Pendidik tidak dibenarkan hanya memberikan pengetahuan kepada peserta didik, tetapi peserta didik harus membangun pengetahuan sendiri.
Pendidik memfasilitasi agar proses ini dengan mengajar dengan cara yang menjadikan informasi bermakna dan relevan bagi peserta didik dengan memberikan kesempatan peserta didik untuk menemukan gagasan. Pendidik dapat memberikan tangga menuju pemahaman yang lebih tinggi kepada peserta didik, namun peserta didik itu harus menaiki tangga itu. Gagasan ini yang disebut dengan teori pembelajaran konstruktivistik. Inti teori ini adalah gagasan bahwa masing-masing peserta didik harus menemukan dan mengubah informasi menjadi miliknya sendiri (Slavin, 2011: 3). Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang jauh dalam sejarah pendidikan. Revolusi ini sangat banyak mengandalkan teori Piaget dan Vygotsky, yang keduanya menekankan bahwa perubahan kognisi hanya terjadi jika konsepsi sebelumnya mengalami proses ketidak-seimbangan (disequilibration) dari sudut informasi baru. Keduanya juga menyarankan penggunaan kelompok belajar dengan kemampuan campuran untuk meningkatkan perubahan konsep.
a. Teori Belajar Piaget
Teori kognitif Piaget yang kemudian berkembang pula aliran konstruktivistik, menekankan bahwa belajar lebih banyak ditentukan karena adanya usaha dan kemauan individu. Keaktifan peserta didik menjadi unsur yang amat penting dalam menentukan kesuksesan belajar. Perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam bentuk perkembangan sistem syaraf. Pertambahan umur seseorang, commit to user commit to user
makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Kegiatan belajar terjadi sesuai dengan pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang.
Implikasi teori Piaget kontraproduktif pada kegiatan pembelajaran jika dilihat dari perspektif revolusi-sosiokultural saat ini karena cenderung menganut teori psikogenesis. Ciri teori ini yaitu; pengetahuan berasal dari dalam diri individu, peserta didik berdiri terpisah dan berinteraksi dengan lingkungan sosial, lingkungan sosial hanya berfungsi sekunder. Kenyataannya, perkembangan kognitif terjadi dalam interaksi antara peserta didik dengan kelompok sebayanya dari pada dengan orang-orang yang lebih dewasa pada lingkungan sosial. Teori Piaget ini jika diterapkan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran ternyata kurang sesuai dengan perspektif revolusi-sosiokultural.
b. Teori Belajar Vygotsky
Pandangan yang mampu mengakomodasi sociocultural-revolution dalam teori belajar dan pembelajaran dikemukakan oleh Lev Vygotsky. Teori ini mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Pikiran seseorang dipahami bukan dengan cara menelusuri apa yang ada di balik otaknya dan kedalaman jiwanya, melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari oleh sejarah hidupnya (Moll & Greenberg, 1990). Peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan dari individu itu sendiri. Interaksi sosial demikian antara lain berkaitan erat dengan aktivitas-aktivitas dan bahasa yang dipergunakan. Kunci utama untuk memahami proses-proses sosial dan psikologis manusia adalah tanda-tanda atau lambang yang berfungsi sebagai mediator yang merupakan produk dari lingkungan sosio-kultural di mana seseorang berada.
Mekanisme teori yang digunakannya untuk menspesifikasi hubungan antara pendekatan sosio-kultural dan pemfungsian mental didasarkan pada tema mediasi semiotik berupa tanda-tanda atau lambang-lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penengah antara rasionalitas dalam commit to user commit to user
pendekatan sosio-kultural dan manusia sebagai tempat berlangsungnya proses mental (Moll, 1994).
Studi etnografi menemukan adanya jaringan-jaringan erat, luas, dan kompleks di dalam dan di antara keluarga-keluarga (Moll, 1994). Jaringan-jaringan tersebut berkembang atas dasar confianza yang membentuk kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sosial sehari-hari. Mereka terlibat secara aktif dalam interaksi sosial dalam keluarga untuk memperoleh dan juga menyebarkan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer, sedangkan dimensi individualnya bersifat derivatif atau merupakan turunan dan besifat skunder (Supratiknya, 2002). Teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat disebut dengan pendekatan kokonstruktivisme (Budiningsih, 2005: 81), dimana perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga oleh lingkungan sosial yang aktif pula. Konsep-konsep penting teori sosiogenesis Vygotsky tentang perkembangan kognitif yang sesuai dengan revolusi-sosiokultural dalam teori belajar dan pembelajaran ada tiga
Pertama, Hukum Genetik tentang Perkembangan (Genetic Law of Development) yaitu setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang membentuk lingkungan sosialnya (dapat dikategorikan sebagai interpsikologis atau intermental), dan tataran psikologis di dalam diri orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan sebagai intrapsikologis atau intramental). Teori tersebut menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang, fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi dalam diri seseorang akan muncul dan berasal dari kehidupan sosialnya. Fungsi intramental dipandang sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut. Anak-anak berpartisipasi commit to user commit to user
dalam kegiatan sosial tertentu tanpa memahami maknanya, pemaknaan atau konstruksi pengetahuan baru muncul atau terjadi melalui proses internalisasi yang bersifat transformatif, yaitu mampu memunculkan perubahan dan perkembangan yang tidak sekedar berupa transfer atau pengalihan.
Kedua, Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development) yaitu kemampuan seseorang dapat dibedakan menjadi tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri disebut sebagai kemampuan intramental. Tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten, yang disebut sebagai kemampuan intermental. Jarak antara keduanya disebut zona perkembangan proksimal sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan. Tunas-tunas perkembangan ini akan menjadi matang melalui interaksinya dengan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Penafsiran konsep zona perkembangan proksimal ini dengan menggunakan scaffolding interpretation, yaitu memandang zona perkembangan proksimal sebagai penyangga atau batu loncatan untuk mencapai taraf perkembangan yang semakin tinggi.
Ketiga yaitu Mediasi merupakan kunci utama untuk memahami proses-proses sosial dan psikologis berupa tanda-tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut merupakan produk dari lingkungan sosio-kultural di mana seseorang berada.
Semua perbuatan atau proses psikologis yang khas secara manusiawi dimediasikan dengan psychological tools atau alat-alat psikologis berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika.
Pelaksanaan pembelajarannya dengan teori belajar tersebut dilakukan dengan cara membimbing anak oleh orang dewasa atau oleh teman sebaya yang lebih kompeten untuk memahami alat-alat semiotik ini. Anak mengalami proses commit to user commit to user
internalisasi yang selanjutnya alat-alat ini berfungsi sebagai mediator bagi proses-proses psikologis lebih lanjut dalam diri anak. Mekanisme hubungan antara pendekatan sosio-kultural dan fungsi-fungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik, artinya tanda-tanda atau lambang-lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas sosio-kultural (intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnya proses mental (intramental) (Wertsch, 1990).
Penggunaan teori belajar Vygotsky perlu memperhatikan perencanaan dan implementasi pembelajaran dengan perhatian pendidik kepada kelompok anak yang tidak dapat memecahkan masalah belajar sendiri, yaitu mereka yang hanya dapat solve problems with help. Pendidik perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan (helps) yang dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Bantuan-bantuan ini dikenal sebagai cognitive scaffolding dapat dalam bentuk pemberian contoh-contoh, petunjuk atau pedoman mengerjakan, bagan/alur, langkah-langkah atau prosedur melakukan tugas, pemberian balikan, dan sebagainya. Bimbingan oleh orang dewasa atau oleh teman sebaya yang lebih kompeten bermanfaat untuk memahami alat-alat semiotik, seperti bahasa, tanda, dan lambang-lambang.
Bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman yang lebih kompeten sangat efektif untuk meningkatkan produktifitas belajar. Bantuan-bantuan tersebut tentunya harus sesuai dengan konteks sosio-kultural atau karakteristik anak. Anak mengalami proses internalisasi yang selanjutnya alat-alat ini berfungsi sebagai mediator bagi proses-proses psikologis lebih lanjut dalam diri anak. Maka bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif-kolaboratif, serta pembelajaran kontekstual sangat tepat diterapkan.