Berdasarkan hasil penelitian menggunakan metode recall makanan, asupan nutrisi yang dikonsumsi oleh partisipan adalah kalori, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, vitamin A, vitamin E, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin C, kalsium, fosfor, dan zat besi. Berdasarkan hasil analisis menggunakan aplikasi perhitungan nilai gizi Nutrisurvey dan Ms. Excel mengenai nilai kecukupan gizi, diperoleh nilai kecukupan gizi kalori, karbohidrat, protein,
lemak, vitamin B6 dan fosfor untuk beberapa partisipan dihari tertentu tidak mencapai standar yang direkomendasikan, dan dihari tertentu sudah mencapai standar yang direkomendasikan, bahkan ada partisipan yang melebihi standar yang direkomendasikan. Hal ini mempengaruhi status gizi partisipan, dan beberapa partisipan mengalami kelebihan berat badan tingkat ringan dan obesitas. Penelitian ini hampir mirip dengan penelitian yang dilakukan Listiawati (2015) pada mahasiswa di Semarang, yang menemukan bahwa 50% mahasiswa mengkonsumsi jenis makanan yang kurang sehat, 44,8% mahasiswa mengkonsumsi energi dalam kategori sedang, dan 61,5% mahasiswa mengkonsumsi protein dalam kategori sedang.
Hasil penelitian mengenai kecukupan vitamin, ditemukan bahwa untuk vitamin E menunjukkan nilai kecukupan semua partisipan sangat rendah dan tidak mencapai standar yang ditentukan. Oleh karena makanan yang dikonsumsi partisipan tidak mempunyai kandungan vitamin E yang cukup. Selain itu vitamin A partisipan 2 dan partisipan 10 pada hari pertama sangat tinggi dan melebihi nilai standar yang direkomendasikan. Oleh karena partisipan mengkonsumsi makanan yang mengandung makanan
vitamin A yang tinggi. Makanan tersebut yakni hati ayam rebus. Kemudian konsumsi vitamin B1 hampir semua partisipan tidak mencapai standar yang direkomendasikan, hanya konsumsi vitamin B1 partisipan 7 untuk hari 3 dan konsumsi vitamin B1 partisipan 9 untuk hari 2 yang melebihi standar, karena partisipan mengkonsumsi makanan yang mengandung makanan vitamin B1 yang tinggi. Makanan tersebut yaitu daging babi. Secara garis besar konsumsi vitamin untuk semua partisipan kurang mencapai standar yang direkomendasikan.
Hasil penelitian mengenai kecukupan zat besi menunjukan bahwa nilai kecukupan zat besi mahasiswa cenderung rendah, namun beberapa partisipan sudah menunjukan bahwa kecukupan zat besi tinggi.
Asupan nutrisi yang dikonsumsi mahasiswa, pada penelitian ini dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi mahasiswa. Menurut Menkes (2013), untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat diperlukan asupan gizi yang cukup sesuai angka kecukupan gizi yang dianjurkan. 4.2.2 Perubahan Perilaku Makan Mahasiswa
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perilaku makan partisipan, ditemukan adanya perubahan perilaku makan mahasiswa setelah bermahasiswa di Salatiga adalah
adanya perubahan pada jenis makanan yang dikonsumsi yaitu jenis makanan pokok yang dikonsumsi partisipan selama di Papua adalah ubi petatas, hal ini sejalan dengan kebiasaan makan yang sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar masyarakat di daerah Pegunungan Bintang Papua (khususnya Tolikara) yang mengkonsumsi ubi petatas sebagai makanan pokok dibanding dengan nasi. Karena ubi petatas merupakan salah satu hasil pertanian yang banyak dijumpai di daerah tersebut hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Mapandin (2006), yang menemukan bahwa sebagian besar rumah tangga di Wamena Papua yang memilih mengkonsumsi ubi jalar atau ubi petatas, singkong dan talas, disebabkan hanya jenis makanan pokok tersebut yang banyak ditanam masyarakat. Selain itu hanya partisipan 2 (R.E) yang mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok setiap harinya. Sedangkan selama di Salatiga semua partisipan tidak lagi mengkonsumsi ubi petatas sebagai makanan pokok melainkan menggantinya dengan nasi sebagai makanan pokok.
Perubahan yang masih sama mengenai jenis makanan lainnya yaitu ada beberapa jenis makanan yang sebelumnya dikonsumsi partisipan selama di Papua namun tidak lagi dikonsumsi semua partisipan selama tinggal di
Salatiga seperti kelapa hutan, buah merah, daging burung kasuari, daging burung cendrawasih dan daging kuskus dengan alasan tidak tersedianya jenis makanan tersebut di Salatiga.
Jenis makanan lainnya yang sering dikonsumsi mahasiswa selama di Salatiga yang sebelumnya selama di Papua tidak pernah dikonsumsi adalah mie instan dengan alasan mie instan lebih praktis, proses pembuatannya cepat, serta harganya terjangkau. Mahasiswa cenderung lebih memilih makan mie instan dibandingkan makananan lainnya, penelitian ini hampir mirip dengan hasil penelitian Arianto (2011) yang menemukan bahwa perubahan pola makan mahasiswa meningkat sejalan dengan aspek positif mie instan, yaitu mudah, cepat, murah dan praktis, sehingga tidak mengganggu aktivitas mahasiswa.
Beberapa jenis makanan masih terasa asing untuk semua partisipan karena baru dijumpai ketika berada di Salatiga, tidak dikonsumsi oleh beberapa partisipan seperti sate, bakso, mie ayam, tumpeng koyor, soto dan masakan jawa lainnya. Hanya partisipan 2 dan partisipan 4 yang mengkonsumsi soto. Namun selama di Salatiga, semua partisipan juga selalu mengkonsumsi beberapa jenis makanan yang sering dikonsumsi selama di Papua, seperti
papeda, ubi, dan makanan lainnya. Selain itu, rasa makanan yang cenderung manis membuat partisipan tidak begitu menyukainya. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian Ariani (2015) yang menemukan bahwa mahasiswa Papua di Semarang cenderung mengalami hambatan dalam beradaptasi dengan makanan baru, dan tidak menyukai masakan yang terasa manis, serta menambahkan jeruk ke makanan agar tidak terasa manis.
Frekuensi makan semua partisipan juga berubah ketika berada di Salatiga. Frekuensi makan partisipan sebagian besar berubah dari yang tadinya selama di Papua frekuensi makan sebanyak 3 kali menjadi 2 kali dalam sehari, bahkan ada partisipan yang mengatakan beberapa kali makan hanya 1 kali dalam sehari. Alasan frekuensi makan semua partisipan berubah karena kesibukan sebagai mahasiswa yang membuat kadang lebih sibuk mengerjakan tugas kuliah, ataupun kegiatan lainnya sehingga sering melewatkan waktu makan, selain itu pengaturan keuangan yang kurang tepat membuat uang untuk membeli makan tidak cukup untuk 1 bulan, dan mahasiswa malas untuk menyiapkan atau membeli makanan. Sedangkan selama di Papua, makanan sudah disediakan keluarga sehingga partisipan tidak perlu repot menyiapkan makanan.
Dilihat dari konteks lingkungan budaya hasil penelitian, lingkungan memiliki pengaruh terhadap jenis makanan yang dikonsumsi partisipan. Lingkungan mempengaruhi perilaku makan termasuk pemilihan jenis makanan, ketersediaan makanan dan penyajian atau proses pengolahan makanan. Efendi (2009) mengatakan budaya dan makanan memiliki hubungan yang sangat erat. Makanan berfungsi untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi tubuh. Konsumsi dan penyajian makanan berkaitan dengan budaya individu, keluarga dan komunitas setempat. Budaya mempengaruhi individu dan keluarga dalam menentukan makanan yang dikonsumsi. Semua partisipan juga beradaptasi dengan makanan baru yang ditemui selama di Salatiga, dengan demikian partisipan juga beradaptasi secara budaya dengan makanan tersebut. Dalam Suparlan (2004) dijelaskan bahwa adaptasi dilakukan oleh individu untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan alamiah- biologis, seperti makanan. Pemenuhan kebutuhan ini dapat terlihat dari pemilihan jenis makanan mahasiswa.