• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN ANALISA PENGUJIAN

4.3 Pengujian Performansi Motor Bakar Diesel

4.3.7 Konsumsi Bahan Bakar Spesifik

0 10 20 30 40 50 1800 2000 2200 2400 2600 2800 Solar Biodiesel 5% Biodiesel 10% Biodiesel 15% Biodiesel 20% Ƞa 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1800 2000 2200 2400 2600 2800 Solar Biodiesel 5% Biodiesel 10% Biodiesel 15% Biodiesel 20% Ƞa

Konsumsi bahan bakar spesifik dari masing-masing pengujian pada tiap- tiap variasi beban, putaran dan bahan bakar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.6 maka diperolehnya besar laju aliran bahan bakar pada subbab 4.3.2 maka untuk pengujian dengan menggunakan bahan bakar Solar dengan beban 3,5 kg pada putaran mesin 1800 rpm didapat nilai SFC:

� = , ,

Sfc = 179,15 (gr/kWh)

Dengan menggunakan cara yang sama untuk variasi beban, bahan bakar, dan putaran mesin maka didapatkan hasil perhitungan SFC seperti pada Tabel 4.14 di bawah ini:

Tabel 4.14 Konsumsi Bahan Bakar Spesifik

Beban Putaran

SFC Solar Biodiesel 5% Biodiesel

10% Biodiesel 15% Biodiesel 20% 3,5 1800 179,15 244,81 312,44 249,71 449,45 2000 177,41 245,47 299,36 230,78 432,48 2200 158,32 199,95 298,12 232,77 399,47 2400 158,27 197,63 276,66 219,96 335,50 2600 145,53 193,27 259,98 192,25 294,92 2800 135,74 229,49 224,18 169,60 263,61 4,5 1800 101,30 134,25 169,49 178,95 192,24 2000 102,93 116,13 156,79 165,81 191,48 2200 83,47 109,48 137,03 157,08 182,98 2400 77,40 105,92 128,44 144,36 177,18 2600 80,85 98,72 126,02 142,60 172,44 2800 74,79 97,65 122,00 134,30 161,59

 Pada pemebebanan 3,5 kg SFC tertinggi terjadi pada penggunaan biodiesel 20% putaran mesin 1800 rpm yaitu sebesar 449,45 gr/kWh dan SFC

terendah terjadi pada penggunaan bahan bakar Solar putaran mesin 2800 rpm yaitu sebesar 135,74 gr/kWh. Dibandingkan dengan tanpa menggunakan supercarjer terjadi penurunan nilai SFC. Nilai SFC tanpa supercarjer dapat dilihat pada lampiran

 Pada pembebanan 4,5 kg SFC tertinggi terjadi pada penggunaan biodiesel 20% putaran mesin 1800 rpm yaitu sebesar 279,82 gr/kWh dan SFC terendah terjadi pada penggunaan bahan bakar Solar pada putaran mesin 2800 yaitu sebesar 139,84 gr/kWh. Dibandingkan dengan tanpa menggunakan supercarjer terjadi penurunan nilai SFC. Nilai SFC tanpa supercarjer dapat dilihat pada lampiran.

Perbandingan harga SFC untuk masing-masing pengujian bahan bakar dapat dilihat pada Gambar 4.14 dan 4.15 di bawah ini.

Gambar 4.14 SFC vs Putaran mesin pada pembebanan 3,5 kg

Gambar 4.15 SFC vs Putaran mesin pada pembebanan 4,5 kg 0 100 200 300 400 500 1800 2000 2200 2400 2600 2800 Solar Biodiesel 5% Biodiesel 10% Biodiesel 15% Biodiesel 20% S f c 0 50 100 150 200 250 1800 2000 2200 2400 2600 2800 Solar Biodiesel 5% Biodiesel 10% Biodiesel 15% Biodiesel 20% S f c

4.3.8 Heat Loss

Untuk beban 3,5 kg, putaran 1800 rpm bahan bakar solar maka heat loss dapat dihitung dari persamaan 2.9 maka di peroleh :

Heat Loss =1,01 x (19,9841+ 0,11099) x (110 –30) = 1536,43 W

Selanjutnya dengan perhitungan yang sama untuk pembebanan, variasi nilai LHV sesuai dengan persentase biodiesel, dan putaran yang bervariasi maka didapat heat losses seperti pada Tabel 4.15 di berikut ini.

Tabel 4.15 Heat Losses

Beban Putaran Heat Loses Solar Biodiesel 5% Biodiesel 10% Biodiesel 15% Biodiesel 20% 3,5 1800 1536,43 1502,93 1272,05 1025,31 907,88 2000 1975,62 1808,41 1498,47 1308,51 1059,50 2200 2243,11 2085,87 1736,58 1628,90 1220,46 2400 2703,50 2248,72 2143,99 1912,05 1648,46 2600 3078,76 2590,95 2828,77 2571,18 1847,57 2800 3477,99 3339,70 3753,74 2786,50 1930,80 4,5 1800 2560,06 2844,89 2309,66 1921,68 1580,84 2000 3251,53 3028,78 2501,55 2232,84 2019,72 2200 3641,76 3175,12 2713,71 2695,98 2352,44 2400 3931,60 3445,03 3023,95 2946,15 2825,74 2600 4723,30 3893,63 3184,36 3482,36 3349,01 2800 5199,39 4655,80 4198,81 3939,04 3978,99

 Pada pembebanan 3,5 kg Heat Loss tertinggi terjadi pada penggunaan Solar putaran mesin 2800 rpm yaitu sebesar 3477,99, sedangkan Heat

Losses terendah terjadi pada penggunaan biodiesel 20% putaran mesin 1800 rpm yaitu sebesar 907,88 W

 Pada pembebanan 4,5 kg Heat Loss tertinggi terjadi pada penggunaan Solar pada putaran mesin 2800 yaitu sebesar 5199,39 W sedangkan Heat loss terendah terjadi pada penggunaan biodiesel 20% pada putaran mesin 1800 rpm yaitu sebesar 1580,841 W

Nilai dari heat loss dapat dilihat pada Gambar Grafik 4.16 dan 4.17 di berikut ini.

Gambar 4.16 Heat Loss vs Putaran mesin pada pembebanan 3,5 kg

Gambar 4.17 Heat Loss vs Putaran mesin pada pembebanan 4,5 kg

 Dari Grafik diatas diperoleh Heat Loss yang tinggi pada Solar diakibatkan suhu exhaust yang dikeluarkan pada penggunaan solar relatif lebih tinggi,

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 1800 2000 2200 2400 2600 2800 Solar Biodiesel 5% Biodiesel 10% Biodiesel 15% Biodiesel 20% 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 1800 2000 2200 2400 2600 2800 Solar Biodiesel 5% Biodiesel 10% Biodiesel 15% Biodiesel 20%

hal ini terjadi karena nilai kalor bahan bakar solar yang paling tinggi dari semua bahan bakar yang tersedia, selain itu heat loss tertinggi juga terjadi pada putaran yang tinggi karena adanya kecenderungan peningkatan suhu exhaust pada putaran yang lebih tinggi.

4.3.9 Persentase Heat Loss

Dengan menggunkan persamaan 2.10 dan memasukkan nilai Te dan LHV untuk solar pada putaran 1800 rpm, pembebanan 3,5 kg maka didapat % Heat Loss sebagai berikut:

% � � � � ��ℎ� = . . + .. � x . – � %

= 11,85 %

Dengan menggunakan perhitungan yang sama pada variasi nilai LHV untuk setiap persetase biodiesel, dan putaran maka didapat nilai persentase heat loss seperti ditunjukkan pada Tabel 4.16 di bawah ini.

Tabel 4.16 Persentase Heat Loss

Beban Putaran % Heat Loses Solar Biodiesel 5% Biodiesel 10% Biodiesel 15% Biodiesel 20% 3,5 1800 17,37 16,87 12,98 12,37 10,36 2000 19,69 16,59 13,21 14,24 9,47 2200 20,19 17,08 13,16 12,21 10,03 2400 20,31 16,37 14,59 13,42 11,84 2600 21,30 15,52 16,62 15,62 12,09 2800 20,96 15,45 19,74 15,17 10,78 4,5 1800 26,85 27,18 21,61 21,53 16,53 2000 28,78 25,95 20,89 22,02 17,73 2200 30,34 24,32 21,19 21,06 18,59 2400 30,13 23,51 21,51 19,52 18,72 2600 31,27 23,92 19,45 20,05 19,24

2800 29,78 24,36 21,75 19,27 19,37

 Pada pembebanan 3,5 kg persentase heat loss tertinggi terjadi pada penggunaan Solar putaran mesin 2600 yaitu sebesar 20.96% sedangkan persentase Heat Loss terendah terjadi pada pemakaian Biodiesel 20% putaran mesin 2000 rpm yaitu sebesar 9.47%

 Pada pembebanan 4,5 kg persentase heat loss tertinggi terjadi pada penggunaan Solar putaran mesin 2000 rpm yaitu sebesar 31.27 % sedangkan Persentase Heat Loss terendah terjadi pada penggunaan biodiesel 20% putaran mesin 1800 rpm yaitu sebesar 16.54 %

Hasil dari persentase heat loss untuk masing-masing bahan bakar, pembebanan dapat dilihat pada Gambar Grafik 4.18 dan 4.19 di bawah ini.

Gambar 4.18 Persentase Heat Loss vs Putaran mesin pada pembebanan 3,5 kg 0 5 10 15 20 25 1800 2000 2200 2400 2600 2800 Solar Biodiesel 5% Biodiesel 10% Biodiesel 15% Biodiesel 20%

Gambar 4.19 Persentase Heat Loss vs Putaran mesin pada pembebanan 4,5 kg

 Dari Grafik diatas dapat disimpulkan bahwa Heat loss tertinggi didominasi solar terutama pada beban tinggi dikarenakan nilai kalor bahan bakar solar lebih tinggi dibanding biodiesel. Heat Loss terendah terjadi pada biodiesel 20% putaran 1800 rpm dikarenakan nilai kalor bahan bakar yang rendah dibandingkan bahan bakar yang lain menghasilkan energi keluaran dan panas yang dihasilkan juga lebih kecil dari panas rata-rata yang dihasilkan olaeh bahan bakar yang lain.

0 5 10 15 20 25 30 35 1800 2000 2200 2400 2600 2800 Solar Biodiesel 5% Biodiesel 10% Biodiesel 15% Biodiesel 20%

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

1. Daya maksimum pada bahan bakar Akra Sol beban 4,5 kg diperoleh pada putaran 2800 rpm, yaitu sebesar 4,75 kW Sedangkan Daya minimum pada bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen 20% beban 3,5 kg diperoleh pada putaran 1800 rpm, yaitu sebesar 0,92 kW. Daya yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kecepatan putaran mesin dan pembebanan daya, semakin tinggi putaran dan pembebanan daya maka semakin tinggi pula daya yang akan dihasilkan, Selain itu daya juga dipengaruhi oleh nilai kalor bahan bakar, semakin tinggi nilai kalor bahan bakar maka daya yang terbangkitkan akan semakin besar. 2. Semakin besar daya atau beban yang dipakai semakin besar Torsi yang

dihasilkan. Torsi Minimum pada bahan bakar Akra Solar + biodiesel Biji Wijen 20% beban 3,5 kg diperoleh pada putaran 1800 rpm, yaitu sebesar 5 N.m. Sedangkan torsi Maksimum diperoleh pada bahan bakar Akra Sol beban 4,5 kg putaran 2800 rpm, yaitu sebesar 15 N.m. Nilai torsi mesin bergantung pada besar kecil daya dan putaran mesin.

Semakin besar daya dan putaran mesin maka torsi semakin besar demikian sebaliknya.

3. Semakin besar nilai laju aliran bahan bakar, semakin besar pula konsumsi bahan Bakar. SFC minimum pada bahan bakar Akra Sol beban 4,5 kg putaran 2800 rpm yaitu sebesar 135,74 g/kW.jam. Sedangkan SFC Maksimum pada bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen 20% beban 3,5 kg putaran 1800 rpm yaitu sebesar 449,45 g/kW.jam. Besar SFC sangat dipengaruhi oleh besar kecil nilai laju aliran bahan bakar. Semakin besar nilai laju aliran bahan bakar, semakin besar pula konsumsi bahan bakar spesifiknya, demikian sebaliknya.

4. Nilai AFR minimun pada campuran bahan bakar solar + Biodiesel Wijen 15 % dengan beban 4,5 kg dan putaran 2800 rpm yakni sebesar 71,30. Nilai AFR maximum pada bahan Akra Sol dengan beban 3,5 kg dan putaran 1800 rpm yakni sebesar 116,53. Semakin tinggi putaran dan beban mesin, maka semakin kecil ratio perbandingan udara bahan bakar. Ini disebabkan karena pada putaran dan beban maksimal mesin mengalami “overlap” dimana pada saat ini terjadi proses pembakaran yang sangat cepat dimana diperlukan bahan bakar dengan jumlah besar, sehingga diperlukan udara yang besar pula untuk mengimbangi bahan bakar tersebut.

5. Nilai Efisiensi Thermal minimun pada campuran bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen 20 % dengan beban 3,5 kg dan putaran 1800 rpm yakni sebesar 14,81 %. Nilai Efisiensi Thermal maximum pada bahan bakar Akra Sol dengan beban 4,5 kg dan putaran 2800 rpm yakni sebesar 78,76 %.

6. Nilai Heat Loss terendah pada penggunaan biodiesel biji wijen 20 % pembebanan 3,5 kg putaran 1800 rpm yakni sebesar 907,88 W. Heat Loss terbesar terjadi pada penggunaan solar Akra Sol beban 4,5 kg putaran 2800 rpm yakni sebesar 5199,39 W.

1. Melengkapi alat ukur pada saat pengujian untuk memperoleh hasil pengujian yang lebih baik.

2. Menunggu putaran mesin stabil pada saat menaikkan dan menurunkan putaran agar mendapat putaran mesin yang tepat pada saat pengujian pada putaran yang berbeda melalui pembacaan pada instrumentasi pembaca TD-115.

3. Mengembangkan pengujian ini menggunakan dengan Variasi Campuran bahan bakar yang berbeda.

4. Memberikan waktu jeda yang cukup untuk menunggu kondisi mesin dalam suhu normal kembali.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biodiesel

2.1.1 Sejarah Penggunaan Diesel

Rudolf Diesel (Gambar 2.1) mendemonstrasikan sebuah mesin diesel yang berjalan dengan bahan bakar minyak kacang tanah (atas permintaan pemerintah Perancis) dibangun oleh French OttoCompany pada saat pameran dunia di Paris, Perancis pada tahun 1900. Mesin ini mendapatkan harga tertinggi. Mesin ini dijadikan prototipe Diesel's vision karena menggunakan tenaga minyak kacang tanah. Sebuah bahan bakar yang bukan termasuk biodiesel, karena tidak diproses secara transesterifikasi. Dia percaya bahwa penggunaan bahan bakar dengan biomassa merupakanmesin masa depan. Pada tahun 1912 pidato Diesel mengatakan, "penggunaan minyak nabati untuk bahan bakar mesin terlihat tidak menarik pada saat ini, akan tetapi menjadi hal yang sangat penting setara dengan petroleum dan produk batubara di masa depan."

Gambar 2.1 Rudolf Christian Karl Diesel

Minyak yang didapatkan langsung dari pemerahan atau pengempaan biji sumber minyak (oilseed), yang kemudian disaring dan dikeringkan (untuk mengurangi kadar air), disebut sebagai minyak lemak mentah. Minyak lemak mentah yang diproses lanjut guna menghilangkan kadar fosfor (degumming) dan asam-asam lemak bebas (dengan netralisasi dan steam refining) disebut dengan refined fatty oil atau straight vegetable oil (SVO). SVO didominasi oleh trigliserida sehingga memiliki viskositas dinamik yang sangat tinggi dibandingkan dengan solar (bisa mencapai 100 kali lipat, misalkan pada Castor Oil). Oleh karena itu, penggunaan SVO secara langsung di dalam mesin diesel umumnya memerlukan modifikasi/tambahan peralatan khusus pada mesin, misalnya penambahan pemanas bahan bakar sebelum sistem pompa dan injektor bahan bakar untuk menurunkan harga viskositas. Viskositas (atau kekentalan) bahan bakar yang sangat tinggi akan menyulitkan pompa bahan bakar dalam mengalirkan bahan bakar ke ruang bakar. Aliran bahan bakar yang rendah akan menyulitkan terjadinya atomisasi bahan bakar yang baik. Buruknya atomisasi berkorelasi langsung dengan kualitas pembakaran, daya mesin, dan emisi gas buang.

Pada tahun 1920an, perusahaan mesin diesel mengutamakan pembuatan mesin dengan petrodiesel sebagai bahan bakar utama dimana memiliki nilai viskositas rendah (berbahan bakar fosil), dibandingkan mesin untuk bahan bakar nabati. Industri petroleum dapat menentukan harga di pasar bahan bakar karena bahan bakar fosil lebih murah dari bahan bakar alternatif. Pada akhirnya, persaingan ini hampir menyebabkan infrastruktur produksi bahan bakar nabati hancur. Namun akhir akhir ini, karena terkait dampak lingkungan serta menurunnya harga bahan bakar nabati, bahan bakar nabati semakin diminati. Disamping itu, ketertarikan penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar dalam pembakaran internal mesin dilaporkan oleh beberapa Negara pada tahun 1920an dan 1930an serta pada akhir perang dunia ke-II. Belgia, Perancis, Itali, Inggris,

Portugal, Jerman, Brazil, Argentina, Jepang dan Cina telah melaporkan pengujian serta penggunaan minyak nabati sebagai bahan bahan bakar diesel pada masa ini.

Beberapa masalah terjadi karena tingkat viskositas minyak nabati yang tinggi dibandingkan dengan petroleum, yang mana menghasilkan kekurangan dalam atomisasi bahan bakar saat penyemprotan bahan bakar serta sering meninggalkan kerak pada injektor, ruang pembakaran dan katup. Untuk mengatasi masalah ini dilakukan pemanasan minyak nabati, pencampuran dengan petroleum, pirolisis serta pemecahan minyak.

2.1.2 Definisi Biodiesel

Biodiesel adalah bahan bakar mesin diesel yang berupa ester mono alkil asam-asam lemak rantai panjang, yang diturunkan dari minyak tumbuh- tumbuhan atau lemak hewan.Biodiesel merupakan salah satu bahan bakar alternatif ramah lingkungan, tidak mempunyai efek terhadap kesehatan dan dapat dipakai sebagai bahan bakar kendaraan bermotor serta dapat lebih menurunkan emisi bila dibandingkan dengan minyak diesel. Biodiesel mempunyai sifat pembakaran yang serupa dengan minyak solar, sehingga dapat dipergunakan langsung pada mesin berbahan bakar minyak solar tanpa mengubah mesin.

Biodiesel bisa digunakan dengan mudah karena dapat bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar, mempunyai sifat fisik yang hampir sama dengan solar biasa sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk mesin-mesin diesel yang telah ada hampir tanpa modifikasi, dapat terdegradasi dengan mudah (biodegradable), memiliki angka cetana yang lebih baik dari minyak solar biasa, asap buangan biodiesel tidak hitam, tidak mengandung sulfur dan senyawa aromatik sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan. Angka cetana adalah bilangan yang menunjukkan ukuran baik tidaknya kualitas solar berdasarkan sifat kecepatan bakar dalam ruang bakar

mesin. Semakin tinggi bilangan cetana, semakin cepat pembakaran dan semakin baik efisiensi termodinamisnya.

Penggunaan dan produksi biodiesel meningkat dengan cepat, terutama di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia, meskipun dalam pasar masih sebagian kecil saja dari penjualan bahan bakar. Pertumbuhan SPBU membuat semakin banyaknya penyediaan biodiesel kepada konsumen dan juga pertumbuhan kendaraan yang menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar.

Dibandingkan dengan solar, biodiesel memiliki kelebihan diantaranya :

1. Dapat terurai (biodegradable)

2. Tidak memerlukan modifikasi mesin diesel yang telah ada.

3. Tidak memperparah efek rumah kaca karena siklus karbon yang terlibat pendek.

4. Kandungan energi yang hampir sama dengan kandungan energi petroleum diesel.

5. Penggunaan biodiesel dapat memperpanjang usia mesin diesel karena memberikan lubrikasi lebih daripada bahan bakar petroleum.

6. Memiliki flash point yang tinggi, yaitu sekitar C, sedangkan bahan bakar petroleum diesel flash pointnya hanya C.

7. Bilangan setana (cetane number) yang lebih tinggi daripada petroleum diesel

Menurut Syah (2006), karakteristik emisi pembakaran biodiesel dibandingkan dengan solar adalah sebagai berikut :

1. Emisi karbon dioksida (CO2) netto berkurang 100% 2. Emisi sulfur dioksida berkurang 100%

3. Emisi debu berkurang 40-60%

4. Emisi karbon monoksida (CO) berkurang 10-50% 5. Emisi hidrokarbon berkurang 10-50%

6. Hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH = polycyclic aromatic hydrocarbon) berkurang, terutama PAH beracun seperti : phenanthren

berkurang 98%, benzofloroanthen berkurang 56%, benzapyren berkurang 71%, serta aldehidadan senyawa aromatik berkurang 13%.

Karakteristik biodisel di tunjukkan pada Tabel 2.1 dibawah ini. Tabel 2.1 Karateristik dan standar biodiesel (Lit.9) Parameter Satuan Standar Nasional

Indonesia

Biodiesel Standar ASTM

Angka asam Mg KOH/g Maks 0,8 Maks 0,5

Kadar air dan sedimen

%vol Maks 0,05 Maks 0,05

Korosi dan

lempeng tembaga

%wt Maks 0,3 Maks 0,3

Residu karbon %wt Maks 0,05 Maks 0,05

Abu tersulfatkan %wt Maks 0,02 Maks 0,02

Blerang %wt Maks 100 Maks 50

Fosfor Mg/kg Maks 10 Maks 1

Gliserol Bebas %wt Maks 0,24 Maks 0,02

Gliserol Total %wt Maks 0,24 Maks 0,24

Kadar Ester Alkil %wt 96,56

Uji halpen Negatif

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006) European Co,,ision (2007)

Thajana dan Pranowo Kartika et.al (2011)

2.1.3. Pembuatan Biodiesel

Biodiesel dapat dibuat dari berbagai minyak hayati (minyak nabati atau lemak hewani) melalui proses esterifikasi gliserida atau dikenal dengan proses alkoholisis. Reaksi yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut (Ma, F., 1999; Hariyadi, dkk,2005).

Hampir seluruh minyak nabati dapat diolah menjadi biodiesel. Minyak nabati yang dapat diolah menjadi biodiesel dapat dihasilkan oleh berbagai

macam jenis tumbuhan seperti kedelai, kanola, inti sawit, kelapa, jarak pagar, bunga matahari, biji kapuk, jagung dan ratusan tanaman penghasil minyak lainnya. Namun bahan utama pembuatan biodiesel yang sering digunakan adalah minyak jarak pagar karena minyak ini bukan merupakan minyak untuk pangan karena minyak jarak ini memiliki sifat sangat beracun.

Pada skala kecil dapat dilakukan dengan bahan minyak goreng 1 liter yang baru atau bekas. Metanol sebanyak 200 ml atau 0.2 liter. Soda api atau NaOH 3,5 gram untuk minyak goreng bersih, jika minyak bekas diperlukan 4,5 gram atau mungkin lebih. Kelebihan ini diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas atau FFA yang banyak pada minyak goreng bekas. Dapat pula mempergunakan KOH namun mempunyai harga lebih mahal dan diperlukan 1,4 kali lebih banyak dari soda. Proses pembuatan; Soda api dilarutkan dalam Metanol dan kemudian dimasukan kedalam minyak dipanaskan sekitar 55 oC, diaduk dengan cepat selama 15-20 menit kemudian dibiarkan dalam keadaan dingin semalam. Maka akan diperoleh biodiesel pada bagian atas dengan warna jernih kekuningan dan sedikit bagian bawah campuran antara sabun dari FFA, sisa metanol yang tidak bereaksi dan gliserin sekitar 79 ml.

Biodiesel merupakan cairan kekuningan pada bagian atas dipisahkan dengan mudah dengan menuang dan menyingkirkan bagian bawah dari cairan. Untuk skala besar produk bagian bawah dapat dimurnikan untuk memperoleh gliserin yang berharga mahal, juga sabun dan sisa metanol yang tidak bereaksi. Diagram alir pembuatan biodisel di tunjukkan pada Gambar 2.2 dibawah.

Gambar 2.2 Diagram Alir Biodiesel

Pembuatan biodiesel dapat dilakukan dengan cara berikut ini:

1. Proses reaksi kimia

Reaksi kimia dalam pembuatan biodiesel bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu :

1.a. Reaksi Trans-esterifikasi

Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi daritrigliserida (minyak nabati) menjadi alkyl ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, methanol adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis).Jadi, di sebagian besar dunia ini, biodiesel praktis identik dengan ester metil asam-asam lemak (Fatty Acids Metil Ester, FAME). Reaksi trans-esterifikasi di tunjukkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Reaksi Trans-esterifikasi

Tahapan reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel selalu menginginkan agar didapatkan produk biodiesel dengan jumlah yang maksimum. Beberapa kondisi reaksi yang mempengaruhi konversi serta perolehan biodiesel melalui transesterifikasi adalah sebagai berikut (Freedman, 1984):

a. Pengaruh air dan asam lemak bebas

Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam lemak bebas lebih kecil dari 0.5% (<0.5%). Selain itu, semua bahan yang akan digunakan harus bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.

b. Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1 dapat menghasilkan konversi 98% (Bradshaw and Meuly, 1944). Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka konversi yang

diperoleh juga akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-99%, sedangkan pada 3:1 adalah 74- 89%.Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang maksimum.

c. Pengaruh jenis alcohol.

Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi dibandingkan dengaan menggunakan etanol atau butanol.

d. Pengaruh jenis katalis

Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida (NaOCH3), dan kalium metoksida (KOCH3).Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida) Reaksi transesterifikasi akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0,5-1,5%-b minyak nabati. Jumlah katalis yang efektif untuk reaksi adalah 0,5%-b minyak nabati untuk natrium metoksida dan 1%-b minyak nabati untuk natrium hidroksida.

e. Metanolisis Crude dan Refined Minyak Nabati

Perolehan metil ester akan lebih tinggi jika menggunakan minyak nabati refined. Namun apabila produk metil ester akan digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel, cukup digunakan bahan baku berupa minyak yang telah dihilangkan getahnya dan disaring.

f. Pengaruh temperature

Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur 30 - 65° C (titik didih metanol sekitar 65° C). Semakin tinggi temperatur, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat.

Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester. Esterifikasi mereaksikan minyak lemak dengan alkohol.Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter asam kuat, dan karena ini, asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation asam kuat merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih dalam praktek industrial (Soerawidjaja, 2006).

Untuk mendorong agar reaksi bisa berlangsung ke konversi yang sempurna pada temperatur rendah (misalnya paling tinggi 120° C), reaktan metanol harus ditambahkan dalam jumlah yang sangat berlebih (biasanya lebih besar dari 10 kali nisbah stoikhiometrik) dan air produk ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak. Melalui kombinasi- kombinasi yang tepat dari kondisi-kondisi reaksi dan metode penyingkiran air, konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam. Reaksi esterifikasi dari asam lemak menjadi metil ester pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Reaksi esterifikas

Hal-hal yang Mempengaruhi Reaksi Esterifikasi

a. Waktu Reaksi

Semakin lama waktu reaksi maka kemungkinan kontak antar zat semakin besar sehingga akan menghasilkan konversi yang besar. Jika kesetimbangan reaksi sudah tercapai maka dengan bertambahnya waktu reaksi tidak akan menguntungkan karena tidak memperbesar hasil.

b. Pengadukan

Pengadukan akan menambah frekuensi tumbukan antara molekul zat pereaksi dengan zat yang bereaksi sehingga mempercepat reaksi dan reaksi terjadi sempurna.

c. Katalisator

Katalisator berfungsi untuk mengurangi tenaga aktivasi pada suatu reaksi sehingga pada suhu tertentu harga konstanta kecepatan reaksi semakin besar.Pada reaksi esterifikasi yang sudah dilakukan biasanya menggunakan konsentrasi katalis antara 1 - 4 % berat sampai 10 % berat campuran pereaksi (Mc Ketta, 1978).

d. Suhu Reaksi

Semakin tinggi suhu yang dioperasikan maka semakin banyak konversi yang dihasilkan, hal ini sesuai dengan persamaan Archenius. Bila suhu naik maka harga k makin besar sehingga reaksi berjalan cepat dan hasil konversi

Dokumen terkait