• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMATIAN MASAL PADA USAHA BUDIDAYA KERANG MUTIARA. Oleh. Dien Arista Anggorowati 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMATIAN MASAL PADA USAHA BUDIDAYA KERANG MUTIARA. Oleh. Dien Arista Anggorowati 1)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KEMATIAN MASAL PADA USAHA BUDIDAYA

KERANG MUTIARA

Oleh

Dien Arista Anggorowati

1)

ABSTRACT

MASS MORTALITIES OF PEARL OYSTER CULTURE. One of problems in

pearl oysters culture is mass mortalities. The mass mortality can be caused by diseases (parasits, bacterias and viruses), natural disasters (hurricanes, earthquakes and tsunami), unsuitable environment conditions (fouling organisms, pollution and erratic weather patterns), farm management; predators, seeding, red tide and rough handling. However, all of mortalities causing bay desease are remained unsolved. To treat oysters with good care and keep it in good environment may increase the oyster’s resistance to diseases.

PENDAHULUAN

Keindahan mutiara telah lama menjadi perhatian manusia, karena dapat digunakan sebagai perhiasan atau aksesoris lain. Di Indonesia, mutiara pertama kali dimanfaatkan dan diperdagangkan di kawasan timur Indonesia yaitu di Pulau Aru, Maluku Tenggara (ANONIMOUS, 1996). Kegiatan ini awalnya hanya bergantung pada hasil alam melalui penyelaman di daerah yang banyak terdapat kerang mutiara. Semakin lama banyak industri perdagangan mutiara yang bermunculan di kawasan tersebut dengan mengandalkan hasil tangkapan alam, sehingga terjadi tangkap lebih (over catting).

Penyebaran industri mutiara ini semakin meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia, tidak hanya terbatas pada daerah yang merupakan habitat asli kerang mutiara tersebut, tetapi telah berkembang ke daerah lain yang sesuai untuk membesarkan kerang mutiara, misalnya di Teluk Lampung, Sumatera, Lombok, Sumbawa dan Sulawesi (ANONIMOUS, 1996). Permintaan mutiara yang sangat tinggi dari konsumen internacional, mengakibatkan ketertarikan pengusaha untuk menanam modalnya di Indonesia atau bekerjasama dengan perusahaan lokal. Perusahaan tersebut tidak hanya menjual mutiara, tetapi juga mem-budidayakan kerang penghasil mutiara secara intensif, sehingga tidak lagi mengandalkan hasil

1)

UPT Loka Pengembangan Bio Industri Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Mataram.

Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 9– 14 ISSN 0216–1877 Analisis hubungan antar spesies

dalam suatu ekosistem adalah salah satu kajian yang kerapkali dilakukan dalam bidang biologi laut. Analisis tersebut dilakukan dengan mengambil sampel (stasiun) yang mewakili suatu wilayah yang unit samplingnya bisa dalam satuan luas atau satuan volume tertentu. Berdasarkan data yang diperoleh, maka biasanya peneliti tertarik untuk melihat apakah komunitas yang dipelajari dalam wilayah tersebut memiliki karakteristik khusus, baik itu dicirikan oleh faktor lingkungan maupun faktor lainnya. Analisis yang umum digunakan untuk mengkaji hal seperti ini adalah apa yang disebut sebagai analisis klaster (ada juga menyebutnya klasifikasi) dan ordinasi. Tujuan dari analisis klaster adalah untuk mendapatkan gambaran secara umum bagaimana sampel mengelompok (secara alamiah) dalam sebuah wilayah. Pengelompokan ini terjadi karena sampel tersebut memiliki kemiripan yang sama dibandingkan dengan sampel dari kelompok yang lain, sedangkan ordinasi adalah sebuah peta dari sampel yang digambarkan dalam dua atau tiga dimensi, yang penempatan sampel bukanlah untuk menunjukkan lokasi geografis dari sampel tersebut, melainkan mencerminkan kemiripan komunitas secara biologik. Jarak antar sampel dalam ordinasi dicoba untuk sesuai dengan ketidakmiripan dalam struktur komunitas, dengan perkataan lain titik-titik yang berdekatan mencerminkan komunitas yang sama, atau sampel yang jauh terpisah memiliki sedikit spesies yang sama. Mana dari kedua analisis ini, analisis klaster atau ordinasi yang diambil dalam analisis komunitas tergantung dari kebutuhan dari si peneliti itu sendiri.

Tulisan ini menguraikan salah satu teknik analisis dalam ordinasi yaitu Analisis Komponen Utama (AKU) atau yang dalam bahasa Inggrisnya lebih populer dikenal

dengan nama Principal Component Analysis (PCA). Dalam analisis ekologi kuantitatif, AKU merupakan metode yang memiliki sejarah yang cukup panjang. Penulis terdahulu yang menggunakan analisis ini diantaranya adalah HUGHES & THOMAS (1971), FIELD (1971), CASSIE (1972), MOORE (1974) dan OUGH (2000). Selain untuk melakukan pemetaan species, AKU juga dapat digunakan untuk melihat bagaimana dampak kegiatan manusia terhadap struktur komunitas fauna bentik (MARQUES et al., 1993; HERNANDO-PEREZ & FRID, 1998). Sebagai contoh, SOEDIBJO (2007) menggunakan AKU untuk melihat hubungan antara faktor lingkungan dengan struktur komunitas zooplankton di perairan Bangka Belitung.

Meski AKU sudah dipakai sejak lama, karena ketidaklenturan dalam definisinya menyebabkan analisis ini secara praktis lebih berguna apabila digunakan dalam analisis mutlivariat untuk data lingkungan dibandingkan dengan data kelimpahan atau biomassa spesies (CLARKE & WARWICK, 2001). Namun demikian, hingga saat ini AKU masih banyak dipakai dan secara fundamental masih dianggap penting dalam analisis ekologi kuantitatif. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana menggunakan analisis ini khususnya bagi para peneliti yang tertarik dalam analisis multivariat.

ANALISIS KOMPONEN UTAMA (AKU) Dalam membahas AKU, ada baiknya untuk menjelaskan istilah multivariat dalam analisis ekologi kuantitatif. Penelitian ekologi umumnya akan melibatkan data biotis maupun abiotis. Data biotis yang dikumpulkan biasanya disajikan dalam bentuk matriks data (spesies × stasiun) (Tabel 1).

(2)

tangkapan alam. Di Indonesia, jenis-jenis kerang penghasil mutiara yang banyak dibudidayakan antara lain Pinctada maxima, P. margaritifera dan Pteria penguin (SUTAMAN, 1993).

Setiap pembudidaya memiliki cara-cara (metode) yang berbeda dalam membudidayakan kerang mutiara. Menurut SUTAMAN (1993), ada empat tahapan yang perlu dilakukan untuk budidaya kerang mutiara, yaitu penyediaan benih kerang mutiara; pembesaran atau pemeliharaan; proses pemasukan nukleus mutiara; pemanenan dan penanganan hasil. Secara alami mutiara terbentuk ketika kerang merasa terganggu dengan keberadaan benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya, biasanya sebuah batu yang berukuran kecil atau butiran pasir. Untuk menolak rasa sakit akibat benda asing tersebut, maka kerang menutupinya dengan mantel yang ternyata dapat menghasilkan nacre, yaitu sebuah cairan dari zat kalsium karbonat (CaCO3) yang berbentuk kristal aragonit hingga terbentuklah sebuah mutiara. Mutiara alam sangat jarang terjadi (1 dalam 2000 kerang yang dapat menghasilkan), umumnya berukuran kecil dan bentuknya tidak beraturan (HAWS & ELLIS, 2000).

Pada kegiatan budidaya mutiara, ada kemungkinan kerang mutiara mengalami kematian. Hal ini menjadi sebuah masalah yang serius, karena dapat mengakibatkan industri budidaya kerang mutiara mengalami kebangkrutan/kerugian. Pengetahuan tentang penyakit dan budidaya kerang mutiara sangat sedikit. Disamping itu diketahui bahwa tekanan (stress) pada kerang mutiara dapat menyebabkan penyakit. Organisme-organisme penyebab penyakit selalu ada di dalam air tetapi kerang mutiara yang sehat akan mampu menghindari penyakit. Ketika penyakit muncul dalam pembudidayaan hal itu hampir selalu menjadi sebuah tanda bahwa kerang mutiara telah menderita banyak sekali bentuk tekanan yang melemahkan kerang mutiara, sehingga kerang

mutiara tidak dapat bertahan lebih lama untuk menghindari organisme penyebab penyakit (HAWS, 2002).

Tulisan ini membahas tentang penyebab kematian masal pada budidaya kerang mutiara dan cara mengatasinya. Hal ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kita dalam usaha budidaya kerang mutiara.

PENYEBAB KEMATIAN KERANG MUTIARA

Pada industri budidaya kerang mutiara sering terjadi kematian. Penyebab kematian yang dibudidayakan tersebut diantaranya adalah : Bakteri

DYBDAHL & PASS (dalam TUN, 2000) menyatakan bahwa bakteri yang umum menyerang kerang mutiara adalah Vibrio

harveyi. LESTER (1989) juga melaporkan bahwa

kematian dalam pembenihan moluska ada kaitannya dengan keberadaan V. tubiashi,

Vibrio sp. dan Alteromonas sp. Menurut PASS

(dalam GERVIS & SIMS, 1992) infeksi V. harveyi pada umumnya terjadi ketika kerang mutiara diangkut dalam tangki dengan sirkulasi air dan udara yang tidak mencukupi selama perjalanan. Ketika kondisi kerang melemah akibat berkurangnya jumlah oksigen dan meningkatnya suhu dalam tangki pengangkut, diduga telah menjadi penyebab V. harveyi berkembang dengan pesat. Hal ini dapat juga terjadi dalam tangki pembenihan yang kerang mutiaranya masih berupa larva.

Perubahan Iklim

Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap kualitas perairan, sehingga dapat menyebabkan kematian masal pada kerang mutiara. Menurut YAMASHITA (dalam GERVIS

& SIMS, 1992) kematian yang lebih besar terjadi 1) Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi–LIPI, Jakarta.

.

ANALISIS KOMPONEN UTAMA DALAM KAJIAN EKOLOGI

Oleh

Bambang S. Soedibjo

1)

ABSTRACT

PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS IN ECOLOGY ANALYSIS. Principal

Component Analysis (PCA) is one of the longest-established method in community ecology analysis. It is an ordination method in mapping samples in two or three dimensions which reflects the similarity of their biological communities. There is relative inflexibility of its definitions making this method limits its practical usefulness on species abundances or biomass rather than environmental data. An important thing to consider of using PCA in ordination samples based on species abundance or biomass data is the reduction of rare species from the list and initial transformation of its values to avoid over-domination of the resulting analysis by the commonest species. This paper describes the concept of PCA and its aplication in community ecology in order to give the idea of using this method for fresh graduate in marine biology. Examples of the analysis are also presented.

PENDAHULUAN

Komunitas adalah populasi dari seluruh species yang hidup dalam sebuah wilayah atau area. Ekosistem terbentuk karena adanya komunitas dan faktor-faktor lingkungannya, oleh karena itu, memahami sebuah ekosistem akan lebih komprehensif apabila dilakukan kajian melalui analisis multivariat. Pemahaman akan fenomena-fenomena dalam sebuah ekosistem bisa lebih ditingkatkan dan selanjutnya dapat digunakan untuk melakukan prediksi, apabila hubungan antara komunitas dengan faktor-faktor lingkungan diketahui.

Salah satu kajian yang sering menarik perhatian para peneliti biologi laut adalah kajian untuk melihat bagaimana struktur komunitas suatu ekosistem dalam wilayah yang diteliti dan bagaimana hubungannya dengan faktor lingkungan. Pernyataan lain yang mungkin ingin dijawab oleh peneliti adalah “bagaimanakah interaksi antar spesies dalam memperebutkan sumberdaya yang tersedia?” atau “apakah interaksi ini akan tercermin dalam struktur komunitas yang diamati?”, dan berbagai pertanyaan-pertanyaan lain yang selalu muncul di benak para peneliti sebagai bentuk rasa keingintahuan atau ingin mengungkap fenomena-fenomena alam lainnya. Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 43– 53 ISSN 0216–1877

(3)

pada Pinctada maxima selama musim dingin. Kematian yang paling tinggi juga terjadi pada P.

maxima yang dibudidayakan di Australia Barat

selama bulan-bulan yang lebih dingin DYBDAHL & PASS; PASS et al. (dalam GERVIS & SIMS, 1992). Perubahan suhu dan salinitas secara fluktuaktif juga akan mengakibatkan kematian masal pada budidaya kerang mutiara. Cara pengelolaan budidaya

Setiap pembudidaya memiliki teknik yang berbeda dalam mengelola hewan yang dibudidayakan, serta tergantung pada pemilihan lokasi dan perawatan. Pemilihan lokasi kurang baik, misalnya kondisi perairan yang kurang subur, mudah dipengaruhi oleh perubahan musim atau dekat dengan sumber polusi akan berakibat kematian kerang mutiara. Selain itu, jika perawatan atau pembersihan tidak maksimal juga akan berakibat pada kematian masal. Organisme penempel (biofouling)

Organisme penempel (biofouling) adalah organisme yang menempel secara sederhana pada permukaan benda yang tenggelam dalam air selama satu periode waktu (STANCZAK, 2004). Keberadaan organisme penempel mempengaruhi pertumbuhan dan pertahanan hidup kerang mutiara (MOHAMMAD, 1976; HAWS, 2002). Hal ini terjadi karena organisme yang menempel tersebut mempengaruhi jumlah dan komposisi mikroalga serta aliran arus yang melewati kerang mutiara sehingga terjadi kompetisi ruang dan makanan (GERVIS & SIMS, 1992). Jika kondisi ini berlangsung lama akan menyebabkan kematian.

Bencana alam

Kematian yang disebabkan oleh bencana alam (tsunami, gempa bumi) tidak dapat dihindari, yang terjadi begitu cepat dan secara tiba-tiba. Hal ini menyebabkan kematian alami yang tidak dapat dicegah.

Pemasangan nukleus (seeding)

Proses operasi pemasangan nukleus pada kerang mutiara akan berakibat tekanan (stress) pada kerang mutiara sehingga kondisi ketahanan tubuhnya menurun (HAWS, 2002). Hal ini mengakibatkan kerang mutiara menjadi lemah dan mudah terserang penyakit oleh bakteri, virus atau pun parasit.

Parasit

Penelitian parasit dan patogen kerang mutiara terfokus pada keberadaan parasit cestoda, nematoda dan trematoda (SHIPLEY & HORNELL; MIZUMOTO; BERRY & CANNON

dalam GERVIS & SIMS, 1992). LESTER (1989)

juga melaporkan bahwa beberapa cacing (polichaeta) mengebor ke dalam cangkang kerang mutiara. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi dan ketahanan hidup kerang mutiara. Pencemaran

Keberadaan bahan pencemar disekitar lokasi budidaya, baik yang berasal dari darat maupun dari laut akan menyebabkan kerang mutiara mengalami tekanan (stress) (SUTAMAN, 1993). YAMASHITA dalam GERVIS & SIMS (1992) melaporkan bahwa kematian 80% - 100% terjadi secara langsung setelah “Oceanic Grandeur” menumpahkan minyak di selat Torres tahun 1970. Kerang mutiara potensial sebagai jenis indikator logam berat (SHIBER; JACOB et

al.; KLUMPP & BURDON-JONES; IKUTA dalam GERVIS & SIMS, 1992). Bahan pencemar

tersebut masuk kedalam tubuh, kemudian terakumulasi atau mempengaruhi proses penyerapan air melalui insang. Hal ini menyebabkan kerang kekurangan makanan dan ketahanan tubuhnya melemah, sehingga berakibat kematian masal.

Predator

Kematian kerang mutiara banyak terjadi ketika kerang masih berupa “spat”, berukuran FABRICIUS, K. and G. DE’ATH 2001.

Biodiversity on the Great Barrier Reef: Large-scale patterns and turbidity –related local loss of soft coral taxa. In : Oceano-graphic processes of coral reefs: physical and biological links in the Great Barrier Reef ( E. WOLANSKI, ed.) CRC Press, London: 127-144.

GRASSHOF and B. BARGIBANTH 2001. Coral

reef gorgonians of New Caledonia,

Paris. Editions de I’IRD: 335 pp.

RIEGEL, R and G.M. BRANCH 1995. Effects of sediment on the energy budgets of four scleractinian (Bourne 1900) and five alcyonacean (Lamoroux 1816) corals. Jour. Exp. Mar. Biol.

Ecol. 186: 259-275.

YONGE, C.M. 1973. The nature of reef building (Hermatypic) corals. Bull.Mar.Sci. 23 (1): 1-5.

(4)

0-3 cm yang dimangsa oleh ikan, penyu, gurita, kepiting, bintang laut dan gastropoda. Gastropoda jenis Cymatium cingulatum dan

Murex virgeneus telah diketahui sebagai

predator pada kerang mutiara yang dipelihara di alam (BUENO et al., 1991). Studi terhadap pemangsaan kerang mutiara oleh C. cingulatum dalam laboratorium menunjukkan bahwa 20 kerang mutiara dimakan oleh dua C. cingulatum berukuran 26 mm dalam jangka waktu 37 hari; 20 kerang mutiara dalam 20 hari oleh dua C.

cingulatum berukuran 40,5 mm dan 20 kerang

mutiara dalam 19 hari oleh dua C. cingulatum yang berukuran 61,8 mm. Dua spesimen M.

virgeneus berukuran 54 mm memakan 20 kerang

dalam 49 hari di dalam sebuah laboratorium percobaan. Gastropoda tersebut telah menunjukkan bertahan selama 57 sampai 125 hari (BUENO et al., 1991). Beberapa larva predator dapat masuk kedalam kantong dan jaring yang melindungi kerang mutiara. Kemudian larva predator tersebut tumbuh dan berkembang bersama kerang mutiara. Beberapa jenis udang juga bersimbiose di dalam tubuh kerang mutiara dari jenis Anchistus custos (DAVIE, 1998). “Red tide”

Masuknya plankton yang mengandung zat toksik dalam jumlah banyak ke dalam tubuh kerang mutiara akan menyebabkan hewan tersebut hampir mati. Menurut TOMARU et al. (2001) infeksi dari zat toksik yang dihasilkan oleh mikroalga beracun akan melemahkan dan menghalangi proses penyerapan nutrisi.

Penanganan yang kasar

Budidaya kerang mutiara harus dilakukan secara hati–hati dan diusahakan meminimalkan waktu ketika kerang mutiara tersebut berada di luar air, karena hal tersebut dapat menimbulkan tekanan (stress) hingga menyebabkan kematian (HAWS, 2002).

Virus

Infeksi virus terhadap kerang mutiara terjadi ketika kerang mutiara tersebut dalam kondisi lemah dengan ketahanan tubuh yang menurun. Dilaporkan bahwa virus yang menginfeksi kerang mutiara adalah papovavirus yang menyerang lapisan epithelium mantel dan virus tersebut juga menyebabkan penyakit pada kerang mutiara Jepang (Pinctada fucata

martensii) (MIYAZAKI et al. 1999; NORTON et al. 1993).

USAHA BUDIDAYA KERANG MUTIARA Infeksi penyakit telah diakui sebagai salah satu faktor pembatas perkembangan pada perikanan invertebrata laut. Sebenarnya, dalam kondisi normal, kerang dapat mengatasi tekanan alam, walaupun demikian penanganan budidaya mutiara secara modern, kerang mutiara tersebut masih mudah terserang oleh penyakit (HUMPHREY et al. dalam TUN, 2000). Selain faktor biologi, kondisi kimia dan fisika perairan, juga dapat menyebabkan masalah yang serius pada kerang mutiara. Di antara faktor-faktor tersebut, yaitu turunnya salinitas, perubahan suhu, pasang dingin, “red tide”, hydrogen sulfide dan pencemaran melalui saluran limbah domestik atau industri (MIZUMOTO; ANONIMOUS dalam TUN, 2000).

Bencana alam yaitu gempa bumi, angin topan/badai dan tsunami dapat merusak lokasi budidaya atau merubah kondisi lingkungan secara tiba-tiba menyebabkan kematian masal kerang mutiara (McCORMICK dalam TUN, 2000). Gempa bumi dan tsunami yang terjadi di sekitar lokasi budidaya di beberapa tempat di Indonesia pada tahun 1992 telah menyebabkan kerang mutiara sakit dan terlalu lemah untuk menahan operasi pemasukan nukleus (ANONIMOUS dalam TUN, 2000). Untuk meningkatkan pertahanan hidup kerang mutiara setelah proses pemasukan nukleus, di Jepang dan USA telah dilakukan dengan cara nukleus dilapisi antibiotik (AKIYAMA et al.; ANONIMOUS dalam TUN, 2000). Beberapa petunjuk dalam budidaya kerang mutiara disajikan pada Tabel 1.

Frekwensi kematian karang akibat peristiwa “bleaching” sering kali terjadi pada sepuluh tahun terakhir ini. Hal ini berhubungan dengan perubahan iklim global, akibat penebangan hutan, kebakaran hutan gambut dan sebagainya. Bertambahnya konsentrasi CO2 di atmosfer menyebabkan apa yang disebut “efek rumah kaca” (greenhouse effect) yang menyebabkan naiknya temperatur secara gradual di daerah tropis. Fenomena ini merupakan peringatan dan ancaman global bagi kehidupan karang secara khusus. Sampai sejauh ini belum banyak diketahui tentang kemampuan karang untuk mengaklimatisasi pemanasan yang terjadi di perairan hangat di laut tropis.

PENUTUP

Kelompok Oktokoral tersebar luas di perairan laut di dunia, ditemukan mulai dari daerah surut terendah sampai ke perairan terdalam (abbysal), dengan kelimpahan tertinggi di rataan terumbu dan lereng terumbu di perairan terumbu karang daerah tropis. Keberadaannya di alam bervariasi sesuai dengan habitat dari masing-masing jenis. Tingkat toleransi terhadap kondisi ekologi perairan yaitu kekeringan, sedimentasi yang tinggi, salinitas yang rendah, berbeda antara masing-masing jenis.

Kelompok Oktokoral yang mengandung zooxanthella sangat sensitif terhadap temperatur air laut yang cukup tinggi. Naiknya temperatur walaupun hanya satu atau dua derajat saja dapat mempengaruhi konsentrasi zooxanthella di dalam jaringan karang. Bila kenaikan temperatur terlalu tinggi, jaringan karang akan mengerut, dan zooxanthella akan keluar ke air laut sehingga terjadi perubahan warna, karang berubah menjadi putih dan kemudian mati.

Secara umum dalam batas-batas tertentu, beberapa parameter oseanografi fisika dapat ditolerir, dengan tingkat toleransi

terhadap parameter tersebut sangat bervariasi baik antar individu, di tingkat jenis maupun di tingkat marga.

DAFTAR PUSTAKA

BAYER, F.M. 1963. Octocorallia. In : Treatise on invertebrata palaeontology, Part F, Coelenterata. (R.C. MOORE, ed.) Univ. Kansas press, Lawrence: 166-231.

COLIN, P.L. and C. ARNESON 1995. Tropical

Pacific Invertebrates. Coral Reef Press

California: 305 pp.

FABRICIUS, K. 1997. Soft coral abundance in the central Great Barrier Reef : effects of Acanthaster planci, space availability and aspects of the physical environment. Coral Reefs 16 : 159-167.

FABRICIUS, K. and P. ALDERSLADE 2001.

Soft Corals and Sea Fans. A comprehensive guide to the tropical shallow-water genera of the Central-West Pacific, The Indian Ocean and Red Sea. AIMS Published,

Townsville: 264 pp.

FABRICIUS, K. and G. DE’ATH 1997.The effects of flow, depth and slope on cover of soft coral taxa and growth forms on Davies Reef , Great Barrier Reef. In : Proc. of the 8 th Coral Reef

Symp., ( H.A. LESSIOS ed.) Vol 2:

1071-1076.

FABRICIUS, K. and G. DE’ATH 2000. Soft

Coral Atlas of the Great Barrier Reef.

Australian Institute of Marine Science, h h t p : / / w w w . a i m s . g o v . a u / softcoral.atlas, 57 pp.

(5)

Kerang Mutiara

1. Perhatikan kasus kematian kerang yang terjadi tidak normal (tiba-tiba).

2. Menemukan adanya kondisi yang tidak normal pada cangkang dan organ dalam. 3. Kerang mutiara yang terinfeksi tidak

dipindahkan. Lokasi Budidaya

1. Pemasangan jalur kerang di atas dasar laut sebaiknya searah arus air.

2. Ruang yang luas antara jalur budidaya. 3. Membuang organisme penempel jangan

dilakukan dekat area jalur budidaya. 4. Menemukan adanya predator yang tidak

normal (gastropoda). Operasi pemasukan nukleus

1. Peralatan (termasuk sarung tangan) yang digunakan pada operasi pemasukan nukleus sebaiknya disterilisasi secara teratur. 2. Peralatan yang digunakan teknisi yang

berpindah ke stasiun lain harus disterilisasi. 3. Daging kerang yang terinfeksi sebaiknya

tidak dibuang di laut. Saran lain

1. Hanya sepuluh ekor kerang dalam satu keranjang.

2. Penanganan yang kasar seharusnya dihindari.

3. Mencatat kondisi hidrologi area budidaya secara teratur.

4. Pelajari dan analisis pengalaman yang lalu.

Tabel 1. Beberapa saran dalam mengatur budidaya kerang mutiara (TUN, 2000).

Saran Tujuan

Untuk mengetahui sedini mungkin awal kejadian pada kematian masal.

Untuk mengetahui kejadian dari masalah-masalah yang dapat menyebabkan kematian masal.

Untuk mencegah penyebaran penyakit.

Untuk meningkatkan aliran air antara jalur-jalur kerang pada dasar laut dan antara dua katup cangkang pada setiap individu.

Untuk memberikan ruang dan tersedianya makanan yang cukup.

Untuk mencegah penumpukan organisme penempel

Untuk menghindari pemangsaan yang mungkin terjadi pada kerang budidaya.

Untuk mencegah infeksi melalui peralatan.

Untuk mencegah penyebaran agen kausatif oleh teknisi.

Untuk mencegah infeksi pada kerang yang lain.

Untuk mengurangi substrat pada organisme penempel.

Untuk mengurangi tekanan pada kerang mutiara khususnya kerang yang terinfeksi.

Untuk mengetahui adanya perubahan lingkungan.

Untuk mengetahui secara signifikan masalah yang timbul.

Gambar 2B. Koloni Xenia sp. dan Acropora sp. yang mati akibat “bleaching” (FABRICIUS & ALDERSLADE, 2001).

Gambar 2C. Koloni Sinularia flexibilis, koloni mengalami fragmentasi, kemudian mati (FABRICIUS & ALDERSLADE, 2001).

(6)

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMOUS 1996.Memantapkan Usaha Budidaya Mutiara di Indonesia Guna Menunjang Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI; Prosiding

Seminar Nasional Budidaya Mutiara Di Indonesia, Jakarta 27 Nopember.

Kerjasama ASBUMI dan Ditjen Perikanan Jakarta: 112 pp.

DAVIE, P. 1998. Wild Guide To Moreton Bay. A Queensland Museum Publication: 408 pp.

GERVIS, M.H. and N.A. SIMS 1992. The

Biology and Culture of Pearl Oysters (Bivalvia: Pteriidae). ICLARM

stud.Rev. 21: 49 pp.

HAWS, M. 2002. The Basic Methods of Pearl

farming: A Layman’s Manual. CTSA

Publication 127: 8-10.

HAWS, M. and S. ELLIS 2000. Aquafarmer Information Sheet: Colecting Black-lip Pearl Oyster Spat. CTSA Publication 144:1-17.

BUENO, P.; A. LOVATELLI and H.P.C. SHETTY 1991. Project Report : Pearl Oyster

Farming and Pearl Culture Training Course.FAO, Central Marine Fisheries

Research Institute India: 104 pp. LESTER, R.J.G. 1989. Disease of Cultured

Molluscs in Australia. Act colloque 9: 207-216.

MIYAZAKI, T.; K. GOTO; T. KOBAYASHI; T. KAGEYAMA and M. MIYATA 1999. Mass Mortalities Associated with a Virus Diseases in Japanese Pearl Oyster

Pinctada fucata martensii. Dis. Aquat. Org 37: 1-12.

MOHAMMAD, M. 1976. Relationship Between Biofouling and Growth of The Pearl Oyster Pinctada fucata (Gould) in Kuwait, Arabian Gulf. J. Hidrobiol 51: 129-138.

NORTON, J.H.; M.A. SHEPHERD and H.C. PRIOR 1993. Papovavirus-like infection of the golden-lipped pearl oyster,

Pinctada maxima, from the Torres Strait,

Australia. J. Invertebr. Pathol. 62: 198-200.

STANCZAK, M. 2004. Biofouling : It’s Not Just

Barnacles Anymore.

www.csa.com/discoverguides/biofoul/ overview.php.(akses pada tanggal 20 Agustus 2006).

SUTAMAN 1993. Tiram Mutiara: Teknik

Budidaya dan Proses Pembuatan Mutiara. Kanisius: 93 pp.

TOMARU,Y.; Z. KAWABATA and S. NAKANO 2001. Mass Mortality of The Japanese Pearl Oyster Pinctada fucata

martensii in Relation to Water

Temperature, Chlorophyll a and Phytoplankton Composition. J. Disease

of Aquatic Organism. 44: 61-68.

TUN, T. 2000. A Review of Mass Mortalities in Pearl Oyster. SPC Pearl Oyster

Information Bulletin 14: 17-20.

zooxanthella dapat tumbuh di perairan dengan temperatur dingin, atau di perairan yang dalam.

Naiknya temperatur walaupun hanya satu atau dua derajat saja dapat mempengaruhi konsentrasi zooxanthella di dalam jaringan karang. Bila kenaikan temperatur terlalu tinggi, jaringan karang akan mengerut, dan zooxanthella akan keluar ke air laut. Dengan demikian pada jenis yang mengandung zooxanthella tidak ada proses fotosintesis dan lama kelamaan karang akan mati. Dengan keluarnya zooxanthella, pigmen pada karang akan hilang dan koloni karang menjadi berwarna putih. Proses ini disebut sebagai “coral bleaching”. Populasi karang lunak menjadi berkurang pada waktu terjadi proses “bleaching” besar-besaran pada tahun 1998, dan kesempatan untuk bertahan hidup pada waktu itu bervariasi pada masing-masing jenis.

Bagi koloni dari suku Xeniidae lebih banyak yang mati dibandingkan dengan koloni dari suku Nephtheidae. Kedua suku ini lebih sensitif jika dibandingkan dengan suku Alcyoniidae yang masih dapat bertahan terhadap turun naiknya temperatur. Tekstur tubuh yang lebih tebal dan kompak menyebabkan koloni Alcyoniidae lebih dapat bertahan hidup. Tingkat sensitifitas terhadap peristiwa “bleaching” pada karang lunak belum banyak diketahui. Suku Alcyoniidae dapat bertahan beberapa minggu sampai beberapa bulan, sedangkan suku Xeniidae hanya beberapa hari kemudian mati. Anggota suku Alcyoniidae, jenis Sinularia flexibilis bertahan selama dua bulan, membagi koloninya menjadi fragmen-fragmen kecil kemudian mati (Gambar 2C). Kematian beberapa jenis karang lunak akibat naiknya temperatur dan terjadi “bleaching” ditunjukkan dalam Gambar 2.

Gambar 2A. Koloni Sarcophyton sp. yang mati akibat “bleaching” pada kedalaman 10 meter (FABRICIUS & ALDERSLADE, 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Apakah moadalitas TENS dan William Fleksi on Exercise berpengaruh terhadap pengurangan nyeri pada kasus ischialgia karena spondylosis?, 2) Apakah modalitas TENS dan

PLB Sesudah menggunakan PLB Waktu pengiriman Nilai Persediaan Biaya Administrasi Permasalahan Dukungan yang

(1.14) Setelah gas melewati lead chamber kemudian dimasukkan ke dalam reaktor yang disebut menara Guy-Lussac di mana mereka dicuci dengan didinginkan asam pekat

Langkah-langkah yang diperlukan yaitu input data, melakukan analisis yang meliputi menentukan jumlah kelas pada variabel respon, menentukan nilai sigma

Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayahNya pada hari ini kita dapat hadir dalam acara Konsultasi Publik Rencana

Mencermati RPJMD provinsi seluruh Indonesia yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah, terdapat berbagai prioritas dan sasaran pembangunan daerah provinsi yang

Untuk mencapai tujuan tersebut maka berikut adalah pokok-pokok kebijakan kependudukan yang diterapkan Kabupaten Sleman dalam beberapa tahun ke depan sesuai dengan

Peran rumah singgah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi anak jalanan cukup baik, terdapat program seperti penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan yang bekerja