• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

2. Konstruksi Tes Hasil Belajar

Surapranata (2004: 50) mengemukakan bahwa validitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan sejauhmana tes telah mengukur apa yang harus diukur. Mardapi (2008: 16) menyatakan bahwa validitas merupakan dukungan bukti dan teori terhadap penafsiran skor tes sesuai dengan tujuan penggunaan tes. Azwar (2009: 4) mengemukakan bahwa validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Sudjana (2009: 12) mengemukakan bahwa validitas berkenaan dengan ketepatan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang harus dinilai. Mulyasa (2009: 50) mengemukakan bahwa validitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan sejauhmana tes telah mengukur apa yang harus diukur. Dari beberapa definisi para ahli dapat disimpulkan bahwa validitas adalah suatu konsep yang berhubungan dengan sejauh mana ketepatan alat penilaian dapat menilai apa yang harus dinilai.

Widoyoko (2014: 172) mengemukakan bahwa jenis validitas dibagi menjadi lima:

1) Validitas Isi

Instrumen yang harus mempunyai validitas isi (content validity) adalah instrumen yang berbentuk tes untuk mengukur hasil belajar. Sebuah tes dikatakan mempunyai validitas isi apabila dapat mengukur kompetensi yang dikembangkan beserta indikator dan materi pembelajaran.

2) Validitas Konstruk (Construct Validity)

Validitas konstruk mengacu pada sejauh mana suatu instrumen mengukur konsep dari suatu teori, yaitu yang menjadi dasar penyusunan instrumen.

3) Validitas Butir (Item Validity)

Pengujian konstruk dilakukan kemudian dilanjutkan dengan uji coba di lapangan. Hal ini untuk mengetahui validitas faktor maupun validitas butir instrumen.

4) Validitas Kesejajaran (Concurrent Validity)

Sebuah instrumen dikatakan memiliki memiliki validitas kesejajaran apabila hasilnya sesuai dengan kriteria yang sudah ada, dalam arti memiliki kesejajaran dengan kriteria yang sudah ada. 5) Validitas Prediksi (Predictive Validity)

Sebuah instrumen dikatakan memiliki validitas prediksi atau validitas ramalan apabila mempunyai kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang

mengenai hal yang sama. Validitas prediktif ini biasanya digunakan untuk menguji validitas instrumen bentuk tes.

b. Reliabilitas

Surapranata (2004: 86) mengemukakan relibilitas adalah metode yang mempelajari, mengidentifikasi, dan mengestimasi keajegan atau ketidakajegan skor tes. Reliabilitas adalah hal yang sangat penting dalam menentukan apakah tes telah menyajikan pengukuran yang baik. Azwar (2009: 4) menyatakan bahwa reliabilitas merupakan sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Sudjana (2009: 16) mengemukakan reliabilitas adalah ketepatan atau keajegan alat tersebut dalam menilai apa yang harus dinilai. Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa reliabilitas adalah keajegan alat tersebut dalam menilai dan dapat dipercaya.

Arikunto (2013: 104) mengemukakan bahwa ada tiga cara untuk mencari besar reliabilitas:

1) Metode Bentuk Pararel (Equipvalent)

Metode bentuk pararel ini, dua buah tes yang pararel, misalnya tes matematika seri A yang akan dicari reliabilitasnya dan tes seri B diteskan kepada kelompok siswa yang sama, kemudian hasilnya dikorelasikan. Koefisen korelasi dari kedua hasil tes inilah yang menunjukkan koefisien reliabilitas tes seri A. Jika koefisiennya tinggi maka tes tersebut sudah reliabel dan dapat digunakan sebagai alat tes dapat diandalkan.

Metode tes ulang dilakukan orang untuk menghindari penyusunan dua seri tes. Metode ini tester hanya memiliki satu seri tes, tetapi dicobakan kedua kali. Oleh karena tesnya hanya satu dan dicobakan dua kali, maka metode ini dapat disebut single-test- double-trial-method. Kemdian hasil dari kedua kali tes tersebut dihitung korelasinya.

3) Metode Belah Dua (Split-half Method)

Metode ini tester hanya menggunakan sebuah tes dan dicobakan satu kali. Oleh karen itu disebut juga single-test-single- trial-method. Metode ini dilakukan dengan cara membelah item atau butir soal. Ada dua cara membelah butir soal, yaitu:

a) Membelah atas item-item genap dan item-item ganjil yang selanjutnya disebut belahan ganjil-genap.

b) Membelah atas item-item awal dan item-item akhir yaitu separo jumlah pada nomor-nomor awal dan separo pada nomor-nomor akhir yang selanjutnya disebut belahan awal-akhir.

c. Karakteristik Butir Soal 1) Daya Pembeda

Arikunto (2012: 226) mengemukakan daya pembeda soal adalah kemampuan sesuatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (berkemampuan rendah). Suwarto (2013: 108) mengemukakan bahwa daya pembeda suatu butir tes berfungsi untuk menentukan dapat tidaknya suatu soal membedakan kelompok dalam aspek yang

diukur sesuai dengan perbedaan yang ada pada kelompok itu. Sudjana (2009: 141) mengemukakan bahwa daya pembeda mengkaji butir-butir soal dengan tujuan untuk mengetahui kesanggupan soal dalam membedakan siswa yang tergolong mampu (tinggi prestasinya) dengan siswa yang tergolong kurang atau lemah prestasinya. Rusdiana (2015: 167) mengemukakan bahwa daya pembeda soal adalah kemampuan suatu butir soal dapat membedakan antara siswa yang telah menguasai materi yang ditanyakan dan siswa yang tidak menguasai materi yang ditanyakan. Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa daya pembeda adalah kemampuan butir soal untuk dapat melihat atau mengetahui perbedaan dari siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

2) Tingkat Kesukaran

Arikunto (2012: 222) mengemukakan soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. (Crocker dan Algina dalam Purwanto, 2009: 99) mengemukakan bahwa tingkat kesukaran (difficulty index) atau disingkat TK dapat didefinisikan sebagai proporsi siswa peserta tes yang menjawab benar. (Aiken dalam Rusdina, 2015: 163) mengemukakan bahwa tingkat kesukaran soal adalah peluang untuk menjawab benar suatu soal pada tingkat kemampuan tertentu yang dinyatakan dalam bentuk indeks. Sudjana (2009: 135) mengemukakan bahwa tingkat kesukaran soal dipandang dari kesanggupan atau kemampuan siswa

dalam menjawabnya, bukan dilihat dari sudut guru sebagai pembuat soal. Menurut pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaran adalah kemungkinan siswa untuk menjawab benar atau salah dalam mengerjakan soal berdasarkan kemampuan mereka. 3) Analisis Pengecoh

Purwanto (2009: 108) mengemukakan pengecoh (distractor) yang juga dikenal dengan istilah penyesat atau penggoda adalah pilihan jawaban yang bukan merupakan kunci jawaban. Pengecoh yang sama sekali tidak dipilih tidak dapat melakukan fungsinya sebagai pengecoh karena terlalu menyolok dan dimengerti oleh semua siswa sebagai pengecoh soal. Surapranata (2004: 43) menyatakan bahwa pengecoh berfungsi sebagai pengidentifikasi peserta tes yang berkemampuan tinggi. Pengecoh dikatakan berfungsi efektif apabila banyak dipilih oleh peserta tes yang berasal dari kelompok bawah. Arikunto (2012: 233) mengemukakan bahwa pengecoh dapat berfungsi dengan baik apabila pengecoh tersebut mempunyai daya tarik yang besar bagi peserta tes yang kurang memahami materi. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa analisis pengecoh adalah pilihan jawaban yang bukan merupakan kunci jawaban dan berfungsi sebagai pengecoh yang sengaja dibuat hampir mirip dengan kunci jawaban agar dapat mengalihkan perhatian siswa untuk memilihnya.

Dokumen terkait