• Tidak ada hasil yang ditemukan

PTPN VIII,

A. HASIL AUDIT DAN PERBANDINGANNYA

4. Konsumsi Energi BBM

BBM yang digunakan di perkebunan Parakan Salak terdiri atas solar dan bensin. BBM di Parakan Salak diperlukan pada tiga tahap yaitu transportasi pucuk, pelayuan dan pengeringan dan untuk membangkitkan listrik. Pada tahun 2003 dan 2004, konsumsi total BBM perkebunan adalah sebanyak 940370.5 dan 934315 liter. Kebutuhan energi dari kedua jenis BBM adalah 17.50 MJ/Kg yang setara dengan 41.66% dari seluruh konsumsi energi. Rincian kebutuhan energi BBM untuk memproduksi tiap kilogram teh diberikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Kebutuhan energi BBM di Parakan Salak (MJ/Kg teh) Kegiatan Input energi Persentase Pemeliharaan TM Pemetikan pucuk 0.29 1.37 Transportasi 2.09 9.95 Pelayuan 0.19 0.89 Pengeringan 14.94 71.13 Generator 3.50 16.67 Jumlah 21.00 100

Nilai tengah konsumsi energi BBM keenam perkebunan yang diperbandingkan adalah 21.08 MJ/Kg teh dengan simpangan baku 4.37. Variasi konsumsi energi BBM antar perkebunan relatif yang lebih kecil dibanding konsumsi sumber energi lainnya (termasuk dibandingkan dengan input listrik yang akan dibahas kemudian). Kebutuhan rata-rata energi bahan bakar (berupa gas, minyak dan batu bara) dari 15 pabrik di Assam-India yang diteliti Baruah dan Bhattacharyya (1996) adalah 35.78 MJ/Kg teh dengan simpangan baku sebesar 13.26. Angka-angka di atas menunjukkan bahwa keenam pabrik tersebut memiliki nilai konsumsi yang lebih rendah dan lebih seragam dibandingkan konsumsi bahan bakar 15 perkebunan di India pada tahun 1996.

4.a Transportasi Pucuk

Parakan Salak memiliki kebutuhan energi BBM yang lebih besar dari perkebunan Gedeh namun lebih kecil bila dibanding yang lainnya.

Perkebunan Jayanegara memiliki kebutuhan energi BBM yang terbesar yakni sebesar 28.43 MJ/Kg teh walaupun begitu kebutuhan energi BBM untuk transportasi pucuknya adalah yang terkecil. Urutan perkebunan berdasarkan nilai kebutuhan energi BBM untuk transportasi pucuk adalah Tehnusamba, Parakan Salak, Goalpara, Ciater dan Jayanegara.

Kebutuhan energi untuk memindahkan pucuk yang besar terjadi paling tidak karena jarak kebun yang jauh dari pabrik atau jalan menuju ke kebun belum diaspal ataupun rusak berat. Untuk Parakan Salak, kedua hal ini terjadi. Selain lima afdelling memiliki jarak lebih dari 10 kilometer, jalan menuju afdelling dan jalan produksi di dalam kebun pun dalam keadaan yang rusak bahkan jalan kebun sebagian besar berupa jalan Makadam. Rasio jarak dengan volume BBM perkebunan ini selama tiga tahun terakhir adalah 4.24, 3.6 dan 3.79 Km/l (Lampiran 15) dan rasio BBM terhadap pucuknya adalah 0.022 l/Kg pucuk. Rasio jarak-BBM ini jauh dari optimal.

Bila dibandingkan dengan nilai konsumsi energi BBM dari Baruah dan Bhattacharyya (1996) yang sebesar 0.043 MJ/Kg teh maka nilai konsumsi untuk transportasi perkebunan Parakan Salak lebih besar 48.6 kali. Hal ini wajar karena mereka mengasumsikan bahwa jarak tempuh rata-rata hanya 1 kilometer dengan alat angkut traktor 26 KW dengan daya angkut 2400 per trip dan produksi teh hitam tahunan adalah 2000 Kg/Ha. 4.b Pelayuan Pucuk

Energi yang disumbangkan solar pada tahap pelayuan adalah 0.18659MJ/Kg teh. Ini adalah nilai terkecil diantara keenam perkebunan. Hal ini disebabkan Parakan Salak tidak lagi menggunakan heat exchanger untuk memanaskan udara pelayuan sejak Maret 2005 dan konsumsi totalnya selama tiga tahun terakhir hanya 27390 liter. Penyebab dari tidak dioperasikannya heat exchanger adalah biaya bahan bakar yang semakin tinggi. Masalah ini diatasi dengan menambah pekerja di bagian pelayuan dan menambah frekuensi pengiraban/pembalikan pucuk. Menurut data pabrik Parakan Salak, besarnya konsumsi solar per unit teh hitam pada

bagian pelayuan dari tahun 2003-2005 adalah 0.008, 0.003 dan 0.0025 liter/Kg teh atau setara dengan 0.38, 0.14 dan 0.12 MJ/Kg teh.

Selama pengukuran didapati bahwa perbedaan higrometrik udara pelayuan adalah 2.5, 3.2 dan 3.4 dalam skala Celcius. Perbedaan higrometrik ini cukup baik berdasarkan rekomendasi PPTK Gambung yakni sebesar 2.22-5.55 dalam skala Celcius. Dengan perbedaan suhu itu, pelayuan di pabrik Parakan Salak terjadi dengan laju masing-masing sebesar 374.01, 487.33 dan 457.16 Kg air/jam (Lampiran 20). Berdasarkan pengamatan, bagian ujung terjauh (arah timur) dari kipas penghembus lebih cepat mengalami pelayuan dibnding bagian yang lain. Hal ini disebabkan suhu ruang di bagian ini lebih tinggi karena mendapat radiasi matahari lebih banyak. Ujung lainnya yang berada dekat ruang udara panas terasa lebih dingin karena sedikit terpapar sinar matahari serta karena diluar bangunan terdapat saluran air terbuka yang mungkin sekali menyebabkan evaporative cooling terhadap lingkungan sekitarnya.

4.c Pengeringan Bubuk Basah

Pengeringan merupakan proses yang membutuhkan banyak asupan energi panas. Laju konsumsi solar per jam perkebunan Parakan Salak selama bulan Januari untuk FBD berkisar antara 71.15-96.25 liter dengan rata-rata konsumsi 83.85 liter/jam dan laju untuk VFBD adalah 66.36-84.44 liter/jam dengan laju konsumsi rata-rata 71.72 liter/jam. Konsumsi solar pabrik Parakan Salak di bagian pengeringan selama 3 kali pengukuran adalah 0.32, 0.34 dan 0.33 liter/Kg teh. Dengan konsumsi BBM per jam sebesar 59.083 liter/jam, perkebunan Ciater memiliki konsumsi BBM per kilogram teh hitam yang lebih baik dari Parakan Salak yaitu sebesar 0.22, 0.19, 0.19 dan 0.21 liter/Kg teh hitam (dari hasil 4 kali pengukuran). Sebaliknya walaupun konsumsi BBM per jamnya lebih rendah dari pada Parakan Salak, perkebunan Assam-Jayanegara memiliki konsumsi BBM per Kg teh yang lebih relatif tinggi yaitu sebesar 0.37, 0.32, 0.40, 0.39 dan 0.39 liter/Kg teh (dari hasil 5 kali pengukuran).

Menurut jenis mesin pengering yang digunakan maka Parakan Salak dapat diperbandingkan hanya dengan perkebunan Ciater. Kedua pabrik

sama-sama memliki 4 jalur produksi namun yang dioperasikan hanya 2. Kapasitas produksi pabrik teh Parakan Salak dan Ciater berturut-turut adalah sekitar 10900 Kg teh hitam/hari dan 11550 Kg teh hitam/hari (Tabel 6). Perbedaan antar keduanya antara lain terdapat pada selisih jumlah withering trough (Parakan Salak memiliki 33 buah sedangkan Ciater memiliki 35 buah) dan jenis alat pengiling teh (Parakan Salak menggunakan CTC triplex sedangkan Ciater menggunakan open top roller, press cup roller, rotorvane 16” dan DIBN). Tabel 14 memperlihatkan perbandingan konsumsi energi BBM antar perkebunan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa dengan kapasitas yang tidak berbeda jauh, konsumsi energi Parakan Salak hampir 2 kali lipat dari Ciater. Ini mengindikasikan bahwa konsumsi solar pada tahapan pengeringan di Parakan Salak lebih boros dari Ciater.

Tabel 14. Perbandingan konsumsi energi BBM oleh mesin pengering (MJ/kg) Pengukuran Tehnusamba (TSD1)) Jayanegara (TSD2)) Goalpara (TSD3)) Gedeh (TSD4)) Ciater (FBD5)) Parakan Salak (FBD) 1 17.59 17.68 8.71 8.33 8.74 15.08 2 15.18 15.29 8.60 7.55 7.81 14.18 3 18.76 19.11 8.54 7.78 7.68 15.56 4 18.51 18.63 8.73 7.24 8.41 5 19.26 18.63 7.36 6 6.30 7 8.40 Rata-rata 17.86 17.87 8.64 7.57 8.16 14.94

Sumber: 1) Anwar, 1990 3) Mulyawan, 1997 5) Kartikasari, 2002

2)

Santoso, 1999 4) Somantri, 2002

Dokumen terkait