• Tidak ada hasil yang ditemukan

53 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "53 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

53 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Hasil Penelitian

1. Konstruksi pengaturan mengenai kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) dalam pembangunan infrastruktur

a. Pengaturan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur berdasarkan Perpres Nomor 38 Tahun 2015

Sehubungan dengan pentingnya ketersedian infrastruktur bagi pencapaian target pemerintah sementara disisi lain sumber pembiayaan dari pemerintah terbatas maka diperlukan keterlibatan swasta dalam penyediaan infrastruktur tersebut.

Keterlibatan swasta dalam penyediaan infrasturktur dibawahi dalam bentuk kerjasama antara pemerintah dengan badan usaha, kerjasama tersebut menurut Perpres No. 38 tahun 2015 dilaksanakan dalam

(2)

54

rangka untuk menyediakan infrastruktur untuk kepentingan umum.

Infrastruktur adalah fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik. Penyediaan Infrastruktur adalah kegiatan yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur dan/atau kegiatan pengelolaan infrastruktur dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur.

Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha yang selanjutnya disebut sebagai KPBU adalah kerjasama antara pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah

(3)

55

ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas, badan hukum asing, atau koperasi. Badan Usaha Pelaksana KPBU, yang selanjutnya disebut dengan Badan Usaha Pelaksana, adalah Perseroan Terbatas yang didirikan oleh Badan Usaha pemenang lelang atau ditunjuk langsung.

Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dilakukan melalui skema KPBU berdasarkan ketentuan dan tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini.

Berdasarkan Pasal 3, KPBU dilakukan dengan tujuan untuk:

(4)

56

1) Mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan dalam Penyediaan Infrastruktur melalui pengerahan dana swasta;

2) Mewujudkan Penyediaan Infrastruktur yang berkualitas, efektif, efisien, tepat sasaran, dan tepat waktu;

3) Menciptakan iklim investasi yang mendorong keikutsertaan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur berdasarkan prinsip usaha secara sehat;

4) Mendorong digunakannya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan kemampuan membayar pengguna; dan/atau

5) Memberikan kepastian pengembalian investasi Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur melalui mekanisme pembayaran secara berkala oleh pemerintah kepada Badan Usaha.

(5)

57

Infrastruktur yang dapat dikerjasamakan berdasarkan Peraturan Presiden ini adalah infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial.

Infrastruktur yang dapat dikerjasamakan berdasarkan peraturan pemerintah dan sebagainya adalah infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial yang menurut Pasal 5 ayat (2) jenis infrastrukturnya meliputi: infrastruktur traspotasi, infrastruktur jalan, infrastruktursumber daya air dan irigasi, infrastruktur air minum, infrastruktur sistem penglolaan air limbah terpusat, infrastruktur sistem pengelolaan air limbah setempat, infrastruktur sistem pengelolaan persampahan, infrastruktur telekomunikasi dan informatika, infrastruktur ketenagalistrikan, infrastruktur minyak dan gas bumi dan energi terbarukan, infrastruktur konservasi energi, infrastruktur fasilitas perkotaan, infrastruktur fasilitas pendidikan, infrastruktur fasilitas sarana dan prasana olahraga, serta kesenian, infrastruktur

(6)

58

kawasan, infrastruktur pariwisata, infrastruktur kesehatan, infrastruktur lembaga pemasyarakatan, dan infrastruktur perumahan rakyat.

Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dapat bertindak sebagai PJPK, sepanjang diatur dalam peraturan perundang- undangan sektor. Dalam hal Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah menjadi PJPK, KPBU dilaksanakan melalui perjanjian dengan Badan Usaha Pelaksana.

Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (selanjutnya disebut PJPK) menetapkan bentuk pengembalian investasi yang meliputi penutupan biaya modal, biaya operasional, dan keuntungan Badan Usaha Pelaksana. Pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana atas Penyediaan Infrastruktur bersumber dari:

1) pembayaran oleh pengguna dalam bentuk tarif;

(7)

59

2) Pembayaran Ketersediaan Layanan (Availability Payment); dan/atau

3) bentuk lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Penyediaan Infrastruktur yang dapat diprakarsai Badan Usaha adalah yang memenuhi kriteria sebagai berkut:

1) terintegrasi secara teknis dengan rencana induk pada sektor yang bersangkutan;

2) layak secara ekonomi dan finansial; dan

3) Badan Usaha yang mengajukan prakarsa memiliki kemampuan keuangan yang memadai untuk membiayai pelaksanaan Penyediaan Infrastruktur.

Penyediaan Infrastruktur yang dapat diprakarsai Badan Usaha adalah yang memenuhi kriteria sebagai berkut:

1) terintegrasi secara teknis dengan rencana induk pada sektor yang bersangkutan;

(8)

60

2) layak secara ekonomi dan finansial; dan

3) Badan Usaha yang mengajukan prakarsa memiliki kemampuan keuangan yang memadai untuk membiayai pelaksanaan Penyediaan Infrastruktur.

Badan Usaha pemrakarsa KPBU dapat diberikan alternatif kompensasi sebagai berikut:

1) pemberian tambahan nilai sebesar 10% (sepuluh per seratus);

2) pemberian hak untuk melakukan penawaran oleh Badan Usaha pemrakarsa terhadap penawar terbaik (right to match), sesuai dengan hasil penilaian dalam proses pelelangan; atau 3) pembelian prakarsa KPBU, antara lain hak

kekayaan intelektual yang menyertainya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah atau oleh pemenang lelang.

Pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana ditetapkan bersumber dari Pembayaran atas

(9)

61

Ketersediaan Layanan, PJPK menganggarkan dana Pembayaran Ketersediaan Layanan untuk Penyediaan Infrastruktur yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelaksana pada masa operasi selama jangka waktu yang diatur dalam Perjanjian Kerja Sama.

Penganggaran dana Pembayaran Ketersediaan Layanan dilakukan dengan memperhitungkan biaya modal, biaya operasional, dan/atau keuntungan Badan Usaha Pelaksana.

PJPK dapat membiayai sebagian Penyediaan Infrastruktur. Penyediaan Infrastuktur dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelaksana. Pemilihan Badan Usaha Pelaksana dilakukan melalui pengadaan Badan Usaha Pelaksana sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini.

Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah mengidentifikasi Penyediaan Infrastruktur yang akan dikerjasamakan dengan Badan Usaha.

(10)

62

Identifikasi Penyediaan Infrastruktur dilakukan dengan mempertimbangkan paling kurang:

1) kesesuaian dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan rencana strategis sektor infrastruktur;

2) kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah;

3) keterkaitan antar sektor infrastruktur dan antar wilayah;

4) analisa biaya manfaat dan sosial; dan

5) analisa nilai manfaat uang (Value for Money).

Dalam melakukan identifikasi KPBU, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah melakukan konsultasi publik. Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah melakukan penyiapan KPBU, yang menghasilkan paling kurang:

1) Prastudi kelayakan;

(11)

63

2) Rencana Dukungan Pemerintah dan Jaminan Pemerintah;

3) penetapan tata cara pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana; dan

4) pengadaan tanah untuk KPBU.

Biaya penyiapan KPBU yang dapat dibebankan kepada Badan Usaha pemenang lelang meliputi:

1) biaya penyiapan prastudi kelayakan;

2) biaya transaksi;

3) imbalan terhadap Badan Usaha dan lembaga/institusi/organisasi internasional pelaksana penyiapan yang dibayarkan berdasarkan keberhasilan transaksi KPBU (success fee); dan

4) biaya lain yang sah.

b. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur

(12)

64

Peraturan ini dibuat dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, dipandang perlu mengambil langkah-langkah yang komprehensif guna menciptakan iklim investasi untuk mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur berdasarkan prinsip usaha secara sehat dan mendorong dan meningkatkan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dan jasa pelayanan terkait, perlu pengaturan guna melindungi dan mengamankan kepentingan konsumen, masyarakat, dan badan usaha secara adil.

Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dapat bekerjasama dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dan bertindak selaku penanggung jawab proyek kerjasama. Dalam hal peraturan perundang-undangan mengenai sektor infrastruktur yang bersangkutan menyatakan bahwa Penyediaan Infrastruktur oleh Pemerintah

(13)

65

diselenggarakan atau dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, maka Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah tersebut bertindak selaku penanggung jawab Proyek Kerjasama.

Ketentuan yang mengatur mengenai tugas dan kewenangan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dalam Peraturan Presiden ini, berlaku pula bagi Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kecuali tugas dan kewenangan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah yang bersifat publik yang tidak dapat dilimpahkan.

Badan Usaha dapat mengajukan prakarsa Proyek Kerjasama Penyediaan Infrastruktur kepada Menteri/Kepala Lembaga/ Kepala Daerah dengan kriteria sebagai berikut:

1) tidak termasuk dalam rencana induk pada sektor yang bersangkutan;

(14)

66

2) terintegrasikan secara teknis dengan rencana induk pada sektor yang bersangkutan;

3) layak secara ekonomi dan finansial; dan

4) tidak memerlukan Dukungan Pemerintah yang berbentuk kontribusi fiskal.”

Badan Usaha yang bertindak sebagai pemrakarsa Proyek Kerjasama dan telah disetujui oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah, akan diberikan kompensasi yang berbentuk:

1) pemberian tambahan nilai; atau

2) pemberian hak untuk melakukan penawaran oleh Badan Usaha pemrakarsa terhadap penawar terbaik (right to match) sesuai dengan hasil penilaian dalam proses pelelangan; atau 3) pembelian prakarsa Proyek Kerjasama termasuk

hak kekayaan intelektual yang menyertainya oleh Menteri/ Kepala Lembaga/Kepala Daerah atau oleh pemenang lelang.

(15)

67

Pemrakarsa Proyek Kerjasama yang telah mendapatkan persetujuan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah pada poin 1) dan 2) tetap wajib mengikuti penawaran sebagaimana disyaratkan dalam dokumen pelelangan umum.

Sedangkan Pemrakarsa Proyek Kerjasama yang telah mendapatkan persetujuan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada poin 3) tidak diperkenankan mengikuti penawaran sebagaimana disyaratkan dalam dokumen pelelangan umum.

c. Pengaturan Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur berdasarkan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor 4 Tahun 2015

Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi koordinasi, sinkronisasi, penyiapan perumusan kebijakan, pemantauan dan evaluasi, serta

(16)

68

pelaksanaan hubungan kerja dalam perencanaan pembangunan nasional, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional perlu mengambil langkah- langkah percepatan penyediaan infrastruktur melalui kerjasama pemerintah dan badan usaha.

Berdasarkan amanat Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, Pemerintah mendorong partisipasi Badan Usaha swasta, masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam pelayanan dan penyelenggaraan Infrastruktur.

Tata Cara Pelaksanaan KPBU yang selanjutnya disebut Panduan Umum adalah pedoman mengenai tata cara pelaksanaan kerjasama yang menjadi acuan bagi penanggung jawab proyek kerjasama dan pemangku kepentingan dalam pelaksanaan KPBU berdasarkan perjanjian KPBU. KPBU dilaksanakan dalam tahap, sebagai berikut:

(17)

69 1) Perencanaan KPBU

Tahap perencanaan KPBU terdiri atas kegiatan- kegiatan:

a) penyusunan rencana anggaran dana KPBU;

b) identifikasi dan penetapan KPBU;

c) penganggaran dana tahap perencanaan KPBU;

d) pengambilan keputusan lanjut/tidak lanjut rencana KPBU;

e) penyusunan Daftar Rencana KPBU; dan f) pengkategorian KPBU.

2) Penyiapan KPBU

Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/direksi Badan Usaha Milik Negara/direksi Badan Usaha Milik Daerah bertindak sebagai PJPK dalam tahap penyiapan KPBU. Penyiapan KPBU terdiri atas kegiatan- kegiatan:

(18)

70

a) penyiapan Prastudi Kelayakan termasuk kajian pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana;

b) pengajuan Dukungan Pemerintah dan/atau Jaminan Pemerintah; dan

c) pengajuan penetapan lokasi KPBU.

Penyiapan KPBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menghasilkan, antara lain:

a) prastudi kelayakan;

b) rencana Dukungan Pemerintah dan/atau Jaminan Pemerintah;

c) penetapan tata cara pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana; dan

d) pengadaan tanah untuk KPBU.

3) Transaksi KPBU

Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/direksi Badan Usaha Milik Negara/direksi Badan Usaha Milik Daerah bertindak sebagai PJPK dalam tahap transaksi KPBU. Tahap transaksi KPBU terdiri atas kegiatan-kegiatan:

(19)

71

a) Penjajakan Minat Pasar (Market Sounding);

b) penetapan lokasi KPBU;

c) pengadaan Badan Usaha Pelaksana yang mencakup persiapan dan pelaksanaan pengadaan Badan Usaha Pelaksana;

d) penandatanganan perjanjian KPBU; dan e) pemenuhan pembiayaan (financial close).

Badan Usaha dapat memprakarsai KPBU.

Prakarsa dapat dilakukan pada jenis Infrastruktur yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang- undangan. Dalam hal KPBU merupakan kerjasama atas prakarsa Badan Usaha, Badan Usaha pemrakarsa mempersiapkan dokumen kajian lingkungan hidup.

d. Kontruksi pengaturan tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional

Kepentingan pencapaian program prioritas sebagaimana tertuang dalam NAWACITA

(20)

72

Pemerintah telah menetapkan Perpres No. 3 Tahun 2016, Perpres ini telah diubah dengan Perpres No.

58 Tahun 2017. Menurut Pasal 1 angka 1 Perpres No.3 Tahun 2016 yang dimakasud dengan proyek Strategis Nasional adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.

Proyek tersebut dicantumkan terakhir dalam lampiran Perpres No. 3 tahun 2016.

Pengaturan dalam Perpres No. 3 tahun 2016 pada intinya berkaitan dengan 2 hal, yaitu: (1) Pengaturan untuk mempercepat penyelesaian pembangunan preyek strategis nasional; dan (2) Mengamankan pelaksanaan pembangunan proyek strategis nasional. Upaya untuk mempercepat pembangunan proyek strategis nasional meliputi

(21)

73

upaya-upaya untuk menyederhanakan dan percepatan perizinan dan non perizinan, misal penentuan minimal izin agar proyek yang didapat dimulai (Pasal 14 ), mempersingkat jangka waktu izin (pasal 7 dan 15 ayat 3), penghapusan dan penyatuan tertentu (Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 11), penerapan sanksi terhadap pejabat pemerintah yang terlambat memberikan pelayanan izin (Pasal 12), dan sebagainya.

Penyesuain tata ruang apabila lokasi proyek strategis nasional tidak sesuai dengan rencana teta ruang (Pasal 19), dukungan pengadaan tanah (Pasal 22), menjamin pemerintah (Pasal 25) dan perintah meakukan dekresi (Pasal 28 dan Pasal 29), serta mendahulukan proses administrasi apabila terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan proyek strategis nasional.

(22)

74

e. Konstruksi pengaturan tentang penjaminan infrastruktur berdasarnkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.08/2016

Penjaminan Infrastruktur adalah pemberian jaminan atas kewajiban finansial PJPK untuk membayar kompensasi kepada Badan Usaha saat terjadi risiko infrastruktur sesuai dengan alokasi yang disepakati dalam perjanjian KPBU yang menjadi tanggung jawab PJPK. Penjaminan infrastruktur dilaksanakan oleh PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) sebagai single window policy. Apabila cakupan kebutuhan penjaminan melewati kapasitas PT PII, maka akan dilakukan penjaminan bersama antara Kementerian Keuangan dengan PT PII.

Tujuan dari adanya penjaminan infrastruktur adalah mendukung kesuksesan perolehan pembiayaan serta potensi perbaikan tenor, bunga, atau syarat pembiayaan, menjamin kinerja PJPK

(23)

75

selaku mitra badan usaha dalam perjanjian KPBU, dan meningkatkan keyakinan serta memberikan kenyamanan berinvestasi kepada investor dan perbankan.

Menteri Keuangan dapat ikut serta dalam penjaminan infrastruktur atas proyek yang memenuhi kriteria untuk dijamin dalam kondisi:

1) Kekayaan yang dimiliki PT PII tidak mencukupi untuk melakukan penjaminan sesuai usulan penjaminan, namun penjaminan tersebut berdasarkan hasil evaluasi PT PII perlu dilakukan untuk mencapai tujuan penjaminan infrastruktur;

2) Tidak terdapat kerja sama PT PII dengan lembaga multilateral maupun pihak lainnya yang mempunyai maksud dan tujuan sejenis, atau dalam hal terdapat kerja sama, fasilitas yang tersedia tidak mencukupi, tidak memadai

(24)

76

atau tidak sesuai untuk mendukung pelaksanaan penjaminan oleh PT PII; atau

3) Upaya untuk memenuhi kecukupan kekayaan PT PII belum dapat dilakukan sedangkan pengadaan badan usaha sudah tidak dapat ditunda lagi pelaksanaannya.

4) Mekanisme regres tidak berlaku dalam Penjaminan Pemerintah di mana Kementerian/Lembaga menjadi PJPK.

2. Model Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Pembangunan Infrastruktur

Pelaksanaan Public Privat Partnership (PPP) dilakukan diantaranya berdasarkan prinsip: adil, terbuka, transparan, dan bersaing. Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan transparansi dan persaingan maka akan mendapatkan manfaat yang dapat diraih. Adapun model kerjasama dalam PPP adalah sebagai berikut:

a. Build, Operate, Transfer (BOT) atau Build, Transfer, Operate (BTO)

(25)

77

Bentuk ini merupakan bentuk kerjasama PPP dimana pihak swasta membangun fasilitas sesuai dengan perjanjian tertentu dengan pemerintah, mengoperasikan selama periode tertentu berdasarkan kontrak, dan kemudian mengembalikan fasilitas tersebut kepada pemerintah. Pada banyak kasus yang lain, swasta selalu menyediakan sebagian atau seluruh dana pembiayaan pembangunannya sehingga pada periode kontrak harus sesuai dengan perhitungan dalam pengembalian investasi melalui pengguna fasilitas tersebut. Pada akhir kontrak, pihak pemerintah dapat menilai tanggung jawab pengoperasian, memperpanjang masa kontrak dengan pihak yang sama, atau mencari pihak (swasta) baru sebagai mitra untuk mengoperasikan atau memelihara. BTO hampir sama dengan BOT.

Perbedaannya terletak pada waktu pengembalian atau penyerahan fasilitas. Kalau BOT

(26)

78

dari pihak swasta mengembalikan setelah memiliki dalam jangka waktu tertentu, sebaliknya, pada BTO, pihak swasta menyerahkan fasilitas kepada pemerintah setelah proyek pembangunan selesai.

b. Build, Own, Operate (BOO)

BOO merupakan bentuk kerjasama PPP dimana konstraktor swasta membangun dan mengoperasikan fasilitas tanpa harus mengembalikan kepemilikan kepada pemerintah.

Dengan kata lain, dari pemerintah menyerahkan hak dan tanggung jawabnya atas suatu prasarana publik kepada mitra privat untuk membiayai, membangun, memiliki dan mengoperasikan suatu prasarana publik baru tersebut selama-lamanya. Transaksi BOO dapat berstatus bebas pajak apabila semua persyaratan kantor pajak terpenuhi.

c. Buy, Build, Operate (BBO)

BBO merupakan sebuah bentuk penjualan aset yang mencakup proses rehabilitasi atau pengembangan dari fasilitas yang sudah ada.

(27)

79

Pemerintah menjual asset kepada swasta dan kemudian swasta melakukan upaya peningkatan yang dibutuhkan fasilitas tersebut untuk menghasilkan keuntungan dengan mekanisme yang menguntungkan pula.

d. Contract Services

1) Operations and Maintanance

Mitra publik (pemerintah negara bagian, badan- badan/instansi pemerintah lokal) melakukan kontrak/perjanjian kerjasama dengan swasta untuk menyediakan dan/atau memelihara jasa atau layanan tertentu. Berdasarkan pada pilihan operasi dan pemeliharaan yang telah diberikan kepada swasta, mitra publik mempertahankan kepemilikan dan seluruh manajemen fasilitas umum atau sistem.

2) Operations, Maintanance, Management

Mitra publik melakukan kontak kerjasama dengan swasta untuk mengoperasikan,

(28)

80

memelihara, dan mengelola fasilitas atau sistem untuk meningkatkan pelayanan. Berdasarkan kontrak/perjanjian ini, mitra publik mempertahankan kepemilikan tetapi pihak swasta boleh menginvestasikan modalnya pada fasilitas atau sistem tersebut. Swasta manapun sangat berhatihati dalam memperhitungkan investasi pada setiap kerjasama dengan sistem operasional yang efisien dan tabungan selama waktu kontrak. Dengan kontrak yang rata-rata lebih lama, pihak swasta memiliki kesempatan besar untuk memperoleh keuntungan dan pengembalian yang sesuai. Pemerintah di Amerika Serikat biasanya menggunakan bentuk kerjasama ini untuk pelayanan perawatan sampah cair.

e. Design, Build (DB)

DB merupakan bentuk kerjasama dimana pihak swasta menyediakan desain dan membangun sesuai

(29)

81

desain proyek yang memenuhi persyaratan yang standard dan kinerja yang dibutuhkan yang ditetapkan oleh pemerintah. Bentuk kerjasama ini dapat menghemat waktu, dana, jaminan yang lebih jelas, dan membebankan risiko tambahan kepada swasta. Selain itu bentuk ini juga dapat mengurangi konflik karena pembagian tanggung jawab yang jelas dan sederhana.

f. Design, Build, Maintain (DBM)

Bentuk DBM merupakan bentuk kerjasama yang hampir sama dengan DB dengan pengecualian pada pemeliharaan fasilitasnya selama beberapa waktu dalam perjanjian menjadi tanggung jawab pihak swasta. Keuntungan juga hampir sama dengan DB dengan risiko selama pemeliharaan dibebankan kepada mitra swasta ditambah dengan garansi selama periode pemeliharaan juga oleh swasta.

g. Design, Build, Operate (DBO)

(30)

82

DBO merupakan bentuk kerjasama dimana kontrak tunggal diberikan untuk mendesain, membangun, dan mengoperasikan. Kepemilikan fasilitas dipertahankan untuk sektor publik kecuali jika proyek tersebut berupa design, build, operate, transfer atau design, build, own, operate. Metode kontrak kerjasama ini sangat berbeda dengan pendekatan yang biasanya digunakan di Amerika Serikat. Metode ini melibatkan satu kontrak dengan seorang arsitek atau insinyur, diikuti dengan kontrak yang berbeda dengan pemborong, kemudian diikuti pengambil-alihan oleh pemilik dan mengoperasikannya.

h. Concession

Konsesi memberikan peluang tanggung jawab yang lebih besar kepada privat tidak hanya untuk mengoperasikan dan memelihara aset tersebut namun juga berinvestasi. Kepemilikan aset masih berada ditangan pemerintah, tetapi keseluruhan hak

(31)

83

guna berada ditangan privat hingga berakhirnya kontak (biasanya 25-30 tahun). Konsesi biasanya ditawarkan melalui lelang dengan penawaran terendah akan keluar sebagai pemenang. Konsesi diatur dengan kontrak yang mencakup kondisi seperti target kinerja (kualitas), standar kinerja, perjanjian investasi modal, mekanisme penyelarasan tarif, dan penyelesaian arbritase atau peselisihan yang berpotensi muncul. Keuntungan bentuk konsesi adalah seluruh pengelolaan dan investasi dilakukan oleh private untuk tujuan efisiensi.

Konsesi sesuai untuk menarik investasi dalam skala besar.

i. Enhanced Use Leasing (EUL)

EUL di Amerika merupakan pengelolaan aset- aset pada Departemen Urusan Veteran (Veterans Affairs-VA) yang meliputi beberapa perjanjian sewa- menyewa (seperti lease, develop, operate, atau build, develop, operate). EUL juga memungkinkan

(32)

84

pada departemen ini mengontrol sewa properti dalam jangka panjang dengan pihak swasta atau instansi pemerintah untuk keperluan di luar Departemen Urusan Veteran.

j. Lease, Develop, Operate (LDO) atau Build, Develop, Operate (BDO)

LDO atau BDO merupakan kerjasama swasta menyewa atau membeli prasarana publik dari pemerintah, dan mengembangkannya serta melengkapinya, lalu mengoperasikan berdasarkan kontrak dalam waktu tertentu. Selama kontrak berlangsung, pihak swasta dapat mengembangkan prasarana yang ada dan mengoperasikannya sesuai dengan perjanjian kontrak.

k. Lease/Purchase

Bentuk kerjasama ini terjadi ketika pemerintah membuat kontrak dengan swasta untuk merancang dan membiayai serta membangun prasarana publik, tetapi setelah selesai dibangun prasarana tersebut

(33)

85

menjadi milik pemerintah. Lalu pihak swasta tersebut menyewa prasarana tersebut kepada pemerintah untuk dioperasikan dalam periode waktu tersebut sesuai dengan perjanjian. Berdasarkan perjanjian ini pengoperasian fasilitas dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (pemerintah- swasta) selama masa sewa. Lease/purchase sudah digunakan pada General Service Administration pada pembangunan gedung kantor pemerintah negara bagian dan pembangun gedung-gedung penjara di Amerika Serikat.

l. Sale/Leaseback

Sale/leaseback merupakan bentuk kerjasama pengaturan keuangan dimana pemilik fasilitas menjual kepada pihak lain, dan setelah itu menyewa kembali dari pemilik baru tersebut. Baik pemerintah maupun swasta dibolehkan ikut masuk didalam pengaturan sale/leaseback meskipun dengan banyak pertimbangan. Inovasi penggunaan bentuk

(34)

86

kerjasama ini adalah penjualan fasilitas umum kepada sektor publik atau perusahaan swasta dengan pertimbangan pembatasan kewajiban dari pemerintah. Berdasarkan dari kesepakatan tersebut, pemerintah yang menjual fasilitas menyewanya kembali dan melanjutkan pengoperasiannya.

m. Tax, Exempt Lease/Turnkey

Turnkey merupakan bentuk kerjasama dimana pemerintah membiyai suatu proyek dan pihak swasta melaksanakan perancangan, pembangunan dan pengoperasian dalam waktu yang telah disepakati bersama. Persyaratan standard dan untuk Kinerja ditetapkan oleh pemerintah dan kepemilikan tetap ditangan pemerintah.

Model-model kerjasama PPP di atas dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya dengan kriteria-kriteria sebagai berikut:

a. Kepemilikan aset. Kepemilikan aset merupakan hak atas kepemilikan terhadap aset yang dikerjasamakan, apakah aset itu berada ditangan

(35)

87

pemerintah atau swasta, selama jangka waktu tertentu. Semakin besar keterlibatan pihak swasta dalam kepemilikan aset maka akan semakin menarik minat mereka bekerjasama/berinvestasi.

Kepemilikan aset dapat dibedakan apakah menjadi milik pemerintah, milik swasta, atau milik pemerintah dan swasta (kepemilikan bersama).

b. Operasional dan pengelolaan asset. Operasional dan pengelolaan aset merupakan kriteria yang mengindentifikasikan pendelegasian tanggung jawab untuk mengelola aset yang dikerjasamakan selama kurun waktu tertentu. Pihak yang mengelola berpeluang untuk memperoleh pendapatan dari aset kerjasama. Operasional dan kepemilikan aset dapat dibedakan menjadi tanggung jawab pemerintah, swasta, atau tanggung jawab bersama.

c. Investasi modal atau penanam modal. Investasi modal merupakan kriteria berkaitan dengan siapa yang akan menanamkan modal tersebut pada aset yang akan dikerjasamakan. Investasi modal dapat dibedakan menjadi investasi pemerintah, swasta, atau investasi dengan modal bersama.

d. Resiko-resiko yang akan terjadi. Risiko komersial merupakan kriteria yang berhubungan siapa yang akan dibebani dengan risiko-risiko komersial

(36)

88

tersebut yang nanti akan muncul selama pembangunan dan pengelolaan aset yang dikerjasamakan. Risiko komersial yang akan terjadi dapat dibebankan kepada pemerintah, swasta, atau menjadi beban bersama.

e. Durasi kerjasama merupakan kriteria yang berkaitan dengan jangka waktu kerjasama yang disepakati.

Semakin lama jangka waktu kerjasama akan memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembalian. Durasi kerjasama dapat dibedakan menjadi jangka pendek, jangka menengah, atau jangka.

Model kerjasama yang dijalankan oleh Indonesia saat ini mengacu pada model kerjasama BOT. Dapat kita lihat perbandingan pemilihan model BOT dalam melaksanakan perjanjian kerjasama. Kerjasama menggunakan model BOT pada umumnya akan mendapatkan manfaat yang akan dirasakan oleh kedua belah pihak yaitu dengan adanya keuntungan yang di dapatkan, keuntungan tersebut antara lain:

a. Keuntungan bagi Pemerintah

(37)

89

1) Pemerintah dapat mengurangi penggunaan dana APBN dan mengurangi jumlah pinjaman (baik pinjaman lunak maupun pinjaman komersil).

2) Menggunakan kerjasama model BOT akan memberikan keuntungan akan membrikan keuntungan finansial maupun administrative.

Pemerintah tidak harus mengadakan studi kelayakan. Proyek dibiayai dan dilaksanakan oleh dan atas resiko dari pihak lain, dari segi mutu juga dapat diandalkan.

3) Pembiayaan dengan model kerjasama BOT tidak menimbulkan utang bagi Pemerintah, Pemerintah lebih bisa memimalisist rugi yang jika proyek pembangunannya dilaksanakan dengan menggunakan dana APBN.

4) Pada masa akhir pengelolaan atau berakhirnya masa kontrak kerjasama, segala bentuk bangunan beserta fasilitas yang ada diserahkan kepada Pemerintah dan dapat dimanfaatkan kembali oleh Pemerintah.

5) Membuka lapangan pekerjaan baru, hal tersebut tidak akan terjadi dan peluangnya sangat minim jika proyek pembangunan infrastruktur tidak dibiayai menggunakan model kerjasama BOT.

(38)

90

6) Mempercepat proses transfer of technology, hal tersebut akan akan semakin dirasakan jika investor berasal dari negara maju.

b. Keuntungan bagi Swasta

1) Diterapkannya model kerjasama menggunakan model BOT dapat membuka kesempatan kepada investor untuk memasuki bidang-bidang usaha yang semula hanya diberikan kepada atau dikelola Pemerintah atau BUMN.

2) Sector swasta dapat memperluas usaha atau ekspansi ke bidang-bidang usaha yang mempunyai prospek bagus dan menguntungkan.

3) Sector swasta dapat memanfaatkan lahan-lahan milik Pemerintah yang letaknya strategis dan mempunyai nilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan.

Kerjasama dengan model BOT di Indonesia telah di atur dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah, yang menjelaskan bahwa BOT atau Bangun Serah Guna adalah pemanfaatan negara atau daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan

(39)

91

bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.

Kemitraan dengan model BOT ini pada umumnya dilakukan pada jangka waktu yang cukup lama, sehinggga pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut harus benar-benar menguasai tentang tata cara perjanjian dengan model BOT. Dengan mempertimbangkan faktor ekonomi, politik, sosial dan juga budaya masyarakat setempat juga sangat mempengaruhi keberlangsungan proses pelaksanaan kemitraan dengan model BOT.

Proyek infrastruktur dengan menggunakan model BOT ini dianggap paling efektif. Karena dengan minimnya dana yang dimiliki oleh pemerintah, pelaksanaan pembangunan tetap berjalan dengan bantuan investor yaitu pihak swasta tanpa kehilangan

(40)

92

aset daerah. Pasalnya asset daerah yang dikelola oleh pihak swasta tersebut setelah masa konsesi berakhir akan diserahkan kembali kepada pemerintah daerah.

B. Analisis Penulis

1. Konstruksi Pengaturan Mengenai Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Pembangunan Infrastruktur

Keterlibatan pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum pada satu sisi memberikan manfaat bagi masyarakat, akan tetapi pada sisi yang lain keterlibatan pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan tetap beroientasi pada keuntungan. Ada dua pilihan terkait dengan keterlibatan swasta dalam pembangunan untuk kepentingan umum yaitu:

a. swasta diberikan peluang untuk mendapatkan tanah dari masyarakat dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati;

(41)

93

b. swasta diberikan peluang untuk terlibat dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum melalui mekanisme kerja sama pemerintah dan swasta dalam pelaksanaan pembangunan.

Pada dasarnya peran pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan adalah untuk mensejahterakan masyarakat, pembangunan yang berhubungan dengan kepentingan umum pada mulanya hanya menjadi peran dan kewajiban pemerintah, namun praktik yang terbaik yang terjadi di beberapa negara yang sudah berhasil pembangunan infrastrukturnya, pemerintah mengajak peran swasta yang dikenal dengan public privat partnership.

Perjanjian kerjasama pemerintah dengan swasta pada dasarnya mengacu pada syarat-syarat perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak adanya kecakapan untuk melakukan

(42)

94

perbuatan hukum, adanya objek tertentu dan adanya causa yang diperkenankan oleh undang-undang (halal).1 Kerjasama pemerintah dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum mengacu pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku, yaitu prinsip proporsional, prinsip itikad baik dan prinsip transparansi.

a) Prinsip Proporsional

Prinsip proporsional, berarti seluruh badan usaha yang ikut serta dalam proses pengadaan harus memperoleh perlakukan yang sama secara proporsional, dan tidak ada diskriminasi. Makna prinsip proporsional erat kaitannya dengan makna filosofis keadilan.241 Hal ini dapat ditelusuri mengenai makna keadilan menurut para filosof misalnya Aristoteles yang menyatakan,”juctice treating equals equality and unequally, in proportion to the their inequality”. Prinsip in

1 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 24

(43)

95

beranjak dari asumsi untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama secara proporsional. Petter Mahmud Marzuki sebagaimana dikutip Agus Yudha Hernoko menyebut asas proporsionalitas dengan istilah “equibility contract” dengan unsur justice serta fairness. Makna equibilty menunjukkan hubungan yang setara, tidak berat sebelah dan adil, artinya hubungan kontraktual pada dasarnya berlangsung secara proporsional dan wajar. Makna asas proposional dapat diartikan sebagai asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proposrsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual.2

Asas proporsional mengandaikan pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase prakontraktual, pembentukan kontrak maupun

2 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.87

(44)

96

pelaksanaan kontrak.3 Pada dasarnya asas proporsional merupakan perwujudan doktrin keadilan berkontrak yang mengoreksi dominasi atas kebebasan berkontrak. Perwujudan keadilan berkontrak ditentukan melalui dua pendekatan yaitu, pendekatan prosedural dan pendekatan subtantive.

Pendekatan prosedural menitikberatkan pada persoalan kebebasan berkontrak, sedangkan pendekatan substantive menekankan pada kandungan atau subtansi serta pelaksanaan kontrak.

Kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menemukan asas proporsional dalam kontrak adalah sebagai berikut:

1) Kontrak yang bersubtansi asas proporsional adalah kontrak yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka, kesamaan

3 Ibid.

(45)

97

bukan pada kesamaan hasil melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan kesetaraan kedudukan dan hak (prinsip kesamaan hak/kesetaraan).

2) Berlandaskan pada kesamaan/kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubtansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan subtansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan).

3) Kontrak yang bersubtansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu memimpin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, dalam kontek ini dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda. Dalam hal ini, maka prinsip

(46)

98

distribusi proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu pertukaran yang fair (prinsip distribusi proporsional).

4) Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian, berat ringanya kadar kesalahan maupun hal-hal lain terkait harus diukur berdasarkan asas proporsional untuk memperoleh hasi penyelesaian yang elegan dan win-win solution.4

Suatu hubungan kontraktual melahirkan kewajiban di antara para pihak. Kewajiban itu dapat bersifat positif dan negatif. Kewajiban yang bersifat positif pada dasarnya merupakan kewajiban untuk melakukan sesuatu, sedangkan yang bersifat negative adalah kewajiban untuk mematuhi larangan.

Prinsip proporsional relevan untuk menilai kelayakan pembagian beban kewajiban, dengan

4 Ibid, hlm. 88-89

(47)

99

prinsip ini para pihak dianggap mempunyai kewajiban yang proporsional satu sama lain. Dalam skala yang lebih luas, prinsip proporsional dapat diterapkan untuk mengukur keseimbangan keseluruhan beban kewajiban yang terdapat dalam hubungan kontraktual.5 Dalam kaitannya dengan kerjasama pemerintah dengan swasta dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, penyedia barang dan jasa juga harus memperhatikan prinsip proporsional ini.

Fungsi prinsip proporsional dalam proses pembentukan kontrak maupun dalam pelaksanaan kontrak dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Dalam tahap pra kontrak, azas proporsional membuka peluang negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban secara fair.

5 Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, (Yogyakarta: LaksBang, 2009), hlm. 49.

(48)

100

2) Dalam pembentukan kontrak, azas proporsional menjamin kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan/mengatur proporsi hak dan kewajiban para pihak berlangsung secara fair.

3) Dalam pelaksanaan kontrak, azas proporsional menjamin terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang disepakati/dibebankan pada para pihak.

4) Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus dinilai secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental (fundamental breach) sehingga menggannggu pelaksanaan sebagian besar kontra atau sekedar hal-hal yang sederhana/kesalahan kecil (minor important).

5) Dalam hal terjadi sengketa kontrak, azas proporsional menekankan bahwa proporsi

(49)

101

beban pembuktian kepada para pihak harus dibagi menurut pertimbangan yang fair.6

b) Prinsip Itikad Baik

Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum juga harus didasari adanya itikad baik. Makna itikad baik sendiri tidak dijelaskan dalam undang-undang, Pasal 1338 ayat (3) BW hanya mengatur bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Wirjono Projodikoro memberikan pengertian itikad baik dengan istilah dengan jujur atau secara jujur.253 Pasal 1338 ayat (3) BW yang mengatur bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, maksudnya perjanjian itu harus dilaksanakan

6 Moch Isnaeni, Perkembangan Hukum Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: LeksBang, 2013), hlm. 38

(50)

102

menurut kepatutan dan keadilan.7 Pada dasarnya itikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu:

1) Itikad baik pada waktu mulainya berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik di sini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang ddiperlukan bagi dimulainya hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam kontek ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedang bagi pihak yang beritikad tidak baik (te kwader trouw) harus bertanggung jawab dan menanggung resiko. Itikad semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1977 (1) BW dan Pasal 1963 BW, di mana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak mak milik atas barang melalui daluarsa.

2) Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub

7 Agus Yudha, Op. Cit., hlm.134

(51)

103

dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 (3) BW adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat itikad baik di sini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan suatu hal.8

Prinsip itikad baik ini merupakan suatu hal yang sangat esensial dalam pelaksanaan perjanjian.

Timbulnya sengketa pada suatu perjanjian, biasanya juga bermula dari itikad baik para pihak dalam melaksanakan perjanjian yang mereka buat bersama.

Amanat yang diberikan Pasal 1338 (3) BW telah tegas menentukan bahwa para pihak dituntut kejujurannya untuk melaksanakan perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya dengan itikad baik.

Demikian pula dalam perjanjian kerjasama antara

8 Ibid, hlm.137

(52)

104

pemerintah dengan badan usaha swasta dalam pelaksanaan pembangunan juga dituntut adanya itikad baik antara pemerintah dengan pihak swasta, tidak adanya itikad baik dalam membuat perjanjian kerjasama akan menyebabkan konflik atau sengketa.

c) Prinsip Transparansi

Prinsip transparansi, berarti semua ketentuan dan informasi yang berkaitan dengan penyediaan infrastruktur termasuk syarat teknis administrasi pemilihan, tata cara evaluasi, dan penetapan badan usaha bersifat terbuka bagi seluruh badan usaha serta masyarakat umumnya. Dengan prinsip transparansi diharapkan terdapat kemudahan bagi publik dalam mengakses perundang-undangan dan jenis dokumen hukum lain yang terkait dengan pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan swasta dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

(53)

105

Ruang lingkup kewajiban yang lahir dari penerapan prinsip transparansi meliputi dua hal yaitu isi (substantive) dan prosedur (procedure).9 Kewajiban-kewajiban yang bersifat substantive itu adalah keharusan badan-badan pemerintah menerapkan prinsip the most favour nation (MFN) dan treatment dalam kontrak pengadaan barang dan jasa. Tujuannya adalah untuk mencegah adanya prefensi bagi pemasok dan kontraktor domestik.

Kewajiban prosedural meliputi prosedur yang bersifat terbuka, selektif maupun terbatas harus dilakukan secara terbuka dan transparan dan memberi kesempatan bagi seluruh peserta yang berminat; transparansi dalam post aware information; dan penyediaan prosedur upaya hukum bagi pemasok dan kontraktor domestik maupun

9 Yohanes Sogar Simanora, Hukum Perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang daan Jasa oleh Pemerintah, (Yogyakarta: LaksBang, 2009), hlm.47

(54)

106

asing terkait dengan kontrak yang melanggar hukum.10

Prinsip transparansi pada hakikatnya dipergunakan sebagai mekanisme perlindungan bagi pemasok dari tindakan diskriminasi pada tahap pra kontrak. Dengan demikian prinsip transparansi ini bekerja terutama pada tahap menuju pembentukan kontrak. Namun demikian tidak berarti pada tahap selanjutnya prinsip ini kehilangan fungsinya. Dalam kontrak kerjasama pemerintah dengan pihak swasta prinsip transparansi dapat digunakan sebagai upaya untuk melakukan kontrol terhadap pembentukan dan pelaksanaan kontrak dan sekaligus sebagai sarana perlindungan.

Erat kaitannya dengan prinsip transparansi adalah prinsip akuntabilitas. Prinsip akuntabilitas berarti, dalam pelaksanaan pembangunan harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun

10 Ibid, hlm.48

(55)

107

manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang dan jasa.11 Dengan demikian tiap kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta harus didasari oleh prinsip itikad baik, prinsip proporsional, dan prinsip transparansi.

Contoh perjanjian para pihak yang membuat perjanjian yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan PT Penjamin Infrastruktur Indonesia. Pihak-pihak yang bertanda tangan dalam perjanjian tersebut yaitu Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwantto, M.Sc., dalam jabatannya selaku Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (sebagai Pihak Pertama) dan Armand Hermawan, dalam jabatannya selaku Direktur Utama yang berwewenang bertindak untuk dan

11 Ibid.

(56)

108

atas nama PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (Persero) (sebagai pihak Kedua).

Para pihak yang bertanda tangan didalam perjanjian sudah memiliki legalitas yang jelas. Pihak pertama bertindak sebagai Plt. Direktur berdasarkan Surat Perintah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 06/SPRIN/M/2018 dan Surat Keputusan Nomor 344.1/KPTS/M/2018 tentang Pendelegasian Wewenang Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha pada Kegiatan Preservasi Jalan Lintas Timur Sumatera dengan Skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha-Ketersediaan Layanan/Availability Payment (KPBU-AP). Sedangkan pihak Kedua bertindak sebagai Direktur Utama berdasarkan Akta Notaris Nomor 29, tanggal 30 Desember 2009 yang dibuat oleh Lolani Kurniati Irdham – Idroes SH LLM, Notaris di Jakarta, yang telah disahkan berdasarkan SK MENKUMHAM No AHU - 0444.AH.01.01. Tahun 2010 tanggal 27 Januari 2010

(57)

109

sebagaimana telah dirubah terakhir dengan AKta Notaris Nomor 36, tanggal 11 April 2017 yang dibuat oleh Arry SUpratno, SH, Notaris di Jakarta, yang telah disahkan berdasarkan SK MENKUMHAM No. AHU – AH.01.03.0134272 tanggal 8 Mei 2017.

Para pihak dalam perjanjian tersebut bersepakat untuk menuangkan pelaksanaan fasilitas penyiapan proyek dan pendampingan Transaksi Proyek KPBU Proyek Preservasi Jalan Lintas Timur Sumatera di Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Selatan dalam suatu perjanjian.

Berdasarkan contoh perjanjian di atas, dapat disimpulkan bahwa isi dari perjanjian tersebut memnuat tentang:

a. Rencana Kerja

b. Kegiatan dan Hasil Keluaran c. Penyelesaian Hasil Keluaran

(58)

110

d. Hak dan Kewajiban, yang mengatur hak dan kewajiban pihak pertama; hak dan kewajiban pihak kedua.

e. Pelaksanaan Pekerjaan f. Standar Pelaksana Fasilitas g. Penyebaran Informasi

h. Pemanfaatan Dokumen dan Kerahasiaan i. Pemisahan

j. Penundaan, Pengakhiran, dan Pemutusan Fasilitas k. Jangka Waktu Perjanjian

l. Keadaan Kahar (Force Majeure)

m. Hukum Yang Berlaku dan Penyelesaian Perselisihan n. Amandemen dan Adendum

o. Pemberitahuan p. Pengalihan q. Keterpisahan

Perjanjian tersebut diatur dan ditafsirkan sesuai dengan hukum Negara Republik Indonesia. Para Pihak dengan ini menatakan dan menjamin bahwa setiap

(59)

111

ketentuan dalam perjanjian ini dibuat sesuai dengan hukum yang berlaku serta sah dan bebas dari tuntutan pihak manapun. Apabila terjadi ketidaksesuaian atau perselisihan antara Pihak Kesatu dan Pihak Kedua terhadap segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini, maka Para Pihak berusaha menyelesaikan ketidaksesuaian atau prselisihan tersebut dengan cara musyawarah. Apabila Para Pihak gagal mencapai penyelesaian secara musyawarah dalam waktu 14 (empat belas ) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya musyawarah, maka ketidaksesuaian atau perselisihan tersebut akan diselesaikan dan diputus oleh badan arbitrase menurut peraturan perundang-peraturan administrasi dan peraturan-peraturan prosedur arbitrase, yang keputusannya mengikat para pihak yang bersengketa sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir.

Isi perjanjian yang termuat dalam perjanjian tersebut sudah dengan jelas mengatur pihak terjamin dan

(60)

112

penjamin, hak dan kewajiban para pihak, penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan, objek yang menjadi isi perjanjian, dll. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan penyediaan insfrastruktur sudah diatur dengan terang dan jelas didalam isi perjanjian.

2. Model Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Pembangunan Infrastruktur

Keterbatasan APBN dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 menyebabkan adanya selisih pendanaan (funding gap) yang harus dipenuhi. Untuk mengatasi itu, Pemerintah dituntut untuk menggunakan beberpa alternatif pendanaan, salah satunya mengunakan skema kerjasama pembangunan yang melibatkan pihak swasta12

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah

12 https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/11824/Mengenal- Kerjasama-Pemerintah-dengan-Badan-Usaha-KPBU-Skema-Public-Private- Partnership-PPP-di-Indonesia.html, diakses pada tanggal 26 November 2022 pukul 22.07 WIB

(61)

113

dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Sejak Perpres ini diluncurkan kerjasama yang sebelumnya dikenal dengan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) selanjutnya disebut KPBU. Lembaga- lembaga yang berperan langsung dalam pelaksanaan KPBU antara lain Kementerian PPN/BAPPENAS sebagai koordinator KPBU, Kementerian Keuangan melalui DJPPR dalam memberikan Dukungan Pemerintah dan Jaminan Pemerintah, dan Kementerian/Lembaga/Daerah/BUMN/BUMD sebagai PJPK. Selain itu untuk mempercepat tahapan KPBU juga dibentuk lembaga-lembaga pendukung, seperti Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) yang diganti menjadi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang dapat berperan sebagai Badan Penyiapan dalam pendampingan dan/atau pembiayaan kepada PJPK, dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) sebagai instrumen

(62)

114

penjaminan pembangunan infrastruktur. Selain lembaga- lembaga tersebut, terdapat organisasi kelembagaan yang wajib dibentuk dalam pelaksanaan KPBU. Antara lain Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) yaitu Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah sebagai PJPK sektor infrastruktur yang menjadi tanggung jawab Kementerian/Lembaga/Daerah-nya, apabila dalam perundang-undangan diatur KPBU diselenggarakan oleh BUMN/BUMD, maka BUMN/BUMD tersebut yang akan bertindak selaku PJPK. Simpul KPBU dibentuk oleh PJPK bertugas dalam setiap tahapan KPBU dan melekat pada unit kerja yang sudah ada di lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah.13

Panitia Pengadaan dibentuk untuk pengadaan Badan Usaha Pelaksana. Badan Penyiapan adalah Badan Usaha/institusi/organisasi nasional atau internasional, yang melakukan pendampingan dan/atau pembiayaan kepada PJPK dalam tahap penyiapan hingga tahap

13 Ibid.

(63)

115

transaksi KPBU. dan Badan Usaha Pelaksana yaitu Perseroan Terbatas yang didirikan oleh Badan Usaha pemenang lelang atau yang telah ditunjuk secara langsung. Tingginya resiko dan tidak layaknya proyek secara finansial menjadi hambatan utama dalam KPBU, untuk itu Pemerintah memberikan fasilitas-fasiitas dalam KPBU berupa Dukungan Pemerintah, Jaminan Pemerintah, pembayaran atas layanan, dan Insentif Perpajakan. Dikarenakan banyak proyek KPBU tidak layak secara finansial namun layak secara ekonomi, oleh karena itu Pemerintah dapat memberikan dukungan berupa Viability Gap Fund (VGF).14

VGF adalah dana yang diberikan Pemerintah pada proyek KPBU guna meningkatkan kelayakan finansial sebuah proyek yang biasanya digunakan dalam pembangunan. Dukungan berupa VGF dapat menurunkan biaya konstruksi sebuah proyek infrastruktur sehingga tingkat pengembalian investasi

14 Ibid.

(64)

116

semakin tinggi. Dukungan VGF diajukan PJPK kepada Menteri Keuangan untuk dikaji, disetujui dan dialokasikan. Sedangkan Jaminan Pemerintah adalah kompensasi finansial yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada Badan Usaha Pelaksana melalui skema pembagian risiko. Dalam rangka menyediakan jaminan, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Usaha penjaminan infrastruktur yaitu PT Penjaminan Infrastuktur Indonesia (Persero) atau PT PII yang memiliki tugas khusus di bidang penjaminan proyek- proyek infrastuktur. KPBU dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu perencanaan, penyiapan, dan transaksi.15

Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (“KPBU”) adalah skema penyediaan infrastruktur publik yang melibatkan peran pihak swasta. PPP pertama kali diatur dalam Peraturan Presiden 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Peraturan tersebut diperbaharui dengan disahkannya Perpres No. 38 Tahun

15 Ibid.

(65)

117

2015 tentang KPBU (“Perpres 38/2015”). Dalam skema KPBU, pemerintah dan swasta dapat berbagi tanggung jawab dan risiko. Pihak pemerintah akan merencanakan pembangunan infrastruktur publik. Sedangkan, peran pihak swasta adalah menyediakan dan mengelola infrastruktur publik selama jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Bantuan dari pihak swasta dapat menekan pengeluaran APBN maupun APBD dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur. Sehingga pemerintah dapat memanfaatkan APBN maupun APBD untuk menjalankan program lain yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Kelebihan lain dari skema KPBU ini adalah pihak swasta dipandang memiliki sumber daya yang berkualitas dan mumpuni sehingga dapat mewujudkan pembangunan infrastruktur yang efektif dan efisien. Hal unik yang perlu diketahui dalam skema KPBU adalah pihak swasta akan mendirikan Perseroan

(66)

118

Terbatas yang memang hanya bertujuan untuk melaksanakan proyek.16

Ternyata tidak semua proyek pembangunan dapat dilakukan dengan skema PPP. Berdasarkan Pasal 5 Perpres 38/2015, infrastruktur yang dapat dilakukan kerjasama dengan swasta berdasarkan skema PPP adalah infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial yang mencakup:17

a. transportasi, b. jalan,

c. sumber daya air dan irigasi, d. air minum,

e. sistem pengelolaan limbah terpusat, f. sistem pengelolaan air limbah setempat, g. sistem pengelolaan persampahan, h. telekomunikasi dan informatika, i. ketenagalistrikan,

j. minyak dan gas bumi dan energi terbarukan, k. konservasi energi

l. fasilitas perkotaan

16 https://smartlegal.id/smarticle/layanan/2019/01/07/apa-itu-skema- public-private-partnership/, diakses pada tanggal 26 November 2022 pukul 23.22 WIB

17 Ibid.

(67)

119 m. fasilitas Pendidikan

n. fasilitas sarana dan prasarana olahraga serta kesenian

o. Kawasan p. Pariwisata q. Kesehatan

r. Lembaga pemasyarakatan s. Perumahan rakyat

Melihat banyaknya sektor infrastruktur yang dapat didirikan dengan KPBU, penting untuk mengetahui tahap-tahap dalam menjalankan skema ini. Berdasarkan Perpres 38/2015 yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan KPBU, tahap- tahapannya terdiri dari:18

a. Tahap Perencanaan oleh pemerintah untuk mengidentifikasi, mengkalkulasikan anggaran, dan mengkategorikan proyek infrastruktur yang dapat direalisasikan dengan skema Public Privat

18 Ibid.

(68)

120

Partnership (PPP). Hasil dari tahap ini adalah PPP Book yang berisi daftar rencana proyek PPP setiap tahunnya.

b. Tahap Penyiapan oleh pemerintah untuk mengkaji kesiapan dan kelayakan proyek yang sudah direncanakan. Kajian juga dilengkapi dengan rencana dukungan pemerintah, tata cara pengembalian investasi ke swasta, dan pengadaan tanah untuk lokasi proyek. Seluruh rangkaian tahap ini akan menghasilkan dokumen pra-studi kelayakan.

c. Tahap Transaksi yaitu proses pelelangan hingga penandatanganan kontrak kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta sampai dengan dilaksanakannya kegiatan konstruksi. Dengan demikian, skema PPP sejauh ini dapat dipandang sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan APBN dan APBD dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur. Walaupun untuk merealisasikan skema

(69)

121

ini di Indonesia tentu tidak mudah. Oleh karena itu, tahapan dalam skema PPP perlu dilakukan dengan matang dan hati-hati.

Munculnya kerjasama yang dilakukan pemerintah dengan swasta dalam pembangunan infrastruktur memunculkan banyaknya kerjasama antara pemerintah dengan swasta, muculnya kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dengan swasta seperti: Desainn dan Bangun (DB); Desain Bangun dan Operasikan (DBO); Bangun, Operasikan dan Transfer (BOT); Bangun, Sewa dan Transfer (BLT); Merancang, Bangun, Keuangan dan Operasikan/Pertahankan (DBFO/M); Membangun, Memiliki dan Mengoperasikan (BOO); dan Beli, Bangun dan Operasikan (BBO). Untuk pembangunan infrastruktur model kerjasama yang sering digunakan adalah model Build Operate Transfer (BOT).19

Kerjasama dengan menggunakan model BOT merupakan model kontrak kerjasama yang melibatkan

19 Ibid, Jurnal Moeh. Yafie Abbas. Public Private Partnershipdalam Pembangunan Dan Pengelolaan Suncity Plaza Sidoarjo.

(70)

122

dua pihak yakni pengguna jasa dan penyedia jasa.

Dimana pada umumnya penngguna jasa adalah sektor public, sedang untuk penyediaan jasa adalah sektor swasta. Case studieson Build Operate Transfer, Netherlans menjelaskan bahwa Build Operate Transfer (BOT) merupakan salah satu model kontrak perjanjian yang digunakan pemerintah untuk pengalihan proyek pemerintahan ke sektor private dengan jangka waktu tertentu. Dimana sektor private dapat mendesain, membangun dan mengoprasikan fasilitas yang telah dibangun tersebut, dan setelah masa konsesi habis segala fasilitas yang telah dibangun tersebut akan dialihkan atau di transferkan kepada pemerintah. Proyek infrastruktur dengan menggunakan model BOT ini dianggap paling efektif.20

Karena dengan minimnya dana yang dimiliki pemerintah, pelaksanaan pembangunan tetap berjalan dengan bantuan investor yaitu pihak swasta tanpa

20 Ibid.

(71)

123

kehilangan aset daerah. Pasalnya aset daerah yang digunakan investor untuk membangun infrastruktur nantiya akan kembali lagi kepada pemerintah. Peraturan kerjasama atau kemitraan di Indonesia sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan, yang menjelaskan bahwa keitraan merupakan kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menegah dan atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menegah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat saling menguntungkan.21

Kerjasama dengan menggunakan model BOT juga telah diatur oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomer 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah, yang menjelaskan bahwa BOT atau Bangun Serah Guna adalah Pemanfaatan Negara atau daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara

21 Ibid.

(72)

124

mendirikan bangunan dan/atau sara berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu yang disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana fasilitas setelah berakhir jangka waktu . Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2015 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur menyebutkan bahwa aturan main yang fair bagi para pihak yang terlibat kerjasama dalam membagi hak dan kewajibannya secara proposional akan mendukung iklim berbisnis yang kondusif. Pengguna jasa sektor publik memberikan kewenangan kepada penyedia jasa atau sektor swasta untuk mendesain, membangun infarstruktur dan mengprasikanya selama waktu tertentu dan penyedia jasa akan menyerahkan kepada pengguna jasa bila waktu kontraknya sudah habis.22

22 Ibid.

(73)

125

Oleh sebab itu BOT dapat dimaknai sebagai model kontrak kerjasama untuk mengembangkan proyek- proyek infrastruktur yang meliputi sarana dan prasarana yang berfungsi untuk kepentingan mayarakat dengan menggunakan perencanan dan pendanaan dari swasta Akan tetapi pada kenyataan dalam pelaksanaan dengan menggunakan kontrak tidak semudah yang ada dalam paparan. Seringkali permasalahan-permasalah muncul pada perjanjian kerjasama yang menggunakan model BOT. Maka dari itu perlu adanya perlu perencanaan yang matang agar proyek tersebut dapat berjalan sesuai rencana dan memberikan keuntungan kepada masing- masing pihak. Prediksi untuk kemungkinan adanya kendala-kendala maupun kerugian harus dipersiapkan dengan strategi khusus.23

Didalam pelaksanaan Public Private Partnership ada beberapa tahapan dalam pelaksanaan perjanjian yang

23 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dilakukan untuk menghindari pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara

Hal ini sesuai dengan pernyataan Smith (da- lam Amir, 2009), Problem Based Learning meru- pakan suatu metode yang dalam proses pembela- jarannya bermanfaat untuk meningkatkan

XNA adalah sebuah game engine dari microsoft yang dipakai untuk membuat game 3D atau 2D pada konsol XBOX.. Lisensi engine ini gratis, tapi tidak untuk

Seiring dengan perkembangan yang sangat cepat dalam digital economy, pemerintah secara bersamaan mencoba menerapkan suatu teknologi yang diasumsikan akan merubah pola

Penelitian ini di fokuskan pada remaja yang menggunakan smartphone , untuk itulah peneliti akan membahas mengenai pemanfaatan penggunaan smartphone baik bersifat

Berdasarkan gambar diatas menunjukkan distribusi frekuensi penyakit TB di Puskesmas Sukabumi jumlah kasus TB dari tahun 2010 sampai 2014 di Puskesmas Sukabumi

Tulisan ini membahas pengaturan tindak pidana terorisme dalam dunia maya berdasarkan hukum internasional serta membahas upaya harmonisasi pengaturan hukum nasional

Kecepatan karyawan melayani keluhan (X3.3) adalah respon cepat yang ditunjukkan oleh karyawan terhadap keluhan nasabah pada PT.. Bank OCBC NISP