• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSOMNIA LANSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INSOMNIA LANSIA"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

i

PROPOSAL PENELITIAN

GAMBARAN INSOMNIA PADA LANSIA

DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA NIRWANA PURI SAMARINDA

PERIODE MARET-APRIL 2016

MAULINDA PERMATASARI 1210015026

PROGAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA

(2)

ii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitin 1.4 Manfaat Penelitian BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lansia 2.1.1. Definisi 2.1.2. Demografi 2.1.3. Gambaran Kesehatan 2.2. Tidur 2.2.1. Fisiologi 2.2.2. Kebutuhan Tidur 2.2.3. Pengaturan Tidur 2.3. Insomnia 2.3.1. Definisi 2.3.2. Epidemiologi

2.3.3. Klasifikasi dan Penyebab 2.3.4. Patofisiologi

2.3.5. Faktor Risiko 2.3.6. Manifestasi Klinis 2.3.7. Diagnosis

(3)

iii 2.3.9. Penatalaksanaan

2.3.10. Prognosis

BAB 3 KERANGKA KONSEP BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.4. Cara Pengumpulan Data

4.5. Instrumen Penelitian 4.6. Variabel Penelitian 4.7. Definisi Operasional

4.8. Pengolahan dan Penyajian Data 4.9. Analisis Data

4.10. Jadwal Kegiatan 4.11. Alur Penelitian DAFTAR PUSTAKA

(4)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.Jumlah Penduduk Lansia

Tabel 2.2. Persentase Penduduk Lansia di Kalimantan Timur

Tabel 2.3. Persentase Penduduk Samarinda Berdasarkan Kelompok Usia Tabel 2.4. Kebutuhan Tidur yang Disarankan Berdasarkan Usia

Tabel 2.5. Jenis-Jenis Insomnia

Tabel 2.6. Kriteria Diagnostik Insomnia

Tabel 2.7. Komponen dari Cognitive-behavioral Therapy untuk pasien insomnia Tabel 2.8. Obat-obatan yang digunakan pada insomnia

(5)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Piramida Penduduk Indonesia Tahun 1994 dan 2014 Gambar 2.2. Piramida Penduduk Samarinda Tahun 2014

Gambar 2.3. Persentase Penduduk Lansia Indonesia yang Mengalami Keluhan Kesehatan selama Sebulan Terakhir Tahun 2012

(6)

vi DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Informasi Penelitian

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Responden Lampiran 3 Kuesioner

(7)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara global jumlah lansia terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk yang berpengaruh pada angka usia harapan hidup. Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa pada tahun 2000-2005 angka usia harapan hidup di dunia adalah 66,4 tahun, dan pada tahun 2011 angka usia harapan hidup meningkat menjadi 69,65 tahun (KEMENKES RI, 2013). Pada tahun 2015, jumlah lansia di dunia mencapai 901 juta jiwa. Jumlah ini akan terus meningkat seiring dengan target SDGs (Sustainable Development Goals) pada tahun 2030 untuk mencapai 1,4 milyar jiwa penduduk lansia berusia 60 tahun atau lebih di dunia (United Nations, 2015).

Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia (KEMENKES RI, 2015). Pada tahun 2014 jumlah lansia di Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa atau sekitar 8,03% dari seluruh penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2015). Hasil Sensus Penduduk di Indonesia menunjukkan bahwa terjadi peningkatan angka usia harapan hidup yaitu tiga dekade sebelumnya dari 60 tahun menjadi 70,07 tahun pada tahun 2013. Untuk Kaltim sendiri angka usia harapan hidup pada tahun 2013 berada di peringkat ke 5 nasional dan berada di atas rata-rata angka usia harapan hidup Indonesia yaitu 71,78 tahun (KEMENKES RI, 2015).

Salah satu komitmen nasional yang disepakati oleh negara-negara Asia Tenggara adalah menjadikan kesehatan lansia menjadi prioritas nasional (KEMENKES RI, 2015). Salah satu gangguan tidur terbanyak yang dikeluhkan oleh lansia yaitu insomnia (Chiu & Tsoh, 2011). Berdasarkan penelitian National Institute on Aging di Amerika Serikat menemukan 42% dari 9000 lansia yang berusia 65 tahun dilaporkan mengalami kesulitan untuk memulai tidur dan mempertahankan tidur (Foley D. , et al., 1995).

(8)

2

Penelitian di Thailand melaporkan bahwa 50% kasus insomnia terjadi pada usia diatas 60 tahun (Sukying, Bhokakul, & Udomsubpayakul, 2003). Penelitian pada lansia yang dilakukan di lima kota di Provinsi Shandong, China, melaporkan bahwa pada tahun 1997, sekitar 32,9% dari 1.679 lansia mengeluhkan gejala insomnia sedikitnya 3 kali per minggu dalam satu bulan terakhir, 22,3% diantaranya mengalami kesulitan memulai tidur, 23,1% mengalami kesulitan mempertahankan tidur, dan 5,2 % mengeluhkan terbangun dini hari (Liu & Liu, 2005) .

Di Indonesia, data kasus insomnia belum terdata secara baik sehingga tidak ada data pasti jumlah penderita insomnia. Namun diperkirakan, pada tahun 1997 terdapat sekitar 21% lansia Indonesia mengalami masalah gangguan tidur (Wahyuni, Tjekyan, & Darmayanti, 2009). Penelitian yang dilakukan di Panti Werda Dharma Bakti KM.7 Palembang pada tahun 2007 diperoleh bahwa 55% dari 40 responden lansia mengalami kualitas tidur yang buruk. Hal ini juga serupa dengan penelitian pada lansia yang berada di Balai Rehabilitasi Sosial “MANDIRI’ Semarang yaitu sebanyak 49 responden dari 75 responden yang berusia 60-74 tahun memiliki kualitas tidur yang buruk (Khasanah & Hidayati, 2012). Penelitian lain yang di lakukan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werda Wana Seraya Denpasar, Bali tahun 2014 melaporkan bahwa 6 dari 15 responden mengalami insomnia (Dewi & Ardani, 2014).

Setelah usia 45 tahun rasio perempuan dibanding laki-laki yang mengalami insomnia sekitar 1,7:1 (Riemann, et al., 2015). Survei menunjukkan sekitar 3% dari populasi memiliki gejala insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis umum maupun kejiwaan (American Academy of Sleep Medicine, 2008). Survei epidemiologik menunjukkan bahwa lansia yang tinggal di panti sosial sekitar 15%-75% merasa tidak puas pada kualitas tidur (Prayitno, 2002).

Beberapa studi penelitian pada populasi umum melaporkan beberapa faktor risiko insomnia pada lansia, misalnya terdapat hubungan antara tidur siang dan kesulitan tidur pada malam hari, dimana durasi tidur siang tampaknya menjadi faktor kunci (Ancoli-Israel & Martin, 2006). Kafein yang dikonsumsi sebelum tidur atau

(9)

3

sepanjang hari juga dapat memperpanjang latensi onset tidur, mengurangi waktu tidur total, mengubah tahapan tidur normal, dan menurunkan kualitas tidur (Torres, 2009).

Padahal insomnia dapat menyebabkan masalah interpersonal, sosial, dan pekerjaan. Penurunan perhatian dan konsentrasi menyebabkan peningkatan angka kecelakaan. Di Amerika Serikat, insomnia mengakibatkan sekitar 80 juta lansia mengalami kecelakaan dengan biaya pengobatan dan perawatan sekitar 100 juta dolar per tahun (Galimi, 2010).

Oleh karena itu, mengingat bahwa jumlah lansia semakin meningkat dan salah satu prioritas nasional adalah kesehatan lansia, serta dampak negatif yang ditimbulkan oleh insomnia, maka peneliti tertarik untuk meneliti kejadian insomnia dan faktor risiko insomnia pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda Periode Maret-April 2016.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana angka kejadian insomnia pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda periode Maret-April 2016?

2. Bagaimana gambaran faktor risiko yaitu usia, jenis kelamin, kondisi medis umum, dukungan sosial, kebiasaan tidur siang, dan konsumsi kafein pada lansia yang mengalami insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda periode Februari-Maret 2016?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Umum

1. Mengetahui angka kejadian insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.

2. Mengetahui gambaran faktor risiko terjadinya insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.

(10)

4 1.3.2 Khusus

1. Mengetahui gambaran usia pada lansia yang mengalami insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.

2. Mengetahui gambaran jenis kelamin pada lansia yang mengalami insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.

3. Mengetahui gambaran kondisi medis umum pada lansia yang mengalami insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.

4. Mengetahui gambaran dukungan sosial pada lansia yang mengalami insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.

5. Mengetahui gambaran kebiasaan tidur siang pada lansia yang mengalami insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.

6. Mengetahui gambaran konsumsi kafein pada lansia yang mengalami insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Praktis

1. Menambah pengetahuan masyarakat mengenai pengaruh faktor risiko usia, jenis kelamin, kondisi medis umum, dukungan sosial, kebiasaan tidur siang dan konsumsi kafein terhadap terjadinya insomnia.

2. Sebagai sumber informasi kepada responden mengenai insomnia agar responden dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidupnya.

1.4.2 Manfaat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

1. Menambah khazanah pengetahuan kedokteran di bidang Ilmu Psikogeriatri. 2. Meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan berkaitan dengan

insomnia.

(11)

5 1.4.3 Manfaat bagi Tempat Penelitian

1. Sebagai sumber informasi mengenai gambaran insomnia pada lansia yang tinggal di tempat penelitian agar pihak tempat penelitian dapat menentukan langkah selanjutnya untuk menangani kejadian tersebut.

1.4.4 Manfaat bagi Peneliti

1. Meningkatkan pengalaman dan keterampilan peneliti dalam menganalisa permasalahan yang ada dalam masyarakat.

2. Sebagai tempat mengaplikasikan ilmu yang diterima selama masa perkuliahan, khususnya di bidang psikogeriatri.

(12)

6 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia 2.1.1. Definisi

Lanjut usia atau yang sering dikenal dengan sebutan lansia adalah masa transisi kehidupan terakhir pada manusia. Menurut UU No.4 Tahun 1965, lansia adalah individu yang mencapai usia 55 tahun (Sutarti, 2014). Sedangkan menurut UU No.13 Tahun 1998 menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahum ke atas (KEMENKES RI, 2014).

WHO (1999) menggolongkan orang tua berdasarkan usia kronologis yaitu middle age (45-59 tahun), elderly (60-74 tahun), lanjut usia tua (75-90 tahun), dan very old (diatas 90 tahun) (Sutarti, 2014). Sedangkan, KEMENKES RI (2014) membagi lansia menjadi pra lansia (45-59 tahun), lansia (60-69 tahun), dan lansia risti (>70 tahun). Sedangkan Badan Pusat Statistik (2014) membagi lansia menjadi lansia muda (60-69 tahun), lansia madya (70-79 tahun), dan lansia tua (80 tahun ke atas).

2.1.2. Demografi

Peningkatan jumlah penduduk lansia yang berusia 60 tahun atau lebih merupakan fenomena global. Dari Tabel 2.1. diketahui bahwa hampir setiap wilayah di dunia mengalami peningkatan jumlah lansia dari tahun 2013 hingga tahun 2015. Peningkatan ini akan terus meningkat seiring dengan target SDGs pada tahun 2030 untuk mencapai 1,4 milyar jiwa penduduk lansia berusia 60 tahun atau lebih di dunia (United Nations, 2015).

(13)

7

Tabel 2.1.Jumlah Penduduk Lansia (United Nations, 2013, 2015; Badan Pusat Statistik, 2014, 2015)

Wilayah Tahun

2013 2015

Dunia 840.628.000 jiwa 900.906.000 jiwa Asia 468.549.000 jiwa 507.954.000 jiwa ASEAN 54.625.000 jiwa 59.008.000 jiwa Indonesia 20.040.000 jiwa 21.194.000 jiwa

Gambar 2.1. Piramida Penduduk Indonesia Tahun 1994 dan 2014 (Badan Pusat Statistik, 2015)

Pada Gambar 2.1. dapat terlihat bahwa pada tahun 2014 , ujung piramida penduduk Indonesia yaitu kelompok usia 60 tahun ke atas semakin melebar yag berarti terjadi peningkatan penduduk lansia. Proporsi lansia di Indonesia mencapai 8,03% dari keseluruhan penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk lansia, peningkatan angka usia harapan hidup dari tahun ke tahun, dan proporsi lansia diatas 7% menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan struktur penduduk menuju tua (ageing population).

Namun demikian, belum semua provinsi di Indonesia berstruktur penduduk tua walaupun jumlah lansia setiap provinsi mengalami peningkatan (Badan Pusat Statistik, 2015). Hal ini dikarenakan proporsi lansia di beberapa provinsi masih

(14)

8

dibawah 7%. Tabel 2.2. memperlihatkan bahwa persentase penduduk lansia di Kalimantan Timur mengalami peningkatan dari 4,03% pada tahun 2011 menjadi 4,66% pada tahun 2013. Persentase ini masih menetap pada tahun 2014. Masing-masing persentase kategori usia lansia mengalami naik turun setiap tahunnya. Diperkirakan persentase ini akan terus bertambah ditahun-tahun berikutnya (Badan Pusat Statistik, 2012, 2013, 2014, 2015).

Tabel 2.2. Persentase Penduduk Lansia di Kalimantan Timur (Badan Pusat Statistik, 2012, 2013, 2014, 2015) Usia Tahun 2011 2012 2013 2014 60-69 tahun 2,84 % 2,80 % 3,24 % 3,20 % 70-79 tahun 0,85 % 1,00 % 1,06 % 1,11 % 80+ tahun 0,34 % 0,26 % 0,36 % 0,34 % Total 4,03 % 4,06 % 4,66 % 4,66 %

Gambar 2.2. Piramida Penduduk Samarinda Tahun 2014 (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, 2015)

Gambar 2.2. menunjukkan bahwa penduduk Kota Samarinda didominasi oleh penduduk dewasa muda. Persentase penduduk terkecil adalah usia 75 tahun keatas sekitar 0,65% (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, 2015). Walaupun persentase

(15)

9

lansia masih cukup rendah di Samarinda, tetapi seperti yang terlihat pada Tabel 2.3. bahwa terjadi peningkatan persentase penduduk lansia dari tahun 2012 hingga tahun 2014 (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, 2015).

Tabel 2.3. Persentase Penduduk Samarinda Berdasarkan Kelompok Usia (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, 2015)

Usia Tahun

2012 2013 2014

0-14 tahun 28,4 % 27,29 % 27,30 % 14- 64 tahun 69,4 % 70,28% 70,26 %

65+ tahun 2,20 % 2,43 % 2,44 %

2.1.3. Gambaran Kesehatan Lansia

Secara biologis, lansia mengalami penurunan fungsi fisiologis tubuh yang mengarah pada kemunduran kesehatan fisik maupun psikis yang dapat berpengaruh pada aktivitas sehari-hari. Penurunan fungsi fisiologis ini menyebabkan lansia rawan terkena penyakit tidak menular maupun penyakit menular. Faktor yang juga memengaruhi kondisi lansia adalah pola hidup yang dijalani sejak kecil. Pola hidup yang kurang sehat akan mempermudah timbulnya penyakit (KEMESNKES RI, 2013).

Gambar 2.3. Persentase Penduduk Lansia Indonesia yang Mengalami Keluhan Kesehatan selama Sebulan Terakhir Tahun 2012 (KEMENKES RI, 2013)

(16)

10

Gambar 2.3. memperlihatkan separuh lebih (52,12%) lansia mengalami keluhan kesehatan selama satu bulan terakhir pada tahun 2012. Persentase lansia perempuan yang mengalami keluhan kesehatan lebih tinggi yaitu 53,74% dibandingkan lansia laki-laki sekitar 50,22% (KEMENKES RI, 2013).

2.2 Tidur 2.2.1 Fisiologi

Tidur adalah keadaan organisme yang teratur, berulang dan bersifat reversibel yang ditandai oleh peningkatan ambang respons terhadap stimuli eksternal dan organisme tersebut relatif tidak bergerak (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Tidur merupakan keadaan bawah sadar seseorang tetapi masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan dari luar, dan memiliki pengalaman kesadaran dunia internal misalnya mimpi (Guyton & Hall, 2012; Sherwood, 2012).

Seseorang yang tidur akan mengalami dua jenis tidur yaitu tidur dengan gerakan mata tidak cepat atau tidur gelombang lambat (Non Rapid Eye Movement; NREM) yang terdiri dari 4 stadium, dan tidur dengan gerakan mata cepat atau tidur paradoksikal (Rapid Eye Movement; REM) (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015; Sherwood, 2012). Kedua jenis tidur ini akan secara siklik bergantian satu sama lain (Guyton & Hall, 2012).

Sebagian besar fungsi fisiologis menurun pada keadaan tidur NREM, seperti denyut jantung, respirasi, dan tekanan darah cenderung rendah dibanding saat terjaga bahkan aliran darah ke berbagai jaringan menurun (National Sleep Foundation, 2006). Pada tahap ini tidur relatif tenang, namun gerakan tubuh yang episodik dan involunter juga dapat ditemukan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Tidur NREM sering disebut tidur tanpa mimpi (Guyton & Hall, 2012). Tidur NREM lebih mudah dibangunkan dibandingkan tidur REM (Sherwood, 2012).

Tidur REM ditandai oleh peningkatan aktivitas otak dan fungsi fisiologi tubuh seperti peningkatan denyut jantung dan pernapasan yang ireguler, serta tekanan darah yang berfluktuatif dibandingkan saat tidur NREM (National Sleep Foundation, 2006).

(17)

11

Guyton & Hall (2012) menyebutkan bahwa tidur REM terjadi peningkatan metabolisme otak sekitar 20% , tonus otot tubuh sangat menurun, dan terjadi hambatan yang kuat pada otot-otot perifer namun masih terdapat gerakan otot yang tak teratur terutama pergerakan mata yang cepat. Tidur REM sulit dibangunkan tetapi cenderung bangun sendiri (Sherwood, 2012).

Hingga kini fungsi tidur masih belum jelas, namun sebagian besar peneliti menyimpulkan bahwa tidur berfungsi restoratif, fungsi homeostatik, termoregulasi dan cadangan energi (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Guyton & Hall (2012) menyebutkan bahwa memulihkan keseimbangan antara pusat-pusat neuron merupakan nilai utama dari tidur.

2.2.2 Kebutuhan Tidur

Kebutuhan tidur seseorang berbeda dalam tiap tahap kehidupannya. Pada Tabel.2.4., National Heart, Lung, and Blood Institute (2012) membagi kebutuhan tidur anak menjadi dua kategori yaitu anak usia prasekolah sekitar 11 sampai 12 jam per hari, sedangkan anak usia sekolah setidaknya dibutuhkan waktu tidur sekitar 10 jam per hari.

Tabel 2.4. Kebutuhan Tidur yang Disarankan Berdasarkan Usia (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2012)

Usia Kebutuhan Tidur yang Disarankan

Bayi 16-18 jam per hari

Usia Prasekolah (3-5 tahun) 11-12 jam per hari

Usia Sekolah (5-12 tahun) Sedikitnya 10 jam per hari Remaja (12-18 tahun) 9-10 jam per hari

Dewasa 7-8 jam per hari

(18)

12

Sebagian besar siklus tidur-bangun dikendalikan oleh sistem aktivasi retikular (ascending reticular activating system/ARAS). Pada saat terjaga, neuron-neuron ARAS memproyeksikan sinyal ke daerah otak yang lebih tinggi. Sedangkan saat tidur NREM, terjadi hambatan sinyal terjaga dari hipotalamus dan batang otak menuju daerah otak yang lebih tinggi. Pengendalian transisi tidur REM dan tidur NREM diatur oleh pusat on (sublaterodorsal region dan precoeruleus area) dan REM-off (ventrolateral periaqueductal grey matter dan daerah lateral tegmentum pontin) yang bekerja saling menghambat seperti saklar listrik (Riemann, et al., 2015).

Banyak penelitian yang mendukung peranan serotonin dalam pengendalian tidur. Inhibisi sintesis serotonin atau destruksi nukleus rafe dorsalis (badan sel serotonergik otak) di batang otak menyebabkan penurunan tidur (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Konsumsi L-tryptophan (prekursor asam amino pada pembentukan dan pelepasan serotonin) sekitar 1 sampai 15 gram dapat mempercepat seseorang untuk jatuh tertidur dan menurunkan terjaga malam (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Hal ini juga didukung oleh percobaan pada hewan coba yang diberi obat penghambat serotonin menyebabkan hewan tersebut tidak dapat tidur dalam beberapa hari berikutnya (Guyton & Hall, 2012). Oleh karena itu, serotonin dianggap merupakan neurotransmitter yang berperan dalam tidur (Guyton & Hall, 2012).

Neurotransmitter lain yang ikut terlibat dalam tidur adalah norepinefrin, asetilkolin, dan dopamin. Konsumsi obat-obatan yang merangsang neuron-neuron penyekresi norepinefrin menyebabkan penurunan tidur REM dan meningkatkan keadaan terjaga penuh. Selain itu, konsumsi obat-obatan yang memicu peningkatan dopamin menyebabkan seseorang terjaga penuh. Sedangkan, pada hewan coba yang dilakukan penyuntikkan agonis kolinergik muskarinik ke neuron pontin formasi retikularis menyebabkan perubahan keadaan terjaga menjadi tidur REM (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).

Pada penelitian hewan coba, substansi transmiter lain yang mungkin berkaitan dengan tidur yaitu muramil peptida merupakan suatu substansi dengan berat molekul

(19)

13

rendah yang menumpuk di cairan serebropinal dan urin pada hewan yang terjaga selama beberapa hari. Bila substansi ini disuntikkan ke ventrikel ketiga otak hewan lain dapat menyebabkan hewan tersebut tertidur dalam beberapa jam (Guyton & Hall, 2012). Dua senyawa lain yang berperan dalam siklus tidur-bangun yaitu melatonin dan adenosin (Riemann, et al., 2015). Siklus gelap terang memengaruhi sekresi melantonin yaitu pada saat cahaya masuk ke retina, maka neuron fotoreseptor nukleus suprakiasmatik akan teraktivasi. Nukleus suprakiasmatik di hipotalamus akan merangsang kelenjar pineal untuk mensekresikan melatonin yang menimbulkan rasa lelah (Galimi, 2010). Neuropeptida lain yaitu adenosin telah teridentifikasi sebagai promotor tidur dan memengaruhi jumlah waktu terjaga seseorang (Riemann, et al., 2015).

2.3 Insomnia 2.3.1 Definisi

Insomnia adalah keadaan sulit untuk jatuh tertidur, sulit mempertahankan tidur, dan bangun tidur yang terlalu dini (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Menurut National Sleep Foundation (2006), insomnia merupakan suatu gangguan tidur yang ditandai oleh kesulitan untuk tidur atau tetap tidur dalam waktu yang wajar, maupun keadaan bangun tidur yang tidak segar atau kualitas tidur yang buruk.

Menurut The International Classification of Sleep Disorders-3 (ICSD-3), insomnia adalah kesulitan berulang dalam inisiasi tidur, durasi tidur, konsolidasi, atau kualitas tidur yang sebenarnya memiliki kesempatan adekuat untuk tidur, dan menimbulkan beberapa gejala di siang hari (Spriggs, 2014).

Pendapat lain menyatakan bahwa insomnia setidaknya terdiri dari satu gejala tidur dan satu gejala bangun. Gejala tidur meliputi sulit memulai tidur, sulit mempertahankan tidur, bangun terlalu dini, dan bangun tidur yang tidak segar. Sedangkan gejala bangun meliputi rasa kantuk, lelah, gangguan kognitif, gangguan mood, gangguan pekerjaan atau gangguan sosial (Lichstein, Taylor, McCrae, & Ruiter, 2011).

(20)

14

Menurut American Academy of Sleep Medicine (2008), sekitar 30% orang dewasa memiliki gejala insomnia, 10% orang dewasa mengalami insomnia yang cukup parah hingga mempengaruhi rutinitas harian, dan 10% orang dewasa mengalami insomnia kronik. Sekitar 15%-25% dari kasus insomnia kronik merupakan insomnia primer (American Psychiatric Association, 2000).

Pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-V (DSM-V) tertulis bahwa prevalensi insomnia pada populasi dunia menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari orang dewasa melaporkan gejala insomnia, 10%-15% insomnia berkaitan dengan gangguan jam harian, dan 6%-10% memiliki gejala yang memenuhi kriteria insomnia (American Psychiatric Association, 2013).

Peningkatan prevalensi insomnia berhubungan dengan bertambahnya usia, yaitu hampir 50% pada individu yang berusia 65 tahun atau lebih tua (Ohayon, 2002). Berdasarkan penelitian National Institute on Aging di Amerika Serikat menemukan 42% dari 9000 lansia yang berusia 65 tahun dilaporkan mengalami kesulitan untuk memulai tidur dan mempertahankan tidur (Foley D. , et al., 1995).

Penelitian pada lansia yang dilakukan di lima kota di Provinsi Shandong, China, melaporkan bahwa pada tahun 1997, sekitar 32,9 % dari 1.679 lansia mengeluhkan gejala insomnia sedikitnya 3 kali per minggu dalam satu bulan terakhir, 22,3 % diantaranya mengalami kesulitan memulai tidur, 23,1% mengalami kesulitan mempertahankan tidur, dan 5,2 % mengeluhkan terbangun dini hari (Liu & Liu, 2005). Salah satu penelitian di Malaysia pada 2075 responden dewasa di pelayanan kesehatan primer, didapatkan 60% responden memiliki setidaknya satu gejala insomnia, dengan 38,9% kasus merupakan insomnia derajat 1, 30,7% kasus insomnia derajat 2, dan 28,6% kasus insomnia derajat 3. Di antara semua responden hanya 6,3% dan di antara mereka dengan insomnia hanya 14,2% yang mendiskusikan gangguan tidur tersebut kepada dokter (Zailinawati, Mazza, & Teng, 2012).

Penelitian di Thailand melaporkan bahwa 50% kasus insomnia terjadi pada usia diatas 60 tahun (Sukying, Bhokakul, & Udomsubpayakul, 2003). Insomnia dapat terjadi pada lansia yang sebelumnya tidak pernah mengalami insomnia dengan angka kejadian sekitar 5 % (Foley, et al., 1999).

(21)

15

Di Indonesia, data kasus insomnia belum terdata secara baik sehingga tidak ada data pasti jumlah penderita insomnia. Pada tahun 1997, sekitar 21% lansia Indonesia mengalami masalah gangguan tidur (Wahyuni, Tjekyan, & Darmayanti, 2009). Penelitian yang dilakukan di Panti Werda Dharma Bakti KM.7 Palembang pada tahun 2007 diperoleh bahwa 55% dari 40 responden lansia mengalami kualitas tidur yang buruk. Hal ini juga serupa dengan penelitian pada lansia yang berada di Balai Rehabilitasi Sosial “MANDIRI’ Semarang yaitu sebanyak 49 responden dari 75 responden yang berusia 60-74 tahun memiliki kualitas tidur yang buruk (Khasanah & Hidayati, 2012). Penelitian lain yang di lakukan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werda Wana Seraya Denpasar, Bali tahun 2014 melaporkan bahwa 6 dari 15 responden mengalami insomnia (Dewi & Ardani, 2014).

Insomnia lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,4:1 (American Psychiatric Association, 2013). Perbedaan ini akan semakin terlihat jelas setelah usia 45 tahun yaitu rasio perempuan dibanding laki-laki sekitar 1,7:1 (Riemann, et al., 2015). Meskipun prevalensi insomnia lebih tinggi pada perempuan, studi polisomnografik menduga bahwa kontinuitas tidur dan tidur gelombang lambat pada perempuan dewasa lebih baik daripada laki-laki dewasa (American Psychiatric Association, 2013).

Survei menunjukkan sekitar 3 % dari populasi memiliki gejala insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis atau kejiwaan (American Academy of Sleep Medicine, 2008). Hal ini juga dinyatakan dalam DSM-V bahwa sekitar 40%-50% dari kasus insomnia merupakan komorbid dengan gangguan mental lainnya (American Psychiatric Association, 2013).

(22)

16

Gambar 2.4. Prevalensi insomnia pada studi populasi lansia di India Utara (Gambhir, Chakrabarti, Sharma, & Saran, 2014)

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gambhir, Chakrabarti, Sharma, & Saran (2014) melaporkan bahwa 32% dari 504 lansia yang diteliti mengalami gangguan tidur. Gambar 2.4. menjelaskan hasil penelitian tersebut bahwa persentase terbanyak adalah early insomnia, diikuti oleh late insomnia, middle insomnia, dan hipersomnolen.

2.3.3 Klasifikasi dan Penyebab

Insomnia terbagi menjadi dua jenis, yaitu insomnia primer dan insomnia sekunder. Insomnia primer adalah insomnia yang terjadi tidak berkaitan dengan adanya gangguan medik atau gangguan mental lainnya (American Academy of Sleep Medicine, 2008). Sedangkan, insomnia sekunder terjadi karena adanya gangguan medik atau gangguan mental lainnya maupun lingkungan (American Academy of Sleep Medicine, 2008). Insomnia primer maupun sekunder terdiri dari beberapa jenis insomnia seperti yang terlihat pada Tabel 2.5.

(23)

17

Berdasarkan waktu terjadinya, insomnia dapat dikategorikan menjadi initial insomnia, middle insomnia, dan late terminal insomnia. Initial insomnia adalah kesulitan seseorang untuk memulai tidur setelah lebih dari 20-30 menit berada di tempat tidur. Middle insomnia adalah kesulitan seseorang mempertahankan tidurnya setelah onset tidur dimulai, dan keadaan terjaga ini berlangsung lebih dari 20-30 menit. Sedangkan late insomnia adalah keadaan seseorang yang terbangun terlalu dini sebelum jadwal seharusnya untuk bangun disertai ketidakmampuan untuk tidur kembali setelahnya. Kesulitan mempertahankan tidur merupakan gejala tunggal paling sering dari insomnia, diikuti dengan kesulitan untuk memulai tidur, sedangkan kombinasi gejala tersebut tersebut merupakan presentasi yang paling umum secara keseluruhan (American Psychiatric Association, 2013).

2.3.4 Patofisiologi

Secara khusus, pasien insomnia mengalami penghambatan saat peralihan dari keadaan terjaga ke keadaan tidur pada beberapa daerah otak yaitu ascending reticular activating system, hypothalamus, thalamus, amygdala, hippocampus, insula, dan

(24)

18

anterior cingulate dan pre frontal cortices. Penemuan ini menunjukkan bahwa aktivitas yang berlebihan dari arousal, regulasi emosi, dan sistem kognitif terlibat dalam patofisiologi insomnia (Riemann, et al., 2015)

Penelitian lain dengan pendekatan cross-sectional case-control telah melakukan penyelidikan terhadap hypothalamic-pituitary-adrenal axis (dengan kortisol sebagai stress response hormone yang utama) dan aktivitas saraf otonom sebagai pemicu terjadinya peningkatan arousal. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan aktivitas yang berlebihan pada sistem ini terjadi pada kasus insomnia (Riemann, et al., 2015).

Hyperarousal pada insomnia menyebabkan berbagai manifestasi yaitu meningkatnya metabolisme tubuh selama tidur NREM tahap 2, peningkatan kortisol, peningkatan konsumsi glukosa otak selama tidur-bangun, dan peningkatan tekanan darah dan frekuensi tinggi EEG selama tidur (Bonnet & Arand, 2012). Salah satu penelitian metaanalisis menunjukkan bahwa sebagian besar pasien insomnia tidur 25 menit lebih sedikit daripada individu petidur baik (Riemann, et al., 2015).

Beberapa penelitian cross-sectional menggunakan MRI menunjukkan terjadinya pengurangan grey matter pada lobus frontalis dan pengurangan integritas white matter tracts di kapsula interna anterior pada pasien insomnia. Studi lainnya menunjukkan bahwa volume hipokampus berkurang pada pasien insomnia . Beberapa penelitian selanjutnya juga melaporkan bahwa pada pasien insomnia mengalami peningkatan volume anterior cingulate gyrus dan penurunan volume kelenjar pineal. Secara keseluruhan dari penelitian-penelitian tersebut masih belum direplikasikan pada penelitian lainnya, sehingga menghasilkan temuan yang tidak konsisten (Riemann, et al., 2015).

2.3.5 Faktor Risiko 2.3.5.1. Usia

Usia merupakan salah satu faktor paling berperan dalam timbulnya insomnia (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Pola tidur-bangun berubah pada tiap

(25)

19

tahap kehidupan manusia (Amir, 2007). Hampir semua studi epidemiologi melaporkan terjadinya peningkatan prevalensi insomnia seiring bertambahnya usia. Kejadian insomnia tinggi pada usia dewasa pertengahan dan lansia (American Academy of Insomnia Medicine, 2008). Peningkatan kejadian insomnia pada lansia berhubungan dengan perubahan sistem regulasi dan fisiologis tubuh yang berperan dalam arsitektur tidur dan irama sirkadian (Chiu & Tsoh, 2011)

Penurunan fungsi nukleus suprakiasmatikus berkaitan dengan bertambahnya usia (Endeshaw & Bliwise, 2006). Penurunan fungsi ini diduga akibat berkurangnya jumlah sel atau aktivitas neuron nukleus suprakiasmatikus. Pada lansia yang mengalami penurunan fungsi nukleus suprakiasmatikus akan menyebabkan terjadinya gangguan irama sirkadian (Chiu & Tsoh, 2011). Gejala yang timbul akibat gangguan irama sirkadian adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada rangsangan tidur. Hal ini menyebabkan pasien tidur dan bangun pada waktu yang tidak tepat, sehingga meningkatkan risiko insomnia dan peningkatan frekuensi tidur (Galimi, 2010). Penurunan fungsi nukleus suprakiasmatikus juga diduga disebabkan oleh penurunan paparan cahaya, aktivitas fisik dan sosial saat memasuki usia lanjut (Endeshaw & Bliwise, 2006).

Walaupun terjadi peningkatan insomnia seiring bertambahnya usia, tetapi pertambahan usia tidak menjadi faktor mutlak timbulnya insomnia pada lansia (Endeshaw & Bliwise, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Tsou (2013) melaporkan bahwa penuaan berhubungan dengan penurunan risiko insomnia pada lansia di Taiwan Utara. Tsou berpendapat bahwa penelitiannya sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Foley (1999) yang meneliti 6800 lansia menyatakan bahwa penuaan tidak bertanggung jawab atas insiden insomnia. Berdasarkan survei National Sleep Foundation tahun 2003 bahwa penuaan tidak berhubungan dengan kesulitan tidur (Foley, Ancoli-Israel, Britz, & Walsh, 2004). Penelitian lain juga menyatakan bahwa usia tidak berkontribusi dalam terjadinya insomnia pada lansia yang sehat (Ohayon, Zulley, Guilleminault, Smime, & Priest, 2001).

(26)

20 2.3.5.2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin juga memiliki efek yang kuat terhadap prevalensi insomnia (Riemann, et al., 2015). Insomnia lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,4:1 (American Psychiatric Association, 2013). Perbedaan ini akan semakin terlihat jelas setelah usia 45 tahun yaitu rasio perempuan dibanding laki-laki sekitar 1,7:1 (Riemann, et al., 2015). Meskipun prevalensi insomnia lebih tinggi pada perempuan, studi polisomnografik menduga bahwa kontinuitas tidur dan tidur gelombang lambat pada perempuan dewasa lebih baik daripada laki-laki dewasa (American Psychiatric Association, 2013).

Onset pertama insomnia pada perempuan sering dikaitkan dengan kelahiran anak baru ataupun dengan menopause (American Psychiatric Association, 2013). Pada fase premenopause terjadi peningkatan keterjagaan, terutama pada saat kedua hormon reproduksi yaitu estrogen dan progesteron mengalami penurunan. Estrogen berperan dalam metabolisme norepinefrin, serotonin (5 HT), dan asetilkolin yang masing-masing substansi tersebut berperan dalam siklus tidur-bangun. Estrogen terbukti menurunkan latensi tidur, mengurangi jumlah terbangun setelah onset tidur, dan meningkatkan waktu tidur total. Estrogen juga berperan dalam pengaturan suhu di dalam tubuh. Efek yang ditimbulkan saat kadar estrogen rendah adalah hot flashes yang berkaitan dengan peningkatan keterjagaan pada saat menopause. Estrogen mungkin memiliki dampak secara langsung pada mood melalui reseptor sistem saraf pusat sebagai antidepresan (Eichling & Sahni, 2005).

Pemberian progesteron secara intravena memberikan efek sedatif, merangsang reseptor benzodiazepin yang pada gilirannya merangsang tidur NREM. Penurunan progesteron saat menopause menyebabkan kesulitan tidur dan meningkatkan keterjagaan (Eichling & Sahni, 2005).

2.3.5.3. Kondisi Medis Umum

Kondisi medis seseorang berhubungan dengan masalah tidur dan prevalensi insomnia (Sivertsen, Krokstad, Overland, & Mykletun, 2009). Hubungan kondisi medis dengan insomnia terjadi secara dua arah, yaitu penyakit fisik

(27)

21

menyebabkan insomnia, ataupun sebaliknya insomnia menyebabkan penyakit fisik (Tsou, 2013). Sebagai contoh, individu yang menderita insomnia primer dapat memunculkan gejala lelah atau lesu, yang kemudian mengarah pada peningkatan masalah psiko-fisiologi yang berkaitan dengan stres seperti tension headaches, peningkatan ketegangan otot, gangguan lambung, dan sebagainya (American Psychiatric Association, 2000).

Insomnia juga bisa disebabkan oleh penyakit fisik yang disebut sebagai insomnia sekunder yang telah dijelaskan pada bagian klasifikasi sebelumnya. Taylor, et al. (2007) melaporkan bahwa individu dengan masalah kesehatan kronik meningkatkan risiko terjadinya insomnia. Ohayon (2002) menyatakan bahwa banyak penderita insomnia melaporkan menderita penyakit fisik yaitu artritis, penyakit jantung, stroke, gangguan pernapasan, dan nyeri tulang belakang serta penyakit kronik lainnya.

Survei menunjukkan sekitar 3% dari populasi memiliki gejala insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis umum maupun kejiwaan (American Academy of Sleep Medicine, 2008). Penelitian pada lansia yang memiliki penyakit fisik lebih mudah menderita insomnia dibandingkan lansia yang sehat (Foley, Ancoli-Israel, Britz, & Walsh, 2004).

2.3.5.4. Dukungan Sosial

Umumnya lansia ingin menikmati hari tuanya di lingkungan keluarga namun tak jarang pula lansia harus terpisah dengan keluarga mereka oleh sebab apapun. Keterpisahan ini dapat menimbulkan masalah psikologis pada lansia. Hal ini juga dapat terjadi pada kondisi dimana lansia harus tinggal di panti sosial oleh sebab keluarga tak mampu mengurus, maupun masalah ekonomi. Mishra (2004) melaporkan bahwa lansia yang tinggal di suatu institusi merasa tidak puas, dan kesepian karena terpisah dari keluarga dan komunitas luas. Rasa kesepian ini juga berkaitan dengan kurangnya dukungan sosial yang mereka terima. Rasa kesepian memiliki hubungan dengan kualitas tidur yang buruk. Sering berhubungan dengan

(28)

22

keluarga atau kerabat dapat mengurangi rasa kesepian, sehingga mengurangi kemungkinan gangguan tidur (Ailshire & Burgard, 2012).

Menurut Sarafino yang dikutip oleh Hayati (2010), dukungan sosial mengacu pada rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain kepada individu. Dukungan sosial bisa berupa instrumental, informasional, penghargaan, emosi, dan integrasi sosial. Dukungan sosial bisa datang dari berbagai pihak, namun dukungan sosial yang utama berasal dari mereka yang memiliki kedekatan emosional seperti keluarga dan kerabat terdekat (Hayati, 2010).

Survei epidemiologik menunjukkan bahwa lansia yang tinggal di panti sosial sekitar 15%-75% merasa tidak puas pada kualitas tidur (Prayitno, 2002). Beberapa penelitian terbaru menyoroti pentingnya hubungan keluarga atau kerabat dekat dengan durasi dan kualitas tidur. Namun, belum ada kerangka konsep yang tepat untuk menjelaskan mekanisme hubungan tersebut. Hubungan keluarga atau kerabat dekat memberikan perawatan emosional dan kenyamanan yang menurunkan risiko stres pada lansia sehingga dapat membatasi efek dari stress yaitu menurunnya kualitas tidur. Selain itu, penelitian yang lain menunjukkan bahwa lansia yang mendapatkan dukungan sosial yang baik memiliki tidur yang lebih baik pula (Ailshire & Burgard, 2012).

Dukungan sosial dapat dinilai dengan bantuan kuesioner yaitu Social Support Questionnaire (SSQ). Kuesioner ini telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia dan telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Kuesioner ini terdiri dari 27 pertanyaan dalam 2 bentuk pertanyaan yakni social questionnaires number (SSQN) dan social questionnaire satisfaction (SSQS). Penilaian pada komponen SSQN bergantung tempat yang diisi, tiap tempat yang diisi mendapat skor 1, sedangkan tidak terisi mendapat skor 0. Seluruh jawaban SSQN dijumlahkan lalu dibagi 27. Sedangkan, komponen SSQS responden diminta untuk menggambarkan kepuasan yang diterimanya pada komponen SSQN. Pilihan jawaban berupa skala likert yaitu sangat puas, cukup puas, agak puas, agak tidak puas, cukup tidak puas, dan sangat

(29)

23

tidak puas. Seluruh jawaban SSQS dijumlahkan lalu dibagi 27. Nilai akhir didapatkan dari hasil penjumlahan skor akhir SSQN dan SSQS, dengan nilai tertinggi 15. Semakin tinggi nilai akhir maka semakin baik dukungan sosial yang didapatkan seseorang (Sarason, Levine, Basham, & et al., 1983).

2.3.5.5. Kebiasaan Sebelum Tidur (Sleep Hygiene) 1. Tidur Siang

Pengaruh tidur siang terhadap tidur malam hari masih kontroversial. Beberapa studi penelitian pada populasi umum melaporkan adanya hubungan antara tidur siang dan kesulitan tidur pada malam hari, dimana durasi tidur siang tampaknya menjadi faktor kunci. Durasi tidur yang lama di duga menyebabkan seseorang sering terbangun malam hari. Tidur siang yang terlalu sore diduga akan memengaruhi pola tidur malam dan membuat sulit tertidur (Ancoli-Israel & Martin, 2006).

Tidur siang menjelang sore dalam waktu satu jam memiliki dampak negatif pada tidur malam hari yaitu terjadi penurunan waktu tidur total, efisiensi tidur, dan terbangun malam hari. Lansia yang tidur pada sore hari atau menjelang malam akan mengalami terbangun malam hari (Ancoli-Israel & Martin, 2006). Tidur siang lebih dari 20 menit dapat menimbulkan sleep inertia yaitu perasaan pening dan disorientasi yang berlangsung beberapa menit hingga setengah jam (National Sleep Foundation, Napping).

Namun, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa tidur siang tidak selalu berdampak negatif pada arsitektur tidur di malam hari (Ancoli-Israel & Martin, 2006). Tidur singkat kurang dari 20 menit dilaporkan memiliki efek positif pada kewaspadaan, memperbaiki mood, meningkatkan kinerja, dan mengurangi kecelakaan (National Sleep Foundation, 2006). Brooks & Lack (2006) melaporkan bahwa tidur siang selama 10 menit paling efektif untuk mendapatkan manfaat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

(30)

24

Pada manusia, kafein merupakan stimulan pada sistem saraf pusat yang memiliki efek sementara untuk menangkal rasa kantuk dan memulihkan kewaspadaan. Kafein merupakan zat psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi dunia diperkirakan sekitar 120.000 ton/ tahun (Torres, 2009). Kopi dan teh merupakan jenis minuman berkafein yang paling sering dikonsumsi (Youngberg, Karpov, Begley, Pollock, & Buysee, 2011). Kafein bekerja dengan cara berikatan sementara pada reseptor adenosin mencegah ikatan adenosin (zat sedatif alami yang membuat rasa kantuk) dengan reseptornya di otak (Schardt, 2012). Selain itu, kafein juga meningkatkan produksi adrenalin (Belenky, 2001).

Pada umumnya orang\ tidak menyadari seberapa banyak kafein dapat memengaruhi tidur mereka (Schardt, 2012). Efek kafein terhadap tidur ditentukan oleh berbagai faktor yaitu dosis, waktu konsumsi kafein, dan perbedaan individu dalam sensitivitas maupun toleransi terhadap kafein. Kafein yang dikonsumsi dalam dosis lebih besar lebih mudah menimbulkan gangguan tidur. Kafein yang dikonsumsi sebelum tidur atau sepanjang hari dapat memperpanjang latensi onset tidur, mengurangi waktu tidur total, mengubah tahapan tidur normal, dan menurunkan kualitas tidur (Torres, 2009). Rutin mengonsumsi kafein akan membuat seseorang toleransi sehingga diperlukan kafein yang lebih banyak untuk menghasilkan efek yang diingankan. Hal ini menjadi lingkaran setan bagi orang tersebut, karena efek kafein terhadap tidur juga akan semakin meningkat sehingga gangguan tidur lebih mudah muncul (Schardt, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh National Sleep Foundation (2005) melaporkan bahwa orang yang mengonsumsi empat atau lebih cangkir minuman berkafein dalam sehari, lebih mudah mengalami setidaknya satu gejala insomnia. Konsumsi kopi sebanyak tiga cangkir (250 mg kafein) per hari dianggap cukup, jika lebih dari itu dianggap asupan kafein berlebihan. Efek kafein dapat dirasakan setelah 15 menit dikonsumsi. Di dalam tubuh, kafein dapat bertahan beberapa jam dan dibutuhkan waktu sekitar 6 jam untuk mengeliminasi kafein dari tubuh (Belenky, 2001). Penelitian terdahulu oleh Landolt, Werth, Borbely, & Dijk (1995) melaporkan bahwa

(31)

25

konsumsi kafein sebanyak 200 mg pada pagi hari atau sekitar 16 jam sebelum tidur memberikan efek minimal pada parameter tidur.

2.3.6 Manifestasi Klinis

Insomnia dapat menimbulkan manifestasi klinis gangguan tidur malam hari dan gangguan di siang hari (American Psychiatric Association, 2013). Pada malam hari, penderita insomnia akan mengalami kesulitan untuk memulai tidur, mempertahankan tidur, atau terbangun terlalu dini yang selanjutnya tidak bisa tidur kembali maupun bangun tidur yang tidak segar (Lichstein, Taylor, McCrae, & Ruiter, 2011). Hal ini biasanya menyebabkan gangguan pada siang hari berupa rasa kantuk, kelelahan, gangguan perhatian, konsentrasi, memori, mood, perubahan perilaku, gangguan pekerjaan atau akademik, gangguan hubungan sosial, dan berefek negatif dalam hubungan keluarga (Winkelman, 2015). Insomnia juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kecemasan tentang tidur bahkan hingga depresi karena individu tersebut berusaha keras untuk tertidur bahkan (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Selain itu, gejala lainnya berupa sakit kepala, gangguan gastrointestinal, ketegangan otot dan gejala lainnya (American Psychiatric Association, 2013; American Academy of Sleep Medicine, 2008).

2.3.7 Diagnosis

Anamnesis lengkap dan mendalam merupakan syarat utama dalam menegakkan diagnosis insomnia (Mai & Buysee, 2008). Seluruh keluhan pasien harus digali seperti riwayat kondisi medis, riwayat penggunaan obat-obatan, konsumsi kafein, alkohol, sleep hygiene, riwayat gangguan psikiatri lainnya, riwayat pekerjaan, lingkungan, keluarga, dan dan sosial. Hal penting lainnya yang harus digali adalah riwayat tidur-bangun pasien yaitu onset, durasi, frekuensi, dan gangguan tidur yang pernah dan/atau sedang terjadi (Nichols, Alper, & Milkin, 2007). Diagnosis insomnia dapat ditegakkan bila hasil anamnesis telah memenuhi kriteria tertentu, seperti yang termuat pada Tabel 2.6.

(32)

26

Selain anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan status mental dan pemeriksaan tambahan mungkin dapat dilakukan bila hasil anamnesis masih diragukan atau setelah pengobatan masih menunjukkan keluhan. Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh untuk menilai kondisi medis pasien secara langsung seperti obesitas, gangguan pernapasan, jantung, maupun neurologis. Pemeriksaan status mental dilakukan untuk mengevaluasi mood, afek, tingkat kewaspadaan, dan kemampuan untuk memperhatikan (Mai & Buysee, 2008). Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan yaitu polisomnografi (PSG). Pemeriksaan tambahan lainnya yang mungkin bisa dilakukan adalah neuroimaging untuk melihat adanya lesi struktural (Nichols, Alper, & Milkin, 2007).

Penggunaan instrumen dapat membantu proses anamnesis dalam menegakkan diagnosis maupun diagnosis banding insomnia seperti kuesioner, buku log tidur, checklist, tes skrining psikologis, dan interview teman tidur (Mai & Buysee, 2008). Salah satu kuesioner yang dapat digunakan adalah Insomnia Severity Index (ISI). Kuesioner ini pertama kali disusun oleh Morin pada tahun 1993 dengan nama Sleep

(33)

27

Impaiment Index. Namun, berkembangnya waktu banyak penelitian yang menguji validitas dan reliabilitas kuesioner ini untuk mendiagnosis insomnia. Aspek tidur yang dinilai adalah tingkat keparahan masalah susah tertidur, tetap tidur, dan bangun dini hari, ketidakpuasan dengan pola tidur, mengganggu aktivitas harian, seberapa terlihat masalah tidur yang dirasakan, dan distres yang muncul akibat gangguan tidur. Setiap pertanyaan memiliki jawaban skala likert yaitu, skor 0 : tidak ada masalah, skor 1 : ringan, skor 2 : sedang, skor 3 : parah, skor 4 dan: sangat parah. Total skor ISI dapat di interpretasikan menjadi empat pilihan yaitu tidak mengalami insomnia (0-7), insomnia ringan (15-21), insomnia parah (22-28) (Morin, LeBlanc, Daley, Gregoire, & & Merette, 2006).

2.3.8 Diagnosis Banding

2.3.8.1. Variasi Tidur Normal

Insomnia harus dibedakan dengan variasi tidur normal seperti petidur pendek . Pada petidur pendek tidak ada gejala sulit tidur maupun gejala di siang hari. Insomnia juga harus dibedakan pada individu yang kurang tidur akibat keadaan yang memaksakannya untuk terjaga sehingga menghasilkan tidur yang tidak adekuat (American Psychiatric Association, 2013).

2.3.8.2. Gangguan Tidur Lainnya

Gangguan tidur lainnya pada umumnya memiliki gejala mirip dengan insomnia yaitu sulit tertidur, sulit mempertahankan, maupun gejala di siang hari. Namun, masing-masing gangguan tidur memiliki karakteristik yang berbeda. Pada gangguan tidur irama sirkadian terjadi ketidaksejajaran antara periode tidur yang diinginkan dan yang sesungguhnya terjadi, misalnya tipe fase tidur terlambat ditandai dengan kesulitan tertidur pada waktu konvensional yang dikehendaki, namun setelah tertidur tidak ada kesulitan untuk mempertahankan tidur (American Psychiatric Association, 2013).

Gangguan tidur restless legs syndrome memberikan gambaran klinis sulit tertidur dan sulit mempertahankan tidur. Namun yang membedakannya dari insomnia adalah adanya gerakan kaki dan adanya rasa kesemutan pada kaki saat tidur.

(34)

28

Gangguan tidur narkolepsi juga bisa menyebabkan kesulitan tidur namun gejala siang hari berupa ngantuk berlebihan hingga tiba-tiba bisa tertidur, katapleksi, sleep paralysis, dan halusinasi. Sedangkan pada parasomnia ditandai dengan keluhan perilaku atau kejadian yang tidak biasa saat tidur yang dapat menyebabkan seseorang sering terbangun dan sulit untuk tidur kembali(American Psychiatric Association, 2013).

2.3.9 Penatalaksanaan 2.3.9.1. Non Farmakologi

Penatalaksanaan insomnia secara non farmakologi yaitu dengan menggunakan terapi kognitif perilaku (Cognitive-behavioral therapy/CBT). CBT merupakan kombinasi teknik perilaku dan kognitif untuk mengatasi disfungsi perilaku tidur, mispersepsi, distorsi, dan pikiran mengganggu tentang tidur (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Seperti yang terlihat pada Tabel 2.7. CBT terdiri dari sleep restriction, stimulus control, cognitive therapy, relaxation therapy, dan sleep hygiene (Winkelman, 2015). CBT dianggap sebagai lini pertama untuk pasien insomnia, maupun kasus komorbid insomnia dengan diagnosis lain (Schutte-Rodin, et al, 2008; Edinger, et al, 2009). Biasanya terapi ini disampaikan selama enam sampai delapan kali pertemuan (Winkelman, 2015).

Tabel 2.7. Komponen dari Cognitive-behavioral Therapy untuk pasien insomnia (Winkelman, 2015).

(35)

29 2.3.9.2. Farmakologi

Selama bertahun-tahun, benzodiazepin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati insomnia (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Tabel 2.8. memperlihatkan beberapa jenis obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi insomnia. Penggunaan obat-obatan ini biasanya jangka pendek untuk golongan hipnotik, dan untuk terapi jangka panjang untuk golongan melatonin agonis, golongan benzodiazepine-receptor agonist modulator non benzodiapine (misalnya eszopiclone) (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).

Tabel 2.8. Obat-obatan yang digunakan pada insomnia (Winkelman, 2015)

2.3.10 Dampak Negatif

Insomnia dapat menyebabkan masalah interpersonal, sosial, dan pekerjaan. Penurunan perhatian dan konsentrasi menyebabkan peningkatan angka kecelakaan. Insomnia kronik juga berhubungan dengan peningkatan risiko depresi, hipertensi, dan infark miokard. Dampak insomnia juga menyebabkan produktivitas seseorang menurun yang pada akhirnya menjadi beban ekonomi (American Psychiatric Association, 2013).

(36)

30

Angka morbiditas dan mortalitas pada penderita penyakit jantung dan kanker lebih tinggi pada individu yang lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam per hari dibandingkan dengan seseorang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per hari (Amir, 2007). Di Amerika Serikat, insomnia mengakibatkan sekitar 80 juta lansia mengalami kecelakaan dengan biaya pengobatan dan perawatan sekitar 100 juta dolar per tahun (Galimi, 2010).

2.3.11 Prognosis

Pada dasarnya prognosis insomnia baik bila penanganannya tepat (KEMENKES RI, 2013) BAB 3 KERANGKA KONSEP Insomnia Usia Jenis Kelamin Kondisi Medis Umum Dukungan Sosial Tidur Siang Konsumsi Kafein Faktor Risiko

(37)

31 BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini bersifat deskriptif yang ditujukan untuk mengetahui gambaran insomnia dan faktor risiko terjadinya insomnia pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Unit Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda selama periode Maret-April 2016.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan subjek yang ingin diketahui dalam penelitian. Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka populasi target adalah semua lansia. Populasi terjangkau adalah semua lansia yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda selama periode penelitian.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda selama periode penelitian.

4.3.3 Cara Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini cara pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling, dengan mengambil data sesuai besar sampel yang telah ditentukan peneliti melalui perhitungan statistik dan diambil selama periode

(38)

32

Maret-April 2016 yang telah diseleksi sesuai kriteria yang telah ditentukan sebelumnya.

Besar sampel minimal ditentukan dengan rumus (Budijanto, 2015):

n = besar sampel minimal

N = jumlah populasi di PSTW Nirwana Puri Samarinda = 117 orang Zα = nilai distribusi normal baku α = 0,05 yaitu 1,96

P = prevalensi kasus dari pustaka (%), 50% = 0,5 (Ohayon, 2002) Q = 1-P, sehingga 1-0,5 = 0,5

d = kesalahan absolut yang dapat ditolerir oleh peneliti, yaitu 10% = 0,1

Dari perhitungan diatas maka didapatkan besar sampel minimal dibulatkan menjadi 53 subjek penelitian.

4.3.4 Kriteria Sampel Penelitian 4.3.4.1 Kriteria Inklusi:

1. Lansia yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda dan bersedia ikut serta dalam penelitian.

4.3.4.2 Kriteria Eksklusi:

1. Lansia yang memiliki riwayat gangguan psikiatri lain, seperti demensia, dan psikotik.

(39)

33 4.4 Cara Pengumpulan Data

4.4.1 Data Primer

Data primer pada penelitian ini berupa wawancara langsung lansia yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda dengan berpedoman pada kuesioner penelitian untuk mengidentifikasi faktor risiko usia, jenis kelamin, kondisi medis umum, dukungan sosial, tidur siang dan konsumsi kafein.

4.4.2 Data Sekunder

Data sekunder pada penelitian ini berupa profil lansia dan rekam medik yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda yang didapatkan dari instansi yang terkait.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, lembar informed consent, kuesioner, data rekam medik responden, dan data keanggotaan responden di PSTW Nirwana Puri Samarinda. Kuesioner yang digunakan terdiri dari Mini Mental State Examination (MMSE), Insomnia Severity Index (ISI), Social Support Questionnaire (SSQ), dan kuesioner adaptasi dari penelitian Hermana (2009) dan Suhartini (2014) yang sebelumnya telah dimodifikasi terlebih dahulu oleh peneliti. Kuesioner MMSE, ISI, dan SSQ telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan telah dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas oleh penelitian-penelitian sebelumnya.

Kuesioner MMSE digunakan untuk menyingkirkan kriteria eksklusi yang terdiri atas 11 pertanyaan dengan skor yang telah ditetapkan untuk setiap pertanyaan. Hasil kuesioner tersebut dapat di interpretasikan menjadi tiga pilihan yaitu, normal (skor 27-30), curiga demensia (skor 22-26), dan definitif demensia (skor <21) (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Kuesioner ISI merupakan kuesioner yang digunakan untuk pengukuran tingkat insomnia seseorang. Kuesioner ini terdiri atas 7 pertanyaan yang bersifat negatif tentang tidur seseorang dengan kriteria sebagai berikut, skor 0 : tidak ada masalah, skor 1 : ringan, skor 2 : sedang, skor 3 : parah,

(40)

34

skor 4 dan: sangat parah . Total skor insomnia dapat di interpretasikan menjadi empat pilihan yaitu tidak mengalami insomnia (0-7), insomnia ringan (15-21), insomnia parah (22-28) ) (Morin, LeBlanc, Daley, Gregoire, & & Merette, 2006). Kuesioner SSQ digunakan untuk menilai dukungan sosial. Kuesioner ini terdiri dari 27 pertanyaan dalam 2 bentuk pertanyaan yakni social questionnaires number (SSQN) dan social questionnaire satisfaction (SSQS). Nilai akhir didapatkan dari hasil penjumlahan skor akhir SSQN dan SSQS, dengan nilai tertinggi 15. Semakin tinggi nilai akhir maka semakin baik dukungan sosial yang didapatkan seseorang (Sarason, Levine, Basham, & et al., 1983). Kuesioner adaptasi dari penelitian Hermana (2009) dan Suhartini (2014) yang sebelumnya telah dimodifikasi terlebih dahulu oleh peneliti terdiri atas 11 pertanyaan. Setiap pertanyaan kuesioner akan dibimbing dan diarahkan oleh peneliti untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan faktor risiko insomnia.

4.6 Definisi Operasional

4.6.1 Insomnia

Insomnia adalah ketidakpuasan terhadap kuantitas dan kualitas tidur yang ditandai dengan salah satu atau lebih dari tiga gejala dasar yaitu kesulitan untuk memulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur sehingga sering terbangun ataupun sulit untuk tidur kembali, dan bangun tidur yang terlalu dini disertai dengan kesulitan untuk tidur kembali berdasarkan hasil kuesioner Insomnia Severity Index.

Kriteria Objektif:

1. Insomnia klinis parah 2. Insomnia klinis sedang 3. Insomnia klinis ringan

4. Tidak mengalami insomnia klinis Skala ukur yang digunakan adalah ordinal.

(41)

35 4.6.2 Lansia

Lanjut Usia adalah individu yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas (Republik Indonesia, 1998).

4.6.3 Usia

Usia adalah lama hidup pasien berdasarkan keterangan saat wawancara dan data profil dari instansi terkait.

Kriteria Objektif:

Usia dalam angka tahun.

Skala ukur yang digunakan adalah rasio. 4.6.4 Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah identitas responden berdasarkan KTP responden dan/atau yang tertera pada data profil instansi terkait.

Kriteria Objektif:

1. Laki-laki 2. Perempuan

Skala ukur yang digunakan adalah nominal. 4.6.5 Kondisi Medis Umum

Kondisi medis umum adalah semua kondisi medis yang telah didiagnosis oleh dokter berdasarkan rekam medis pasien.

Kriteria Objektif:

1. Ada 2. Tidak Ada

(42)

36 Skala ukur yang digunakan adalah nominal. 4.6.6 Dukungan Sosial

Dukungan sosial adalah rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain kepada lansia berdasarkan hasil kuesioner Social Support Questionnaire.

Kriteria Objektif:

Angka antara 0-15.

Skala ukur yang digunakan adalah rasio. 4.6.7 Tidur Siang

Tidur siang adalah kebiasaan tidur sejenak pada siang hari dalam satu hari. Kriteria Objektif (National Sleep Foundation, 2006):

1. Tidur siang >20 menit 2. Tidur siang 1-20 menit 3. Tidak tidur siang

Skala ukur yang digunakan adalah ordinal. 4.6.8 Konsumsi Kafein

Konsumsi kafein adalah kebiasaan mengonsumsi minuman yang mengandung kafein seperti kopi atau teh dalam satu hari.

Kriteria Objektif (National Sleep Foundation, 2005):

1. Konsumsi kopi atau teh >3 cangkir/hari 2. Konsumsi kopi atau teh 1-3 cangkir/hari 3. Tidak mengonsumsi kopi atau teh

(43)

37 Skala ukur yang digunakan adalah ordinal. 4.7 Pengolahan dan Penyajian Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Word 2007 dan Microsoft Excel 2007. Penyajian data dilakukan dalam bentuk narasi, tabel dan grafik.

4.8 Analisis Data

4.8.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan dengan mendeskripsikan setiap variabel dalam penelitian dengan gambaran distribusi frekuensi dalam bentuk narasi, tabel dan grafik. 4.9 Jadwal Kegiatan Jadwal Kegiatan Oktober, November, Desember, Februari

Februari Maret April Mei

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Pembuatan Proposal Seminar Proposal Revisi Proposal Izin Penelitian Penelitian Pengolahan Data Penyelesaian Tugas Akhir Seminar Hasil

(44)

38 4.10 Alur Penelitian

Meminta izin penelitian ke

PSTW Nirwana Puri Samarinda Surat Etik Penelitian dari KEPK

Mencatat keanggotaan lansia dibagian administrasi PSTW

Nirwana Puri Samarinda

Informed consent ke

responden

Menerima Menolak

Melakukan tes MMSE

Melakukan wawancara menggunakan kuesioner

Demensia (+) Demensia (-)

Data responden

Pengolahan dan penyajian data

Pembahasan

(45)

39

DAFTAR PUSTAKA

Amir, N. (2007). Gangguan Tidur pada Lanjut Usia Diagnosis dan Penatalaksanaan. Cermin

Dunia Kedokteran(157), 196-206.

Ancoli-Israel, S., & Ayalon, L. (2006). Diagnosis and treatment of sleep disorders in older adults. Am J Geriatr Psychiatry, XIV, 95-103.

Association, A. P. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4 ed.). Washington DC.

Association, A. P. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (text

revision). Washington DC: Author.

Association, A. P. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). Washington DC: American Psychiatric Publishing.

Belenky, G. (2001). Caffeine and Sleep. Dipetik January 20, 2016, dari National Sleep Foundation: https://sleepfoundation.org/sleep-topics/caffeine-and-sleep Bonnet, M., & Arand, D. (2012). Hyperarousal and insomnia a puzzle and a resolution.

Psychol Bull, CXXXVIII(138), 77-101.

Brooks, A., & Lack, L. (2006). A Brief Afternoon Nap Following Nocturnal Sleep Restriction: Which Nap Duration is Most Recuperative? Sleep, XXIX(6), 831-840. Diambil kembali dari http://journalsleep.org/Articles/290616.pdf

Budijanto, D. (2015). Populasi, Sampling, dan Besar Sampel. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Dipetik February 10, 2016, dari

http://www.risbinkes.litbang.depkes.go.id/2015/wp-content/uploads/2013/02/SAMPLING-DAN-BESAR-SAMPEL.pdf

Bumb, J., Schilling, C., Enning, F., & al, e. (2014). Pineal gland volume in primary insomnia and healthy controls: a magnetic resonance imaging study. J Sleep Res, XXIII, 274-280.

Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., Berntson, G. G., Ernst, J. M., Gibbs, A. C., Stickgold, R., & Hobson, J. A. (2002). Do Lonely Days Invade the Nights? Potential Social Modulation of Sleep Efficiency. Psychological Science, XIII, 384-387.

Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., Crawford, L. E., Ernst, J. M., Burleson, M. H., Kowalewsk, R. B., . . . Berntson, G. G. (2002). Loneliness and Health: Potential Mechanisms.

(46)

40

Campbell, S., Murphy, P., & Stauble, T. (2005). Effects of a nap on nighttime sleep and waking function in older subjects. J Am Geriatr Soc, LIII, 48-53.

Chiu, H., & Tsoh, J. (2011). Sleep and Ageing: Disorders and Management. Dalam M. T. Abou-Saleh, C. Katona, & A. Kumar (Penyunt.), Principles and Practice of Geriatric

Psychiatry (3rd ed., hal. 700-704). UK: John Wiley & Sons.

Compton, J. (2014). Classification of Sleep Disorders. Dalam B. Robertson, B. M. Marshall, & M.-A. Car, Polysomnography for the Sleep Technologist (hal. 20-27). St. Louis: Elsevier Health Sciences. Dipetik January 7, 2016, dari

http://www.elsevieradvantage.com/samplechapters/9780323100199/Marshall%20 ch02-019-030-9780323100199.pdf

Dewi, P. A., & Ardani, I. G. (2014). Angka Kejadian serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Tidur (Insomnia) Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werda Wana Seraya Denpasar Bali Tahun 2013. e-Journal Universitas Udayana, III(8). Dipetik October 10, 2015

Edinger, J., Fins, A., Glenn, D., Sullivan, R., Bastian, L., Marsh, G., & al, e. (2000). Insomnia and the eye of the beholder: Are there clinical markers of objective sleep

disturbances among adults with and without insomnia complaints? Journal of

Consulting and Clinical Psychology, LXVIII, 586-593.

Edinger, J., Olsen, M., Stechuchak, K., & al, e. (2009). Cognitive behavioral therapy for patients with primary insomnia or insomnia associated predominantly with mixed psychiatric disorders: a randomized clinical trial. Sleep, XXXII, 499-510.

Eichling, P. S., & Sahni, J. (2005). Menopause Related Sleep Disorders. Journal of Clinical

Sleep Medicine, I(3), 291-300.

Endeshaw, Y., & Bliwise, D. (2006). Sleep Disorder in the Elderly. Dalam M. Agronin, & M. G.J., Principle and Practice of Geriatric Psychiatry (1st ed., hal. 505-522).

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Espiritu, J. (2008). Aging-related sleep changes. Clin Geriatr Med, XXIV, 1-14.

Foley, D., Ancoli-Israel, S., Britz, P., & Walsh, J. (2004). Sleep disturbances and chronic disease in older adults: results of the 2003 National Sleep Foundation Sleep in America Survey. J Psychosom Res, LVI, 497-502.

Foley, D., Monjan, A., Brown, S., Simonsick, E., Wallace, R., & Blazer, D. (1995). Sleep complaints among elderly persons: an epidemiologic study of three communities.

(47)

41

Foley, D., Monjan, A., Simonsick, E., Wallace, R., & Blazer, D. (1999). Incidence and remission of insomnia among elderly adults: an epidemiologic study of 6.800 persons over three years. Sleep, XXII, 366-372.

Foundation, N. S. (2005, March 29). Summary of Findings. Dipetik January 20, 2016, dari National Sleep Foundation:

https://sleepfoundation.org/sites/default/files/2005_summary_of_findings.pdf Foundation, N. S. (2006). Sleep-Wake Cycle: Its Physiology and Impact on Health. Dipetik

November 21, 2015, dari National Sleep Foundation:

https://sleepfoundation.org/sites/default/files/SleepWakeCycle.pdf

Foundation, N. S. (t.thn.). Napping. National Sleep Foundation. Dipetik January 20, 2016, dari https://sleepfoundation.org/sleep-topics/napping

Friedman, E. M., Love, G. D., Rosenkranz, M. A., Urry, H. L., Davidson, R. J., Singer, B. H., & Ryff, C. D. (2007). Socioeconomic. Psychosomatic Medicine Status Predicts Objective

and Subjective Sleep Quality in Aging Women, LXIX, 682-691.

Galimi, R. (2010). Insomnia in The Elderly: An Update and Future Challenges. Gerontologia e

Geriatria, LVIII, 231-247.

Gambhir, I. S., Chakrabarti, S. S., Sharma, A. R., & Saran, D. P. (2014). Insomnia in the elderlydA hospital-based study from North India. Journal of Clinical Gerontology &

Geriatrics, V, 117-121.

Gunarsa, S. (2004). Dari Anak Sampai Usia Lanjut : Bunga Rampai Psikologi Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Dipetik January 20, 2016, dari

https://books.google.co.id/books?id=GUAGhG74nH4C&printsec=frontcover&hl=id# v=onepage&q&f=false

Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (11st ed.). (Irawati, D. Ramadhani, F. Indriyani, F. Dani, I. Nuryanto, S. S. Rianti, . . . Y. J. Suyono, Penerj.) Jakarta: EGC.

Hermana, M. (2009). Pengaruh Durasi Tidur Terhadap Risiko Obesitas Pada Pria Dewasa. Bandung: Universitas Kristen Maranatha. Dipetik January 26, 2016, dari

http://repository.maranatha.edu/2095/

Indonesia, R. (1998). Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 1998 Tentang

Kesejahteraan Lanjut Usia. Jakarta: Sekretariat Negara.

Jaya, E. S. (2012). Intervensi kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT) multi-komponen

Gambar

Tabel 2.1.Jumlah Penduduk Lansia (United Nations, 2013, 2015; Badan Pusat Statistik, 2014,  2015)
Gambar 2.2. menunjukkan bahwa penduduk Kota Samarinda didominasi oleh  penduduk  dewasa  muda
Gambar 2.3. Persentase Penduduk Lansia Indonesia yang Mengalami Keluhan Kesehatan  selama Sebulan Terakhir Tahun 2012 (KEMENKES RI, 2013)
Tabel 2.4. Kebutuhan Tidur yang Disarankan Berdasarkan Usia (National Heart, Lung,  and Blood Institute, 2012)
+4

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Menurut Rafknowledge (2004), stres psikologis yang dialami oleh lansia juga dapat menyebabkan kesulitan tidur atau insomnia serta dapat mempengaruhi kosentrasi dan kesiagaan,

Adanya penurunan derajat insomnia tersebut dikarenakan efek terapi massage yang dapat memberi kenyamanan saat tidur, ditandai dengan pernyataan responden yang

Penurunan derajat insomnia ini dikarenakan karena adanya efek dari perlakuan senam yang bisa memberikan perasaan rileks dan kenyamanan saat tidur sehingga

Insomnia adalah gangguan tidur paling sering pada usia lanjut, yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengawali tidur, mempertahankan tidur, bangun terlalu dini atau

Penurunan derajat insomnia ini dikarenakan karena adanya efek dari perlakuan senam yang bisa memberikan perasaan rileks dan kenyamanan saat tidur sehingga

Adanya penurunan derajat insomnia tersebut dikarenakan efek terapi massage yang dapat memberi kenyamanan saat tidur, ditandai dengan pernyataan responden yang

Insomnia adalah suatu gangguan tidur yang dialami oleh penderita dengan gejala- gejala selalu merasa letih dan lelah sepanjang hari dan secara terus menerus

PENGARUH BERWUDHU TERHADAP KUALITAS TIDUR LANSIA INSOMNIA DI PSTW PUSPAKARMA MATARAM.. PENELITIAN