• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum tidak gagap pada bio teknologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum tidak gagap pada bio teknologi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Atas kertas diskusi yang disampaikan oleh Konphalindo, kiranya pendapat yang dapat saya sampaikan sebagai berikut:

HUKUM (TIDAK) GAGAP PADA TEKNOLOGI

Bioteknologi kita fahumi bersama sebagai sebuah industri masa depan yang dinilai dapat memberikan keuntungan yang berlimpah bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi memiliki dampak negatif jika tidak dibatasi oleh peraturan-peraturan yang bersifat sebagai sebuah kekuatan penyeimbang. Di satu sisi, perkembangan teknologi ini sudah sedemikian pesatnya, sementara di sisi lain, masyarakat kita secara umum pun “buta” terhadap yang namanya produk bioteknologi.

Dalam bidang pangan semisalnya, terlihat gap yang sangat timpang antara pemahaman masyarakat dengan perkembangan produk pangan hasil rekayasa genetika. Sebagai contoh untuk hal paling simple yang diperhatikan konsumen dalam membeli suatu produk adalah label pangannya. Informasi terpenting yang dibaca konsumen dari label adalah expiry date – itupun tidak semua konsumen cukup peka dan peduli terhadap hal tersebut. Keberadaan informasi pada label yang ada saat ini belum cukup dan juga informasi keberadaan ingridien atau bahan pembuat maupun kandungan nutrisi yang diperoleh dari proses bioteknologi, belum menjadi perhatian bagi masyarakat. Satu contoh mendasar tersebut menunjukkan bahwa aspek hukum yang terkait dengan food safety jika dirunut lebih jauh akan memiliki jejaring keterkaitan yang sangat luas.

Dalam kaitannya dengan regulasi Indonesia, beberapa aspek hukum yang ada dan perlu kita perhatikan di antaranya sebagai berikut:

a. Konsep Legal dan Kerangka Hukum yang Belum Memadai

Aspek hukum terkait bioteknologi secara keseluruhan bisa jadi akan sangat ambigu dalam penerapannya. Baik pada penentuan hukumnya maupun dalam penerapan fakta hukum yang ada bisa jadi akan sangat sulit. Konsep legal terkait bioteknologi terdiri atas tiga konsep dasar yaitu: Perlindungan Hukum, Pengaturan Hukum (Regulasi), dan Pertanggungjawaban Hukumnya.

Pertama, dalam hal perlindungan hukum, kita perlu fokuskan pembicaraan pada perlindungan atas hak kekayaan intelektual (paten, merek, hak cipta, rahasia dagang, disain industri, dan perlindungan varietas tanaman) maupun aplikasinya. Peraturan mengenai hal ini di Indonesia terhitung cukup memadai, terlebih fakta bahwa keseluruhan aturan yang ada terkait hak kekayaan intelektual sudah diselaraskan dengan ketentuan dalam TRIPs-WTO. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten contohnya, telah mengadopsi secara penuh ketentuan yang dipersyaratkan dalam TRIPs Agreement.

(2)

nanoteknologi. Disamping itu diperlukan pula sistem penilaian permohonan paten dari lintas bidang keilmuan yang menyeluruh dan teliti. Inipun masih pada level awal, persoalan lanjutan adalah pada proteksi pasca pendaftaran yang wajib dipenuhi oleh Negara. Isu ini tentu saja perlu untuk dibahas tersendiri, terlebih saat ini rerata ilmuwan yang aktif dalam bidang bioteknologi dan nanoteknologi memiliki preferensi lebih terhadap negara lain sebagai tempat tujuan pendaftaran patennya daripada di Negeri sendiri.

Selain itu, isu krusial yang terkait dengan perlindungan kekayaan intelektual dalam bioteknologi adalah permasalahan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pada dasarnya keberadaan hukum persaingan usaha adalah untuk mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat (fair competition) dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong para pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya. Persaingan usaha yang sehat merupakan salah satu kunci sukses bagi sistem ekonomi pasar yang wajar, hal ini dapat diimplementasikan dalam 2 (dua) hal yaitu melalui penegakan hukum persaingan, dan kebijakan pemerintah yang kondusif terhadap perkembangan sektor ekonomi.

Dalam dunia usaha sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang kurang adil terhadap pihak yang ekonomi dan sosialnya lemah, dimana hal tersebut dijadikan suatu dalil persaingan yang sehat . Suatu persaingan usaha memang dapat membantu meningkatkan kualitas produk barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, sehingga dapat didapatkan harga yang terjangkau bagi konsumen. persaingan usaha dapat dianggap sebagai katalisator menju perkembangn industry, usaha, dan ekonomi.

Perkembangan pada bioteknologi tanaman maupun pangan, baik dari segi harga pemasaran, inovatif dan varietas tamanam tidak terhindarkan dari suatu persaingan. Meski banyak perlindungan hukum yang telah diberikan oleh Pemerintah,namun masih banyak celah yang dapat digunakan oleh para pelaku usaha ataupun para pemegang hak tertentu untuk melakukan suatu penguasaan atas suatu bidang tertentu.

Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal 50 huruf a dan b UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat yang memberikan suatu pengecualian terhadap perbuatan dan perjanjian yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yaitu perbuatan dan perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan undang-undang, dan perjanjian yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industry, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.

Dalam kaitannya dengan paten, paten tidak dapat serta merta dikaitkan sebagai bentuk monopoli. Hal ini disebabkan karena pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat, terdapat pengecualian dalam Pasal 50 huruf b yaitu untuk “perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, disain produk industri dan rahasia dagang serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba”.

(3)

Menganalisis fakta-fakta diatas pemilik paten dan rahasia dagang berpotensi melakukan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dengan eksklusifitas perlindungan hak tersebut. Jika melihat ketentuan larangan perbuatan untuk menghindari monopoli di dalam Pasal 17, 18, 19, dan 25 UU PUTS terdapat kontradiksi dengan Pasal 50 tersebut di atas.

Demikian juga permasalahannya dengan pemilik hak paten, biasanya pemegang paten produk bioteknologi menggunakan haknya untuk menghambat pihak lain dalam pengembangan riset dengan produk yang tidka dapat digunakan untuk riset. Seperti halnya suicide seed atau pemegang paten cenderung membuat produk bioteknologi yang memerlukan produk pendukung khusus yang hanya ia produksi. Contohnya Monsanto, perusahaan tersebut menciptakan benih bunuh diri dan melarang petani memebeli benih dan pupuk selain pada Perusahaan Monsato. Hal tersebut menyebabkan petani tidak dapat membeli benih dan herbisidanya dari perusahaan Monsanto.

Pengecualian-pengecualian yang diberikan undang-undang tersebut banyak disalahgunakan oleh banyak orang khususnya para pemegang hak. Sebagai contoh pada produk bioteknologi berupa varietas tanaman yang dapat dilindungi dengan 2 hak yang melekat padanya yaitu Paten terhadap proses pembuatannya dan PVT (Perlindungan Varietas Tanaman) terhadap produknya. Hal ini sangat berpotensi untuk menimbulkan suatu praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Memang praktek monopoli yang dilakukan cukup terselubung, di mana biasanya perjanjian yang sering dilakukan oleh para pemegang Hak ini berupa pembagian pasar dimana salah satu pihak memberikan suatu hak tertentu untuk membuat produk yang sama namun nama dan daerah pemasarannya dibedakan sehingga tidak akan terlihat seperti suatu rekayasa yang dibuat oleh pihak-pihak tersebut.Perjanjian tersebut biasanya tidak dalam bentuk tertulis, hanya suatu kesepakatan antar para pihak dimana keduanya saling berkomitmen untuk melakukan hal-hal yang telah disepakati, cara tersebut dilakukan untuk menghindari aturan yang ada.

Hal ini dilakukan untuk menghindari pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran secara berbersama-sama-bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat” dan pasal 9 mengenai pembagian wilayah yaitu “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan usaha tidak sehat” , kebanyakan para pelaku usaha atau para pemegang hak melakukan hal tersebut karena tidak ingin repot dengan birokrasi pendaftaran hak Paten dan PVT yang mana biaya pendaftarannya mahal dan waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan sertifikat Hak Paten maupun PVT sangat lama dan tidak bisa ditentukan tergantung hasil karya yang didaftarkan, para pelaku usaha sengaja tidak membuat suatu perjanjian tertulis agar tidak ada bukti mengenai adanya perjanjian tersebut karena kedua pasal tersebut bersifat “rule of reason” yaitu harus dibuktikan, sehingga dalam praktiknya sangat sulit untuk membuktikan adanya suatu perbuatan atau perjanjian yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang secara nyata dapat dirasakan oleh banyak orang.

(4)

Terkait bioteknologi, sudah sekian banyak regulasi yang ada. Ratifikasi CBD dan Protocol Cartagena jelas sudah ada lama. Undang-Undang tersedia berlimpah: UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Pangan, UU Kesehatan, UU Paten, UU Penanaman Modal Asing, dan lainnya sudah masuk dalam jajaran regulasi yang sekurangnya harus ada dalam perlindungan hukum terkait bioteknologi. Betul bahwa beberapa regulasi tersebut masih sangat tertinggal, seperti contoh UU Pangan yang masih menunggu revisi hingga sekarang, namun hal tersebut tidak sebagai alasan penghambat dalam implementasi hukumnya. Terkait komersialisasi PRG, ketertinggalan ini jelas terlihat dalam UU Pangan.

Namun, disamping hal tersebut diatas, poin utama yang perlu diduduk-benarkan justru terkait aspek kewenangan kelembagaan yang seringkali tumpang tindih di dalam pelaksanaannya. Beberapa lembaga yang memiliki kewenangan dalam aspek bioteknologi ini seperti Kemenristek, LIPI, Kemendag, Kemenkes, KemenLH, maupun BPOM RI. Lebih lanjut lagi, kewenangan daerah dalam era otonomi daerah ini juga perlu disinkronkan dengan pemahaman atas konsep produk bioteknologi sehingga delegasi dan interpretasi kewenangan di daerah selaras dengan kerangka nasional.

Ketiga, terkait dengan aspek pertanggungjawaban hukumnya, beberapa isu yang ada diantaranya:

1) Strict Liability atau Tanggungjawab Mutlak

Tanggung jawab mutlak mendahulukan terlebih dulu upaya pemulihan atas dampak yang ditimbulkan selain pembuktian. Beban pembuktian pun diletakkan pada pundak operator atau pelaku usaha. Atas hal ini, konsep strict liability lebih dekat pada permasalahan gugatan perdata atau terkait kompensasi atas kerugian. Secara sederhana strict liability melekat pada tiap pihak yang mengintrodusir suatu produk yang dapat berdampak pada lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Aturan hukum kita telah mengadopsi konsep ini dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009). Hanya saja dikarenakan konsep ini berbeda dengan konsep perdata umum yang ada (Liability Based on Fault), sering para penegak hukum tidak tahu ataupun lebih mengedepankan ketentuan hukum umum yang ada.

2) Tanggung Jawab Korporasi

Tanggung jawab korporasi sudah bukan lagi menjadi isu yang baru dalam hukum. Sebagaimana dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai misal, dalam hal suatu tindak pidana dilakukan secara sistematis oleh perusahaan, maka Pimpinan, atau Pemberi Perintah, atau yang mengetahui secara langsung (dalam tingkat tanggungjawabnya/jenjang hierarkis di perusahaan) atas tindak pidananya dapat dikenakan pidana dengan tambahan sanksi pidana 1/3 dari hukuman yang dijatuhkan.

3) Corporate Social Responsibility

Diwajibkan dalam UU PT, CSR menjadi suatu keharusan dan juga kebutuhan pada saat ini, terutama pada perusahaan besar yang lingkup kegiatannya memberikan dampak yang potensial bagi lingkungan dan masyarakat. Dengan tiga konsep dasar yang melekat, yaitu keseimbangan antara 3 P: People, Profit, Planet; CSR bisa menjadi pintu masuk yang tepat dalam menjembatani kesiapan Indonesia untuk memoles legal framework dalam bioteknologi.

4) Perlindungan Masyarakat

(5)

kepentingan lingkungan hidup. Saat ini, terdapat perkembangan yang cukup signifikan dan menggembirakan dimana posisi tawar atas class action dan legal standing lebih kuat dalam konteks upaya litigasi (di dalam pengadilan). Class action telah dijembatani oleh UU Perlindungan Konsumen maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.

b. Penerapan Prinsip Hukum Umum yang Tidak Optimal

Salah satu prinsip hukum umum terkait dengan persoalan bioteknologi adalah prinsip pendekatan kehati-kehatian (precautionary principle). Protokol Cartagena disusun berdasarkan prinsip pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) sebagaimana tercantum dalam prinsip ke 15 Deklarasi Rio yang berarti bila terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tidak dapat dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan (scientific uncertainty) seharusnya tidak dipakai sebagai alasan untuk mencegah kerusakan lingkungan.

Beberapa elemen mendasar yang perlu diperhatikan dalam penerapan prinsip ini adalah: adanya langkah kehati-kehatian apabila menghadapi kekurangan bukti ilmiah (scientific uncertainty); adanya eksplorasi terhadap upaya alternatif yang mungkin diterapkan apabila ancaman bahaya atau kerusakan (damage) tersebut muncul; pemberian beban pembuktian terbalik kepada pelaku usaha; serta perlu adanya proses yang demokratis dan transparan dalam penerapan prinsip ini, termasuk juga perlunya hak publik atas informasi.

Atas dasar hal ini, prinsip ini dapat kita terjemahkan bahwa ketika terdapat alasan ilmiah yang beralasan untuk membuat kita percaya bahwa suatu aktivitas, teknologi, atau suatu substansi dapat menimbulkan bahaya, maka kita perlu melakukan sesuatu dalam mencegah bahaya tersebut. Jika kita selalu menunggu adanya suatu kepastian ilmiah (scientific certainty), bisa jadi akan ada orang atau masyarakat yang dirugikan atau meninggal, dan dampak kerusakan terhadap lingkungan bisa jadi semakin sulit untuk dipulihkan.

Hanya saja memang, penerapan prinsip ini cukup sulit. Di dalam regulasi kita, seperti UU Kesehatan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, prinsip kehati-hatian ini sudah jelas, namun lemah dalam pemahaman dan penerapannya. Beberapa kelemahan tersebut tercermin jelas dari konsep yang dipahami atas prinsip precautionary ini.

Pertama, yaitu pemahaman atas “scientific certainty” atau kepastian ilmiah sebagai standar penerapan. Seringkali diasumsikan bahwa dalam hal sesuatu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, maka itu tidak benar. Ini sekaligus menjadi alasan bahwa kurangnya kepastian secara ilmiah akan dampak dari sesuatu digunakan untuk justifikasi keberlangsungan penggunaan substansi atau teknologi yang memiliki potensi bahaya.

Kedua, adalah penggunaan “analisis risiko” untuk menentukan apakah suatu substansi atau aktivitas dapat diperbolehkan. Permasalahannya terletak pada ukuran risiko yang seringkali sangat sempit dan tidak adanya keterbukaan informasi terkait risiko riil dari suatu substansi atau aktivitas tersebut.

(6)

memenangkan gugatan publik untuk mengumumkan sampel produk susu yang mengandung bakteri E.Saccazacci sesuai penelitian IPB Tahun 2007-2008.

Meskipun berat dalam penerapan dan beberapa kelemahan tersebut diatas, pendekatan kehati-hatian perlu terus dikembangkan dan disosialisasikan ke publik. Karena dengan adanya precautionary approach ini akan meningkatkan eksplorasi atas produk dan teknologi alternatif yang bisa menawarkan cara yang lebih baik, lebih murah, dan lebih aman. Prinsip ini pun akan memindahkan tanggung jawab pembuktian kepada pemilik teknologi, sekaligus dapat menjadi alat untuk memastikan bahwa publik memiliki akses informasi atas teknologi tersebut. Ini tentu saja menjadi modal yang sangat penting dalam perlindungan hukum atas penggunaan produk hasil rekayasa genetika.

c. Keamanan Produk Bioteknologi Pangan di Indonesia

Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus melekat pada pangan yang hendak dikonsumsi oleh semua masyarakat Indonesia. Pangan yang bermutu dan aman dapat dihasilkan dari dapur rumah tangga maupun dari industri pangan. Oleh karena itu industri pangan adalah salah satu faktor penentu beredarnya pangan yang memenuhi standar mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia tapi juga menyangkut kepedulian individu. Jaminan akan keamanan pangan adalah merupakan hak asasi konsumen. Pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Walaupun pangan itu menarik, nikmat, tinggi gizinya jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama sekali.

Berbicara tentang produk pangan bioteknologi, yang juga dikenal dengan produk transgenik merupakan produk yang dihasilkan dari rekayasa genetika, dimana dalam proses ini dimungkinkan terjadinya introduksi gen dari satu organisme ke organisme lain yang berbeda spesies seperti gen dari bakteri, virus atau tanaman, sehingga kehadiran teknologi ini memberikan wahana baru bagi pemulia tanaman untuk memperoleh kelompok gen baru yang lebih luas sumbernya.

Untuk menjamin keamanan produk bioteknologi, prinsip kehati-hatian dalam penggunaan produk tersebut baik sebagai bahan pangan, pakan atau untuk obat-obatan harus bersumber pada persepsi risiko yang dapat diterima (acceptable risk). Dilihat dari manfaat dan risiko produk bioteknologi yang beragam maka juga diperlukan kesediaan untuk menerima resiko itu sendiri, oleh karena itu yang terpenting adalah mencari solusi bagaimana prinsip kehati-hatian tersebut diterjemahkan ke dalam undang-undang, kebijakan dan praktek pengelolaan manfaat dan risiko.

Jika kita ingin mengadopsi suatu teknologi baru tentu saja tidak mungkin tanpa resiko sama sekali, pekerjaan yang sederhana saja pasti mengandung suatu resiko yang terpenting dari semuanya itu adalah bagaimana menyikapi dan mengantisipasi risiko yang muncul tersebut seminimal mungkin. Dalam hal inilah prinsip kehati-hatian (precautionary approach) diperlukan sebelum produk bioteknologi itu dilepas ke lingkungan atau dikonsumsi sebagai bahan makanan, obat atau pakan ternak.

(7)

untuk mengatur produk bioteknologi di Indonesia. Peraturan Pemerintah ini dibuat atas dasar pendekatan kehati-hatian dan mengacu pada Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati. Protokol ini sebelumnya telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No 21 Tahun 2004.

Salah satu badan pengimplementasi dari Protokol Cartagena adalah Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) yang merupakan perangkat dari KKH. BKKH ini merupakan kewajiban suatu Negara yang telah meratifikasi Protokol Cartagena untuk mendirikannya. Karena Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol sejak Tahun 2004 melalui Undang-Undang No 21 Tahun 2004, maka kewajiban bagi Indonesia untuk mendirikan BKKH sebagai wacana informasi publik dan pertukaran informasi dalam bidang bioteknologi modern yang belum dicakup dalam protokol lain. BKKH digunakan untuk memfasilitasi konsultasi publik terhadap hasil pengkajian TTKH. Sehingga masukan dari masyarakat tersebut melalui BKKH akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh TTKH dalam memberikan rekomendasi keamanan hayati produk bioteknologi tersebut kepada pemerintah. Kehadiran BKKH ini sebagai wadah yang dapat dijadikan wahana komunikasi antara pemangku kepentingan dengan Institusi terkait serta mengelola dan menyajikan informasi kepada publik mengenai prosedur, penerimaan permohonan, proses dan ringkasan hasil pengkajian seperti yang tercantum dalam PP No 21 Tahun 2005 pasal 31.

Selain Protokol Cartagena, dalam rangka pengaturan keamanan hayati suatu produk bioteknologi pertanian hasil rekayasa genetik, Departemen Pertanian telah pengeluarkan Keputusan Menteri No. 856/Kpts/HK.330/1997 tentang ketentuan keamanan hayati Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (PPHRG).

Keamanan hayati PPHRG dimaksudkan bahwa PPHRG bersangkutan tidak mengganggu, merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan. Untuk pelaksanaan SK Mentan tersebut diperlukan pengujian PPHRG secara cermat, mengikuti prosedur dan standar protokol yang baku. Keamanan hayati PPHRG perlu diuji secara bertahap di fasilitas uji terbatas (biosafety containment) mulai dari tingkat labortorium, rumah kaca/kandang/kolam hingga lapangan terbatas. Pedoman pengujian keamanan hayati PPHRG ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, karena teknik pengujian yang berbeda sesuai dengan jenisnya.

Oleh karena itu, pedoman ini terdiri dari lima seri, yaitu umum, tanaman, hewan, ikan, dan jasad renik. Apabila hasil pengujian diberbagai tahapan tersebut tidak menemukan faktor-faktor yang dapat menimbulkan bahaya dan kerugian bagi masyarakat sera lingkungan, maka produksi dan adaptibilitas PPHRG dapat diuji lebih lanjut. Hasil pengujian ini dilakukan melalui perbandingan kesamaan substansial dengan produk pangan sejenis yang diolah secara tradisional tanpa menggunakan proses bioteknologi. Perbandingan ini difokuskan pada:

a. Phenotypic dan genotypic character dari organisme; b. Komposisi kimiawi dari produk baku dan produk olahan; c. Efek biologis; dan

d. Penggunaan makanan.

Penerapan konsep kesamaan substansial ini pada hakekatnya bukan sebagai evaluasi keamanan, tetapi lebih menunjukkan keamanan dari makanan baru dibandingkan dengan makanan konvensional. Pendekatan ini khususnya dilakukan ketika terdapat keberatan akan makanan bioteknologi yang asal organismenya seringkali merupakan sumber makanan tradisional dan ini, atau makanan turunannya, dapat digunakan sebagai pembanding.

(8)

yang terdapat dalam produk yang dihasilkan melalui pemeliharaan secara tradisional dimana mengurangi prosedur formal tetapi beberapa parameter yang sama diujikan. Karenanya, di masa lampau, peternak/petanam telah menolak varietas baru dengan perubahan yang signifikan dari induknya (fenotipnya) atau dengan penyimpangan tingkat racun alaminya.

Rekayasa genetika akan menghasilkan produk yang mengandung gen baru, karena itu sepertinya mereka tidak akan mempunyai kesamaan substansial dengan organisme induknya. Sebuah pengecualian adalah rekayasa genetika modifikasi ragi pengembang dimana gen yang bertanggungjawab terhadap formasi karbon dioksida dipindahkan ke tempat dimana mereka dapat dikontrol dari yang sudah ada, dan lebih kuat. Walaupun jika hasil rekayasa dan organisme induknya tidak mempunyai kesamaan substansial, membandingkan mereka dapat mengungkapkan bahwa hasil rekayasa mempunyai efek yang tidak diinginkan yang harus diperhatikan terhadap implikasi keamanan pangannya.

Dari sekian pertimbangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya hukum nasional kita tidaklah gagap terhadap teknologi yang, termasuk bioteknologi. Hanya saja masih banyak elemen puzzle yang tidak tersusun dengan baik, sehingga gambaran keseluruhan dari kerangka hukum nasional atas bioteknologi terkesan masih sangat buram saat ini.

Yogyakarta, 01 Februari 2012 Hormat saya,

Wahyu Yun S.

Pengajar Hukum Bioteknologi Fakultas Hukum UGM Yogyakarta Hp: 081328605445

Referensi

Dokumen terkait

Pernyataan tersebut sejalan dengan data yang didapatkan, dimana kemampuan reaching out para kepala keluarga yang menjadi banjir ini berada pada kategori dibawah

AANC adalah suatu cara analisis sampel secara kualitatif maupun kuantitatif dengan cara melakukan irradiasi terhadap sampel, sehingga berubah menjadi isotop yang

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Harga,

[r]

[r]

Berlainan dengan hubungan yang menyatakan hubungan perluasan pada kalimat majemuk setara yang memakai dan , hubungan perluasan memakai tetapi menyatakan bahwa

1) Pada sektor unggulan, pemerintah daerah tingkat II harus menjaga stabilitas pertumbuhan dari sektor unggulan tersebut, sebab sektor unggulan tersebut merupakan