• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Pengaturan Mengenai Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha (KPBU) dalam

Dalam dokumen 53 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS (Halaman 40-77)

B. Analisis Penulis

1. Konstruksi Pengaturan Mengenai Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha (KPBU) dalam

Pembangunan Infrastruktur

Keterlibatan pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum pada satu sisi memberikan manfaat bagi masyarakat, akan tetapi pada sisi yang lain keterlibatan pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan tetap beroientasi pada keuntungan. Ada dua pilihan terkait dengan keterlibatan swasta dalam pembangunan untuk kepentingan umum yaitu:

a. swasta diberikan peluang untuk mendapatkan tanah dari masyarakat dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati;

93

b. swasta diberikan peluang untuk terlibat dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum melalui mekanisme kerja sama pemerintah dan swasta dalam pelaksanaan pembangunan.

Pada dasarnya peran pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan adalah untuk mensejahterakan masyarakat, pembangunan yang berhubungan dengan kepentingan umum pada mulanya hanya menjadi peran dan kewajiban pemerintah, namun praktik yang terbaik yang terjadi di beberapa negara yang sudah berhasil pembangunan infrastrukturnya, pemerintah mengajak peran swasta yang dikenal dengan public privat partnership.

Perjanjian kerjasama pemerintah dengan swasta pada dasarnya mengacu pada syarat-syarat perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak adanya kecakapan untuk melakukan

94

perbuatan hukum, adanya objek tertentu dan adanya causa yang diperkenankan oleh undang-undang (halal).1 Kerjasama pemerintah dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum mengacu pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku, yaitu prinsip proporsional, prinsip itikad baik dan prinsip transparansi.

a) Prinsip Proporsional

Prinsip proporsional, berarti seluruh badan usaha yang ikut serta dalam proses pengadaan harus memperoleh perlakukan yang sama secara proporsional, dan tidak ada diskriminasi. Makna prinsip proporsional erat kaitannya dengan makna filosofis keadilan.241 Hal ini dapat ditelusuri mengenai makna keadilan menurut para filosof misalnya Aristoteles yang menyatakan,”juctice treating equals equality and unequally, in proportion to the their inequality”. Prinsip in

1 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 24

95

beranjak dari asumsi untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama secara proporsional. Petter Mahmud Marzuki sebagaimana dikutip Agus Yudha Hernoko menyebut asas proporsionalitas dengan istilah “equibility contract” dengan unsur justice serta fairness. Makna equibilty menunjukkan hubungan yang setara, tidak berat sebelah dan adil, artinya hubungan kontraktual pada dasarnya berlangsung secara proporsional dan wajar. Makna asas proposional dapat diartikan sebagai asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proposrsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual.2

Asas proporsional mengandaikan pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase prakontraktual, pembentukan kontrak maupun

2 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.87

96

pelaksanaan kontrak.3 Pada dasarnya asas proporsional merupakan perwujudan doktrin keadilan berkontrak yang mengoreksi dominasi atas kebebasan berkontrak. Perwujudan keadilan berkontrak ditentukan melalui dua pendekatan yaitu, pendekatan prosedural dan pendekatan subtantive.

Pendekatan prosedural menitikberatkan pada persoalan kebebasan berkontrak, sedangkan pendekatan substantive menekankan pada kandungan atau subtansi serta pelaksanaan kontrak.

Kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menemukan asas proporsional dalam kontrak adalah sebagai berikut:

1) Kontrak yang bersubtansi asas proporsional adalah kontrak yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka, kesamaan

3 Ibid.

97

bukan pada kesamaan hasil melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan kesetaraan kedudukan dan hak (prinsip kesamaan hak/kesetaraan).

2) Berlandaskan pada kesamaan/kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubtansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan subtansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan).

3) Kontrak yang bersubtansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu memimpin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, dalam kontek ini dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda. Dalam hal ini, maka prinsip

98

distribusi proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu pertukaran yang fair (prinsip distribusi proporsional).

4) Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian, berat ringanya kadar kesalahan maupun hal-hal lain terkait harus diukur berdasarkan asas proporsional untuk memperoleh hasi penyelesaian yang elegan dan win-win solution.4

Suatu hubungan kontraktual melahirkan kewajiban di antara para pihak. Kewajiban itu dapat bersifat positif dan negatif. Kewajiban yang bersifat positif pada dasarnya merupakan kewajiban untuk melakukan sesuatu, sedangkan yang bersifat negative adalah kewajiban untuk mematuhi larangan.

Prinsip proporsional relevan untuk menilai kelayakan pembagian beban kewajiban, dengan

4 Ibid, hlm. 88-89

99

prinsip ini para pihak dianggap mempunyai kewajiban yang proporsional satu sama lain. Dalam skala yang lebih luas, prinsip proporsional dapat diterapkan untuk mengukur keseimbangan keseluruhan beban kewajiban yang terdapat dalam hubungan kontraktual.5 Dalam kaitannya dengan kerjasama pemerintah dengan swasta dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, penyedia barang dan jasa juga harus memperhatikan prinsip proporsional ini.

Fungsi prinsip proporsional dalam proses pembentukan kontrak maupun dalam pelaksanaan kontrak dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Dalam tahap pra kontrak, azas proporsional membuka peluang negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban secara fair.

5 Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, (Yogyakarta: LaksBang, 2009), hlm. 49.

100

2) Dalam pembentukan kontrak, azas proporsional menjamin kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan/mengatur proporsi hak dan kewajiban para pihak berlangsung secara fair.

3) Dalam pelaksanaan kontrak, azas proporsional menjamin terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang disepakati/dibebankan pada para pihak.

4) Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus dinilai secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental (fundamental breach) sehingga menggannggu pelaksanaan sebagian besar kontra atau sekedar hal-hal yang sederhana/kesalahan kecil (minor important).

5) Dalam hal terjadi sengketa kontrak, azas proporsional menekankan bahwa proporsi

101

beban pembuktian kepada para pihak harus dibagi menurut pertimbangan yang fair.6

b) Prinsip Itikad Baik

Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum juga harus didasari adanya itikad baik. Makna itikad baik sendiri tidak dijelaskan dalam undang-undang, Pasal 1338 ayat (3) BW hanya mengatur bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Wirjono Projodikoro memberikan pengertian itikad baik dengan istilah dengan jujur atau secara jujur.253 Pasal 1338 ayat (3) BW yang mengatur bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, maksudnya perjanjian itu harus dilaksanakan

6 Moch Isnaeni, Perkembangan Hukum Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: LeksBang, 2013), hlm. 38

102

menurut kepatutan dan keadilan.7 Pada dasarnya itikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu:

1) Itikad baik pada waktu mulainya berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik di sini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang ddiperlukan bagi dimulainya hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam kontek ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedang bagi pihak yang beritikad tidak baik (te kwader trouw) harus bertanggung jawab dan menanggung resiko. Itikad semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1977 (1) BW dan Pasal 1963 BW, di mana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak mak milik atas barang melalui daluarsa.

2) Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub

7 Agus Yudha, Op. Cit., hlm.134

103

dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 (3) BW adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat itikad baik di sini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan suatu hal.8

Prinsip itikad baik ini merupakan suatu hal yang sangat esensial dalam pelaksanaan perjanjian.

Timbulnya sengketa pada suatu perjanjian, biasanya juga bermula dari itikad baik para pihak dalam melaksanakan perjanjian yang mereka buat bersama.

Amanat yang diberikan Pasal 1338 (3) BW telah tegas menentukan bahwa para pihak dituntut kejujurannya untuk melaksanakan perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya dengan itikad baik.

Demikian pula dalam perjanjian kerjasama antara

8 Ibid, hlm.137

104

pemerintah dengan badan usaha swasta dalam pelaksanaan pembangunan juga dituntut adanya itikad baik antara pemerintah dengan pihak swasta, tidak adanya itikad baik dalam membuat perjanjian kerjasama akan menyebabkan konflik atau sengketa.

c) Prinsip Transparansi

Prinsip transparansi, berarti semua ketentuan dan informasi yang berkaitan dengan penyediaan infrastruktur termasuk syarat teknis administrasi pemilihan, tata cara evaluasi, dan penetapan badan usaha bersifat terbuka bagi seluruh badan usaha serta masyarakat umumnya. Dengan prinsip transparansi diharapkan terdapat kemudahan bagi publik dalam mengakses perundang-undangan dan jenis dokumen hukum lain yang terkait dengan pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan swasta dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

105

Ruang lingkup kewajiban yang lahir dari penerapan prinsip transparansi meliputi dua hal yaitu isi (substantive) dan prosedur (procedure).9 Kewajiban-kewajiban yang bersifat substantive itu adalah keharusan badan-badan pemerintah menerapkan prinsip the most favour nation (MFN) dan treatment dalam kontrak pengadaan barang dan jasa. Tujuannya adalah untuk mencegah adanya prefensi bagi pemasok dan kontraktor domestik.

Kewajiban prosedural meliputi prosedur yang bersifat terbuka, selektif maupun terbatas harus dilakukan secara terbuka dan transparan dan memberi kesempatan bagi seluruh peserta yang berminat; transparansi dalam post aware information; dan penyediaan prosedur upaya hukum bagi pemasok dan kontraktor domestik maupun

9 Yohanes Sogar Simanora, Hukum Perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang daan Jasa oleh Pemerintah, (Yogyakarta: LaksBang, 2009), hlm.47

106

asing terkait dengan kontrak yang melanggar hukum.10

Prinsip transparansi pada hakikatnya dipergunakan sebagai mekanisme perlindungan bagi pemasok dari tindakan diskriminasi pada tahap pra kontrak. Dengan demikian prinsip transparansi ini bekerja terutama pada tahap menuju pembentukan kontrak. Namun demikian tidak berarti pada tahap selanjutnya prinsip ini kehilangan fungsinya. Dalam kontrak kerjasama pemerintah dengan pihak swasta prinsip transparansi dapat digunakan sebagai upaya untuk melakukan kontrol terhadap pembentukan dan pelaksanaan kontrak dan sekaligus sebagai sarana perlindungan.

Erat kaitannya dengan prinsip transparansi adalah prinsip akuntabilitas. Prinsip akuntabilitas berarti, dalam pelaksanaan pembangunan harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun

10 Ibid, hlm.48

107

manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang dan jasa.11 Dengan demikian tiap kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta harus didasari oleh prinsip itikad baik, prinsip proporsional, dan prinsip transparansi.

Contoh perjanjian para pihak yang membuat perjanjian yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan PT Penjamin Infrastruktur Indonesia. Pihak-pihak yang bertanda tangan dalam perjanjian tersebut yaitu Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwantto, M.Sc., dalam jabatannya selaku Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (sebagai Pihak Pertama) dan Armand Hermawan, dalam jabatannya selaku Direktur Utama yang berwewenang bertindak untuk dan

11 Ibid.

108

atas nama PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (Persero) (sebagai pihak Kedua).

Para pihak yang bertanda tangan didalam perjanjian sudah memiliki legalitas yang jelas. Pihak pertama bertindak sebagai Plt. Direktur berdasarkan Surat Perintah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 06/SPRIN/M/2018 dan Surat Keputusan Nomor 344.1/KPTS/M/2018 tentang Pendelegasian Wewenang Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha pada Kegiatan Preservasi Jalan Lintas Timur Sumatera dengan Skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha-Ketersediaan Layanan/Availability Payment (KPBU-AP). Sedangkan pihak Kedua bertindak sebagai Direktur Utama berdasarkan Akta Notaris Nomor 29, tanggal 30 Desember 2009 yang dibuat oleh Lolani Kurniati Irdham – Idroes SH LLM, Notaris di Jakarta, yang telah disahkan berdasarkan SK MENKUMHAM No AHU -0444.AH.01.01. Tahun 2010 tanggal 27 Januari 2010

109

sebagaimana telah dirubah terakhir dengan AKta Notaris Nomor 36, tanggal 11 April 2017 yang dibuat oleh Arry SUpratno, SH, Notaris di Jakarta, yang telah disahkan berdasarkan SK MENKUMHAM No. AHU – AH.01.03.0134272 tanggal 8 Mei 2017.

Para pihak dalam perjanjian tersebut bersepakat untuk menuangkan pelaksanaan fasilitas penyiapan proyek dan pendampingan Transaksi Proyek KPBU Proyek Preservasi Jalan Lintas Timur Sumatera di Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Selatan dalam suatu perjanjian.

Berdasarkan contoh perjanjian di atas, dapat disimpulkan bahwa isi dari perjanjian tersebut memnuat tentang:

a. Rencana Kerja

b. Kegiatan dan Hasil Keluaran c. Penyelesaian Hasil Keluaran

110

d. Hak dan Kewajiban, yang mengatur hak dan kewajiban pihak pertama; hak dan kewajiban pihak kedua.

e. Pelaksanaan Pekerjaan f. Standar Pelaksana Fasilitas g. Penyebaran Informasi

h. Pemanfaatan Dokumen dan Kerahasiaan i. Pemisahan

j. Penundaan, Pengakhiran, dan Pemutusan Fasilitas k. Jangka Waktu Perjanjian

l. Keadaan Kahar (Force Majeure)

m. Hukum Yang Berlaku dan Penyelesaian Perselisihan n. Amandemen dan Adendum

o. Pemberitahuan p. Pengalihan q. Keterpisahan

Perjanjian tersebut diatur dan ditafsirkan sesuai dengan hukum Negara Republik Indonesia. Para Pihak dengan ini menatakan dan menjamin bahwa setiap

111

ketentuan dalam perjanjian ini dibuat sesuai dengan hukum yang berlaku serta sah dan bebas dari tuntutan pihak manapun. Apabila terjadi ketidaksesuaian atau perselisihan antara Pihak Kesatu dan Pihak Kedua terhadap segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini, maka Para Pihak berusaha menyelesaikan ketidaksesuaian atau prselisihan tersebut dengan cara musyawarah. Apabila Para Pihak gagal mencapai penyelesaian secara musyawarah dalam waktu 14 (empat belas ) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya musyawarah, maka ketidaksesuaian atau perselisihan tersebut akan diselesaikan dan diputus oleh badan arbitrase menurut peraturan perundang-peraturan administrasi dan peraturan-peraturan prosedur arbitrase, yang keputusannya mengikat para pihak yang bersengketa sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir.

Isi perjanjian yang termuat dalam perjanjian tersebut sudah dengan jelas mengatur pihak terjamin dan

112

penjamin, hak dan kewajiban para pihak, penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan, objek yang menjadi isi perjanjian, dll. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan penyediaan insfrastruktur sudah diatur dengan terang dan jelas didalam isi perjanjian.

2. Model Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Pembangunan Infrastruktur

Keterbatasan APBN dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 menyebabkan adanya selisih pendanaan (funding gap) yang harus dipenuhi. Untuk mengatasi itu, Pemerintah dituntut untuk menggunakan beberpa alternatif pendanaan, salah satunya mengunakan skema kerjasama pembangunan yang melibatkan pihak swasta12

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah

12 https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/11824/Mengenal- Kerjasama-Pemerintah-dengan-Badan-Usaha-KPBU-Skema-Public-Private-Partnership-PPP-di-Indonesia.html, diakses pada tanggal 26 November 2022 pukul 22.07 WIB

113

dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Sejak Perpres ini diluncurkan kerjasama yang sebelumnya dikenal dengan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) selanjutnya disebut KPBU. Lembaga-lembaga yang berperan langsung dalam pelaksanaan KPBU antara lain Kementerian PPN/BAPPENAS sebagai koordinator KPBU, Kementerian Keuangan melalui DJPPR dalam memberikan Dukungan Pemerintah dan Jaminan Pemerintah, dan Kementerian/Lembaga/Daerah/BUMN/BUMD sebagai PJPK. Selain itu untuk mempercepat tahapan KPBU juga dibentuk lembaga-lembaga pendukung, seperti Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) yang diganti menjadi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang dapat berperan sebagai Badan Penyiapan dalam pendampingan dan/atau pembiayaan kepada PJPK, dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) sebagai instrumen

114

penjaminan pembangunan infrastruktur. Selain lembaga-lembaga tersebut, terdapat organisasi kelembaga-lembagaan yang wajib dibentuk dalam pelaksanaan KPBU. Antara lain Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) yaitu Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah sebagai PJPK sektor infrastruktur yang menjadi tanggung jawab Kementerian/Lembaga/Daerah-nya, apabila dalam perundang-undangan diatur KPBU diselenggarakan oleh BUMN/BUMD, maka BUMN/BUMD tersebut yang akan bertindak selaku PJPK. Simpul KPBU dibentuk oleh PJPK bertugas dalam setiap tahapan KPBU dan melekat pada unit kerja yang sudah ada di lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah.13

Panitia Pengadaan dibentuk untuk pengadaan Badan Usaha Pelaksana. Badan Penyiapan adalah Badan Usaha/institusi/organisasi nasional atau internasional, yang melakukan pendampingan dan/atau pembiayaan kepada PJPK dalam tahap penyiapan hingga tahap

13 Ibid.

115

transaksi KPBU. dan Badan Usaha Pelaksana yaitu Perseroan Terbatas yang didirikan oleh Badan Usaha pemenang lelang atau yang telah ditunjuk secara langsung. Tingginya resiko dan tidak layaknya proyek secara finansial menjadi hambatan utama dalam KPBU, untuk itu Pemerintah memberikan fasilitas-fasiitas dalam KPBU berupa Dukungan Pemerintah, Jaminan Pemerintah, pembayaran atas layanan, dan Insentif Perpajakan. Dikarenakan banyak proyek KPBU tidak layak secara finansial namun layak secara ekonomi, oleh karena itu Pemerintah dapat memberikan dukungan berupa Viability Gap Fund (VGF).14

VGF adalah dana yang diberikan Pemerintah pada proyek KPBU guna meningkatkan kelayakan finansial sebuah proyek yang biasanya digunakan dalam pembangunan. Dukungan berupa VGF dapat menurunkan biaya konstruksi sebuah proyek infrastruktur sehingga tingkat pengembalian investasi

14 Ibid.

116

semakin tinggi. Dukungan VGF diajukan PJPK kepada Menteri Keuangan untuk dikaji, disetujui dan dialokasikan. Sedangkan Jaminan Pemerintah adalah kompensasi finansial yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada Badan Usaha Pelaksana melalui skema pembagian risiko. Dalam rangka menyediakan jaminan, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Usaha penjaminan infrastruktur yaitu PT Penjaminan Infrastuktur Indonesia (Persero) atau PT PII yang memiliki tugas khusus di bidang penjaminan proyek-proyek infrastuktur. KPBU dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu perencanaan, penyiapan, dan transaksi.15

Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (“KPBU”) adalah skema penyediaan infrastruktur publik yang melibatkan peran pihak swasta. PPP pertama kali diatur dalam Peraturan Presiden 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Peraturan tersebut diperbaharui dengan disahkannya Perpres No. 38 Tahun

15 Ibid.

117

2015 tentang KPBU (“Perpres 38/2015”). Dalam skema KPBU, pemerintah dan swasta dapat berbagi tanggung jawab dan risiko. Pihak pemerintah akan merencanakan pembangunan infrastruktur publik. Sedangkan, peran pihak swasta adalah menyediakan dan mengelola infrastruktur publik selama jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Bantuan dari pihak swasta dapat menekan pengeluaran APBN maupun APBD dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur. Sehingga pemerintah dapat memanfaatkan APBN maupun APBD untuk menjalankan program lain yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Kelebihan lain dari skema KPBU ini adalah pihak swasta dipandang memiliki sumber daya yang berkualitas dan mumpuni sehingga dapat mewujudkan pembangunan infrastruktur yang efektif dan efisien. Hal unik yang perlu diketahui dalam skema KPBU adalah pihak swasta akan mendirikan Perseroan

118

Terbatas yang memang hanya bertujuan untuk melaksanakan proyek.16

Ternyata tidak semua proyek pembangunan dapat dilakukan dengan skema PPP. Berdasarkan Pasal 5 Perpres 38/2015, infrastruktur yang dapat dilakukan kerjasama dengan swasta berdasarkan skema PPP adalah infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial yang mencakup:17

a. transportasi, b. jalan,

c. sumber daya air dan irigasi, d. air minum,

e. sistem pengelolaan limbah terpusat, f. sistem pengelolaan air limbah setempat, g. sistem pengelolaan persampahan, h. telekomunikasi dan informatika, i. ketenagalistrikan,

j. minyak dan gas bumi dan energi terbarukan, k. konservasi energi

l. fasilitas perkotaan

16 https://smartlegal.id/smarticle/layanan/2019/01/07/apa-itu-skema-public-private-partnership/, diakses pada tanggal 26 November 2022 pukul 23.22 WIB

17 Ibid.

119 m. fasilitas Pendidikan

n. fasilitas sarana dan prasarana olahraga serta kesenian

o. Kawasan p. Pariwisata q. Kesehatan

r. Lembaga pemasyarakatan s. Perumahan rakyat

Melihat banyaknya sektor infrastruktur yang dapat didirikan dengan KPBU, penting untuk mengetahui tahap-tahap dalam menjalankan skema ini. Berdasarkan Perpres 38/2015 yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan KPBU, tahap-tahapannya terdiri dari:18

a. Tahap Perencanaan oleh pemerintah untuk mengidentifikasi, mengkalkulasikan anggaran, dan mengkategorikan proyek infrastruktur yang dapat direalisasikan dengan skema Public Privat

18 Ibid.

120

Partnership (PPP). Hasil dari tahap ini adalah PPP Book yang berisi daftar rencana proyek PPP setiap tahunnya.

b. Tahap Penyiapan oleh pemerintah untuk mengkaji kesiapan dan kelayakan proyek yang sudah direncanakan. Kajian juga dilengkapi dengan rencana dukungan pemerintah, tata cara pengembalian investasi ke swasta, dan pengadaan tanah untuk lokasi proyek. Seluruh rangkaian tahap ini akan menghasilkan dokumen pra-studi kelayakan.

c. Tahap Transaksi yaitu proses pelelangan hingga penandatanganan kontrak kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta sampai dengan dilaksanakannya kegiatan konstruksi. Dengan demikian, skema PPP sejauh ini dapat dipandang sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan APBN dan APBD dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur. Walaupun untuk merealisasikan skema

121

ini di Indonesia tentu tidak mudah. Oleh karena itu, tahapan dalam skema PPP perlu dilakukan dengan matang dan hati-hati.

Munculnya kerjasama yang dilakukan pemerintah dengan swasta dalam pembangunan infrastruktur memunculkan banyaknya kerjasama antara pemerintah dengan swasta, muculnya kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dengan swasta seperti: Desainn dan Bangun (DB); Desain Bangun dan Operasikan (DBO); Bangun, Operasikan dan Transfer (BOT); Bangun, Sewa dan Transfer (BLT); Merancang, Bangun, Keuangan dan Operasikan/Pertahankan (DBFO/M); Membangun, Memiliki dan Mengoperasikan (BOO); dan Beli, Bangun dan Operasikan (BBO). Untuk pembangunan infrastruktur model kerjasama yang sering digunakan adalah model Build Operate Transfer (BOT).19

Kerjasama dengan menggunakan model BOT merupakan model kontrak kerjasama yang melibatkan

19 Ibid, Jurnal Moeh. Yafie Abbas. Public Private Partnershipdalam Pembangunan Dan Pengelolaan Suncity Plaza Sidoarjo.

122

dua pihak yakni pengguna jasa dan penyedia jasa.

Dimana pada umumnya penngguna jasa adalah sektor public, sedang untuk penyediaan jasa adalah sektor swasta. Case studieson Build Operate Transfer, Netherlans menjelaskan bahwa Build Operate Transfer (BOT) merupakan salah satu model kontrak perjanjian yang digunakan pemerintah untuk pengalihan proyek pemerintahan ke sektor private dengan jangka waktu tertentu. Dimana sektor private dapat mendesain, membangun dan mengoprasikan fasilitas yang telah dibangun tersebut, dan setelah masa konsesi habis segala fasilitas yang telah dibangun tersebut akan dialihkan atau di transferkan kepada pemerintah. Proyek infrastruktur dengan menggunakan model BOT ini dianggap paling efektif.20

Karena dengan minimnya dana yang dimiliki pemerintah, pelaksanaan pembangunan tetap berjalan dengan bantuan investor yaitu pihak swasta tanpa

20 Ibid.

123

kehilangan aset daerah. Pasalnya aset daerah yang digunakan investor untuk membangun infrastruktur nantiya akan kembali lagi kepada pemerintah. Peraturan kerjasama atau kemitraan di Indonesia sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan, yang menjelaskan bahwa keitraan merupakan kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menegah dan atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menegah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat saling menguntungkan.21

Kerjasama dengan menggunakan model BOT juga telah diatur oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomer 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah, yang menjelaskan bahwa BOT atau Bangun Serah Guna adalah Pemanfaatan Negara atau daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara

21 Ibid.

Dalam dokumen 53 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS (Halaman 40-77)

Dokumen terkait