• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. Rest of World Impor Pembayaran

2.7. Studi Terdahulu

2.7.2. Kontribusi dan Keterkaitan antar Sektor Produks

Hulu (1992), memaparkan kinerja struktur ekonomi dua negara yaitu : Jepang dan Indonesia, serta keterkaitan hubungan ekonomi kedua negara dengan menggunakan Tabel IO bilateral kedua negara tahun 1975 dan 1985. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur output maupun nilai tambah perekonomian Indonesia masih sangat besar ketergantungannya kepada sektor primer (pertanian dan pertambangan) dibandingkan dengan Jepang. Sektor pertanian dan pertambangan di Indonesia lebih efisien dibandingkan dengan Jepang. Sektor industri dan jasa di Jepang lebih efisien dibandingkan dengan di Indonesia. Kegiatan sektor listrik, gas dan air minum serta bangunan, perdagangan dan transportasi sangat tinggi efisiensinya di Jepang dibandingkan di Indonesia. Peningkatan sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB di Indonesia cenderung tidak menggembirakan, sedangkan di Jepang sangat stabil karena keberadaan sektor ini sangat kokoh didukung sektor jasa yang mantap dan penguasaan teknologi yang tinggi. Angka pengganda ekonomi Indonesia yang bersumber dari dalam negeri cenderung turun, sedangkan untuk Jepang naik.

Siregar (1993), menggunakan analisis keterkaitan antar sektor dan angka pengganda berdasarkan tabel IO tahun 1985. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sub sektor petemakan dan produk-produknya seharusnya mendapat prioritas yang lebih baik dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Karena sub sektor ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan sektor lainnya. Walaupun kaitannya dengan sektor hilir hanya menempati peringkat ketiga, kaitan ke hulu dan kaitan

kompositnya menduduki peringkat pertama. Selain itu, dari output multipliernya, subsektor ini menempati peringkat pertama.

Firdaus (1998), menganalisis peran sektoral ekonomi Indonesia pada fase industrialisasi dengan menggunakan tabel IO Indonesia transaksi produsen tahun 1971, 1985, 1990 dan 1995. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kontribusi sektor-sektor industri pertanian terhadap permintaan antara dan output total meningkat secara tajam selama tahun 1985-1995. Sektor yang mempunyai tingkat

pertumbuhan output tinggi adalah industri pengolahan dan pengawetan makanan, industri makanan lain, serta industri barang dari karet.

Amir (1999) di dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengetahui faktor kemajuan teknologi dan sektor industri terhadap pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Barat menggunakan model IO. Berdasarkan model yang digunakan dalam menganalisis faktor teknologi dan industri yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi provinsi Jawa Barat serta mengukur kontribusi masing- masing faktor tersebut, menunjukkan bahwa peran sektor industri terhadap pembentukan PDRB dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan. Hal ini didukung oleh kontribusi kemajuan teknologi. Peningkatan tersebut ditunjukkan dari semakin besarnya share sektor industri terhadap PDRB provinsi Jawa Barat, yaitu dari 7.81% pada tahun 1973 menjadi 22.81 % tahun 1993.

Berdasarkan keempat studi sebagaimana telah disebutkan di atas masih terbatas mengkaji tentang peranan sektoral yang dalam hal ini ditunjukkan oleh kontribusi dari masing-masing sektor produksi. Studi yang telah dilakukan tersebut menggunakan analisis berdasarkan pendekatan model IO. Pada bagian

berikut beberapa peneliti lain menggunakan pendekatan model yang lebih luas, yaitu berdasarkan pendekatan SAM, CGE dan ekonometrik sebagai pendekatan analisis.

Nokkala (2002) melakukan studi dengan tujuan utama menelaah implementasi program investasi sektor pertanian di Zambia dengan menggunakan kerangka SAM 1995. Ada empat alternatif pola pengeluaran dana investasi sektor pertanian yang dipresentasikan sebagai suatu skenario kebijakan, yaitu skenario : (1) implementasi aktual, (2) implementasi optimal, (3) pengeluaran investasi sepenuhnya pada pertanian non komersial, dan (4) setengah dari pengeluaran investasi pada pertanian komersial dan setengahnya lagi pada pertanian non komersial. Kerangka SAM yang dibangun terdiri dari tiga negara endogen dan tiga neraca eksogen. Tiga neraca endogen tersebut adalah neraca produksi, faktor produksi dan institusi, sedangkan neraca eksogen terdiri dari neraca pemerintah, kapital dan rest of the world (ROW). Disamping itu studi ini mendekomposisi matrik multiplier ke dalam empat komponen, yaitu : (1) injeksi awal (initial injection), (2) kontribusi bersih dari transfer efek multiplier sebagai hasil dari

transfer langsung neraca endogen, (3) kontribusi bersih dari open-loop effect yang menyerap interaksi antara tiga neraca endogen, dan (4) kontribusi bersih dari sirkulasi closed-loop effect yang menjamin bahwa arus pendapatan antara neraca endogen saling berhubungan.

Hasil analisis empat skenario kebijakan investasi dari studi ini menyatakan bahwa shocks pengeluaran aktual (skenario 1) Agricultural Sector Investment Program (ASIP) mendorong produksi pertanian komersial tumbuh lebih besar

meningkatkan pendapatan rumahtangga perdesaan tidak berkeahlian lebih besar daripada rumahtangga perkotaan tidak berkeahlian dan berkeahlian. Hal ini mendukung pandangan bahwa investasi di sektor pertanian menguntungkan penduduk perdesaan, dalam kasus ini kelompok berpendapatan rendah. Hasil analisis skenario 2, 3 dan 4 memperlihatkan hal yang senada dengan skenario 1, namun dengan komposisi besaran yang berbeda.

Bautista (2000) melakukan studi tentang pembangunan industri berbasis pertanian dengan membangun sebuah model SAM untuk wilayah Viet Nam Pusat, yang terdiri dari 25 sektor produksi, 5 faktor produksi, 4 kelompok pendapatan rumahtangga, 2 perusahaan dan masing-masing satu item dalam neraca pemerintahan, kapital dan rest of the world (ROW). Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa : Pertama, nilai multiplier output sektor pertanian secara keseluruhan selalu lebih besar dibandingkan dengan nilai multiplier sektor pertambangan dan industri pengolahan. Kedua, distribusi pendapatan pada sektor pertanian dan industri menunjukkan perkembangan positif. Nilai multiplier pendapatan sektor pertanian secara keseluruhan dan dua sektor industri yang mengolah komoditi pertanian, selalu lebih tinggi pada kelompok rumahtangga yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan yang berpendapatan tinggi, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Ketiga, ada hubungan timbal balik antara pertumbuhan pendapatan rumahtangga pertanian dengan rumahtangga industri. Mekanisme keterkaitan ini pada akhirnya akan membentuk suatu kekuatan sosial ekonomi yang kuat guna memperbaiki tingkat produktivitas sektor-sektor tersebut di wilayah pusat perekonomian. Dengan demikian berdasarkan studi ini memperlihatkan bahwa strategi agricultural demand-led industry (ADLI, industri

berbasis permintaan sektor pertanian) sangat relevan diterapkan di wilayah Viet Nam Pusat karena kenaikan sumberdaya publik bisa dialokasikan kepada sektor pertanian dan perdesaan sehingga meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan pendapatan rumahtangga di perdesaan, selanjutnya akan menciptakan kekuatan permintaan terhadap barang-barang produksi non pertanian dalam pasar lokal.

Berdasarkan analisis dari studi ini dapat disimpulkan bahwa : Pertama, pola distribusi pendapatan dan tenaga kerja sangat sensitif terhadap pengadopsian teknik baru. Kedua, teknik tradisional menghasilkan efek output, tenaga kerja dan pendapatan yang lebih besar dibandingkan teknik modern jika pilihan teknologi difokuskan pada penggunaan teknologi modern. Namun jika pilihan ditujukan pada penggunakan teknologi modern maka rumahtangga perkotaan akan lebih menikmati dampaknya, meskipun secara umum teknologi dengan teknik modern akan memberikan pendapatan yang lebih besar bagi perusahaan sebagai institusi lain di dalam kerangka SAM dibandingkan dengan yang diberikan oleh teknologi dengan teknik tradisional.

Sinha et. al. (1999) melakukan studi dengan menggunakan model SAM mencoba membangun suatu kerangka makroekonomi sektor formal dan informal dalam kerangka perekonomian India, dengan fokus analisis adalah sektor formal dan informal pada faktor produksi dan rumahtangga. Model SAM yang dibangun terdiri atas 24 sektor produksi dan nilai tambahnya, masing-masing dipisahkan menjadi sektor formal dan informal. Faktor produksi dari 24 sektor tersebut kemudian dibedakan atas empat kelompok, yaitu informal labor, formal labor, informal capital dan formal capital. Keempat faktor produksi tersebut dianalisis

menurut wilayah urban (perkotaan) dan rural (perdesaan). Lebih lanjut, analisis terhadap rumahtangga di perkotaan dan perdesaan, dipisahkan tipe-tipe rumahtangga sebagai berikut : (1) untuk sektor formal terdiri atas : rural poor, rural middle, rural rich, urban poor, urban middle dan urban rich; (2) untuk

kelompok sektor informal terdiri atas : rural poor-agriculture, rural middle- agriculture, rural rich-agriculture, urban poor, urban middle dan urban rich.

Dari hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa simulasi kenaikan ekspor tekstil pada sektor formal dan informal sebesar 20 persen merupakan skenario yang paling baik, karena dapat meningkatkan pendapatan faktor produksi dan rumahtangga yang paling tinggi, baik pada sektor formal maupun informal. Dari nilai rata-rata yang dihasilkan menunjukkan bahwa faktor produksi pada sektor formal tampaknya lebih banyak merasakan dampak dari naiknya ekspor tekstil tersebut. Sedangkan dari aspek distribusi pendapatan dapat diungkapkan bahwa pendapatan rumahtangga di sektor informal meningkat lebih besar dibandingkan sektor formal.

Siregar (2002) dalam studinya membangun model ECM (error correction model) guna menghasilkan jawaban terhadap tujuan penelitian yang berkaitan

dengan perubahan dalam kontribusi pertumbuhan output Pertanian (relatif terhadap Industri Pengolahan) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah AFC (Asian financial crisis). Berdasarkan studi ini ditemukan bahwa kontribusi pertumbuhan Pertanian dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan ekonomi nasional meningkat dari 31 persen dalam Tahun 1996 menjadi 48 persen dalam Tahun 1999, sedangkan sektor industri menurun dari 36 menjadi 23 persen pada tahun yang sama. Pola perubahan ini juga terlihat disebagian besar provinsi,

kecuali dalam beberapa provinsi dalam bagian Timur Indonesia, terutama di Kalimantan, Sulawesi Tengah dan Selatan dan Maluku, dimana kontribusi dari pertumbuhan baik sektor Pertanian maupun Industri terhadap pertumbuhan ekonomi adalah meningkat. Selain itu terdapat bukti dalam studi ini bahwa share Pertanian terhadap PDB dalam jangka panjang menjadi lebih rendah, yaitu mencapai 11 persen, memberi kesan bahwa pentingnya sektor Pertanian secara relatif tak terelakan akan menurun secara signifikan. Sehubungan dengan temuan ini, dianjurkan dalam studi ini adalah sangat perlu untuk membangun dan menjamin keterkaitan yang kuat antara sektor Pertanian dan Industri Pengolahan dan sektor Perdagangan.

Suryahadi dkk. (2006) dalam studinya yang bertujuan menguji tentang kaitan permintaan pertanian dan multiplier pertumbuhan di pedesaan Indonesia berdasarkan macro-ekonometrik approach, menemukan bahwa pertumbuhan sektor pertanian sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan sektor non pertanian di wilayah pedesaan. Meskipun berfluktuasi dengan waktu, diestimasikan bahwa, secara rata-rata, pertumbuhan satu persen pada sektor pertanian akan menyebabkan pertumbuhan 1.2% pada sektor non pertanian di wilayah pedesaan. Temuan ini mengindikasikan pandangan bahwa meningkatnya pendapatan pada sektor pertanian akan memicu permintaan terhadap barang- barang yang diproduksi lokal, khususnya yang diproduksi oleh sektor non- tradable. Diformulasikan dengan tepat, strategi pembangunan pedesaan yang membangun sektor pertanian dapat menjadi titik awal dalam mencapai pertumbuhan sektor pedesaan yang cepat dan kuat di Indonesia.

Studi tentang kontribusi sektor sebagaimana telah dikemukakan di atas belum mengkaitkan dampaknya terhadap tenaga kerja. Pada bagian berikut akan dikemukakan beberapa peneliti yang dalam studinya telah membahas hal itu. Sulistianingsih (1997) menganalisis dampak perubahan struktur ekonomi terhadap struktur penyerapan tenaga kerja di Indonesia pada periode tahun 1980 sampai 1993 dan proyeksinya sampai tahun 2019. Penelitian ini membangun model inter-industri ekonomi dan dekomposisinya, model tenaga kerja dan proyeksi ekonomi dan tenaga kerja; menganalisis secara terintegrasi dampak perubahan struktur ekonomi terhadap struktur penyerapan tenaga kerja; dan menganalisis dampak alternatif kebijakan terhadap kondisi ekonomi dan tenaga kerja sampai tahun 2019. Untuk analisis ekonomi digunakan tabel IO Indonesia tahun 1980, 1985, 1990 dan 1993; sedangkan untuk analisis tenaga kerja digunakan, data dari Sensus Penduduk 1980 dan 1990; dan data SUPAS 1985 dan 1995. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai titik balik ekonomi yang ditunjukkan dengan perubahan struktur sektoralnya. Komponen ekspor merupakan mesin pertumbuhan ekonomi. Sektor tekstil, pakaian jadi dan barang dari kulit dan sektor kimia, minyak bumi, batu bara, karet dan plastik merupakan leading growth sector dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi pada periode

1980-1993. Pada periode ini, terjadi perubahan ekonomi dari pola perdagangan bahan baku menjadi pola perdagangan barang-barang terolah. Penyerapan tenaga kerja terbesar pada sektor pertanian, meskipun dengan kecenderungan menurun. Peranan sektor manufaktur dan jasa dalam penyerapan tenaga kerja menunjukkan peningkatanyang relatif lambat. Kondisi ini menyebabkan lambatnya pencapaian titik balik tenaga kerja selama periode 1980-1993.

Khalik (2002) menganalisis kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dan hubungannya dengan tenaga kerja sektor pertanian di provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai PDRB sektor pertanian berpengaruh positip terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Elastisitas kesempatan kerja sektor pertanian lebih besar dibandingkan sektor lain dalam menciptakan kesempatan kerja, sehingga kemampuan sektor pertanian dalam menciptakan kesempatan kerja akan lebih besar dari sektor lainnya. Dalam penelitian ini digunakan analisis statistik berdasarkan metode regresi berganda.

Kartiwi (2003) menganalisis tentang kontribusi sektor-sektor terhadap PDRB, kemampuan sektor-sektor dalam menyerap tenaga kerja, dan perubahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah penyerapan tenaga kerja sektor pertanian jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kontribusinya terhadap PDRB. Sebaliknya jumlah penyerapan tenaga kerja sektor industri lebih kecil jika dibandingkan dengan kontribusinya terhadap PDRB. Faktor-Faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja sektor pertanian dan industri adalah PDRB, investasi dan upah dari masing- masing sektor tersebut. Perubahan tenaga kerja yang terjadi dari sektor pertanian adalah lebih besar ke sektor industri.