• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi Kafein

Dalam dokumen INSOMNIA LANSIA (Halaman 29-36)

tidak puas. Seluruh jawaban SSQS dijumlahkan lalu dibagi 27. Nilai akhir didapatkan dari hasil penjumlahan skor akhir SSQN dan SSQS, dengan nilai tertinggi 15. Semakin tinggi nilai akhir maka semakin baik dukungan sosial yang didapatkan seseorang (Sarason, Levine, Basham, & et al., 1983).

2.3.5.5. Kebiasaan Sebelum Tidur (Sleep Hygiene) 1. Tidur Siang

Pengaruh tidur siang terhadap tidur malam hari masih kontroversial. Beberapa studi penelitian pada populasi umum melaporkan adanya hubungan antara tidur siang dan kesulitan tidur pada malam hari, dimana durasi tidur siang tampaknya menjadi faktor kunci. Durasi tidur yang lama di duga menyebabkan seseorang sering terbangun malam hari. Tidur siang yang terlalu sore diduga akan memengaruhi pola tidur malam dan membuat sulit tertidur (Ancoli-Israel & Martin, 2006).

Tidur siang menjelang sore dalam waktu satu jam memiliki dampak negatif pada tidur malam hari yaitu terjadi penurunan waktu tidur total, efisiensi tidur, dan terbangun malam hari. Lansia yang tidur pada sore hari atau menjelang malam akan mengalami terbangun malam hari (Ancoli-Israel & Martin, 2006). Tidur siang lebih dari 20 menit dapat menimbulkan sleep inertia yaitu perasaan pening dan disorientasi yang berlangsung beberapa menit hingga setengah jam (National Sleep Foundation, Napping).

Namun, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa tidur siang tidak selalu berdampak negatif pada arsitektur tidur di malam hari (Ancoli-Israel & Martin, 2006). Tidur singkat kurang dari 20 menit dilaporkan memiliki efek positif pada kewaspadaan, memperbaiki mood, meningkatkan kinerja, dan mengurangi kecelakaan (National Sleep Foundation, 2006). Brooks & Lack (2006) melaporkan bahwa tidur siang selama 10 menit paling efektif untuk mendapatkan manfaat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

24

Pada manusia, kafein merupakan stimulan pada sistem saraf pusat yang memiliki efek sementara untuk menangkal rasa kantuk dan memulihkan kewaspadaan. Kafein merupakan zat psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi dunia diperkirakan sekitar 120.000 ton/ tahun (Torres, 2009). Kopi dan teh merupakan jenis minuman berkafein yang paling sering dikonsumsi (Youngberg, Karpov, Begley, Pollock, & Buysee, 2011). Kafein bekerja dengan cara berikatan sementara pada reseptor adenosin mencegah ikatan adenosin (zat sedatif alami yang membuat rasa kantuk) dengan reseptornya di otak (Schardt, 2012). Selain itu, kafein juga meningkatkan produksi adrenalin (Belenky, 2001).

Pada umumnya orang\ tidak menyadari seberapa banyak kafein dapat memengaruhi tidur mereka (Schardt, 2012). Efek kafein terhadap tidur ditentukan oleh berbagai faktor yaitu dosis, waktu konsumsi kafein, dan perbedaan individu dalam sensitivitas maupun toleransi terhadap kafein. Kafein yang dikonsumsi dalam dosis lebih besar lebih mudah menimbulkan gangguan tidur. Kafein yang dikonsumsi sebelum tidur atau sepanjang hari dapat memperpanjang latensi onset tidur, mengurangi waktu tidur total, mengubah tahapan tidur normal, dan menurunkan kualitas tidur (Torres, 2009). Rutin mengonsumsi kafein akan membuat seseorang toleransi sehingga diperlukan kafein yang lebih banyak untuk menghasilkan efek yang diingankan. Hal ini menjadi lingkaran setan bagi orang tersebut, karena efek kafein terhadap tidur juga akan semakin meningkat sehingga gangguan tidur lebih mudah muncul (Schardt, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh National Sleep Foundation (2005) melaporkan bahwa orang yang mengonsumsi empat atau lebih cangkir minuman berkafein dalam sehari, lebih mudah mengalami setidaknya satu gejala insomnia. Konsumsi kopi sebanyak tiga cangkir (250 mg kafein) per hari dianggap cukup, jika lebih dari itu dianggap asupan kafein berlebihan. Efek kafein dapat dirasakan setelah 15 menit dikonsumsi. Di dalam tubuh, kafein dapat bertahan beberapa jam dan dibutuhkan waktu sekitar 6 jam untuk mengeliminasi kafein dari tubuh (Belenky, 2001). Penelitian terdahulu oleh Landolt, Werth, Borbely, & Dijk (1995) melaporkan bahwa

25

konsumsi kafein sebanyak 200 mg pada pagi hari atau sekitar 16 jam sebelum tidur memberikan efek minimal pada parameter tidur.

2.3.6 Manifestasi Klinis

Insomnia dapat menimbulkan manifestasi klinis gangguan tidur malam hari dan gangguan di siang hari (American Psychiatric Association, 2013). Pada malam hari, penderita insomnia akan mengalami kesulitan untuk memulai tidur, mempertahankan tidur, atau terbangun terlalu dini yang selanjutnya tidak bisa tidur kembali maupun bangun tidur yang tidak segar (Lichstein, Taylor, McCrae, & Ruiter, 2011). Hal ini biasanya menyebabkan gangguan pada siang hari berupa rasa kantuk, kelelahan, gangguan perhatian, konsentrasi, memori, mood, perubahan perilaku, gangguan pekerjaan atau akademik, gangguan hubungan sosial, dan berefek negatif dalam hubungan keluarga (Winkelman, 2015). Insomnia juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kecemasan tentang tidur bahkan hingga depresi karena individu tersebut berusaha keras untuk tertidur bahkan (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Selain itu, gejala lainnya berupa sakit kepala, gangguan gastrointestinal, ketegangan otot dan gejala lainnya (American Psychiatric Association, 2013; American Academy of Sleep Medicine, 2008).

2.3.7 Diagnosis

Anamnesis lengkap dan mendalam merupakan syarat utama dalam menegakkan diagnosis insomnia (Mai & Buysee, 2008). Seluruh keluhan pasien harus digali seperti riwayat kondisi medis, riwayat penggunaan obat-obatan, konsumsi kafein, alkohol, sleep hygiene, riwayat gangguan psikiatri lainnya, riwayat pekerjaan, lingkungan, keluarga, dan dan sosial. Hal penting lainnya yang harus digali adalah riwayat tidur-bangun pasien yaitu onset, durasi, frekuensi, dan gangguan tidur yang pernah dan/atau sedang terjadi (Nichols, Alper, & Milkin, 2007). Diagnosis insomnia dapat ditegakkan bila hasil anamnesis telah memenuhi kriteria tertentu, seperti yang termuat pada Tabel 2.6.

26

Selain anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan status mental dan pemeriksaan tambahan mungkin dapat dilakukan bila hasil anamnesis masih diragukan atau setelah pengobatan masih menunjukkan keluhan. Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh untuk menilai kondisi medis pasien secara langsung seperti obesitas, gangguan pernapasan, jantung, maupun neurologis. Pemeriksaan status mental dilakukan untuk mengevaluasi mood, afek, tingkat kewaspadaan, dan kemampuan untuk memperhatikan (Mai & Buysee, 2008). Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan yaitu polisomnografi (PSG). Pemeriksaan tambahan lainnya yang mungkin bisa dilakukan adalah neuroimaging untuk melihat adanya lesi struktural (Nichols, Alper, & Milkin, 2007).

Penggunaan instrumen dapat membantu proses anamnesis dalam menegakkan diagnosis maupun diagnosis banding insomnia seperti kuesioner, buku log tidur, checklist, tes skrining psikologis, dan interview teman tidur (Mai & Buysee, 2008). Salah satu kuesioner yang dapat digunakan adalah Insomnia Severity Index (ISI). Kuesioner ini pertama kali disusun oleh Morin pada tahun 1993 dengan nama Sleep

27

Impaiment Index. Namun, berkembangnya waktu banyak penelitian yang menguji validitas dan reliabilitas kuesioner ini untuk mendiagnosis insomnia. Aspek tidur yang dinilai adalah tingkat keparahan masalah susah tertidur, tetap tidur, dan bangun dini hari, ketidakpuasan dengan pola tidur, mengganggu aktivitas harian, seberapa terlihat masalah tidur yang dirasakan, dan distres yang muncul akibat gangguan tidur. Setiap pertanyaan memiliki jawaban skala likert yaitu, skor 0 : tidak ada masalah, skor 1 : ringan, skor 2 : sedang, skor 3 : parah, skor 4 dan: sangat parah. Total skor ISI dapat di interpretasikan menjadi empat pilihan yaitu tidak mengalami insomnia (0-7), insomnia ringan (15-21), insomnia parah (22-28) (Morin, LeBlanc, Daley, Gregoire, & & Merette, 2006).

2.3.8 Diagnosis Banding

2.3.8.1. Variasi Tidur Normal

Insomnia harus dibedakan dengan variasi tidur normal seperti petidur pendek . Pada petidur pendek tidak ada gejala sulit tidur maupun gejala di siang hari. Insomnia juga harus dibedakan pada individu yang kurang tidur akibat keadaan yang memaksakannya untuk terjaga sehingga menghasilkan tidur yang tidak adekuat (American Psychiatric Association, 2013).

2.3.8.2. Gangguan Tidur Lainnya

Gangguan tidur lainnya pada umumnya memiliki gejala mirip dengan insomnia yaitu sulit tertidur, sulit mempertahankan, maupun gejala di siang hari. Namun, masing-masing gangguan tidur memiliki karakteristik yang berbeda. Pada gangguan tidur irama sirkadian terjadi ketidaksejajaran antara periode tidur yang diinginkan dan yang sesungguhnya terjadi, misalnya tipe fase tidur terlambat ditandai dengan kesulitan tertidur pada waktu konvensional yang dikehendaki, namun setelah tertidur tidak ada kesulitan untuk mempertahankan tidur (American Psychiatric Association, 2013).

Gangguan tidur restless legs syndrome memberikan gambaran klinis sulit tertidur dan sulit mempertahankan tidur. Namun yang membedakannya dari insomnia adalah adanya gerakan kaki dan adanya rasa kesemutan pada kaki saat tidur.

28

Gangguan tidur narkolepsi juga bisa menyebabkan kesulitan tidur namun gejala siang hari berupa ngantuk berlebihan hingga tiba-tiba bisa tertidur, katapleksi, sleep paralysis, dan halusinasi. Sedangkan pada parasomnia ditandai dengan keluhan perilaku atau kejadian yang tidak biasa saat tidur yang dapat menyebabkan seseorang sering terbangun dan sulit untuk tidur kembali(American Psychiatric Association, 2013).

2.3.9 Penatalaksanaan 2.3.9.1. Non Farmakologi

Penatalaksanaan insomnia secara non farmakologi yaitu dengan menggunakan terapi kognitif perilaku (Cognitive-behavioral therapy/CBT). CBT merupakan kombinasi teknik perilaku dan kognitif untuk mengatasi disfungsi perilaku tidur, mispersepsi, distorsi, dan pikiran mengganggu tentang tidur (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Seperti yang terlihat pada Tabel 2.7. CBT terdiri dari sleep restriction, stimulus control, cognitive therapy, relaxation therapy, dan sleep hygiene (Winkelman, 2015). CBT dianggap sebagai lini pertama untuk pasien insomnia, maupun kasus komorbid insomnia dengan diagnosis lain (Schutte-Rodin, et al, 2008; Edinger, et al, 2009). Biasanya terapi ini disampaikan selama enam sampai delapan kali pertemuan (Winkelman, 2015).

Tabel 2.7. Komponen dari Cognitive-behavioral Therapy untuk pasien insomnia (Winkelman, 2015).

29 2.3.9.2. Farmakologi

Selama bertahun-tahun, benzodiazepin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati insomnia (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Tabel 2.8. memperlihatkan beberapa jenis obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi insomnia. Penggunaan obat-obatan ini biasanya jangka pendek untuk golongan hipnotik, dan untuk terapi jangka panjang untuk golongan melatonin agonis, golongan benzodiazepine-receptor agonist modulator non benzodiapine (misalnya eszopiclone) (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).

Tabel 2.8. Obat-obatan yang digunakan pada insomnia (Winkelman, 2015)

2.3.10 Dampak Negatif

Insomnia dapat menyebabkan masalah interpersonal, sosial, dan pekerjaan. Penurunan perhatian dan konsentrasi menyebabkan peningkatan angka kecelakaan. Insomnia kronik juga berhubungan dengan peningkatan risiko depresi, hipertensi, dan infark miokard. Dampak insomnia juga menyebabkan produktivitas seseorang menurun yang pada akhirnya menjadi beban ekonomi (American Psychiatric Association, 2013).

30

Angka morbiditas dan mortalitas pada penderita penyakit jantung dan kanker lebih tinggi pada individu yang lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam per hari dibandingkan dengan seseorang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per hari (Amir, 2007). Di Amerika Serikat, insomnia mengakibatkan sekitar 80 juta lansia mengalami kecelakaan dengan biaya pengobatan dan perawatan sekitar 100 juta dolar per tahun (Galimi, 2010).

2.3.11 Prognosis

Pada dasarnya prognosis insomnia baik bila penanganannya tepat (KEMENKES RI, 2013) BAB 3

Dalam dokumen INSOMNIA LANSIA (Halaman 29-36)

Dokumen terkait