REFLEKSI KASUS
INSOMNIA
Dosen Pembimbing : dr. Fajar Maskuri, M.Sc, Sp.S
Disusun oleh :
Fandy Rachmad Dewantoro 15/377936/KU/17644
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RUMAH SAKIT AKADEMIK UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN
KEPERAWATAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
DESKRIPSI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Usia : 21 tahun Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kadipiro, Margodadi Pendidikan : S1
Pekerjaan : Mahasiswa Agama : Islam
Status : Belum menikah No. RM : 13-48-xx Masuk RS : 04/10/2019
KELUHAN UTAMA
Sulit tidur dan nyeri kepala
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
2 bulan SMRS : Pasien mulai mengeluhkan sulit untuk memulai tidur, sering terbangun pada malam hari serta merasa tidurnya kurang nyenyak. Saat tidur, pasien sering mengalami mimpi buruk yang seakan-akan seperti nyata dan dalam mimpi-mimpi tersebut pasien terjatuh, bertengkar, dan melihat adik pasien disiksa. Pasien merasa gelisah dan berdebar-debar terutama setelah terbangun dari tidurnya. Pasien juga mulai mengeluhkan nyeri kepala bagian belakang. Pasien kemudian konsultasi ke psikiater dan diberikan obat diazepam, alprazolam, dan hexymer (triheksifenidil).
1 minggu SMRS : Pasien mengeluhkan nyeri kepala bagian belakang semakin parah dan masih sulit tidur.
HMRS (4/10/2019) : Pasien datang ke poliklinik saraf RSA UGM mengeluhkan sulit tidur selama 2 bulan dan sering mimpi buruk. Keluhan tersebut disertai dengan nyeri kepala berdenyut pada bagian belakang kepala. Nafsu makan pasien tidak terganggu. Mual, muntah, dan batuk disangkal. Tidak ada alergi obat pada pasien.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat penggunaan NAPZA sejak tahun 2017. Pasien mulai memakai sabu-sabu pada tahun 2017 lalu berhenti pada awal tahun 2018 dan menggantinya dengan tembakau gorilla. Pasien berhenti total menggunakan NAPZA sejak 4 bulan yang lalu.
Disangkal : Riwayat keluhan serupa, hipertensi, DM, Penyakit Jantung
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tidak ada keluhan serupa dengan pasien
RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Pasien merupakan seorang mahasiswa. Pasien tinggal bersama ayah dan ibu pasien. Hubungan pasien dengan keluarga baik. Ibu pasien tidak mengetahui bahwa pasien pernah menggunakan NAPZA. Pasien berasal dari keluarga golongan ekonomi menengah dan merupakan pasien umum.
ANAMNESIS SISTEM
Sistem kardiovaskular : tidak ada keluhan Sistem respirasi : tidak ada keluhan Sistem gastroinstestinal : tidak ada keluhan Sistem muskuloskeletal : tidak ada keluhan
Sistem neurologi : nyeri kepala bagian belakang Sistem integument : tidak ada keluhan
Sistem urogenital : tidak ada keluhan
RESUME ANAMNESIS
Laki-laki, usia 21 tahun, datang ke poliklinik saraf RSA UGM (04/10/2019) dengan keluhan sulit tidur, sering mimpi buruk, dan nyeri kepala bagian belakang. Keluhan tersebut sudah dirasakan selama kurang lebih 2 bulan. Pasien pernah menggunakan NAPZA yaitu sabu-sabu pada tahun 2017-2018 dan tembakau gorilla pada tahun 2018 hingga berhenti 4 bulan yang lalu.
DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis Topik : RAS (substansia reticularis medulla oblongata, korteks cerebri bilateral), otot regio leher posterior
Diagnosis Etiologi : susp. Substance withdrawal Diagnosis Banding : Insomnia organik
PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis
Keadaan umum : tampak lelah
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Tanda vital :
● Tekanan darah : 127/80 mmHg
● Nadi : 86 kali per menit, reguler ● Pernafasan : 20 kali per menit, reguler ● Temperatur : 36,6 oC
Kepala : Normosefal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), nyeri tekan belakang kepala (-), reflex dalam batas normal, lingkaran hitam bawah mata (+)/(+)
Leher : Limfonodi tidak teraba membesar
Toraks :
● Paru :
Inspeksi : simetris, warna kulit, luka (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), fremitus taktil kanan = kiri, pengembangan dada simetris
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+)/(+), suara tambahan (-)/(-) ● Jantung :
● Inspeksi : simetris, warna kulit, luka (-), tidak tampak ictus cordis ● Palpasi : nyeri tekan (-), teraba ictus cordis
● Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal ● Auskultasi : S I-II murni, murmur (-), gallop (-) Abdomen :
Inspeksi : flat, warna kulit, luka (-), bekas operasi (-) Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani di seluruh lapang perut
Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
Ekstremitas : edema (-), atrofi otot (-), akral hangat, nadi kuat, wpk <2 detik Status Mental
a. Tingkah laku dan keadaan umum ● Tingkah laku : Normal
● Pakaian : Rapi
● Cara berpakaian : Sesuai usia b. Alur pembicaraan
● Percakapan : Normal
● Bicara lemah dan miskin spontanitas : tidak ● Pembicaraan tidak berkesinambungan : tidak c. Mood dan afek
● Mengalami euforia : Tidak
● Mood sesuai isi pembicaraan : Sesuai ● Emosi labil, meluap-luap : Tidak d. Isi pikiran
Merasakan ilusi, halusinasi, delusi : Tidak Mengeluhkan sakit seluruh tubuh : Tidak Delusi tentang penyiksaan, merasa diawasi : Tidak e. Kapasitas intelektual : Normal
f. Sensorium
● Kesadaran : Compos mentis ● Atensi : Normal ● Orientasi : - Waktu : Normal - Tempat : Normal - Orang : Normal ● Memori :
- Jangka pendek : Normal - Jangka panjang : Baik ● Kalkulasi : Normal
● Simpanan informasi : Normal
● Tilikan, pengambilan keputusan, dan perencanaan : Normal
Status Neurologis
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Kepala : Pupil isokor ∅ 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+)/(+), reflek kornea (+)/(+)
Leher : Kaku kuduk (-), brudzinski neck sign (-), brudzinski kontralateral sign), kernig sign (-)
Reflek primitif : tidak dilakukan
Nistagmus : horizontal (-)/(-), vertical (-)/(-), rotational (-)/(-) Nervus cranialis :
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N. I. Olfaktorius Daya penghidu Normal Normal
N. II. Optikus
Daya penglihatan Normal Normal
Pengenalan warna Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal
N. III. Okulomotor
Ptosis - -
Gerakan mata ke medial + +
Gerakan mata ke atas + +
Gerakan mata ke bawah + +
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung + +
N. IV. Troklearis
Strabismus divergen - -
Gerakan mata ke lat-bwh + +
Strabismus konvergen - -
N. V. Trigeminus
Menggigit Normal Normal
Membuka mulut Normal Normal
Sensibilitas muka Normal Normal
Refleks kornea + +
Trismus - -
Strabismus konvergen - -
N. VII. Fasialis
Kedipan mata + +
Lipatan nasolabial + +
Sudut mulut Normal Normal
Mengerutkan dahi + +
Menutup mata + +
Meringis + +
Menggembungkan pipi + +
N. VIII.
Vestibulokoklearis Mendengar suara bisik + +
N.IX. Glossofaringeus Keterangan
Arkus Faring Normal, simetris
N. X. Vagus Keterangan
Arkus faring Normal, simetris
Bersuara Normal
Menelan Normal
N. XI. Aksesorius Keterangan
Memalingkan Kepala +
Sikap Bahu Normal
Mengangkat Bahu +
Trofi Otot Bahu Eutrofi
N. XII. Hipoglosus Keterangan
Sikap lidah Normal
Artikulasi Normal
Tremor lidah Tidak ada tremor
Menjulurkan lidah Normal
Kekuatan lidah Normal
Trofi otot lidah Eutrofi
Fasikulasi lidah Normal
Ekstremitas : GERAK AN KEKUATAN REFLEKS FISIOLO GIS REFLEKS PATOLO GIS
Sensibilitas : dalam batas normal Vegetasi : BAK baik, BAB baik
RESUME PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak lelah
Kepala : lingkaran hitam bawah mata (+)/(+)
DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Klinis : Insomnia non-organik cum cephalgia
Diagnosis Topik : RAS (substansia reticularis medulla oblongata, korteks cerebri), otot regio leher posterior
Diagnosis Etiologi : Substance withdrawal dd substance abuse
TATA LAKSANA
Non farmakologis : Sleep hygiene Farmakologis :
o Zolpidem 10 mg tablet salut selaput 1x sehari ½ tablet diminum sebelum tidur o sam mefenamat 500 mg kaplet 3x sehari diminum sesudah makan
o Eperisone HCl 50 mg tablet 3x sehari diminum sesudah makan
PLANNING
Konsultasi ke psikiater
PROGNOSIS
Death : Ad bonam Disease : Ad bonam Disability : Dubia ad bonam Discomfort : Dubia ad bonam Disatisfaction : Ad bonam Destitution : Ad bonam
B B 5/5/5 5/5/5 +2 +2 (-) (-) (-) (-) Eu Eu N N
DISKUSI
DEFINISI INSOMNIA
Menurut DSM-IV, insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu. The
International Classification of Diseases mendefinisikan insomnia sebagai kesulitan memulai
atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.
EPIDEMIOLOGI
Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup mereka. Jajak Pendapat Tidur di Amerika yang dilakukan oleh National Sleep Foundation’s pada tahun 2002, menunjukkan 58% dari orang dewasa di AS mengalami gejala insomnia pada beberapa malam dalam seminggu atau lebih. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia.
Antara wanita dan pria ternyata insomnia banyak terjadi pada wanita daripada pria. Satu alasan yang mempengaruhi hal ini adalah adanya perubahan hormon pada siklus haid yang mempengaruhi siklus tidur. Selama perimenopause seorang wanita dapat mengalami gangguan dalam tidur dan kesulitan dalam tidur. Seorang wanita tersebut dapat mengalami rasa panas pada wajah dan dapat mengalami keringat malam yang dapat mengganggu tidur seorang wanita. Selama kehamilan seorang wanita dapat mengalami perubahan hormon, fisik dan emosional yang dapat mengganggu tidur seorang wanita. Wanita hamil terutama
pada trimester ketiga dapat menyebabkan rasa tidak enak, keram pada kaki dan sering pergi ke kamar mandi yang semuanya itu dapat menyebabkan gangguan tidur.
ETIOLOGI
a. Stres
Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
b. Kecemasan dan depresi
Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
c. Obat-obatan
Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
d. Kafein, nikotin dan alkohol
Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.
e. Kondisi medis
Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
f. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi gangguan tidur masih belum diketahui secara pasti, namun beberapa mekanisme neurobologis dan psikologis telah diajukan. Salah satu model yang digunakan untuk menjelaskan patofisiologi gangguan tidur adalah model neurokognitif. Model ini menerangkan bahwa faktor predisposisi, presipitasi, perpetuasi, dan neurokognitif adalah faktor-faktor yang mendasari berkembangnya insomnia dan menjadikannya gangguan
kronik.
Model lain yang bisa digunakan untuk adalah model psychobiologic inhibition, yang menunjukkan bahwa tidur yang baik membutuhkan otomatisasi dan plastisitas. Otomatisasi artinya bahwa inisiasi tidur dan maintenance tidur bersifat involunter, yang dikendalikan oleh homeostatis dan regulasi sirkadian. Plastisitas adalah kemampuan sistem tubuh untuk mengakomodasi berbagai kondisi lingkungan. Pada kondisi normal, tidur terjadi secara pasif (tanpa atensi, niat, atau usaha). Situasi hidup yang penuh dengan stres bisa memicu berbagai respon arousal fisiologis dan psikologis, yang menimbulkan inhibisi terhadap de-arousal yang berhubungan dengan tidur dan menimbulkan gejala gangguan tidur.
DIAGNOSIS
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu International
code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)
IV dan International Classification of Sleep Disorders (ISD). Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu: Organik
Non-organik
- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu: 1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain
2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu
4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan diderita minimal 1 bulan.
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:
Pola tidur penderita.
Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
Riwayat medis.
Aktivitas fisik
Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.
Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama bisa dilakukan cara yaitu mencatat waktu tidur selama 2 minggu.
Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan masalah pada tiroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia. Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata, dan gerakan tubuh.
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ
Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
o Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk
o Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan
o Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
o Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.
Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2)
TATA LAKSANA
1. Non Farmakoterapi a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan cara menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.
Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik. Teknik relaksasi
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
Terapi kognitif
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam grup.
Restriksi tidur
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.
Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas.
Instruksi dalam terapi kontrol stimulus:
Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton televisi, makan atau bekerja.
Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20 menit di tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat tidur dan pergi ke ruangan lain dan melakukan hal-hal yang membuat santai. Hindari menonton televisi. Bila sudah merasa mengantuk kembali ke tempat tidur, namun bila alam 20 menit di tempat tidur tidak juga dapat tidur, kembali lakukan hal yang membuat santai, dapat berulang dilakukan sampat seseorang dapat tidur.
Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa lama tidur pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidur-bangun (kontrol waktu).
Tidur siang harus dihindari.
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia:
Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur
Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan pernapasan atau beribadah.
Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada malam hari.
Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari kebisingan.
Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.
Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin.
Menghindari makan besar sebelum tidur.
Cek kesehatan secara rutin.
Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik.
2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non-benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital, Zolpidem) Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat sleep inducing anti-insomnia yaitu golongan benzodiazepine (short acting). Misalnya pada gangguan anxietas.
Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah yang bersifat prolonged latent phase anti-insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (trisiklik dan tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi.
Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening))
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat sleep maintaining anti-insomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (long acting). Misalnya pada gangguan stres psikososial.
Pengaturan Dosis
Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.
Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat).
Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi.
Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut.
Lama Pemberian
Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan sleep EEG yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
Kesulitan pemberhentian obat seringkali oleh karena psychological dependence (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Efek Samping
Efek samping yang dapat timbul berupa supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur. Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu paruh) :
Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) gejala rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan
Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala hang over pada pagi harinya dan juga intensifying daytime sleepiness
Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi
disinhibiting effect yang menyebabkan rage reaction.
Interaksi obat
Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan oversedation and respiratory failure.
Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme ataupun protein binding displacement sehingga jarang menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau CNS depressant lain, resiko kematian akan meningkat.
Perhatian Khusus
Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome o Congestive heart failure o Chronic respiratory disease
Penggunaan benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan
teratogenic effect (misalnya cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester
pertama. Benzodiazepine juga dieksresikan melalui ASI sehingga berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP).
REFERENSI
American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification of Sleep
Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual . Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, Ill: American Academy of Sleep
Medicine; 2005:1-32.
Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry. London: Oxford University Pres
Hazzard. 2009. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology 6th ed. New York: McGraw-Hill.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
Kryger MH, Roth T, Dement WC, editors. 2017. Principles and practice of sleep medicine. Sixth edition. Philadelphia, PA: Elsevier
Levenson JC, Kay DB, Buysse DJ. 2015. The Pathophysiology of Insomnia. Chest; 147:1179–92. [https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25846534]
Marjdono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Edisi ke-11. Dian Rakyat:Jakarta ; 1988 ; P. 183-92
Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
PERDOSSI.2016.Acuan Panduan Praktis Klinis Neurologi 2016. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis. (http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com Diakses tanggal 8 juni 2014