• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis sumber pertumbuhan, keterkaitan dan distribusi pendapatan dalam proses perubahan struktural ekonomi Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis sumber pertumbuhan, keterkaitan dan distribusi pendapatan dalam proses perubahan struktural ekonomi Provinsi Jawa Barat"

Copied!
303
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SUMBER PERTUMBUHAN, KETERKAITAN

DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DALAM PROSES

PERUBAHAN STRUKTURAL EKONOMI

PROVINSI JAWA BARAT

D

D

I

I

S

S

E

E

R

R

T

T

A

A

S

S

I

I

EKO WAHYU NUGRAHADI

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

ABSTRACT

EKO WAHYU NUGRAHADI. Analysis Sources of Growth, Linkage and

Income Distribution in the process of economic structural transformation in Province of West Java (MANGARA TAMBUNAN as Chairman, HERMANTO

SIREGAR and ARIEF DARYANTO as Members of the Advisory Committee).

The main objectives of this research are to analyze sources of growth, linkage and income distribution in the process of economic structural transformation in Province of West Java during 1993-2003. The analysis is using econometrics approach, IO (Input-Output) and SAM (Social Accounting Matrix).

The result shows that in the process of economic growth that following economic structural transformation in Province of West Java, there are some evidences : First, sectors that included in processing industries (such as : base metal and the products; textile, ready made clothes, leather; and food base; food, beverages and tobacco) and services (including trading, hotel and restaurant and services), rapidly growing, while agriculture sector (crops; plantation; and livestock) is slowly growing. Domestic and export demand are growth sources that has positive influence on the rapid growing of processing industries and services, and negative on slow growing on agriculture sector. This indicated that there is consistency between economic structural changing in Province of West Java with supporting theories and studies. The Second, there is income gap changing among households that widening. Third, there is a strong backward and forward linkage in sectors : base metal and the products; textile, ready made clothes, leather and food base; food, beverages and tobacco; and services. Fourth, major economic sectors which have strong roles in the economy are : food base; food, beverages and tobacco; plantation; livestock, trading, hotel and restaurant; and services. Fifth, on output growth, labor absorption and households income distribution of the five sectors has better roles.

Major implications of this study are : (1) in pursuing industrialization, the agroindustrial development (ADLI) should be putting in the highest priority, and (2) export promotion strategy should be considered as importance strategy to support the first recommendation.

(3)

RINGKASAN

EKO WAHYU NUGRAHADI. Analisis Sumber Pertumbuhan, Keterkaitan dan

Distribusi Pendapatan dalam Proses Perubahan Struktural Ekonomi Provinsi Jawa Barat (di bawah bimbingan MANGARA TAMBUNAN sebagai ketua,

HERMANTO SIREGAR dan ARIEF DARYANTO masing-masing sebagai

anggota komisi pembimbing).

Selama masa pembangunan ekonomi di provinsi Jawa Barat (periode 1983-2003) telah memperlihatkan perubahan struktural (structural transformation) ekonomi, yaitu bergesernya peranan relatif dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Sudah barang tentu perubahan struktural ekonomi tersebut akan membawa perubahan mendasar baik bagi pertumbuhan, kesempatan kerja dan pemerataan ekonomi lainnya. Tujuan utama dalam studi ini menganalisis sumber pertumbuhan, keterkaitan dan distribusi pendapatan dalam perubahan struktural ekonomi provinsi Jawa Barat periode tahun 1993-2003. Secara spesifik bertujuan : (1) menganalisis pola perubahan struktural ekonomi berdasarkan perubahan struktur output, tenaga kerja dan distribusi pendapatan antara golongan rumahtangga, (2) menganalisis sumber-sumber pertumbuhan output ekonomi dan tenaga kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi tersebut, (3) menganalisis keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forwad linkage) antar sektor-sektor produksi, (4) mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi yang potensial, dan (5) menganalisis dampak stimulus ekonomi terhadap output, kesempatan kerja dan distribusi pendapatan dari sektor-sektor ekonomi yang potensial.

(4)

terkait analisis SAM untuk menjawab tujuan penelitian pertama, ketiga, keempat dan kelima.

Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam proses pertumbuhan ekonomi yang menyertakan perubahan struktural ekonomi di Provinsi Jawa Barat ditemukan bukti, Pertama, sektor-sektor yang termasuk dalam sektor Industri Pengolahan (seperti Industri : Logam Dasar dan Barang Jadi Logam; Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Alas Kaki; dan Makanan, Minuman dan Tembakau) dan Jasa (seperti : Perdagangan, Hotel & Restoran; dan Jasa-Jasa) tumbuh secara cepat, sedangkan sektor Pertanian (seperti : Tanaman Bahan Makanan; Perkebunan; dan Peternakan) tumbuh secara lambat. Permintaan domestik dan ekspor merupakan sumber pertumbuhan yang mempengaruhi secara positip terhadap pertumbuhan cepat sektor Industri Pengolahan dan Jasa, dan secara negatif terhadap pertumbuhan lambat sektor Pertanian tersebut. Hal ini menunjukkan terdapat konsistensi antara pola perubahan struktural ekonomi di Provinsi Jawa Barat dengan teori dan studi-studi yang mendukungnya. Kedua, terjadi perubahan kesenjangan pendapatan antar golongan rumahtangga yang semakin melebar. Ketiga, terdapat keterkaitan baik ke belakang maupun ke depan yang kuat dalam sektor : Industri Logam Dasar dan Barang Jadi Logam; Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Alas Kaki; Industri Makanan, Minuman dan Tembakau dan Jasa-Jasa. Keempat, sektor-sektor ekonomi utama yang potensial untuk dikembangkan meliputi sektor : Industri Makanan, Minuman dan Tembakau; Perkebunan; Peternakan; Perdagangan, Hotel dan Restoran; dan Jasa-Jasa. Kelima, terhadap pertumbuhan output, penyerapan tenaga kerja dan pemerataan pendapatan rumahtangga kelima sektor ini memiliki peran relatif lebih baik.

Implikasi utama dalam studi ini adalah : (1) meletakkan agroindustri (ADLI) sebagai prioritas yang utama dalam mengejar industrialisasi, dan (2) strategi promosi ekspor dipandang suatu strategi penting untuk mendukung rekomendasi pertama. Dalam merencanakan kebijakan pembangunan ekonomi provinsi Jawa Barat yang didasarkan pada ADLI tersebut membutuhkan upaya,

terutama pada perbaikan di sektor Pertanian itu sendiri, yang meliputi : (1) penghapusan hambatan suplai, (2) meningkatkan struktur regulasi ekonomi

(5)

S

S

U

U

R

R

A

A

T

T

P

P

E

E

R

R

N

N

Y

Y

A

A

T

T

A

A

A

A

N

N

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :

ANALISIS SUMBER PERTUMBUHAN, KETERKAITAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DALAM PROSES PERUBAHAN

STRUKTURAL EKONOMI PROVINSI JAWA BARAT

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2008

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

ANALISIS SUMBER PERTUMBUHAN, KETERKAITAN

DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DALAM PROSES

PERUBAHAN STRUKTURAL EKONOMI

PROVINSI JAWA BARAT

EKO WAHYU NUGRAHADI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Disertasi : Analisis Sumber Pertumbuhan, Keterkaitan dan Distribusi Pendapatan dalam Proses Perubahan Struktural Ekonomi Provinsi Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Eko Wahyu Nugrahadi Nomor Pokok : A546010031

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec

Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana, Ilmu Ekonomi Pertanian,

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari sembilan bersaudara dari orang tua tercinta Bapak Soeroso (almarhum) dan Ibu Enny S. Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Juli 1964 di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.

Pada tahun 1976, penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Negeri Kesunean Cirebon. Pada tahun 1980 menamatkan pendidikan menengah di SMP Cenderawasih Cirebon dan pada tahun 1983 di SMA Muhammadiyah Cirebon. Melalui Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU) penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan (IKIP) Jakarta yang dapat diselesaikan pada tahun 1990. Pada tahun 1997 penulis menerima Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, dan dapat menyelesaikannya pada tahun 2001. Syukur Alhamdulillah penulis masih diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor sejak September 2001 dengan biaya yang bersumber dari BPPS.

Setelah lulus dari Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan (IKIP) Jakarta, sejak tahun 1991 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan.

(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, karena atas izin-Nya disertasi ini akhirnya dapat penulis selesaikan. Disertasi ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan penyelesaian pendidikan Program Doktor di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Perubahan struktural ekonomi yang telah terjadi selama masa pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat menjadi gagasan dasar dari penyusunan disertasi ini. Dari beberapa studi terdahulu tentang perubahan struktural ekonomi yang telah penulis pelajari hasilnya lebih terfokus pada pola perubahan struktural ekonomi, belum mengkaitkan dengan sumber-sumber pertumbuhan, keterkaitan dan distribusi pendapatan yang terjadi dalam perubahan struktural tersebut. Sehubungan dengan itu dalam disertasi ini dianalisis sumber pertumbuhan, keterkaitan dan distribusi pendapatan dalam proses perubahan struktural ekonomi provinsi Jawa Barat.

Disertasi ini diselesaikan secara layak atas bimbingan dari Bapak Prof.Dr.Ir. Mangara Tambunan, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr.Ir. Hermanto Siregar, M.Ec dan Bapak Dr.Ir. Arief Daryanto, M.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing. Oleh karena itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada beliau atas kesungguhan, ketekunan, dan kesabaran dalam memberikan bimbingan.

(11)

1. Ibu, Ayah-Ibu mertua, dan adik-adikku yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan moril.

2. Bapak Rektor, Direktur Sekolah Pascasarjana, dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis selama mengikuti pendidikan Program Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

3. Bapak Rektor dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan yang telah memberikan izin belajar.

4. Bapak Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang memberikan beasiswa BPPS.

5. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah membimbing penulis selama mengikuti pendidikan Program Doktor.

6. Bapak dan Ibu Pegawai Administrasi PPS IPB atas kemudahan urusan administrasi yang mendukung penulis dalam masa pendidikan Program Doktor.

7. Bapak Kepala Badan Pusat Statistik Pusat dan Provinsi Jawa Barat yang telah membantu penulis mendapatkan izin dan kemudahan dalam memperoleh data. 8. Dan kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

atas bantuannya dalam penyusunan disertasi ini.

Penulis telah berusaha mengerjakan disertasi ini sebaik mungkin sesuai kemampuan, akan tetapi keterbatasan sebagai manusia biasa memungkinkan terjadinya kesalahan dan kekhilafan penulis dalam menyelesaikannya. Oleh karena itu saran dan kritik penulis tetap perlukan demi kesempurnaanya. Akhirnya, semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2008

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….……….……. xii

DAFTAR GAMBAR ……….……….. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……..……….. xv

I. PENDAHULUAN ……….………..… 1

1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ……….………. 6

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….… 10

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ……….………..………. 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ………..………… 13

2.1. Perspektif Pembangunan Ekonomi ……….. 13

2.2. Teori Perubahan Struktural ………. 17

2.2.1. Model Surplus Tenaga Kerja Dua Sektor ………. 18

2.2.2. Model Pola-Pola Pembangunan ……… 27

2.3. Model Pertumbuhan Tak Seimbang ... 30

2.4. Distribusi Pendapatan ... 33

2.5. Strategi Pembangunan Ekonomi ... 38

2.5.1. Strategi Promosi Ekspor Produk Primper (PEP) ... 38

2.5.2. Strategi Industri Substitusi Impor (ISI) ... 40

2.5.3. Strategi Industri Promosi Ekspor (IPE) ... 42

2.5.4. Strategi Industri Berbasis Pertanian (ADLI) ... 44

2.6. Model Ekonomi Keseimbangan Umum ... 48

2.6.1 Model Input-Ouput (IO) ... 49

2.6.2 Model Social Accouting Matrix (SAM) ... 56

2.6.3. Model Computable General Equilibrium (CGE) ... 60

2.7. Studi Terdahulu ………. 63

2.7.1. Perubahan Struktural dan Sumber Pertumbuhan ... 63

2.7.2. Peranan dan Keterkaitan antar Sektor Produksi Serta Distribusi Pendapatan Rumahtangga ……….. 67

2.7.3. Peranan Sektoral dan Kaitannya Terhadap Tenaga Kerja …. 78 III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ……….. 81

3.1. Kerangka Pemikiran ………….………..……….. 81

3.1.1. Model Ekonometrik ………..……… 83

(13)

x

3.1.3. Model SAM ……….. 87

3.2. Hipotesis ………..………...………. 105

IV. METODE PENELITIAN ………. 107

4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ………..……….……… 107

4.2. Jenis dan Sumber Data ……… 107

4.3. Tahapan Penyusunan SAM Provinsi Jawa Barat ………. 108

4.3.1. Penetapan Tahun Dasar ………. 110

4.3.2. Pendefinisian Klasifikasi ……….. 110

4.3.3. Konsep dan Definisi ……….. 111

4.3.4. Tabulasi Data dan Identifikasi Sumber Data ……… 116

4.3.5. Koreksi Kesalahan Estimasi Data dan Pembentukan Keseimbangan ……….. 118

4.3.6. Rekonsiliasi Akhir ……… 118

4.4. Metode Analisis ……….………. 119

4.4.1. Analisis Ekonometrika ……….…………..….…….. 119

4.4.2. Analisis IO ………. 120

4.4.3. Analisis SAM ... 125

4.4.3.1. Analisis Keterkaitan ... 125

4.4.3.2 Analisis Pengganda, Dekomposisi Pengganda dan SPA ...… 126

4.4.3.3. Analisis Simulasi ……….…...………. 130

V POLA PERUBAHAN STRUKTURAL DAN SUMBER PERTUMBUHAN …...………….. 132

5.1. Pola Perubahan Struktural ……….……….. 132

5.1.1. Analisis dari Sisi Output dan Tenaga Kerja ………. 132

5.1.2. Analisis dari Sisi Distribusi Pendapatan Rumahtangga …… 137

5.2. Sumber Pertumbuhan ……….……….. 142

5.3. Ringkasan ………..………..……… 150

VI KETERKAITAN DAN PENGGANDA SEKTOR PRODUKSI ... 153

6.1. Keterkaitan Sektor Produksi ... 153

6.2. Pengganda Sektor Produksi ... 161

6.2.1. Pengganda Output Bruto dan Tenaga Kerja ... 162

6.2.2. Pengganda Pendapatan Rumahtangga ... 164

6.3. Dekomposisi Pengganda ... 170

6.4. Structural Path Analysis (SPA) ... 177

(14)

xi

VII DAMPAK STIMULUS EKONOMI TERHADAP OUTPUT, PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN DISTRIBUSI

PENDAPATAN RUMAHTANGGA ... 202

7.1. Dampak Stimulus Ekonomi Terhadap Output ... 202

7.2. Dampak Stimulus Ekonomi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja …. 207 7.3. Dampak Stimulus Ekonomi Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga ... 212

7.4. Ringkasan ... 218

VIII SIMPULAN DAN SARAN ... 221

8.1. Simpulan ... 221

8.2. Implikasi Kebijakan ... 222

8.3. Keterbatasan Penelitian dan Saran Penelitian Lanjutan ... 227

DAFTAR PUSTAKA ………..………. 228

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Tabel Input-Ouput Sederhana (2 Sektor) …….………. 52

2. Struktur SAM ………..………. 58

3. Skema Sederhana SAM ... 88

4. Klasifikasi SAM Provinsi Jawa Barat (38 sektor) …….……….. 109

5. Kerangka Dasar SAM ………...…..……… 117

6. Sumber dan Distribusi Pendapatan per Rumahtangga .…...……..….. 138

7. Pertumbuhan dan Sumber-Sumber Pertumbuhan Output Menurut Sektor (%) ….………..…………..……... 143

8. Pertumbuhan dan Sumber-Sumber Pertumbuhan Output Menurut Sektor yang Dirinci Berdasarkan Permintaan Domestik (%) …..….... 148

9. Pertumbuhan dan Sumber-Sumber Pertumbuhan Tenaga Kerja Menurut Sektor ….…... 149

10. Indeks Dampak Penyebaran dan Efek Keluasan Sektor Produksi ... 155

11. Klasifikasi Indeks Dampak Penyebaran Sektor Produksi Menurut Empat Kelompok …...….. 159

12. Koefisien Pengganda Output Bruto dan Tenaga Kerja …..……..…… 163

13. Koefisien Pengganda Pendapatan Rumahtangga Menurut Golongan Rumahtangga ……….……..…. 165

14. Rangking Sektoral ... 168

15. Dekomposisi Pengganda Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 171 16. Dekomposisi Pengganda Kedua Subsektor Pertanian ... 173

17. Dekomposisi Pengganda Subsektor Lainnya ... 176

18. Pengaruh Global, Pengaruh Langsung dan Pengaruh Total pada Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau ………....……… 179

19. Pengaruh Global, Pengaruh Langsung dan Pengaruh Total pada Sektor Perkebunan ... 184

20. Pengaruh Global, Pengaruh Langsung dan Pengaruh Total pada Sektor Peternakan ... 188

21. Pengaruh Global, Pengaruh Langsung dan Pengaruh Total pada Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ... 192

(16)

xiii

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kontribusi Sektor Primer, Sekunder dan Tersier Terhadap Total PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Harga Konstan 1993 Periode

Tahun 1983-2003 ……….……….. 4

2. Pertumbuhan Ekonomi Model W. Artur Lewis ………. 20

3. Modifikasi Model Lewis yang Menunjukkan Tambahan Stok Modal yang Bersifat Capital Intensive ……….. 26

4. Distribusi Pendapatan Dengan Pendekatan Fungsional ………..…... 36

5. Simplifikasi Hubungan Peubah Makroekonomi dalam Model CGE ... 62

6. Kerangka Pemikiran ……….………….………. 82

7. Aliran Pendapatan dalam Perekonomian ……...………….……… 89

8. Proses Pengganda antara Neraca Endogen SAM …...…… 94

9. Jalur Dasar ………..……….. 97

10. Jalur Sirkuit ………..………. 97

11. Jalur Dasar Termasuk Jalur Sirkuit ………..………. 99

12. Jalur Dasar Termasuk Jalur Sirkuit yang Menghubungkan Simpul i dan j ………. 102

13. Structural Path Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau .... 179

14. Structural Path Sektor Perkebunan ………..………. 184

15. Structural Path Sektor Peternakan ... 188

16. Structural Path Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ... 192

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data untuk Pendugaan Model Struktur Output dan Tenaga Kerja ...… 234

2. Klasifikasi Sektor dalam Tabel Input-Output Tahun 1993 ……...… 235

3. Tabel IO Tahun 1993 Berdasarkan Transaksi Domestik Atas Harga Produsen (21x21 Sektor, Juta Rupiah) …………..……….………….. 236

4. Klasifikasi Sektor dalam Tabel Input-Output Tahun 2003 ….…...… 241

5. Tabel IO Tahun 2003 Berdasarkan Transaksi Domestik Atas Harga Produsen (21x21 Sektor, Juta Rupiah) ………..…….….. 242

6. Tabel SAM SAM Provinsi Jawa Barat Tahun 1993 (38x38 Sektor, Juta Rupiah) ……….……..………….………….. 247

7. Nilai Pengganda SAM Tahun 1993 (Juta Rupiah) ... 250

8. Nilai Pengganda Transfer SAM Tahun 1993 (Juta Rupiah) ... 253

9. Nilai Pengganda Open Loop SAM Tahun 1993 (Juta Rupiah) ... 256

10. Nilai Pengganda Closed Loop SAM Tahun 1993 (Juta Rupiah) ... 259

11. Tabel SAM SAM Tahun 2003 (Juta Rupiah) …... 262

12. Nilai Pengganda SAM Tahun 2003 (Juta Rupiah) ... 265

13. Nilai Pengganda Transfer SAM Tahun 2003 (Juta Rupiah) ... 268

14. Nilai Pengganda Open Loop SAM Tahun 2003 (Juta Rupiah) ... 271

(19)

1.1. Latar Belakang

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nasional yang relatif besar. Berdasarkan harga konstan 1993, Jawa Barat memiliki kontribusi terhadap PDRB nasional rata-rata sebesar 16.35 persen sebelum masa krisis ekonomi, yaitu selama periode tahun 1997 (BPS, 1993-2003). Kontribusi tersebut cukup besar mengingat letak strategis wilayah Jawa Barat dibandingkan dengan total luas wilayah Indonesia. Berdasarkan kontribusi tersebut, Jawa Barat menempati posisi terbesar pertama. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Jawa Barat secara ekonomi merupakan wilayah yang potensial menggerakkan ekonomi di Indonesia. Selain itu Jawa Barat memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 7.33 persen (berdasarkan harga konstan 1993) dalam periode yang sama, lebih besar dari tingkat pertumbuhan nasional rata-rata sebesar 7.00 persen, namun lebih rendah dari tingkat pertumbuhan DKI Jakarta rata-rata sebesar 8.02 persen. Kinerja ini dapat dicapai karena jumlah investasi yang besar dari proses industrialisasi yang berjalan dengan cepat sehingga terjadi perubahan struktural ekonomi Jawa Barat.

(20)

menunjukkan dampak yang lebih parah akibat kontraksi ekonomi tersebut. Dampak krisis yang besar di Jawa Barat menarik untuk diteliti karena daerah lain lebih rendah. Ini mungkin terjadi karena ekonomi Jawa Barat melompat ke industri lebih cepat sehingga ketika krisis ekonomi terjadi penurunnya sangat dramatik.

Mulai tahun 1999, secara berangsur-angsur pertumbuhan ekonomi Jawa Barat naik, namun kontribusinya terhadap PDRB nasional mengalami penurunan, yaitu berada di urutan ketiga setelah provinsi DKI dan Jawa Timur. Pertumbuhan Jawa Barat tahun 1999 masih bernilai negatif, akan tetapi tahun 2001-2003 menjadi positip berturut-turut sebesar 3.98, 3.93 dan 4.54 persen, lebih besar dari pertumbuhan nasional maupun dari kedua provinsi yang memberikan kontribusi terbesar pertama dan kedua terhadap PDRB nasional, yaitu DKI Jakarta dan Jawa Timur. Hal ini menggambarkan bahwa dengan kecenderungan membaik kembali perekonomian nasional pasca krisis ekonomi memberikan dampak peningkatan kembali perekonomian Jawa Barat.

Gambaran mengenai kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nasional dan tingkat pertumbuhan yang relatif besar sebagaimana telah diuraikan di atas menunjukkan peran Jawa Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia di satu sisi yang memiliki posisi cukup strategis dalam membangun perekonomian nasional. Di sisi lain, Jawa Barat memiliki letak geografis yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta yang memiliki fungsi sebagai daerah hinterland DKI. Sebagai hinterland Jawa Barat terkena eksternalitas positif dari

(21)

letak geografis dan “economies spillover effects positive” tersebut membuat posisi perekonomian Jawa Barat menjadi sangat penting bagi nasional. Dengan demikian atas beberapa alasan mendasar di atas, dalam studi ini mengambil Jawa Barat sebagai lokasi penelitian.

Kalau Jawa Barat dapat diambil menjadi lokasi penelitian, maka tidaklah mustahil bahwa studi ekonomi mengenai perubahan struktural ekonomi dan implikasinya dapat tercermin dalam ekonomi Jawa Barat. Dalam konteks ini sangat menarik untuk meneliti implikasi mendasar bagaimana sesungguhnya perubahan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan yang terjadi sebagai hasil dari suatu proses industrialisasi. Secara normatif tujuan-tujuan ideal pembangunan ekonomi suatu daerah apabila pertumbuhan ekonomi diikuti oleh penciptaan lapangan kerja dan distribusi pendapatan yang lebih baik.

Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang tinggi selama periode Prakrisis diawali oleh besarnya kontribusi sektor primer (meliputi sektor : Pertanian dan Pertambangan dan Penggalian), kemudian secara perlahan berubah kepada sektor tersier (meliputi sektor : Listrik, Gas dan Air Bersih; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan dan Komunikasi; Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; dan Jasa-Jasa) dan sekunder (meliputi sektor : Industri Pengolahan dan Bangunan/Kontruksi). Perkembangan kontribusi ketiga sektor tersebut secara rinci dapat dilihat pada Gambar 1.

(22)

0 10 20 30 40 50

1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Primer Sekunder Tersier

Gambar 1. Kontribusi Sektor Primer, Sekunder dan Tersier Terhadap Total PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Harga Konstan 1993 Periode Tahun 1983-2003 (%)

Sumber : BPS, 1983-2003 (diolah kembali)

sektor sekunder dan tersier hanya menyumbang sebesar 20.24 dan 35.40persen. Selanjutnya tahun 1986, sektor tersier merupakan sektor yang dominan karena memberikan kontribusi yang cukup besar, yaitu sebesar 43.41 persen, lebih tinggi dari sektor primer dan sekunder, yaitu masing-masing sebesar 31.09 dan 25.50 persen. Pemberi kontribusi terbesar sektor tersier adalah sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, yaitu sebesar 20.88 persen. Kemudian, pada tahun 1996, sektor sekunder merupakan sektor yang dominan karena memberikan kontribusi yang cukup besar, yaitu sebesar 41.63 persen, lebih tinggi dari sektor primer dan tersier, yaitu masing-masing sebesar 18.95 dan 39.42 persen. Pemberi kontribusi terbesar sektor sekunder adalah sektor Industri Pengolahan, yaitu sebesar 35.33 persen.

(23)

melimpah. Berkembangnya ekonomi provinsi Jawa Barat yang didorong sektor Industri tersebut selain dapat menciptakan pertumbuhan sudah barang tentu akan memberikan dampak pergeseran dalam memperoleh manfaat pembangunan antar kelompok masyarakat melalui lapangan kerja, pendapatan dan kekayaan.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa selama masa pembangunan ekonomi di provinsi Jawa Barat, yang ditunjukkan oleh perkembangan kontribusi sektoral terhadap PDRB total Jawa Barat, periode 1983-2003 telah memperlihatkan perubahan struktural atau transformasi struktural (structural transformation) ekonomi, yaitu bergesernya peranan relatif dari sektor primer

ke sektor sekunder dan tersier. Sudah barang tentu perubahan struktural ekonomi tersebut akan membawa perubahan mendasar baik bagi pertumbuhan, kesempatan kerja dan pemerataan ekonomi lainnya. Nasoetion (1991) menyatakan bahwa transformasi struktural adalah gejala alamiah yang harus dialami oleh setiap perekonomian yang sedang tumbuh. Dengan demikian kebijaksanaan rekayasa perubahan struktural ditujukan untuk memaksimumkan dampak positip dari perubahan struktural tersebut.

(24)

akan menggeser permintaan dari barang-barang Pertanian ke barang-barang non Pertanian (Industri Pengolahan dan Jasa). Perubahan pola permintaan akan mendorong terjadinya perubahan struktur produksi. Perubahan struktur produksi ditandai dengan terjadinya penurunan pangsa relatif sektor Pertanian terhadap PDRB. Penurunan pangsa ini mencerminkan relatif lambatnya peningkatan laju pertumbuhan produksi dan nilai PDRB sektor Pertanian terhadap sektor non Pertanian (Anwar, 1983). Perubahan struktur produksi akan mendorong terjadinya perubahan struktur tenaga kerja. Mobilisasi tenaga kerja melalui changing of occupations dari sektor Pertanian ke sektor Industri dan Jasa adalah sangat

diperlukan untuk terjadinya perubahan struktural.

Perubahan struktural tidak akan mendorong permintaan jika hanya karena adanya peningkatan pendapatan tanpa disertai dengan perubahan distribusi pendapatan. Perubahan distribusi pendapatan menurut Kuznet cenderung akan mengikuti kurva U yang terbalik (Kuznet, 1945 dalam Todaro, 2000). Artinya dalam awal pembangunan, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi distribusi pendapatan akan cenderung memburuk, kemudian terjadi perbaikan distribusi pendapatan dalam sistem perekonomian yang jauh lebih merata.

1.2. Perumusan Masalah

(25)

menjadi 39.07 persen (saat dan pasca krisis ekonomi, tahun 1997-2003). Sedangkan sektor Jasa rata-rata kontribusinya sedikit menurun dari 45.75 persen menjadi 41.99 persen pada rentang waktu yang sama. Berdasarkan gambaran tersebut dapat dinyatakan bahwa pergeseran peran sektor primer tersebut lebih banyak bergerak ke sektor Industri Pengolahan.

Besarnya kontribusi sektor Industri Pengolahan yang terjadi selama Prakrisis ekonomi ditunjang terbesar oleh kontribusi subsektor Industri Besar dan Menengah, yaitu sebesar rata-rata 85.90 persen. Subsektor Industri Besar dan Menengah tersebut lebih padat modal (capital intensive) dan menyerap bahan baku impor (Amir, 1999). Hal ini juga didukung hasil studi yang dilakukan oleh Siswanto, dkk. (2003) yang menyatakan bahwa berdasarkan perbandingan antara transaksi total dan domestik hampir sebagian komoditi-komoditi yang tergolong dalam subsektor Industri Besar dan Menengah memiliki indeks daya penyerapan (α) menjadi kurang dari 1, yang berarti subsektor tersebut kurang menyerap komoditi yang dihasilkan dari pasar domestik seperti penyediaan bahan baku. Hal ini menunjukkan ketergantungan provinsi Jawa Barat terhadap input bahan baku impor cukup besar.

Pesatnya jumlah Industri Pengolahan di Jawa Barat dari tahun 1970-an, sangat mungkin didominasi industri berbahan baku impor (bukan dari Jawa Barat dan daerah lain di Indonesia), sehingga industri ini bersifat “foot loose” industries. Keterkaitan Industri Pengolahan ke belakang (backward linkage)

(26)

industrialisasi, sejauh mungkin memanfaatkan bahan baku yang disediakan oleh sektor Pertanian, dengan demikian wacana penyerapan tenaga kerja yang lebih besar semakin dapat nyata. Sehubungan dengan itu perlu dipertanyakan seberapa besar keterkaitan antar sektor-sektor produksi?

Hasil studi Kartiwi (2003) mengungkapkan bahwa jumlah penyerapan tenaga kerja sektor Pertanian relatif jauh lebih besar jika dibandingkan dengan sektor Industri Pengolahan dan Jasa. Namun di sisi lain kontribusi sektor Pertanian terhadap PDRB relatif lebih kecil dibandingkan dengan sektor Industri Pengolahan dan Jasa. Berdasarkan gambaran tersebut menunjukkan bahwa perekonomian di proponsi Jawa Barat masih bersifat belum selaras. Artinya peningkatan output sektor Industri Pengolahan tidak diikuti oleh peningkatan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar sekaligus, sebaliknya penurunan output sektor Pertanian tidak diikuti oleh penurunan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar sekaligus. Seperti telah lama digambarkan oleh Lewis dalam Todaro (2000), perubahan struktural yang berhasil adalah kalau dapat mencerminkan keselarasan perubahan output dengan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan yang lebih merata.

(27)

pendapatan per kapita, populasi, dan tingkat perdagangan luar negeri berpengaruh secara negatif terhadap penurunan sektor primer, dan positip terhadap sektor sekunder dan tersier, baik di sisi output maupun tenaga kerja.

Berdasarkan uraian di atas, titik pusat masalah pertanyaan penelitian selanjutnya ditujukan, Pertama, apakah perubahan struktural propinsi Jawa Barat, terutama ditinjau dari sisi output dan tenaga kerja, sesuai dengan pola

normal, yaitu konsisten dengan teori dan studi-studi yang mendukungnya? Dan,

Kedua, terkait dengan pertumbuhan yang menyebabkan perubahan struktural

tersebut, faktor-faktor apa saja yang menjadi sumber pertumbuhan output dan tenaga kerja?

(28)

Perubahan struktural ekonomi yang terjadi ditunjukkan secara alamiah oleh relatif lebih besar share kontribusi sektor Industri Pengolahan dan Jasa terhadap perekonomian, baik dari sisi output maupun tenaga kerja. Namun demikian keadaan itu belum menjamin adanya kemerataan distribusi pendapatan antar golongan rumahtangga. Padahal tujuan ideal pembangunan ekonomi apabila terjadi pertumbuhan ekonomi, yang menyertakan perubahan struktural ekonomi, diikuti juga oleh tingkat distribusi pendapatan yang lebih merata antar golongan rumahtangga. Dengan demikian sektor-sektor yang memiliki kontribusi relatif lebih besar setelah adanya perubahan struktural ekonomi dapat dikatakan sebagai sektor-sektor potensial apabila turut pula memberi kontribusi adanya kemerataan distribusi pendapatan antar golongan rumahtangga. Oleh karena itu sangat relevan pemberikan stimulus ekonomi, seperti peningkatan investasi, pengembangan ekspor dan stimulus lainnya, terhadap sektor-sektor potensial sebagai arah kebijakan dalam pengembangan ekonomi di masa mendatang. Dari uraian ini yang menjadi pertanyaan selanjutnya yang perlu dianalisis adalah : sektor-sektor apa yang potensial secara ekonomi di provinsi Jawa Barat? Sejauhmana dampak

stimulus ekonomi terhadap output, kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan

rumahtangga dari masing-masing sektor tersebut? Dan sektor ekonomi manakah

yang paling potensial mewujudkan output dan kesempatan kerja yang tinggi

sekaligus distribusi pendapatan yang merata?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(29)

distribusi pendapatan dalam proses perubahan struktural provinsi Jawa Barat periode tahun 1993-2003. Secara spesifik bertujuan :

1. Menganalisis pola perubahan struktural ekonomi berdasarkan perubahan struktur output, tenaga kerja dan distribusi pendapatan antara golongan rumahtangga.

2. Menganalisis sumber-sumber pertumbuhan output ekonomi dan tenaga kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi tersebut.

3. Menganalisis keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forwad linkage) antar sektor-sektor produksi.

4. Mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi yang potensial.

5. Menganalisis dampak stimulus ekonomi terhadap output, kesempatan kerja dan distribusi pendapatan dari sektor-sektor ekonomi yang potensial.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi beragam stakeholders, terutama bagi pengambil keputusan dan kebijakan dalam

pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah provinsi Jawa Barat. Disamping itu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembanding dan stimulus penelitian yang berhubungan dengan studi ini bagi pihak peneliti dan akademis.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

(30)
(31)

2.1. Perspektif Pembangunan Ekonomi

Sebagaimana diketahui semua negara di dunia kerap bekerja keras untuk melaksanakan pembangunan. Secara umum kemajuan ekonomi merupakan komponen utama pembangunan, namun bukan satu-satunya komponen. Todaro (2000) menyatakan bahwa pembangunan itu bukan hanya fenomena ekonomi, karena pada akhirnya proses pembangunan harus mampu membawa umat manusia melampaui pengutamaan materi dan aspek-aspek keuangan dari kehidupannya sehari-hari. Berdasarkan pengertian tersebut, proses pembangunan selain meningkatkan pendapatan dan output, juga berkenaan dengan serangkaian perubahan yang bersifat mendasar atas struktur-struktur kelembagaan, sosial, adminstrasi, sikap-sikap masyarakat dan bahkan seringkali juga menjangkau adat-istiadat, kebiasaan dan sistem kepercayaan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.

(32)

sekarang ini merupakan suatu “kebangkitan kembali” untuk memperhatikan masalah-masalah yang dianalisis para ekonom pada masa lalu.

Berdasarkan ilmu ekonomi pembangunan, telah diketahui bahwa dalam sejarah perekonomian terdapat berbagai mazhab yang memiliki pandangan yang berbeda terhadap konsep pembangunan ekonomi (Gillis et.al., 1992; Kasliwal, 1995; Hess and Ross, 1997; Todaro, 2000; dan Jhingan, 2003). Todaro (2000) menyatakan bahwa konsep pembangunan ekonomi pasca PD II didominasi oleh aliran pemikiran (yang bersaing satu sama lain) yang dikategorikan dalam empat pendekatan sebagai berikut :

1. Model-model pertumbuhan-bertahap-linier (linier-stage-of-growth model) 2. Kelompok teori dan pola-pola perubahan struktural (the structural change

theories and patterns)

3. Revolusi ketergantungan internasional (international dependence revolution) 4. Kontrarevolusi pasar bebas neoklasik (neoclassical free-market

counterrevolution)

(33)

harus diupayakan serta diadakan oleh negara-negara dunia ketiga agar dapat menapaki jalur-jalur pertumbuhan ekonomi modern yang menurut sejarahnya telah dilalui dengan sukses oleh negara-negara yang sekarang terlihat maju.

Aliran pemikiran yang dikategorikan dalam pendekatan kedua (yang berlaku pada dekade 1970-an) didukung oleh ekonom-ekonom yang sangat terkemuka seperti W. Arthur Lewis, yang terkenal dengan model teoretisnya tentang “surplus tenaga kerja dua sektor (two sector surplus labor)”, dan H.B. Chenery, yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya tentang “pola-pola pembangunan (patterns of development)”. Aliran pemikiran ini menitikberatkan pada teori dan pola perubahan struktural. Kemudian mereka menggunakan teori-teori ekonomi modern dan analisis statistik guna melukiskan proses struktural internal yang harus dialami oleh negara-negara berkembang agar mampu dan berhasil menciptakan serta sekaligus memperlihatkan pertumbuhan ekonominya yang cepat.

(34)

perekonomian dan masyarakat, baik dalam skala domestik maupun internasional, yang bersifat dualistik (saling bertentangan) semakin banyak bermunculan. Teori-teori ketergantungan cenderung untuk menekankan keberadaan dan bahaya kendala-kendala institusional, baik itu yang bersifat internal maupun eksternal yang kesemuanya berdimensikan politik terhadap keseluruhan pelaksanaan proses pembangunan ekononomi. Disadari atau tidak, batasan atau kendala-kendala institusional itu senantiasa menghalangi upaya sebagian besar negara-negara berkembang dalam meraih kemajuan ekonomi. Teori ini menaruh perhatian utama terhadap pentingnya menyusun kebijakan baru untuk menghapuskan kemiskinan secara total, menyediakan kesempatan kerja yang lebih bervariasi dan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Menurut pendekatan ini, tujuan tersebut dan tujuan-tujuan lainnya yang bersifat egalitarian hanya akan berhasil dicapai dalam suatu konteks lingkup perekonomian yang sehat dan berkembang pesat. Akan tetapi teori ini cenderung menyangsikan bahwasanya pertumbuhan ekonomi akan dapat diraih melalui cara-cara yang dianjurkan secara gencar oleh model-model pertumbuhan bertahap linier maupun teori-teori perubahan struktural.

(35)

diakibatkan oleh terlalu banyaknya campur tangan dan regulasi pemerintah dalam kehidupan perekonomian nasional.

Akhimya, pada penghujung dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an, sejumlah kecil ekonom neoklasik dan institusional mulai mengembangkan apa yang kemudian menjadi pendekatan kelima, yakni yang disebut-sebut sebagai teori baru pertumbuhan ekonomi. Teori ini mencoba memodifikasikan dan mengembangkan teori pertumbuhan tradisional sedemikian rupa sehingga ia dapat menjelaskan mengapa ada sebagian negara yang mampu berkembang begitu cepat sedangkan yang lain begitu sulit atau bahkan mengalami stagnasi (kemacetan). Teori baru ini juga bermaksud menjelaskan mengapa meskipun konsep-konsep neoklasik seperti pasar bebas dan otonomi sektor swasta begitu gencar didengungkan, tetapi peranan pemerintah dalam keseluruhan proses pembangunan masih tetap sangat besar.

2.2. Teori Perubahan Struktural

Pada bagian ini akan dipaparkan secara mendalam teori perubahan struktural ekonomi. Hal tersebut dilakukan mengingat teori perubahan strukural akan menjadi pegangan atau pijakan utama dalam penelitian ini. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aliran pendekatan perubahan struktural ini didukung teoritis W. Arthur Lewis yang dikenal dengan model tentang “surplus tenaga kerja dua sektor (two sector surplus labor)”, dan H.B. Chenery, yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya tentang “pola-pola pembangunan (patterns of development)”.

(36)

Salah satu model teoritis tentang pembangunan yang paling terkenal, yang memusatkan perhatian pada transformasi struktural (structural transformation) suatu perekonomian subsisten, mula-mula dirumuskan oleh W. Arthur Lewis, salah satu ekonom besar dan penerima Hadiah Nobel, pada pertengahan dekade 1950-an, dan kemudian diubah, diformalkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh John Fei dan Gustav Ranis. Pada dasarnya, teori tersebut membahas proses pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja selama akhir dekade 1960-an dan dekade 1970-an.

Menurut model pembangunan Lewis, perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu : (1) sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol, dimana situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja (surplus labor) sebagai suatu fakta bahwa sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian dan sektor itu tidak akan kehilangan outputnya sedikit pun, dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten.

(37)

oleh adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah, dengan asumsi bahwa para kapitalis yang berkecimpung dalam sektor modern tersebut bersedia menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Yang terakhir, tingkat upah di sektor industri perkotaan (sektor modern) diasumsikan konstan dan, berdasarkan suatu premis tertentu, jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor pertanian subsisten tradisional. (Lewis berasumsi bahwasanya tingkat upah di daerah perkotaan sekurang-kurangnya harus 30 persen lebih tinggi daripada rata-rata pendapatan di daerah-daerah pedesaan untuk memaksa para pekeja pindah dari desa-desa asalnya ke kota-kota). Pada tingkat upah di daerah perkotaan yang konstan, maka kurva penawaran tenaga kerja pedesaan dianggap elastis sempurna.

(38)

Lewis mengemukakan bahwa dalam suatu perekonomian terbelakang, 80 persen hingga 90 persen angkatan kerjanya terkumpul di daerah-daerah pedesaan serta menggeluti pekerjaan di sektor pertanian.

Gambar 2. Pertumbuhan Ekonomi Model W. Arthur Lewis Sumber : Todaro, 2000.

[image:38.612.98.498.184.567.2]
(39)

kerja rata-rata, bukannya produktivitas tenaga kerja marjinal (seperti pada sektor modern). Menurutnya diasumsikan bahwa ada sejumlah LA tenaga kerja pertanian yang menghasilkan produk pangan hingga sebanyak TPA, dan masing-masing tenaga kerja menghasilkan output pangan dalam jumlah yang persis sama, yakni sebanyak WA (ini sama dengan hasil hitungan TPA/LA). Produktivitas marjinal tenaga kerja sebanyak LA tersebut sama dengan nol, sebagaimana terlihat pada kurva di sebelah kiri bawah, dan oleh karenanya, asumsi surplus tenaga kerja berlaku pada seluruh pekerja yang melebihi LA(perhatikan kurva TPAberbentuk horisontal setelah melewati jumlah pekerja LA pada diagram kanan atas). Inilah sumber atau pijakan asumsi surplus tenaga kerja itu.

(40)

kerja marjinal dari sektor modern yang merupakan turunan dari kurva-kurva TPM pada kurva tepat di atasnya. Dengan asumsi bahwa pasar tenaga kerja sektor modern itu kompetitif sempurna, maka kurva-kurva produksi marjinal itulah yang menentukan besar-kecilnya tingkat permintaan yang aktual akan tenaga kerja. Sebagaimana terlihat pada kurva-kurva sebelah bawah Gambar 2a dan Gambar 2b, WA memperlihatkan tingkat rata-rata pendapatan riil dari sektor ekonomi subsisten tradisional di daerah-daerah pedesaan. Dengan demikian, WM pada Gambar 2a memperlihatkan tingkat upah riil pada sektor kapitalis modern. Pada tingkat upah itu, penawaran tenaga kerja pedesaan diasumsikan tidak terbatas atau elastis sempurna yang diperlihatkan oleh kurva penawaran tenaga kerja horisontal WMSL. Dengan kata lain, Lewis mengasumsikan bahwasanya pada tingkat upah di perkotaan sebesar WM yang jauh lebih tinggi daripada tingkat pendapatan pedesaan WM, para penyedia lapangan kerja di sektor modern dapat merekrut tenaga kerja pedesaan sebanyak yang mereka perlukan tanpa harus merasa khawatir bahwa tingkat upah akan meningkat. (Perhatikan bahwa kuantitas tenaga kerja di sektor pedesaan pada Gamar 2b dinyatakan dalam jutaan, sedangkan di sektor modern perkotaan pada Gambar 2a dinyatakan dalam ribuan).

(41)

physical product) sama persis dengan upah riil (yaitu, titik F yang merupakan

perpotongan antara kurva permintaan dan penawaran tenaga kerja), kesempatan kerja di sektor modern akan sama dengan L1. Total output sektor modern (TPMl), ditunjukkan oleh bidang yang dibatasi oleh titik-titik 0D1FL1, dengan total tenaga kerja L1. Dari bidang itu, keuntungan total yang diterima oleh para pengusaha (kapitalis) di sektor modern ditunjukkan dengan WMD1F. Menurut Lewis diasumsikan bahwa semua keuntungan tersebut akan ditanamkan kembali sehingga memperbesar stok modal (dari KM1 menjadi KM2) menyebabkan kurva produk secara keseluruhan pada sektor modern meningkat menjadi TPM (KM2) yang pada gilirannya akan mengakibatkan terus meningkatnya kurva permintaan tenaga kerja karena pergeseran produk marjinal tenaga kerja. Pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke arah luar dalam gambar ditunjukkan oleh garis D2 (KM2) pada Gambar 2a sebelah bawah. Dari hasil ini diperoleh suatu titik keseimbangan baru tentang tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor modern yang ditunjukkan oleh G dengan jumlah tenaga kerja yang dikerahkan pada L2. Jumlah output meningkat menjadi TPM2 atau ditunjukkan oleh bidang 0D2GL2, dengan jumlah upah para pekerja dan keuntungan para pengusaha meningkat menjadi masing-masing 0WMGL2 dan WMD2G. Sekali lagi, keuntungan (WMD2G) yang lebih besar ini akan ditanamkan kembali, dan akan meningkatkan jumlah stok kapital ke KM3, yang akan menggeser kurva produk dan permintaan tenaga kerja masing-masing ke TPM (KM3) dan ke D3 (KM3), serta menaikkan tingkat penyerapan tenaga kerja sektor modern ke L3.

(42)

oleh sektor industri. Selanjutnya, tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian dengan biaya yang lebih tinggi karena hal tersebut pasti akan mengakibatkan merosotnya produksi pangan. Hanya penurunan rasio tenaga kerja terhadap tanah secara drastis sajalah yang akan mampu membuat produk marjinal tenaga kerja desa menjadi tidak sama dengan nol lagi. Dengan demikian, ketika tingkat upah serta kesempatan kerja di sektor modern terus mengalami pertumbuhan, maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja bernilai positif. Transforrnasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan menjadi suatu kenyataan dan perekonomian pun pada akhimya pasti beralih dari perekonomian pertanian tradisional yang berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri modern yang berorientasikan kepada pola kehidupan perkotaan.

Meskipun model dua sektor Lewis ini cukup lugas dan jelas, serta secara umum sudah sesuai dengan pengalaman sejarah pertumbuhan ekonomi modern negara-negara Barat, namun menurut Todaro (2000) tiga dari asumsi-asumsi utamanya ternyata sama sekali tidak cocok dengan kenyataan institusional dan ekonomis di sebagian besar negara-negara Dunia Ketiga sekarang ini.

Pertama, model ini secara implisit mengasumsikan bahwa tingkat

(43)

dan lebih hemat tenaga kerja (capital intensive)? Gambar 3 mengembangkan Gambar 2a di sebelah bawah, dan terlihat bahwa kurva permintaan tanaga kerja tidak lagi bergeser ke luar, akan tetapi bersilang. Kurva permintaan D2 (KM2) miring lebih negatif daripada D2 (WMI) untuk menunjukkan fakta bahwa tambahan stok modal, yang dimanfaatkan kemajuan teknologi hemat tenaga kerja, yaitu teknologi KM2 yang hanya memerlukan lebih sedikit tenaga kerja bagi setiap unit output daripada teknologi yang sebelumnya, yakni KM1.

Terlihat jelas bahwa, meskipun jumlah output telah meningkat sangat besar (yaitu, 0D2EL1 yang jau lebih besar daripada 0D1EL1) akan tetapi upah keseluruhan (0WMEL1) dan kesempatan kerja (L1) tetap saja tidak berubah. Semua output tambahan diterima oleh para pengusaha (kapitalis) itu dalam bentuk peningkatan keuntungan. Dengan demikian Gambar 3 menujukkan apa yang oleh sementara pengamat disebut sebagai pertumbuhan ekonomi yang antipembangunan (antidevelopmental etonomic growth), yaitu semua tambahan pendapatan dan pertumbuhan output hanya akan dibagikan kepada sekelompok kecil pemilik modal, sedangkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja dari sebagian besar tenaga kela justru tidak akan mengalami peningkatan yang berarti.

Kedua, asumsi yang sering dan patut dipersoalkan dari model tersebut

(44)

sampai batas tertentu memang masih bisa diterima semata-mata karena adanya dua pengecualian terhadap kenyataan yang baru saja disebutkan, yaitu adanya arus pekerja musiman dan perpindahan permanen penduduk secara geografis (misalnya saja, di beberapa tempat di anak benua Asia dan di berbagai daerah yang terisolasi di Amerika Latin, di mana kepemilikan tanahnya sangat tidak merata). Akan tetapi, para ahli ekonomi pembangunan pada saat ini, pada umumnya kelihatan telah sepakat bahwa asumsi surplus tenaga kerja di perkotaan secara empiris lebih sahih daripada asumsi sebaliknya yang dikemukakan oleh Lewis.

Gambar 3. Modifikasi Model Lewis yang Menunjukkan Tambahan Stok Modal yang Bersifat Capital Intensive

Sumber : Todaro, 2000.

Ketiga, asumsi dugaan tentang pasar tenaga kerja yang kompetitif di sektor

[image:44.612.169.400.327.521.2]
(45)

1980-an tingkat upah pasar tenaga kerja perkotaan di hampir semua negara sedang berkembang adalah cenderung meningkat sangat besar dari waktu ke waktu, baik secara absolut maupun secara relatif, apabila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan di daerah pedesaan. Kecenderungan tetap terjadi sekalipun ada kenaikan tingkat pengangguran di sektor modern dan produktivitas marjinal yang rendah atau nol di sektor pertanian. Faktor-faktor kelembagaan cenderung untuk menghapuskan atau meniadakan kekuatan-kekuatan kompetitif yang terjadi di pasar tenaga kerja sektor modern di negara-negara Dunia Ketiga.

2.2.2. Model Pola-Pola Pembangunan

(46)

ekonomi termasuk transformasi produksi dan perubahan komposisi permintaan konsumen, perdagangan intemasional dan sumber daya, serta perubahan dalam faktor-faktor sosioekonomi seperti proses urbanisasi, pertumbuhan dan sebaran/distribusi penduduk di negara yang bersangkutan.

Model perubahan struktural yang paling terkenal dalam hal ini adalah model yang disusun oleh Hollis B. Chenery, seorang ekonom terkemuka dari Universitas Harvard. Chenery sendiri mendasarkan perumusan model perubahan strukturalnya pada serangkaian penelitian empiris, dimana dia secara khusus mengadakan penelitian untuk menyelidiki pola-pola pembangunan di sejumlah negara-negara dunia ketiga selama kurun waktu pasca perang dunia kedua.

(47)

dipandang sebagai salah satu faktor penunjang ekonomi keluarga sehingga para orang tua pun menjadi lebih mementingkan kualitas (pendidikan) anak daripada sekedar kuantitasnya.

Pendekatan yang digunakan dalam memprediksi pola perubahan struktural adalah model ekonometrik yang berbentuk persamaan tunggal. Pada awal penelitian Chenery menggunakan model yang dikenal sebagai model elastisitas pertumbuhan (Chenery, 1960 dalam Budiharsono, 1996). Dalam model ini, yang kemudian dipakai oleh ECAFE (1967) untuk memproyeksi pertumbuhan ekonomi jangka panjang negara-negara wilayah ECAFE, menunjukkan gambaran sistem ekonomi yang masih sederhana karena diasumsikan perdagangan luar negeri tidak ada, perkembangan teknologi dan pertumbuhan bersifat konstan, sehingga strategi demand side merupakan faktor penting dalam menentukan pola output. Kemudian dalam model ini diasumsikan bahwa pola konsumsi mengikuti hukum Engel, sehingga tingkat pendapatan akan menentukan pola output sektoral. Model ini menggunakan model log linier dengan peubah penjelas yang masuk dalam model adalah pendapatan perkapita (Y) dan jumlah penduduk (N). Dalam model ini, Y tidak hanya mewakili peubah tingkat dan komposisi permintaan, tetapi juga mewakili peubah tentang keadaan penawaran faktor produksi dan tingkat teknologi dari suatu negara, dengan demikian parameternya disebut sebagai koefisien elastisitas pertumbuhan dan bukan elastisitas pendapatan.

(48)

section antar negara dan 1 (satu) model regresi untuk data time series. Model ini

lebih lengkap dari model sebelumnya karena sudah memasukkan faktor perdagangan luar negeri dan waktu (periodesiasi).

Berdasarkan penelitian Chenery-Syrquin (1975) diketahui bahwa sebagai proses, alokasi pembangunan ekonomi dapat dianggap sebagai suatu proses pertumbuhan ekonomi atau proses peningkatan pendapatan nasional per kapita yang disertai dengan, antara lain : perubahan ekonomi dari suatu perekonomian yang dominan sektor Pertanian menjadi dominan sektor Industri Pengolahan (manufacture) dan sektor Jasa. Dari hasil studi tersebut, banyak para ahli ekonomi berpendapat bahwa setiap negara yang pembangunannya dianggap berhasil ditandai dengan antara lain oleh meningkatnya sektor industri baik dalam struktur produksi maupun dalam sruktur ekspornya.

2.3. Model Pertumbuhan Tidak Seimbang

(49)

Pada hakekatnya konsep pertumbuhan tidak seimbang adalah suatu strategi yang mengembangkan sektor yang memiliki keterkaitan kuat. Menurut teori keterkaitan ini yang dimaksud adalah meliputi keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage). Usulan untuk mengembangkan sektor ekonomi yang memiliki keterkaitan ini berlaku tidak hanya pada sektor industri juga kepada sektor pertanian saja tetapi keseluruhan sektor ekonomi. Menurut Hayami dan Ruttan (1971) konsep ketidakseimbangan dalam dan antar sektor pertanian adalah suatu sumber penting dari keterkaitan ke belakang dan ke depan dalam mentransmisikan kemajuan teknologi di dalam sektor pertanian terhadap keseluruhan pembangunan ekonomi.

Menurut Hirschman pola pembangunan tak seimbang didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : (Arsyad, 1999)

1. Secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang. 2. Untuk mempertinggi efisiensi penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang

tersedia.

3. Pembangunan tak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottlenecks) atau gangguan-gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya.

(50)

menyediakan input. Peningkatan keterkaitan antar sektor atau antar industri merangsang peningkatan investasi yang selanjutnya mendorong peningkatan permintaan input yang merupakan output dari suatu sektor atau industri tertentu yang akhirnya mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Saling ketergantungan antar sektor dapat dirumuskan dalam tiga jenis efek keterkaitan, yaitu: (1) efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect), mengukur efek peningkatan satu unit permintaan akhir (final demand) terhadap tingkat produksi dalam setiap sektor, (2) efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect), mengukur penggunaan total tenaga kerja dalam satu sektor sebagai akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan (3) efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect) mengukur efek perubahan salah satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap peningkatan pendapatan (Chenery and Clark, 1959 dalam Ginting, 2006).

Peningkatan dalam satu unit permintaan akhir dapat meningkatkan produksi dalam setiap sektor melalui efek keterkaitan antar industri dan tingkat penyerapan tenaga kerja melalui efek keterkaitan ketenagakerjaan. Peningkatan output dan ketenagakerjaan timbul dari keterkaitan ini, juga dicerminkan oleh penciptaan pendapatan tenaga kerja melalui keterkaitan penciptaan pendapatan mendorong peningkatan permintaan barang-barang konsumsi, menginduksi lebih banyak output dan kesempatan kerja.

(51)

penawaran output untuk sektor-sektor lain (industri pertanian), di samping ada yang digunakan sendiri oleh sektor pertanian ini, disebut keterkaitan ke depan (forward linkage). Dengan demikian kedua aspek inilah dikenal sebagai efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect) yang mengarah ke belakang dan ke depan.

Selain itu, pembangunan sektor pertanian akan meningkatkan penyediaan kesempatan kerja dan pendapatan di sektor pertanian, yang selanjutnya meningkatkan permintaan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan sektor lain. Keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang tersebut merupakan dorongan untuk meningkatkan produktivitas dan akhirnya meningkatkan tabungan disektor pertanian. Hubungan inilah dikenal sebagai efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect) dan efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect).

2.4. Distribusi Pendapatan

(52)

banyak tidak mengalami perbaikan pendapatan. Sehubungan dengan itu pemahaman mengenai distribusi pendapatan ini sangat penting, terutama sekali bila ingin mengkaji keberhasilan suatu pembangunan ekonomi.

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa keduanya saling bertentangan (trade off), tetapi di pihak lain ada yang berpendapat sebaliknya. Menurut Wie (1983) banyak ekonom beranggapan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pembagian pendapatan terdapat suatu kondisi trade off yang membawa implikasi kepada pemerataan dalam pembagian pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Gejala lain yang mencemaskan adalah bahwa pembangunan ekonomi yang mengutamakan proses industrialisasi yang pesat, khususnya industrialisasi yang padat modal menyebabkan peningkatan dalam pengangguran terutama di daerah perkotaan di mana terpusat sebagian terbesar industri-industri yang baru didirikan. Pada gilirannya kondisi ini akan menunjukkan adanya tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.

Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (1999) mengemukakan delapan penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan sebagai berikut :

1. Pertambahan penduduk yang tinggi sehingga mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita.

2. Inflasi

3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah

4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek padat modal (capital intensive).

(53)

6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.

7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara berkembang dengan negara-negara maju sebagai akibat ketidakelastisitasan permintaan negara-negara terhadap barang-barang ekspor negara berkembang.

8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat.

Pembicaraan mengenai distribusi pendapatan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua, yakni distribusi pendapatan fungsional dan distribusi pendapatan antar rumahtangga. Konsep distribusi pendapatan fungsional berusaha menjelaskan pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi, misalnya antara pendapatan yang diterima pekerja, pemilik modal dan kekayaan. Konsep ini mengacu pada teori keseimbangan Neo-klasik, yang diturunkan dari solusi pasar persaingan sempurna (Yotopoulus and Nuggent, 1976).

Pada prinsipnya distribusi pendapatan dengan pendekatan fungsional dapat dijabarkan dengan menggunakan fungsi produksi, seperti :

Y = f (K , L)

dimana Y adalah output fisik, K adalah kapital, dan L adalah tenaga kerja. Melalui derivasi persamaan [1] akan diperoleh produk marginal faktor produksi tenaga kerja (MPL) dan produk marginal faktor produksi kapital (MPK). Dengan mengetahui besamya MPLdan MPKakan dapat ditentukan pembagian pendapatan atau output fisik yang dihasilkan oleh masing-masing faktor produksi menurut

Tingkat Upah

(54)

harga pasar. Gambar 4 memberikan suatu ilustrasi yang sederhana mengenai distribusi pendapatan dengan pendekatan fungsional.

Anggaplah sekarang hanya ada dua faktor produksi, yaitu modal dan tenaga kerja. Dengan kurve penawaran tenaga kerja Neo-klasik, SL, dan kurve permintaan tenaga kerja, DL, maka tingkat upah pada keseimbangan pasar tenaga kerja adalah sebesar 0W, dan tingkat pekerjaan sebesar 0L. Jumlah output nasional digambarkan dengan daerah 0REL. Pendapatan nasional ini kemudian dibagi dalam dua bagian, yaitu : 0WEL untuk tenaga kerja dalam bentuk upah dan WRE

Gambar 4. Distribusi Pendapatan Dengan Pendekatan Fungsional Sumber : Todaro (2000)

merupakan keuntungan pemiliki modal. Disini kelihatan bagaimana pendapatan nasional itu dibagi-bagi menurut fungsi upah dan modal.

Kelemahan yang sering dijumpai dengan pendekatan ini terletak pada asumsi yang menyertainya. Misalnya, asumsi adanya pasar persaingan sempuma,

0

(55)

motif mendapatkan keuntungan maksimum, penalaran dan informasi sempuma. Asumsi-asumsi tersebut sangat mudah diungkapkan dalam teori, namun dalam kenyataannya sangat sulit dijumpai (Insukrindo, 1990).

Distribusi pendapatan antar rumahtangga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu distribusi pendapatan absolut atau mutlak dan distribusi pendapatan relatif. Konsep yang disebut pertama berkaitan dengan proporsi jumlah rumah tangga yang pendapatannya dapat mencapai suatu tingkat tertentu atau lebih kecil dari itu, dan biasanya dikaitkan dengan jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (relatif atau absolut). Sedangkan distribusi pendapatan relatif menunjukkan perbandingan pendapatan yang diterima oleh berbagai kelas penerima pendapatan. Pada umumnya pembicaraan mengenai distribusi pendapatan lebih ditekankan pada pengertian atau konsep distribusi pendapatan relatif. Misalkan, 40% penduduk berpendapatan rendah menerima 17% dari jumlah pendapatan. Baik jumlah pendapatan yang diterima maupun jumlah penduduk, kedua-duanya dinyatakan dalam bentuk persentase (Esmara, 1996).

Selain distribusi pendapatan antar rumah tangga, distribusi pendapatan relatif bisa juga dikaji dengan tolok ukur lain, misalnya distribusi menurut sumber pendapatan, menurut kelompok, menurut klasifikasi pekerjaan atau menurut jenis pekerjaan. Meskipun distribusi antar perorangan atau rumah tangga adalah salah satu yang terpenting ditinjau dari segi kesejanteraan, klasifikasi lain mungkin lebih penting ditinjau dari segi kebijakan (Gemmell, 1994).

2.5. Strategi Pembangunan Ekonomi

(56)

mendatangkan perubahan dalam pertumbuhan ekonomi di satu daerah atau negara. Pilihan strategi ini akan memberikan ciri tidak saja hanya mempersoalkan perubahan struktur ekonomi, tetapi pilihan sektor potensial yang diletakkan di depan sebagai titik dinamis perubahan ekonomi tersebut. Gillis et.al. (1992) merumuskan strategi pembangunan ekonomi yang meliputi : strategi industri berdasarkan ekspor produk primer (primary–export–led growth strategy, PEP), strategi pembangunan industri substitusi impor (inward looking strategy dengan penekanan pada import substitution industrialization strategy, ISI) dan strategi industri promosi ekspor (outward looking strategy dengan penekanan pada export–led industrialization strategy, IPE). Berdasarkan perspektif waktu, strategi

PEP diterapkan pada era sebelum tahun 1950-an, strategi ISI menjadi strategi dominan dalam pembangunan ekonomian pada era tahun 1960-an dan strategi IPE berkembang pada era tahun 1970-an ke atas.

2.5.1. Strategi Promosi Ekspor Produk Primer (PEP)

Gillis et.al. (1992) menyatakan bahwa terdapat tiga manfaat dari strategi PEP menurut para ekonom pada saat itu. Ketiga manfaat tersebut adalah : Pertama, meningkatkan manfaat dari faktor-faktor produksi yang dimiliki suatu

(57)

memberikan efek keterkaitan, terutama keterkaitan ke belakang, konsumsi dan fiskal. Keterkaitan ke belakang dapat meningkatkan skala usaha, menurunkan biaya produksi dan menciptakan pasar domesik dan ekspor yang lebih kompetitif. Keterkaitan konsumsi diperlihatkan oleh kenaikan upah tenaga kerja akan meningkatkan permintaan atas pangan, sandang, perumahan dan kebutuhan lainnya. Sementara itu, keterkaitan fiskal diperlihatkan oleh peningkatan penerimaan pemerintah dari ekspor berupa pajak atau deviden yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan sektor lainnya.

(58)

Ketidakpastian akses terhadap impor bahan baku, menyebabkan penerimaan ekspor berfluktuasi. Dan Gillis et. al., 1992 menyatakan booming ekspor produk-produk primer mendorong negara-negara berkembang lebih cenderung mengembangkan industri pengolahan mineral (barang tambang) dengan karakteristik : skala besar, padat modal, teknologi tinggi dan upah yang tinggi. Industri yang dikembangkan ini menciptakan kesempatan kerja yang kecil dan memiliki keterkaitan yang kecil terhadap perekonomian secara keseluruhan.

2.5.2. Strategi Industri Substitusi Impor (ISI)

Substitusi impor merupakan substitusi produksi domestik terhadap impor produk-produk industri manufaktur. Konsep dasar dari strategi ISI meliputi : Pertama, mengidentifikasi pasar domestik yang besar, yang mengindikasikan

peningkatan impor dari tahun ke tahun. Kedua, memastikan bahwa teknologi produksi dapat diterapkan oleh industri manufaktur lokal atau para investor luar negeri bersedia mensuplai teknologi, manajemen dan kapital. Ketiga, menerapkan hambatan-hambatan tarif, seperti tarif atau kuota impor, untuk mengatasi biaya awal yang tinggi dari produksi lokal dan membuatnya menguntungkan bagi investor-investor lokal dalam mencapai target industri (Gillis et. al., 1992).

(59)

berlebihan berupa pemberian fasilitas kredit, fiskal dan perlindungan tarif. Hal ini membawa konsekuensi berupa kondisi pasar yang tidak sehat, harga yang terlalu tinggi, mutu barang rendah dan timbulnya praktek-praktek monopoli atau sejenisnya. Lebih tegas dinyatakan oleh Tambunan (2004) bahwa proteksi itu menjadikan industri menjadi tidak efisien. Inefisien ini telah membuat industri menjadi high cost industry. Kedua, industri yang dikembangkan cenderung bersifat padat modal, sehingga peranannya dalam penyerapan tenaga kerja sangat kecil. Disamping itu, pengembangan industri padat modal ini menyebabkan industri kecil dan menengah sejenis yang padat karya kalah bersaing, sehingga tingkat pengangguran bertambah. Ketiga, industri substitusi impor bersifat inward-looking dalam memasarkan produknya dan outward-looking dalam

permintaan input, implikasinya multiplier effects yang ditimbulkan sangat kecil. Keempat, pengembangan industri ini cenderung menguras devisa negara guna

mengimpor bahan baku/penolong dan barang modal yang diperlukan, di sisi lain produk-produk yang dihasilkan kalah bersaing dengan produk-produk sejenis dari negara lain karena kualitas yang relatif rendah. Kelima, apabila produk-produk industri ini di ekspor, maka devisa yang diperoleh negara-negara sedang berkembang sangat kecil. Hal ini disebabkan produk industri yang dihasilkan merupakan subcontracting exports dari perusahaan asing kepada afilisasinya di negara lain.

(60)

secara umum, sektor pertanian berada pada situasi yang berat dalam posisi “underinvestment”.

2.5.3. Strategi Industri Promosi Ekspor (IPE)

Inward–looking strategy dari ISI merupakan salah satu cara untuk

mempercepat perubahan dalam teori comparative advantage. Pendekatan alternatif adalah outward–looking strategy yang secara langsung mentargetkan untuk mengekspor produk-produk manufaktur. Walaupun substitusi impor merupakan bagian utama dari outward looking strategies, tetapi hanya langkah pertama untuk mewujudkan industri yang kompetitif secara internasional. Outward–looking development berakar dari teori ekonomi Neoklasik, tetapi

strategi ini paling banyak dipraktekkan di Asia Timur yang dikenal dengan market–oriented theories of development (teori pembangunan berorientasi pasar).

Outward–looking development lebih dikenal dengan strategi IPE (Gillis et.

al., 1992).

Menurut Gillis et. al. (1992) memahami strategi IPE dapat dijelaskan melalui tiga prinsip dasar dari sistem ekonomi pasar, yaitu : (1) barang dan jasa harus tersedia sesuai dengan mekanisme pasar, (2) harga harus merefleksikan kelangkaan relatif dari perekonomian, dan (3) kompetisi di dalam maupun di luar pasar domestik.

(61)

dihasilkan untuk pasar domestik dan ekspor. Dalam dunia Neoklasik, strategi IPE dinyatakan sebagai keluaran kekuatan pasar. Gambaran ini telah mendominasi literatur pembangunan dan dijadikan formulasi dasar dari program-program utama dari penyesuaian struktural yang lebih berorientasi ke luar (Balassa, 1980 dan Djaimi, 2006).

Selanjutnya Amsden (1989) menyatakan bahwa learning by doing sebagai prestasi penting bagi sejumlah negara untuk mengadopsi teknologi dalam rangka mengembangkan industri pada abad ke-20. Disamping itu mereka juga harus membangun institusi-institusi ekonomi modern seperti korporasi dan pasar modal. Untuk mewujudkannya, berdasarkan pengalaman Jepang dan Korea Selatan, pemerintah melakukan sejumlah intervensi berupa pengawasan dan subsidi, terutama dalam rangka mengadopsi teknologi baru. Hal ini dilakukan untuk mendorong perusahaan-perusahaan domestik masuk ke pasar ekspor.

(62)

Selanjutnya Gillis et. al. (1992) menyatakan bahwa berbagai intervensi yang dilakukan pemerintah dalam mensukseskan strategi IPE. Intervensi tersebut cenderung menyuburkan perilaku rent–seeking dan menimbulkan distorsi seperti yang ditimbulk

Gambar

Gambar 1. Kontribusi Sektor Primer, Sekunder dan Tersier Terhadap Total
Gambar 2. Pertumbuhan Ekonomi Model W. Arthur Lewis
Gambar 3. Modifikasi Model Lewis yang Menunjukkan Tambahan Stok
Tabel 1. Tabel Input-Ouput Sederhana (2 Sektor)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun implikasi dalam penelitian ini menguatkan bahwa relasi suami istri jama’ah t abliq dan suami istri secara umum sangat berbeda dari segi pemenuhan nafkah

Dalam peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang Nomor 22 Tahun 2008 tentang “Pedoman Praktik Pengalaman Lapangan Bagi Mahasiswa Program Kependidikan Universitas

siswa, dan (4) belum ada media pembelajaran yang digunakan guru untuk menarik perhatian siswa. Tidak adanya kreativitas guru dalam mengajar dikarenakan guru

Sumber data dalam penelitian ini ada 3 jenis, yaitu narasumber (orang), peristiwa, dan dokumen. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan

Kata alua jo patuik menjadi sumber perundang-undangan dalam timbang-menimbang untuk mengambil keputusan hukum adat guna menempatkan sesuatu masalah, keadaan, peristiwa supaya

Basis data dapat didefinisikan dalam sejumlah sudut pandang, seperti menurut Connolly (2002,p14), definisi basis data adalah kumpulan data yang dihubungkan secara

pengujian yang dilakukan diketahui sampel DNA pada Tacapa GB, Tacapa Silver dan Action memiliki nilai rasio diatas 1,8 sedangkan sampel Aramis memiliki nilai rasio

ataupun menghasilkan suatu produk yang memiliki fungsi praktis lainnya [6]. Berdasarkan definisi kedua jenis penelitian diatas, maka penelitian tentang aplikasi pencarian