenai Hukum tanah antara lain sebagai berikut :

1) Asas nasionalisme

Asas nasionalisme tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria pada Pasal 1 ayat 1-3, yang menyatakan :

a. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

b. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah

(5)

bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional

c. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) Pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

2) Asas dikuasai oleh Negara

Asas ini ditemukan dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan :

“Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.

3) Asas Hukum Agraria Nasional berdasar hukum adat

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

4) Asas Sosial Hak-hak Atas Tanah

Asas ini tertuang pada Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” asas ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat

(6)

5) Asas Kesatuan Hukum

Asas ini tidaklah tertuang dalam tubuh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) namun asas ini terdapat pada penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Keberadaan asas kesatuan hukum tidaklah terlepas karena disebabkan oleh adanya dualisme hukum sebagiamana yang terdapat pada penjelasan umum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yakni :

“Karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat di samping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita- cita persatuan Bangsa”.

6) Asas Kepentingan Umum

Terdapat didalam Pasal 18, untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

7) Asas Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum

Asas ini tertuang pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa:

“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”

Asas ini juga ditemukan pada Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan

(7)

memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

8) Asas Pemisahan Horizontal

Asas ini terdapat pada Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

“Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa”.

Implementasi asas ini ialah hak sewa untuk bangunan, yaitu seseorang atau badan hukum yang menyewa tanah kosong atau tidak ada bangunanya berdasarkan harga, dan jangka waktu yang disepakati kepada pemilik tanah, guna mendirikan bangunan di atas tanah tersebut dalam waktu sebagaimana yang disepakati oleh para pihak. Dalam Hak Sewa Bangunan ada pemisahan secara horisontal antara pemilikan tanah dan pemilikan bangunan yang ada di atasnya, yaitu tanahnya milik pemilik tanah, sedangkan bangunanya milik penyewa tanah.

c. Landasan Hukum Tanah / Agraria

Landasan Hukum Agraria terdapat dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945) merupakan sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum agraria nasional.

Hubungan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan Undang- Undang Pokok Agraria:

1) Konsideran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Pasal 33 ayat (3) dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya.

“Bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan

(8)

memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong”

2) UUPA angka 1

Undang-Undang Pokok Agraria angka 1 menyatakan bahwa :

“Hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnyaharus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara….”

Pengaturan keagrariaan atau pertanahan dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengamalan dasar negara pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD Tahun 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Bahwa UUPA harus meletakkan dasar bagi hukum agraria nasional yang akan dapat membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum bagi bangsa dan Negara.

d. Sifat dan Ruang Lingkup Pengaturan Hukum Tanah

Politik hukum pertanahan pada jaman Hindia Belanda dengan asas Domein dan Agrarische Wet ditujukan untuk kepentingan Pemerintah Jajahan dan Kaula Negara tertentu yang mendapat prioritas dan fasilitas dalam bidang penguasaan dan penggunaan tanah sedangkan golongan bumi putra kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan. Menurut asas Agrarische Wet pemerintah Hindia Belanda bertindak sama kedudukannya dengan orang, tampak adanya campur tangan pemerintah dalam masalah agraria pada umunya, sedangkan setelah Indonesia merdeka pemerintah bertindak selaku penguasa.

(9)

Hukum agraria Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengatur : a) Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang

angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

b) Hubungan hukum antara negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Tujuan diberikannya hak menguasai kepada negara ialah untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Hak negara untuk menguasai pada hakekatnya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Hubungan antara orang baik sendiri-sendiri maupun badan hukum dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang berkaitan dengan hak atas tanah ialah hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan permukaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(10)

2. Tinjauan tentang Sistem Hak Penguasaan Atas Tanah

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menetapkan bahwa hak menguasai Negara memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; dan

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Hak menguasai negara atas bumi, air, dan ruang angkasa dalam pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantantra (Daerah Istimewa) dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah (Urip Santoso, 2010:48).

Pasal 4 ayat (1) UUPA berbunyi,

“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama- sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.”

Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya (Sudikno Mertokusumo, 1998:45). Kata “menggunakan mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, pabrik.Kata

“mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan (Urip Santoso, 2010:49).

(11)

Suatu hak tanah, ada yang tidak terbatas jangka waktunya, misalnya tanah yang dihinggapi hak milik. Ada pula yang terbatas waktunya hak, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai. Ini dapat dikenal juga pada nama hak tanah yang melekat padanya jika dihubungkan dengan UUPA (John Salindeho, 1988:165).

Menurut Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Pokok-Pokok Dasar Agraria terdapat beberapa hak penguasaan atas tanah, yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Sewa. Selanjutnya yang penulis ingin bahas dalam penelitian ini adalah :

1) Hak Milik

Landasan idelogi daripada hak milik (baik atas tanah maupun atas, barang-barang dan hak-hak lain) adalah Pancasila dan UUD 1945. Jadi secara yuridis formil, hak perseorangan ada dan diakui oleh negara. Hal ini dibuktikan antara lain dengan adanya Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). (Eddy Ruchiyat, 1999:44).

Hak milik atas tanah dalam pengertian sekarang, sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah sebagai berikut,

“Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”

Turun temurun artinya Hak Milik atas tanah tidak hanya berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup tetapi apabila pemilik tanah atau pewaris meninggal dunia, Hak Milik tersebut dapat dilanjutkan sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik. Terkuat artinya Hak Milik atas tanah dapat dibebani oleh hak atas tanah yang lain, kecuali Hak Guna Usaha karena Hak Guna Usaha harus ada di atas

(12)

tanah negara. Terpenuh artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain (Agnes Aprilia Sari, 2016:5)

Menurut Pasal 6 dari UUPA semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Terkuat dan terpenuh di sini tidak berarti bahwa hak milik merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Ini dimaksudkan untuk membedakannya dengan hak-hak atas tanah lainnya yang dimiliki oleh individu. Dengan kata lain, hak milik yang merupakan hak yang paling kuat dan paling penuh di antara semua hak-hak atas tanah lainnya. Sehingga si pemilik mempunyai hak untuk menuntut kembali di tangan siapapun benda itu berada (Roestandi Ardiwilaga R., 1962:48).

Menurut Pasal 21 UUPA yang dapat mempunyai hak milik yaitu :

a) Warga Negara Indonesia;

b) Badan-badan hukum tertentu;

c) Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan sepanjang tanahnya dipergunakan untuk itu.

Hak milik hapus karena :

a) Tanahnya jatuh kepada negara, karena : (1) Pencabutan hak;

(2) Penyerahan sukarela oleh pemiliknya;

(3) Ditelantarkan;

(4) Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA;

b) Tanahnya musnah

Pasal 26 ayat (1) UUPA dijelaskan bahwa, jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian

(13)

menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah (Boedi Harsono, 2008:14).

2) Hak Guna Bangunan

Hukumnya selalu disebut dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA Nomor 5 Tahun 1960, sebagai salah satu hak atas tanah, seperti halnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha , hak guna bangunan pun secara khusus diatur oleh UUPA dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40, kemudian disebut-sebut dalam Pasal 50 dan Pasal 52 UUPA. Hak Guna Bangunan dalam pengertian hukum Barat sebelum dikonversi berasal dari hak opstal yang diatur dalam Pasal 711 KUH Perdata (A.P. Parlindungan, 1978:38).

UUPA hanya mengatur ketentuan pokok saja, sebagaimana terlihat dalam Pasal 50 ayat (2) bahwa ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna bangunan akan diatur dengan peraturan maupun peraturan menteri. Pasal 35 ayat (1) menjelaskan bahwa,

“Hak Guna Bangunan adalah hak milik untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.” (Roestandi Ardiwilaga R., 1979:53).

Hak guna bangunan berhak dimiliki oleh : a) Warga Negara Indonesia;

b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Hak guna bangunan hapus karena : a) Jangka waktunya berakhir;

b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang tidak dipenuhi;

c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

(14)

d) Dicabut untuk kepentingan umum;

e) Ditelantarkan;

f) Tanahnya musnah;

g) Ketentuan dalam Pasal 36 Ayat (2) (Boedi Harsono 2008:17).

3. Tinjauan tentang Perubahan Status Hak Atas Tanah

Hak atas tanah dapat ditingkatkan dan diturunkan. Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan dari pemegang hak atas tanah tersebut. Penurunan hak atas tanah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pemegang hak atas tanah yang kemungkinan tidak memenuhi syarat untuk memegang hak atas tanah dari tanah yang baru ia terima. Hal ini terjadi saat sebuah badan hukum memenangkan tanah dengan Hak Milik dilelang publik padahal badan hukum tersebut tidak diperbolehkan untuk memiliki tanah dengan Hak Milik. Sedangkan hak atas tanah dapat ditingkatkan untuk mendapatkan Hak Milik yang dipergunakan sebagai rumah tinggal (https://www.hukumproperti.com/pertanahan/prosedur- dan-mekanisme-penurunan-dan-peningkatan-hak-atas-tanah/, diakses pada Sabtu, 16 Desember 2017, pukul 17.00 WIB).

Bahwa Hak Milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh dibandingkan dengan hak-hak atas tanah lainnya.Sehingga dibandingkan dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha serta hak-hak lainnya, maka Hak Miliklah yang kedudukannya lebih tinggi. Oleh karena itu jika Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, atau hak-hak atas lainnya akan diubah menjadi Hak Milik, maka inilah yang dinamakan sebagai perubahan hak atau yang lebih kita kenal dengan sebutan peningkatan status hak atas tanah.

a. Penurunan Hak Atas Tanah

Menurut Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 1997 tentang Perubahan Hak

(15)

Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai (Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 16 Tahun 1997), terdapat 2 macam hak atas tanah yang dapat diturunkan, yaitu:

a) Hak Milik dapat diturunkan menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dengan jangka waktu 30 tahun dan 25 tahun.

b) Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara atau atas tanah Hak Pengelolaan kepunyaan perseorangan WNI atau badan hukum Indonesia diturunkan menjadi Hak Pakai atas permohonan pemegang hak atau kuasanya dengan jangka waktunya 25 tahun.

Permohonan untuk mengubah Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan disertai:

a) Sertifikat Hak Milik atau Hak Guna Bangunan yang dimohon perubahan haknya, atau bukti pemilikan tanah yang bersangkutan dalam hal Hak Milik yang belum terdaftar.

b) Kutipan Risalah Lelang yang dikeluarkan oleh pejabat lelang apabila hak yang bersangkutan dimenangkan oleh badan hukum dalam suatu pelelangan umum.

c) Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila hak atas tanah tersebut dibebani Hak Tanggungan.

d) Bukti identitas pemohon.

Hak Milik yang dimohon perubahan haknya belum terdaftar, maka permohonan pendaftaran perubahan hak dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran Hak Milik tersebut dan penyelesaian pendaftaran perubahan haknya dilaksanakan sesudah Hak Milik itu didaftar sesuai ketentuan yang berlaku.

Hak Milik yang dimohon perubahan haknya dimenangkan oleh badan hukum melalui pelelangan umum, maka permohonan

(16)

pendaftaran perubahan Hak Milik tersebut diajukan oleh badan hukum yang bersangkutan bersamaan dengan permohonan pendaftaran peralihan haknya dan kedua permohonan tersebut diselesaikan sekaligus dengan mendaftar perubahan hak tersebut terlebih dahulu, dan kemudian mendaftar peralihan haknya, dengan tetap memperhatikan ketentuan mengenai Hak Milik yang belum terdaftar yang telah dibahas sebelumnya.

b. Peningkatan Hak Atas Tanah

Menurut Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal (Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6 Tahun 1998), terdapat 2 cara untuk meningkatkan hak atas tanah menjadi Hak Milik :

a) Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal kepunyaan perseorangan Warga Negara Indonesia (WNI) yang luasnya 600 m2 atau kurang, atas permohonan yang bersangkutan dihapus dan diberikan kembali kepada bekas pemegang haknya dengan Hak Milik.

b) Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal kepunyaan perseorangan WNI yang luasnya 600 m2 atau kurang yang sudah habis jangka waktunya dan masih dipunyai oleh bekas pemegang hak tersebut, atas permohonan yang bersangkutan diberikan Hak Milik kepada bekas pemegang hak.

Untuk pemberian Hak Milik tersebut, penerima hak harus membayar uang pemasukan kepada Negara sesuai ketentuan yang berlaku. Permohonan pendaftaran Hak Milik diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat dengan surat sesuai bentuk sebagaimana yang terdapat dalam lampiran (Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6 Tahun 1998) disertai dengan:

(17)

a) Sertifikat tanah yang bersangkutan.

b) Bukti penggunaan tanah untuk rumah tinggal berupa:

(1) Fotokopi Izin Mendirikan Bangunan yang mencantumkan bahwa bangunan tersebut digunakan untuk rumah tinggal, atau

(2) Surat keterangan dari Kepala Desa/Kelurahan setempat bahwa bangunan tersebut digunakan untuk rumah tinggal, apabila Izin Mendirikan Bangunan tersebut belum dikeluarkan oleh instansi berwenang

(3) Fotokopi SPPT PBB yang terakhir (khusus untuk tanah yang luasnya 200 m2atau lebih).

(4) Bukti identitas pemohon.

Pernyataan dari pemohon bahwa dengan perolehan Hak Milik yang dimohon pendaftarannya itu yang bersangkutan maka mempuyai Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal tidak lebih dari 5 bidang yang seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5.000 m2 dengan menggunakan contoh sebagaimana sesuai dengan lampiran II Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6 Tahun 1998 keputusan ini.

(18)

B. Skema Kerangka Pemikiran

Gambar 1.1 Skema Kerangka Pemikiran Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok

Agraria

Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria Tentang Hak Atas Tanah

Hak Guna Bangunan

Perubahan status menjadi Hak Milik menurut Peraturan

Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

6 Tahun 1998

Faktor-faktor penyebab perubahan

Hambatan-hambatan dalam perubahan

Tanah dengan status Hak Milik

(19)

Keterangan

Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam menggambar, menelaah, menjabarkan, dan memudahkan untuk menemukan jawaban atas permasalahan hukum yang akan diteliti yaitu Pelaksanaan Peningkatan Status Tanah dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik menurut Peraturan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998, tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal. Dari alur pemikiran diatas dapat penulis jabarkan bahwa adanya hak atas tanah yang dapat diberikan salah satunya Hak Milik.

Hak Milik memiliki kekuatan yang lebih kuat dari Hak Guna Bangunan yakni memiliki sifat turun-temurun, terkuat, terpenuh, serta memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dari Hak Guna Bangunan, sehingga pemegangnya tidak perlu memperpanjang statusnya.

Sedangkan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Namun jangka waktu tersebut apabila sudah berakhir dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.

Maka dari itu terdapat pemegang Hak Guna Bangunan yang mengalihkan status tanah Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik menurut Peraturan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal karena terdapat faktor-faktor tertentu.

Gambar

Gambar 1.1 Skema Kerangka PemikiranUndang-Undang Nomor 5

Referensi

Dokumen terkait

Penyebaran industri mutiara ini semakin meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia, tidak hanya terbatas pada daerah yang merupakan habitat asli kerang mutiara tersebut, tetapi

- Form Ubah akan tampil, isikan perubahan data pada Form tersebut lalu klik simpan atau tekan tombol ENTER pada Keyboard untuk berpindah field dan

Penelitian ini mencoba untuk mengetahui pengaruh kurs, inflasi, BI rate, pertumbuhan PDB, dan jumlah uang beredar terhadap indeks harga saham LQ-45 dengan menggunakan

Lampiran 1 Pengujian Kadar Air Alami dan Berat Volume Tanah.. PENGUJIAN KADAR AIR ALAMI DAN BERAT

Untuk mendapatkan informasi mengenai minat orang tua terhadap Vaksin MR setelah adanya putusan MUI, maka disini terdapat beberapa narasumber yang bersedia untuk

Diare yang tidak segera ditangani dengan baik dapat menimbulkan dampak fatal pada hewan penderita (Hubbard dkk., 2007). Diare dapat disebabkan oleh kesalahan pakan,

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini dibatasi pada usaha perbaikan atau sebuah usaha tindakan untuk meningkatkan pemahaman

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggambarkan strategi pengadopsian konvergensi media yang dilakukan Koran Tribun dalam membangun pasar