• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ekonomi dan Kebijakan Sumber daya Alam Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Ekonomi dan Kebijakan Sumber daya Alam Provinsi Jawa Barat"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKONOMI DAN KEBIJAKAN

SUMBER DAYA ALAM PROVINSI JAWA BARAT

AHMAD HERYAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ekonomi dan Kebijakan Sumber daya Alam Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

(4)
(5)

RINGKASAN

AHMAD HERYAWAN. Analisis Ekonomi dan Kebijakan Sumber daya Alam Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan ACENG HIDAYAT.

Penelitian ini menganalisis sektor ekonomi yang berbasis pada sumber daya alam di Provinsi Jawa Barat khususnya pada bidang pertanian dan perikanan. Adapun tujuannya adalah: (1) menganalisis keragaman sektor-sektor tersebut di Provinsi Jawa Barat selama periode 2001 – 2011, (2) mengidentifikasi dan menjelaskan bagaimana ketidakstabilan dari sektor-sektor yang berbasis sumber daya alam tersebut dalam jangka panjang, (3) menganalisis pola hubungan antara ketidakstabilan kedua sektor tersebut dengan variabel-variabel input maupun output, dan (4) menganalisis kebijakan ekonomi yang paling optimal bagi kedua sektor tersebut di Provinsi Jawa Barat. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan: Data Envelopment Analysis (DEA), Coppock Instability Index (CII), analisis korelasi, dan metode Context, Input, Process and Product (CIPP) Model.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) pada sektor pertanian, selama periode 2001 – 2011 menunjukkan kinerja ke arah yang lebih baik. Sedangkan, pada sektor perikanan cenderung berfluktuasi. Selanjutnya pada kinerja output pertanian memiliki potensi perbaikan sebesar 8,75% dari kondisi eksisting. Sedangkan pada kinerja output perikanan memiliki potensi perbaikan lebih besar yaitu sebesar 9,5%, (2) interaksi antara indeks ketidakstabilan dengan input dan output (tenaga kerja, luas lahan, jumlah armada, NTP dan NTN) menunjukkan adanya dinamika kebijakan terhadap input, output dan tingkat kesejahteraan pada sektor pertanian dan perikanan, (3) pada sektor pertanian, tingkat kesejahteraan petani (NTP) dan jumlah produksi pertanian berkorelasi positif terhadap indek ketidakstabilan CII. Ini mengindikasikan, ada kecenderungan semakin tinggi kesejahteraan petani (NTP) dan jumlah produksi pertanian semakin meningkatkan indeks ketidakstabilan CII (tidak stabil). Sedangkan, pada sektor perikanan tingkat kesejahteraan nelayan (NTN), jumlah produksi perikanan, dan jumlah nelayan berkorelasi negatif terhadap indeks ketidakstabilan CII. Hal ini menunjukan sebaliknya, semakin tinggi kesejahteraan nelayan (NTN), jumlah produksi perikanan, dan semakin banyak jumlah nelyan semakin menurunkan indeks ketidastabilan CII (semakin stabil).

(6)

SUMMARY

AHMAD HERYAWAN. Economic Analysis and Natural Resources Policy in West Java Province. Supervised by AHMAD FAUZI and ACENG HIDAYAT.

This study aims to analyze economic sectors in West Java Province based on natural resources, specificly in fisheries and agriculture sector. The objective of the research are to: (1) analyze performance sectors that based on natural resources in West Java Province in periode 2001 – 2011, (2) identify and explain how the instability sectors based on natural resources in the long term, and (3) analyze the relationship between the volatility of these sectors with the input and output variables. The analysis tools used in this study are: Data Envelopment Analysis (DEA), Coppock Instability Index (CII), and correlation.

The result found that: (1) during the period 2001 to 2012 the agricultural sector tend to improved performance. While in the fisheries sector are likely to fluctuate. Performance of output agriculture can be improved amounted to 8.75% from the existing condition. While the performance of output fisheries can be improved up to 9.5%, (2) interaction between the instability index of input and output (labor, NTP and NTN) shows there any dynamics of the input and output policies in the fisheries and agriculture sectors, (3) in the agricultural sector, the NTP and positively correlated to the production of CII. That is, the higher the NTP and production aspects tend to be unstable on the welfare of farmers. In the fisheries sector is the opposite condition, the increase in production tends to stabilize the NTN and welfare.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

ANALISIS EKONOMI DAN KEBIJAKAN

SUMBER DAYA ALAM PROVINSI JAWA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Analisis Ekonomi dan Kebijakan Sumber daya Alam Provinsi Jawa Barat

Nama : Ahmad Heryawan NIM : H351100104

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc Ketua

Dr Ir Aceng Hidayat, MT Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai dari tahap persiapan data hingga penyusunan laporan sejak bulan Mei 2013 sampai Juni 2014 ini ialah mengenai keragaan (performance) dan indek ketidakstabilan serta analisis kebijakan sumberdaya alam, dengan judul: “Analisis Ekonomi dan Kebijakan Sumberdaya Alam Provinsi Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc dan Dr Ir Aceng Hidayat, MT selaku pembimbing, serta seluruh dosen dan staf di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya Departemen Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (ESL-IPB) yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan proses perkuliahan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak/Ibu pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Lingkungan Provinsi Jawa Barat beserta teman-teman di kelas Pascasarjana ESL-IPB yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, istri terkasih dan anak-anak tersayang serta seluruh keluarga, handai taulan atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Kegunaan Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Pembangunan dan Kelimpahan Sumberdaya Alam 7

Kemiskinan dan Sektor Ekonomi Berbasis Sumberdaya Alam 8

Pembangunan Berkelanjutan 9

Pembangunan Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan Daerah 11

Indikator Pembangunan 13

Indikator Ekonomi 13

Tingkat Kesejahteraan Petani 13

Konsep Nilai Tukar Petani 14

Tingkat Kesejahteraan Nelayan 16

Konsep Nilai Tukar Nelayan 17

Evaluasi Kebijakan 19

Pandangan Teori Ekonomi Sumberdaya Alam terhadap Teori

Pembangunan yang Kini Berkembang 21

3 METODE PENELITIAN 23

Lokasi dan Waktu Penelitian 23

Jenis dan Sumber Data 23

Metode Analisis 24

Data Envelopment Analysis (DEA) 25

Coppock Instability Index (CII) 29

Evaluasi Kebijakan dengan CIPP Model 30

(15)

4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 33

Kondisi Geografis Wilayah 33

Kondisi Demografis 34

Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian di Jawa Barat 35 Kontribusi Sektor Berbasis Sumberdaya Alam Terhadap Pembanguan

di Jawa Barat 36

Peran Sektor-sektor Berbasis Sumberdaya Alam Terhadap Pembangunan

di Jawa Barat 38

Sektor Pertanian 38

Sektor Perikanan 39

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 41

Hasil Analisis Keragaan (Performance) Ekonomi di Jawa Barat 41

Sektor Pertanian 41

Sektor Perikanan 43

Potensi Perbaikan Kinerja Sektor Pertanian dan Perikanan di Jawa Barat 44 Hasil Analisis Kesejahteraan Petani dan Nelayan di Jawa Barat 45 Tingkat Kesejahteraan Petani di Jawa Barat 46 Tingkat Kesejahteraan Nelayan di Jawa Barat 46 Analisis Ketidakstabilan Tingkat Kesejahteraan Petani dan Nelayan

di Jawa Barat 47

Ketidakstabilan Tingkat Kesejahteraan Petani di Jawa Barat 47 Ketidakstabilan Tingkat Kesejahteraan Nelayan di Jawa Barat 48 Korelasi Ketidakstabilan Sektor Pertanian dan Perikanan

dengan Variabel Input 49

Analisis Evaluasi Kebijakan 52

General Frameworks CIPP Model Analysis 53 Specific Framework CIPP Model Analysis 56

6 SIMPULAN DAN SARAN 60

Simpulan 60

Saran 60

DAFTAR PUSTAKA 62

(16)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan kebutuhan data penelitian 24

2 Sinkronisasi antara tujuan, metode, data dan output yang diharapkan 25

3 Tipe evaluasi dalam pendekatan CIPP Model 31

4 Persentasi kontribusi rata-rata nilai PDRB Provinsi Jawa Barat tahun

2012 36

5 Tingkat inflasi, laju pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat dan Nasional

tahun 2007-2012 37

6 Luas sawah, luas panen, dan produktifitas padi di Jawa Barat tahun

2001-2011 38

7 Tingkat efisiensi pada sektor pertanian periode 2001- 2012 42 8 Tingkat efisiensi pada sektor perikanan periode 2001 – 2011 44 9 Perbaikan kinerja pada sector pertanian dan perikanan di Jawa Barat 45 10Hubungan antara indeks ketidakstabilan (CII) dengan variabel input

dan output di sektor pertanian dan perikanan di Jawa Barat 52 11Matriks of CIPP representatives question pada sektor pertanian dan

(17)

DAFTAR GAMBAR

1 Siklus evaluasi kebijakan melalui model CIPP 21

2 Diagram keterkaitan sumber daya alam dan lingkungan 22

3 Peta administrasi lokasi penelitian 23

4 Kurva Data Envelopment Analysis (DEA) 26

5 Diagram alur penelitian 32

6 Luas wilayah kabupaten di Jawa Barat 34

7 Tren pertumbuhan penduduk di Jawa Barat tahun 2000 – 2012 35 8 Kontribusi sektor pertanian terhadapPDRB rata-rata Jawa Barat pada

tahun 2000-2010 37

9 Grafik produksi dan produktivitas padi di Jawa Barat 39 10 Perbandingan jumlah nelayan perikanan laut di Jawa Barat tahun 2007

– 2011 39

11 Jumlah nelayan perikanan laut di Jawa Baart tahun 2007 - 2011 40 12 Keragaan ekonomi sektor pertanian periode 2001-2012 41 13 Keragaan ekonomi sektor perikanan di Jawa Barat periode 2001 – 2012 44 14 Nilai tukar petani (NTP) di Jawa Barat periode 2008-2011 46 15 Nilai tukar nelayan (NTN) di Jawa Barat Periode 2008 – 2011 47 16 CII pertanian di Jawa Barat periode 2008 - 2011 48 17 CII perikanan di Jawa Barat periode 2008 - 2011 49 18 Polahubungan jumlah petani vs indeks ketidakstabilan Coppock (CII) 49 19 Polahubungan nilai tukar petani (NTP) vs indeks ketidakstabilan 50 20 Pola hubungan antara produksi vs indeks ketidakstabilan Coppock (CII) 51 21 Framework dalam evaluasi kebijakan di sektor berbasis sumber daya

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Indeks pembangunan manusia (IPM) Propinsi Jawa Barat tahun

2007 - 2012 68

2. Perkembangan produksi perikanan menurut cabang usaha

tahun 2000 – 2011 (dalam ton) 69

3. Pendapatan daerah regional bruto (PDRB) Propinsi Jawa Barat harga dasar

(tahun 2000) per sector tahun 2001 -2010 70

4. Hasil analisis DEA sektor pertanian 71

5. Hasil analisis DEA sektor perikanan 76

6. Hasil analisis coppock instability index (CII) sektor pertanian dan

nilai tukar petani (NTP) periode 2008 – 2011 81 7. Hasil analisis coppock instability index (CII) sektor perikanan

dan nilai tukar nelayan (NTN) periode 2008 – 2011 83 8. Hasil analisis korelasi antara indeks ketidakstabilan (CII) dengan

variabel input dan output di sektor pertanian dan perikanan Jawa

Barat 85

9. Regulasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat

(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber daya alam dan jasa lingkungan merupakan elemen penting dalam menyuplai kebutuhan dasar manusia. Sumber daya alam baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan juga merupakan salah satu modal dasar pembangunan dimana kontribusi yang dihasilkan dari sumber daya alam tersebut akan memberikan sumbangan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain memiliki fungsi ekonomi, sumber daya alam juga memiliki fungsi sosial dan lingkungan yang berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung pada kesejahteraan manusia (Fauzi, 2014). Jasa lingkungan seperti air, tanah yang subur, udara yang bersih, maupun siklus nutrisi di laut, berperan dalam meningkatkan produksi pertanian dan perikanan.

Dalam sejarah pembangunan ekonomi di Indonesia, sumber daya alam telah menjadi mesin pertumbuhan, baik selama masa Orde Baru maupun di era reformasi. Secara nasional kontribusi sumber daya alam baik yang terbarukan maupun tidak terbarukan terhadap PDB masih relatif signifikan yakni lebih dari 16 persen terhadap PDB. Demikian juga halnya pada tingkat wilayah. Sebagian besar pertumbuhan wilayah di Indonesia banyak disumbang dari kontribusi ekonomi yang berbasis sumber daya alam seperti pertambangan, pertanian, kehutanan, dan perikanan. Demikian juga halnya dengan wilayah Jawa Barat yang dikenal memiliki lahan pertanian yang subur dan potensi sumber daya alam lainnya yang relatif melimpah.

(20)

2

Menurut statistik resmi yang dikeluarkan oleh BPS Jawa Barat, sektor terbesar dalam penyusunan PDRB provinsi Jawa Barat tahun 2012 adalah sektor industri pengolahan sebesar 41,07 persen diikuti oleh sektor perdagangan (23,19 persen) (BPS, 2014). Jika sektor pertambangan dan penggalian dijumlahkan dengan pertanian, maka ekstraksi sumberdaya alam (SDA) langsung menyumbang sekitar 13,27 persen terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat di tahun 2012. Di antara sub-sektor yang termasuk dalam sub-sektor pertanian, sub-sub-sektor tanaman pangan adalah penyumbang terbesar bagi PDRB Jawa Barat Tahun 2012 yakni 8,56 persen dengan nilai 31,8 triliun rupiah.

Komoditas tanaman pangan terpenting di Jawa Barat adalah padi. Produksi padi di Jawa Barat merupakan terbesar nasional, menunjukkan peran Jawa Barat sebagai lumbung padi utama nasional. Tahun 2011 dan 2012 Jawa Barat berhasil menjadi produsen padi terbesar dengan produksi berturut-turut sebesar 11,63 juta ton dan 11,27 juta ton (BPS, 2014). Bes arnya produksi ini ditunjang oleh produktivitas tanaman padi di Jawa Barat berturut-turut 5,97 ton/hektar dan 6,004 ton/hektar, di atas rata-rata produktivitas padi nasional yakni 4,98 ton/hektar pada tahun yang sama (BPS, 2014).

Potensi Jawa Barat bukan hanya di bidang pertanian. Jawa Barat memiliki panjang garis pantai mencapai 722,8 km, Jawa Barat memiliki potensi besar dalam bidang perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Selain itu potensi sumberdaya alam berupa air dan energi juga potensial untuk dikembangkan. Produksi ikan tangkap laut tahun 2011 sebesar 185,822 ton dan tahun 2012 sebesar 198,978 ton.

(21)

3 Perumusan Masalah

Berdasar kondisi geografis dan karakteristik alam, Provinsi Jawa Barat memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar. Potensi tersebut antara lain: pertanian, peternakan, perikanan (tangkap maupun budi daya), kehutanan, air, dan energi. Potensi yang besar tersebut, saat ini masih belum termanfaatkan secara optimal.

Permasalahan lain yang masih terlihat nyata di Jawa Barat adalah adanya kesenjangan antara wilayah pesisir utara dan selatan dengan wilayah tengah Jawa Barat. Sebagai bagian dari jalur utama transportasi di Pulau Jawa, wilayah utara menikmati kucuran investasi terutama infrastruktur yang besar baik dari pemerintah maupun swasta. Meskipun wilayah utara memiliki infrastruktur lebih baik, namun memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang lebih rendah bila dibandingkan dengan wilayah tengah maupun pesisir selatan.

Fasilitas dan infrastruktur yang lebih baik di wilayah utara Jawa Barat mendorong industrialisasi namun juga menimbulkan beberapa masalah. Salah satu masalah yang timbul adalah terjadinya alih fungsi lahan-lahan produktif di wilayah utara menjadi kawasan industri. Mengingat posisi wilayah utara Jawa Barat (Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Cirebon) sebagai lumbung padi nasional, sehingga alih fungsi lahan pertanian bukan hanya mengancam keberlanjutan pembangunan di Jawa Barat tetapi juga Indonesia.

Minimnya fasilitas dan infrastruktur di wilayah selatan Jawa Barat mengakibatkan belum optimalnya pemanfaatan SDA. Pemanfaatan yang belum optimal ini terlihat di antaranya dari rendahnya hasil tangkapan perikanan, produktivitas lahan padi per hektar, dan masih banyaknya lahan tidur. Sebagai kawasan yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, kawasan selatan Jabar selayaknya bisa memanfaatkan potensi tersebut untuk menggerakkan perekonomian kawasan. Rendahnya investasi perikanan di kawasan tersebut ditengarai karena masih belum berkembangnya infrastruktur dan juga regulasi yang masih belum mendukung pengembangan usaha perikanan berskala besar.

(22)

4

yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan pembangunan ekonomi suatu kawasan antara lain:

1. Pergeseran lapangan kerja: investasi besar-besaran cenderung menghasilkan lapangan kerja modern yang membuat pelaku ekonomi tradisional tergeser dan tergusur, contoh mall dengan pasar tradisional, pedagang kaki lima, pekerja sektor pertanian, dan lain sebagainya.

2. Perubahan harga-harga: Investasi besar-besaran akan menghasilkan produk-produk baru yang sering menyaingi produk-produk tradisional. Gerabah tradisonal akan kalah bersaing dengan poduk-produk dari plastik.

3. Perubahan kualitas lingkungan: Investasi besar-besaran banyak yang menimbulkan dampak alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan.

Untuk mencapai visi 2025 Jabar sebagai provinsi termaju, kesenjangan-kesenjangan yang tersebut di atas tentunya perlu segera diatasi. Selain kendala tersebut, hal lain yang potensial menjadi penghambat tercapainya visi 2025 yakni tekanan penduduk akibat laju pertumbuhan penduduk yang tergolong masih besar. Jumlah penduduk yang besar, secara alami akan memunculkan tekanan pada kebutuhan air, pangan, dan energi. Tanpa penanganan yang baik, tekanan ini pada gilirannya akan memunculkan tekanan lingkungan yang berujung pada degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan yang parah dan deplesi sumber daya alam yang tidak dibarengi oleh peningkatan modal sosial dan modal buatan (man made capital) akan menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang sulit untuk diurai.

Sebaliknya, jumlah penduduk yang besar yang diimbangi oleh produktivitas yang tinggi justru akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi sebagaimana terjadi pada Cina dan Brazil. Untuk mencapai tingkat produktifitas yang tinggi ini, tentunya ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi. Salah satu syarat penting adalah tingkat pendidikan, karena tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan modal perkapita dan perkembangan teknologi yang memungkinkan sebuah perekonomian terus tumbuh dan berkembang.

(23)

5 iklim, bencana alam ataupun juga munculnya regulasi yang ada kalanya kurang selaras dengan dinamika kebutuhan di daerah.

Oleh karena itu penulis merumuskan permasalahan penelitian antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana keragaan sektor-sektor yang berbasis sumberdaya alam (terutama pada sektor pertanian dan perikanan) di Jawa Barat selama periode 2001 – 2011?

2. Bagaimana ketidakstabilan dari sektor-sektor yang berbasis sumberdaya alam tersebut dalam jangka panjang?

3. Bagaimana pola hubungan antara ketidakstabilan kedua sektor tersebut dengan variabel-variabel input maupun output dari kedua sektor tersebut?

4. Bagaimana kebijakan pada sektor pertanian dan perikanan berpengaruh terhadap efisiensi dan instabilitas serta kesejahteraan petani dan nelayan di Jawa Barat selama periode 2001 – 2011?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengetahui faktor pendorong maupun penghambat bagi pembangunan ekonomi provinsi Jawa Barat yang berbasis pada pengelolaan sumber daya alam. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis keragaan sektor-sektor yang berbasis sumberdaya alam (terutama pada sektor pertanian dan perikanan) di Jawa Barat selama periode 2001 – 2011.

2. Mengidentifikasi dan menjelaskan bagaimana ketidakstabilan dari sektor-sektor pertanian dan perikanan dalam jangka panjang.

3. Menganalisis pola hubungan antara ketidakstabilan kedua sektor tersebut dengan variabel-variabel input maupun output dari kedua sektor tersebut. 4. Menganalisis kebijakan pada kedua sektor tersebut terhadap efisiensi dan

(24)

6

Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat antara lain:

1. Sebagai rekomendasi kebijakan bagi pemerintah provinsi Jawa Barat. 2. Untuk mendapatkan feedback kebijakan pembangunan provinsi Jawa Barat. 3. Tersusunnya rekomendasi kebijakan pembangunan ekonomi Jawa Barat yang

(25)

7 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan dan Kelimpahan Sumber Daya Alam (SDA)

Keterkaitan antara perkembangan ekonomi dan kelimpahan SDA semenjak lama telah menjadi objek kajian penelitian ekonomi. Secara intuitif, kelimpahan SDA yang dimiliki oleh suatu kawasan mampu menjadi faktor pendorong perekonomian sehingga kawasan yang memiliki kelimpahan SDA seharusnya memiliki kinerja ekonomi yang lebih baik ketimbang kawasan tanpa kelimpahan SDA.

Studi yang dipublikasikan oleh Jeffrey Sachs dan Andrew Warner mengungkapkan adanya hubungan negatif antara kelimpahan SDA dengan kinerja ekonomi (Sachs dan Warner, 1997). Studi ini seakan menguatkan tesis yang sebelumnya dikemukakan oleh Richard Auty yang dikenal dengan Resource Curse Hypothesis (Auty, 1993). Tesis Auty hanya didasarkan pada studi terhadap perekonomian yang berbasiskan SDA mineral, maka studi Sachs dan Warner juga mengikutsertakan perekonomian berbasis pertanian sehingga tampaknya tesis kutukan sumberdaya tidak hanya berlaku pada SDA mineral saja.

Studi Sachs dan Warner bukan hanya menunjukkan hubungan negatif antara kelimpahan SDA dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengajukan argumen untuk menjelaskan fenomena tersebut. Salah satu argumen yang diajukan oleh Sachs dan Warner adalah apa yang disebut sebagai washout effect. Sachs dan Warner menjelaskan, melalui pendekatan model Dutch disease, bahwa kelimpahan SDA telah menarik kapital dan tenaga kerja kepada sektor tradables berbasis sumber daya ataupun sektor non-tradables. Sebagai akibatnya, negara-negara dengan kelimpahan sumberdaya tidak menikmati pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh increasing return to scale seperti yang terjad i di sektor manufaktur.

(26)

8

memicu pertumbuhan yang lebih tinggi, hal yang tidak terjadi pada negara-negara dengan kelimpahan sumberdaya.

Penjelasan lain mengenai hubungan negatif antara kelimpahan sumber daya dengan kinerja pertumbuhan ekonomi dikemukakan oleh Barbier melalui Frontier Expansion Hypothesis. Teori ini mengatakan bahwa akibat kegagalan kebijakan pemanfaatan SDA, akan memicu migrasi kaum miskin ke lahan-lahan frontier (lahan yang belum terjamah) dan memicu konversi lahan. Akibat lanjutannya adalah ketidakcukupan reinvestasi pada sektor produktif sehingga mengakibatkan pembangunan yang tidak berkelanjutan (Fauzi, 2007).

Kemiskinan dan Sektor Ekonomi Berbasis Sumber Daya Alam

Menurut Fauzi (2004), sektor perikanan seperti halnya dengan sektor ekonomi lainnya, ia merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumber daya alam yang bersifat dapat diperbarui (renewable), pengelolaan sumber daya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati.

Sumber daya perikanan pada suatu wilayah periaran pada periode waktu tertentu cenderung mengalami perubahan. Perubahan ini selain disebabkan oleh faktor alami juga oleh faktor non alami. Faktor alami meliputi perubahan fisik lingkungan suatu perairan, keterbatasan makanan dan sumber hara lainnya serta predator, sedangkan faktor non alami ditimbulkan oleh kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumber daya perikanan yang tidak terkendali.

(27)

9 meningkatkan kelestarian sumber daya. Pada akhirnya tetap merugikan nelayan yang lemah kapitalnya dan mayoritas merupakan penduduk setempat dan justru tidak mendapatkan manfaat dari kekayaan sumber daya wilayahnya sendiri.

Paradigma pembangunan ekonomi berbasis perikanan dan kelautan di Indonesia memperoleh momentum emas pada beberapa tahun terakhir ini. Pada masa orde baru, pembangunan perikanan dan kelautan tidak memperoleh perhatian yang cukup sebagai akibat paradigma pembangunan yang berorientasi agraris pada pemerintahan saat itu. Namun semenjak terjadinya pergantian rezim pemerintahan, semakin disadari bahwa aset dan sumber daya pesisir memiliki peluang yang terlalu besar untuk disia-siakan. Sejak tahun 1999, sektor maritime mulai dimasukkan ke dalam GBHN dan secara kelembagaan saat ini telah terbentuk kemeterian khusus yang menangani kelautan dan perikanan (Bappenas, 2005).

Sebagai sumber daya yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi, baik nasional dan daerah, proses pembangunan perikanan dan kelautan harus lebih mampu berperan dan berdaya guna. Pembangunan sumber daya perikanan dan kelautan yang dimaksud tidak hanya bagi peningkatan hasil secara kuantitas, tetapi juga secara kualitas yang berarti meningkatkan serta menghasilkan nilai tambah komoditas dari perikanan dan kelautan.

Pengembangan ekonomi berbasis kelautan termasuk di dalamnya perikanan yang diwujudkan melalui suatu program pembangunan perikanan dan kelautan pada hakekatnya ialah merupakan rangkaian untuk memfasilitasi, melayani, dan mendorong berkembangnya suatu sistem bisnis berdaya saing, menguntungkan, dan tentunya berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan Berkelanjutan

(28)

10

pilihan publik, masalah mendamaikan preferensi individu dengan tujuan sosial dan produksi atau perlindungan barang publik.

Dalam pengembangannya, Ilmu Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan juga ditawarkan pula di dalam keilmuan Ekonomi Perdesaan pada negara yang termasuk di dalam negara miskin. Statistik agregat pada tingkat nasional dapat menunjukkan informasi yang berkaitan dengan basis sumber daya lokal. Ilmu Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan modern menunjukkan bahwa perdebatan antara para economist dan environmentalist terletak pada peningkatan pendapatan per kapita (atau perbaikan dalam Indeks Pembangunan Manusia) dan mereka yang melihat kemiskinan akut terjadi di sebagian besar di negara miskin. Dasgupta dan Maller (2004) menyebutkan bahwa lapangan pekerjaan saat ini pada ekonomi perdesaan dan pentingnya sumber daya lokal di sana. Dalam studi Dasgupta dan Maller (2004) kelembagaan non-pasar (non market institution) dapat menjelaskan bagaimana kelompok-kelompok masyarakat tetap dalam kemiskinan (bahkan mengalami kondisi yang makin buruk) sementara kelompok-kelompok lain berkembang karena pertumbuhan pasar. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak ruang untuk studi lebih lanjut mengenai dampak heterogenitas spasial dari modal terhadap peluang yang dihadapi ekonomi perdesaan

Kekhawatiran bahwa pertumbuhan ekonomi yang tak terkendali akan membawa efek samping yang tidak dapat diubah (ireversible) terhadap lingkungan dan mengakibatkan kelangkaan sumberdaya alam, bukanlah hal yang baru. Namun, hal tersebut dimunculkan kembali dalam tema “keberlanjutan” atau “pembangunan berkelanjutan”. Sejak tahun 1987 ketika laporan Brundtland (WCED, 1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai "pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri", keberlanjutan telah menjadi watchword (motto/slogan) untuk kasus yang tak terhitung banyaknya, lokal dan global, lingkungan dan non lingkungan.

(29)

11 perbedaan yang terkenal berhubungan dengan masalah-masalah seperti kelangkaan sumber daya, keadilan distribusi antar generasi dan komposisi modal sosial.

Ada banyak model pertumbuhan kontemporer, namun perkembangan terakhir di bidang ekonomi lingkungan dan sumber daya menyarankan agar kita berhati-hati dengan antusiasme para ekonom lingkungan dan sumberdaya. Perkembagan terakhir memberikan pandangan bahwa alam bersifat tidak tetap dan tidak bisa dihancurkan, tetapi terdiri dari sumber daya yang mudah rusak (misalnya: lahan pertanian, daerah aliran sungai, perikanan, dan sumber air tawar, dan jasa ekologi). Pandangan terakhir tersebut juga mengatakan bahwa kemajuan teknologi menjadi semakin bergantung pada basis sumberdaya alam dan semakin melebihi batas kerusakan yang dapat digantikan dari basis sumber daya alam. Ini berarti bahwa arah perubahan teknologi cenderung menuju ketergantungan berlebihan (over reliance) pada basis sumber daya alam (Dasgupta dan Maller, 2004).

Pembangunan Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan Daerah Paradigma neoklasik mengenai pembangunan ekonomi berpusat pada mekanisme pasar dengan kepercayaan fundamental bahwa mekanisme harga akan mengontrol supply dan demand sehingga sistem perekonomian akan menghasilkan output yang optimum. Pada kenyataannya paradigma neoklasik tidak bisa menjawab problematika pemanfaatan SDA dan dampak lingkungan dari aktivitas ekonomi. Hal ini sebagian besar disebabkan karena komoditas SDAL tidak mempunyai pasar atau tidak mempunyai struktur pasar yang sempurna sebagaimana disyaratkan oleh paradigma neoklasik (Fauzi, 2004)

(30)

12

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan berkeadilan.

Salah satu definisi yang sering digunakan dalam konteks perencanaan pembangunan adalah: suatu proses terus menerus yang melibatkan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan penggunaan sumber daya yang ada dengan sasaran untuk mencapai tujuan tertentu di masa yang akan datang (Pontoh dan Kustiwan, 2009).

Definisi perencanaan dijelaskan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan dimasa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia serta dijelaskan pula dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang ditujukan guna menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah.

Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) adalah suatu proses penyusunan tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial pada suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu (Pontoh dan Kustiwan, 2009).

Dalam konteks pembangunan nasional dan daerah, perencanaan wilayah memerlukan suatu perencanaan yang integral dan komprehensif. Pengertian integral dan komprehensif disini adalah selain memperhatikan hubungan antar sektor perencanaan juga harus memperhatikan keterpaduan antar subwilayah, serta pengaruh wilayah luar terhadap wilayah perencanaan (Pontoh dan Kustiwan, 2009).

Menurut Pontoh dan Kustiwan (2009), secara umum tujuan perencanaan wilayah adalah untuk:

1. Mengurangi ketimpangan,

2. Mengintegrasikan ekonomi wilayah ke dalam sistem ekonomi nasional, 3. Efisiensi dalam penentuan lokasi aktivitas,

(31)

13 5. Keseimbangan antar wilayah, dalam hal ini untuk mencapai stabilitas nasional,

sehingga dapat menjadi pendukung pertumbuhan nasional.

Indikator Pembangunan

Indikator Ekonomi

Indikator ekonomi meliputi:

a. GNP/GDP per kapita adalah pendapatan nasional/daerah bruto dibagi jumlah populasi/penduduk atau nilai barang dan jasa yang ada dalam satu wilayah dalam waktu satu tahun.

b. Laju Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi menunjukkan pertumbuhan produksi barang dan jasa di suatu wilayah perekonomian dan dalam selang waktu tertentu. Produksi tersebut diukur dalam nilai tambah (value added) yang diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi di wilayah bersangkutan yang secara total dikenal sebagai Produk Domestik Bruto (PDB). Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah sama dengan pertumbuhan PDB. Apabila “diibaratkan” kue, PDB adalah besarnya kue tersebut. Pertumbuhan ekonomi sama dengan membesarnya “kue” tersebut yang pengukurannya merupakan persentase pertambahan PDB pada tahun tertentu terhadap PDB tahun sebelumnya. PDB disajikan dalam dua konsep harga, yaitu harga berlaku dan harga konstan; dan penghitungan pertumbuhan ekonomi menggunakan konsep harga konstan (constant prices) dengan tahun dasar tertentu untuk mengeliminasi faktor kenaikan harga. Saat ini BPS menggunakan tahun dasar 2000.

Tingkat Kesejahteraan Petani

(32)

14

rumah tangga praktis tidak ada tidak ada, sehingga Nilai Tukar Petani (NTP) menjadi pilihan satu-satunya bagi pengamat pembangunan pertanian dalam mengukur tingkat kesejahteraan petani. NTP dihitung dari rasio harga antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar petani. Sehingga NTP dapat dinilai sebagai ukuran kemampuan daya beli/daya tukar petani terhadap barang yang dibeli petani. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin sejahtera tingkat kehidupan ekonomi petani (Silitonga, 1995; Sumodiningrat, 2001; Tambunan, 2003; BPS, 2013; Masyhuri, 2007). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh hasil studi penelitian Rachmat (2013), bahwa tingkat kesejahteraan petani dapat dilihat dengan mengukur Nilai Tukar Petani (NTP).

Konsep Nilai Tukar Petani (NTP)

Konsep NTP sebagai indikator kesejahteraan petani telah dikembangkan sejak tahun 1980-an. Perhitungan NTP diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, demikian halnya dengan konsep NTP yang dikembangkan oleh BPS.

Konsep Nilai Tukar Petani (NTP) yang dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan pengembangan dan penerapan skala makro dari konsep nilai tukar (term of trade). Nilai Tukar Petani (NTP) yang dikembangkan oleh BPS didefinisikan sebagai rasio antara harga yang diterima petani (HT) dengan harga yang dibayar petani (HB). Pengukuran NTP dinyatakan dalam bentuk indeks sebagai berikut:

���� = ��

Dimana,

INTP : Indeks NIlai Tukar Petani

IT : Indeks harga yang diterima petani IB : Indeks harga yang dibaya petani

(33)

15 (Tomek dan Robinson, 1981). Konsep tersebut saat ini masih digunakan dan secara dinamis dilakukan beberpa modifikasi yang disesuaikan dengan perubahan relatif komoditas penyusunnya. Konsep nisbah paritas dirumuskan sebagai berikut:

�� ℎ � � = � ℎ � � � � � � ℎ � � � � � � � � �

Nilai tukar petani didefiniskan sebagai rasio antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib) yang dinyatakan dalam persentase. Indeks harga yang diterima petani adalah indeks harga yang menunjukan perkembangan harga produsen dari hasil produksi petani. Indeks harga yang dibayar petani adalah indeks harga yang menunjukan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik itu kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk keperluan menghasilkan produksi pertanian. Indeks harga yang diterima petani menggambarkan fluktuasi harga barang dan jasa yang dihasilkan petani yang dapat juga digunakan sebagai data penunjang dalam penghitungan. Selain itu juga digunakan untuk mengukur kemampuan tukar (term of trade) dari produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam berproduksi dan konsumsi rumah tangga, dapat digunakan untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan tingkat pendapatan petani dari waktu ke waktu yang dapat pula dijadikan kebijakan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan petani. Selain itu, NTP juga dapat menunjukkan tingkat daya saing (competitiveness) produk pertanian dibandingkan dengan produk dari komoditas lainnya (Rachmat, 2013).

Nilai Tukar Petani (NTP) dirumuskan sebagai berikut: ��� = � %

dimana,

� ∶ Indeks harga yang diterima petani � : Indeks harga yang dibayar petani NTP : Nilai Tukar Petani

(34)

16

pada periode sebelumnya. Jika NTP=100, berarti petani mengalami titik impas (break even point). Artinya, tingkat kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan. Jika NTP < 100 berarti petani mengalami defisit. Tingkat kesejahteraan petani pada suatu periode mengalami penurunan dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan petani pada periode sebelumnya.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, Nilai Tukar Petani (NTP) menggambarkan tingkat daya tukar/daya beli petani terhadap produk yang dibeli/dibayar petani yang mencakup konsumsi dan input produksi yang dibeli. Semakin tinggi NTP, maka secara relatif semakin baik daya beli poetani terhadap produk konsumsi dan input produksi tersebut. Artinya, secara relatif dapat dikatakan bahwa dalam kondisi tersebut petani lebih sejahtera (Rachmat, 2013; Silitonga, 1995; Sumodiningrat, 2001; Tambunan, 2003; BPS, 2013; Masyhuri, 2007). )

Tingkat Kesejahteraan Nelayan

(35)

17 Konsep Nilai Tukar Nelayan

Konsep nilai tukar (terms of trade) umumnya digunakan untuk menyatakan perbandingan antara harga barang-barang dan jasa yang diperdagangkan antara dua atau lebih Negara, sektor, atau kelompok sosial ekonomi. Walaupun asal mula dan penggunaan yang lebih luas dari konsep ini berasal dari perdagangan internasional, namun demikian dewasa ini konsep nilai tukar juga sering digunakan untuk membuat gambaran mengenai perubahan sistem harga dari barang-barang yang dihasilkan oleh sector produksi yang berbeda dalam suatu negara. Dari penggunaan seperti ini timbul konsep mengenai nilai tukar antar sektor.

Nilai tukar menurut Soeharjo, dkk (1980) dapat digunakan untuk keperluan dua macam analisis. Penggunaan yang pertama adalah sebagai alat deskripsi (descriptive tool). Sebagai alat deskripsi konsep ini digunakan untuk menerangkan dan menjelaskan secara statistik atau indeks mengenai kecendrungan jangka pendek dan jangka panjang tentang sejarah kelakuan harga barang-barang yang diperdagangkan. Penggunaan yang kedua yang sangat erat hubungannya dengan yang pertama, adalah sebagai alat untuk keperluan penetapan kebijakan (tool for policy).

Konsep nilai tukar nelayan yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep Nilai Tukar Nelayan (NTN), yang pada dasarnya merupakan indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan secara relatif. Oleh karena indikator tersebut juga merupakan ukuran kemampuan keluarga nelayan untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya, NTN ini juga disebut sebagai Nilai Tukar Subsisten (Subsistence Terms of Trade). Menurut Basuki, dkk (2001), NTN adalah rasio total pendapatan terhadap total pengeluaran rumah tangga nelayan selama periode waktu tertentu. Dalam hal ini, pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan kotor atau dapat disebut sebagai penerimaan rumah tangga nelayan. NTN dapat dirumuskan sebagai berikut :

��� = �

� = � + ��

= + �

Dimana :

(36)

18

�� = Total penerimaan nelayan dari non perikanan (Rp) = Total pengeluaran nelayan untuk usaha perikanan (Rp)

� = Total pengeluaran nelayan untuk konsumsi keluarga nelayan (Rp) t = Periode waktu (bulan, tahun, dll)

Perkembangan NTN dapat ditunjutkan dalam Indeks Nilai Tukar Nelayan (INTN). INTN adalah rasio antara indeks total pendapatan terhadap indeks total pengeluaran rumah tangga nelayan selama waktu tertentu. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

���� = (��) %

�� = (� �� ) %

dimana:

dimana:

INTN = indeks nilai tukar nelayan periode t

�� = indeks total pendapatan keluarga nelayan periode t

� = total pendapatan keluarga nelayan periode t (harga bulan berlaku) � � = total pendapatan keluarga nelayan periode dasar (harga bulan dasar) � = indeks total pengeluaran keluarga nelayan periode t

t = periode (bulan, tahun, dll). Selanjutnya,

� = � + ��

= + �

dimana,

� = Total penerimaan nelayan dari usaha perikanan (Rp) YN = Total penerimaan nelayan dari non perikanan (Rp)

= total pengeluaran nelayan untuk usaha perikanan (Rp)

� = total pengeluaran nelayan untuk konsumsi keluarga nelayan (Rp) t = periode (bulan, tahun, dll).

Asumsi dasar dalam penggunanaan konsep NTN tersebut adalah semua hasil

usaha perikanan tangkap dipertukarkan atau diperdagangkan dengan hasil sektor non

(37)

19 dipakai untuk keperluan usaha penangkapan ikan, baik untuk proses produksi

(penangkapan) maupun untuk konsumsi keluarga nelayan. Pengeluaran subsisten

rumah tangga nelayan dapat diklasifikasikan sebagai:

a) Konsumsi harian makanan dan miniman; b) Konsumsi harian non makanan dan miniman; c) Pendidikan;

d) Kesehatan; e) Perumahan; f) Pakaian; dan g) Rekreasi.

Evaluasi Kebijakan

Dalam konteks evaluasi kebijakan banyak instrument yang umumnya digunakan dalam menganalisis evaluasi kebijakan, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Analisis kebijakan berbasis kuantitatif umumnya menggunakan instrumen-instrumen kuantitatif seperti ekonometrika, optimasi, pemodelan dan simulasi serta multi-kriteria analisis (Fauzi dan Anna, 2005). Selain dengan pendekatan kuantitatif, analisis kebijakan dapat dilakukan melalui pendekatan kualititatif, salah satunya melalui pendekatan CIPP. CIPP adalah singkatan dari Context, Input, Process dan Product. CIPP adalah analisis evaluasi kebijakan yang pertama dikenalkan oleh Stufflebeam pada tahun 1971. CIPP merupakan instrumen kebijakan yang komprehensif untuk melakukan evaluasi baik pada tingkat personal, proyek, produk, organisasi maupun sistem kebijakan. Meski awalnya CIPP digunakan pada ranah pendidikan, namun belakangan CIPP telah banyak dimodifikasi untuk digunakan pada berbagai disiplin ilmu (Stufflebeam dan Shinkfield, 2007)

(38)

20

masalah dan mendiagnosa masalah. Instrumen konteks dapat dilakukan melalui wawancara maupun data sekunder.

Komponen kedua yakni Input merupakan jawaban dari pertanyaan

“bagaimana harus dilakukan” (how should it be done) dan mengidentifikasi rancangan prosedural untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Hal ini termasuk berbagai komponen input yang digunakan untuk mencapai tujuan seperti sumber daya manusia, modal, infrastruktur, dan sebagainya. Teknik yang digunakan untuk evaluasi input ini antara lain inventarisasi sumber daya yang digunakan, anggaran serta jadwal rentang waktu perencanaan. Hal ini dapat dilakukan baik melalui wawancara dengan stakeholder kunci maupun studi literatur yang relafan dengan konteks yang akan dievaluasi.

Komponen ketiga yakni Process, pada prinsipnya komponen yang digunakan untuk memonitor implementasi kebijakan. Komponen ini menjawab

“Apakah dikerjakan?” (is it being done?). Evaluasi proses secara prinsip untuk memberikan umpan balik kebijakan serta mendokumentasikan implementasi kebijakan yang memerlukan perbaikan. Teknik yang digunakan pada komponen ini termasuk pengamatan di tempat, interview dengan stakeholder kunci, laporan-laporan dari komponen yang dievaluasi dan focus group discussion (FGD).

Komponen keempat Product merupakan komponen yang mengidentifikasi outcome dari kebijakan. Komponen ini menjawab pertanyaan “Apakah kebijakan

(39)

21

Sumber: Stufflebeam dan Shinkfield. 2007

Gambar 1 Siklus evaluasi kebijakan melalui model CIPP

Pandangan Teori Ekonomi Sumberdaya Alam Terhadap Teori Pembangunan yang Kini Berkembang

Penggunaan sumber daya alam mengikuti Hukum Entropy. Teori ini dikembangkan oleh Nicolas Georgescu-Roegen: The Entropy Law and The Economic Process. Ekstraksi sumberdaya alam dan lingkungan pada prinsipnya adalah wealth creation dan mengikuti G-R Rules: Irreversibility, Entropy, Fitness. Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan biasanya diukur melalui GDP (the total

values of country’s annual output good and services). GDP telah menjadi standar pengukuran selama lebih dari 60 tahun, namun GDP tidak pernah dirancang untuk mengukur kesejahteraan yang sejati. Simon Kuznet:” The Welfare of a nation can

(40)

22

Gambar 2 Diagram keterkaitan sumberdaya alam dan lingkungan dengan sistem ekonomi (Fauzi, 2014)

Kegagalan teori pembangunan dengan menggunakan indikator GDP dianggap gagal dan tidak mampu mengukur kesejahteraan yang sejati karena: 1. Mengasumsikan bahwa pendapatan perkapita berkorelasi dengan

kesejahteraan (well-being), kenyataannya tidak demikian. 2. Tidak sensitif terhadap distribusi pendapatan dalam satu negara.

3. Gagal mengukur unpaid work and service yang memberikan manfaat bagi masyarakat.

4. Gagal membedakan ekspenditur yang diakibatkan oleh kejadian yang tidak diinginkan (bencana alam misalnya).

(41)

23

3

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat dengan unit analisis sektor pertanian dan perikanan tangkap. Tahap pengumpulan data hingga penyusunan laporan dilaksanakan mulai bulan Mei 2013 – Juni 2014. Peta wilayah penelitian terlihat pada Gambar 3.

Sumber: Bappeda, 2012

Gambar 3 Peta administrasi lokasi penelitian

Jenis dan Sumber Data

(42)

24

Tabel 1 Jenis dan kebutuhan data penelitian

Data Makro Data Mikro

 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

 Nilai Tukar Petani (NTP)

 Jumlah penduduk  Nilai Tukar Nelayan (NTN)

 Laju pertumbuhan penduduk  Luas lahan

 Indeks Harga Konsumen (IHK)  Jumlah armada

 Tenaga kerja  Jumlah petani

 Produksi pertanian

 Produksi nelayan

Metode Analisis

Studi ini menggunakan pendekatan non parametrik (tidak memerlukan distribusi normal pada populasi/sampel) untuk mengukur 3 analisis meliputi: (1) keragaan pemanfatan sumber daya alam melalui Data Envelopmet Analysis (DEA) yang dikembangkan oleh Charnes et al., (1978); (2) Ketidakstabilan melalui Coppock Instability Index (CII) yang dikembangkan oleh Coppock (1962); dan (3) Evaluasi kebijakan dengan metode Context, Input, Process, Product (CIPP) yang dikembangkan oleh Tseng, et al., (2010).

Keragaan pemanfaatan sumber daya alam diukur pada dua sektor sumber daya alam yakni: berbasis lahan dan intervensi budidaya oleh manusia, yakni sektor pertanian dan sektor yangberbasis sumber daya alam liar (wild) yakni perikanan tangkap. Analisis keragaan diukur dengan melihat efisiensi penggunaan sumber daya alam menggunakan alat ukur DEA. DEA menghitung skor efisiensi atas dasar input yang digunakan dan output yang dihasilkan. Input yang digunakan pada sektor pertanian adalah luas panen dan tenaga kerja, sementara pada sektor perikanan adalah armada penangkapan dan jumlah nelayan. Output yang diukur untuk sektor pertanian adalah hasil panen padi, sedangkan pada sektor perikanan adalah hasil tangkapan.

(43)

25 Metode CIPP memberikan gambaran terhadap perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan yang dilakukan meliputi Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) di sektor pertanian dan perikanan mulai tahun 2001 sampai 2012.

Adapun penjelasan rinci dari masing-masing dibahas pada sub bab berikut Matrik penelitian terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Sinkronisasi antara tujuan, metode, data dan output yang diharapkan Tujuan Penelitian Metode Analisis Data dan Sumber Data Output yang

diharapkan

 Hasil panen di sektor pertanian dan hasil

Analisis Korelasi CII di sektor pertanian dan perikanan;

Context: kebijakan yang dilakukan

(44)

26

asumsi distribusi data. Dalam beberapa kasus, efisiensi diukur dari segi perubahan proporsional dalam input atau output. Model DEA dapat dibagi menjadi model input oriented, yaitu dengan meminimalkan input untuk mempertahankan level output, dan model output oriented, yaitu dengan memaksimalkan output tanpa menambah input.

Model DEA juga dapat dibagi lagi menjadi Constant Return to Scale (CRS) dan Variable Return to Scale (VRS). Charnes, Cooper, dan Rhodes (1978) awalnya mengusulkan pengukuran efisiensi DMU untuk skala hasil konstan (Constant Return to Scale/CRS), di mana semua DMU beroperasi pada skala optimal. Kemudian Banker, Charnes, dan Cooper (1984) memperkenalkan variabel ke skala model efisiensi pengukuran yang disebut Variable Return to Scale (VRS), yang memungkinkan pemecahan efisiensi dalam efisiensi teknis dan skala DEA.

Sumber: Banker, Charnes, dan Cooper (1984)

Gambar 4 Kurva data envelopment analysis (DEA)

(45)

27 Efisiensi pengamatan B didefinisikan sebagai θB, input CRS = B0B1/B0B untuk input oriented. Model DEA CRS bahwa seseorang dapat memperoleh output yang sama dengan mengurangi input dengan rasio 1-θB, input CRS. Efisiensi untuk model output oriented DEA CRS didefinisikan sebagai θB, output, CRS = B3B/B3C dan menyatakan bahwa seseorang bisa mendapatkan input yang sama dengan meningkatkan output dengan rasio 1 - θB, output CRS. Dengan demikian, efisiensi input oriented relatif ke batas VRS didefinisikan sebagai θB, dengan input VRS = B0B2/B0B. Semua tingkat efisiensi DMU C adalah sama terlepas dari orientasi karena perbatasan bertemu di titik C.

Hal ini dimungkinkan untuk menguraikan inefisiensi teknis CRS ke dalam efisiensi skala dan teknik efisiensi "murni". Pada gambar 1, B2B berkontribusi terhadap efisiensi teknis titik B mengenai model VRS, dan B1B berkontribusi terhadap efisiensi teknis titik B mengenai model CRS. Kemudian B1B2 memberikan kontribusi untuk skala efisiensi

Inefisiensi bisa dilihat berapa banyak input harus berkontraksi sepanjang ray dari asal sampai sinar melintasi perbatasan. Misalnya, untuk perusahaan G, ukuran efisiensi teknis OG1/OG. Titik G1 adalah titik efisien Farrell; Namun, masukan X2 bisa lebih dikurangi dan masih menghasilkan output yang sama. Untuk kasus ini, perusahaan G memiliki masukan CG1 kendur. Jika kita mengabaikan kendur dan menghitung residually, model DEA menjadi model DEA single-stage. Cara untuk mengurangi kendur dan menemukan referensi set optimal Pareto dapat dibahas lebih lanjut; ada dua tahap dan multistage DEA model yang tersedia dalam literatur (Cooper, Seiford, dan Nada 2006;. Coelli et. al., 2005).

(46)

28

Free disposability berarti bahwa seseorang dapat menghasilkan output yang sama dengan membuang sumber daya atau meningkatkan output tanpa meningkatkan sumber daya. Strong disposability mengasumsikan tanpa biaya bagi perusahaan untuk membuang input atau output atau disebut juga isokuan tidak menekuk ke belakang. Pada gambar 2, garis yang menghubungkan A dan F merupakan perbatasan disebut juga dengan weak disposability. Garis yang menghubungkan B dan E merupakan daerah perbatasan disebut dengan strong disposability.

Dengan asumsi kegiatan produksi ekonomi, kecembungan, strong disposability, dan CRS, kita dapat mengembangkan program linear sebagai jenis piecewise batas linear. Efisiensi input oriented CRS didefinisikan sebagai (1) dengan menerapkan perbatasan piecewise linear dengan persyaratan masukan set (Cooper, Seiford, dan Tone 2006). Hal ini memungkinkan kita untuk mengevaluasi efisiensi relatif terhadap perbatasan.

max , = 1………... (1)

Dengan kendala: νxj = 1,-νX + Uy ≤ 0, ν ≥ 0, u ≥ 0, dan uj menjadi variabel bebas, di mana satu set diamati DMU adalah DMUj, j = 1,. . . , N; xj dan yj adalah vektor input dan output; u adalah vektor baris; ν adalah output dan input pengganda; dan X dan Y adalah input dan output matriks.Tujuan dari model input-oriented DEA adalah untuk meminimalkan input virtual, relatif terhadap output virtual yang diberikan, dengan kendala bahwa tidak ada DMU dapat beroperasi di luar produksi kemungkinan set dan kendala yang berkaitan dengan obot negatif. Dalam prakteknya, sebagian besar program DEA tersedia menggunakan bentuk ganda seperti yang diungkapkan dalam persamaan (2), yang menurunkan beban perhitungan dan hampir sama dengan persamaan (1).

min ���……….... (2)

(47)

29

� � ………. (3)

� �, +, −∑ +− −……… (4)

Dengan kendala: θxj - Xλ - s-= 0, Y λ + s + = yj, dan λ ≥ 0, di mana s +, s -, dan λ adalah vektor semipositive di Rk dan θ adalah variabel yang nyata. Tahap pertama Model DEA menurunkan persamaan (3), dan dua-tahap Model DEA menurunkan ppersamaan (3) dan (4).

Model CRS input-oriented diperkenalkan pada bagian ini; Namun, variasi lainnya yang mudah diperpanjang dan tersedia di sebagian besar literature DEA termasuk Coelli et al. (2005) dan Cooper, Seiford, dan Tone (2006).

Coppok Instability Index (CII)

Produksi ikan kita ketahui berfluktuasi secara luas dari waktu ke waktu dan wilayah. Hal ini juga dapat menunjukkan perangkap dalam mencapai kesimpulan umum atas dasar rata-rata saja. Pada kenyataannya, variasi yang luas dalam data ini dari waktu ke waktu, serta banyaknya ruang dapat menyebabkan banyaknya ketegangan dan tekanan di dalam perekonomian. Oleh karena itu, hal ini mungkin berguna untuk tujuan dalam pembelajaran di mana dari periode kabupaten per periode waktu, produksi ikan lebih stabil atau tidak stabil dibandingkan dengan daerah lainnya. Koefisien variasi (CV) digunakan sebagai indeks ketidakstabilan (Instability Index). Ukuran biasa CV diberikan oleh:

� = � � � � x 100……… (2)

(48)

30

(1966), Massel (1970), Weber dan Sievers (1985), Cuddy-Della Valle (1978), Singh and Byerlee (1990), Parthasarathy (1984) dan Wasim (1999). Dalam penelitian ini variabilitas dalam produksi ikan diukur dengan metode yang diusulkan oleh Shah (2007), yang didasarkan pada perubahan logarithmic indicator yang diukur yakni:

Sen (1989) menunjukkan bahwa ukuran ketidakstabilan berdasarkan eksponensial trend adalah skala bebas dan dapat dengan mudah digunakan untuk

cross perbandingan. Chand dan Tewari (1991) juga menggunakan metode ini untuk mengukur ketidakstabilan ekspor India dan impor komoditas pertanian.

Evaluasi Kebijakan dengan CIPP Model Analysis

Metode CIPP Analysis digunakan untuk menganalisis efisiensi kebijakan. Evaluasi CIPP dapat dilakukan dengan bantuan daftar pertanyaan (kuesioner) atau focus group disscusion (FGD) dengan para pihak (stakeholder kunci) yang terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan.

Pelaksanaan pendekatan CIPP model analysis meliputi empat tipe evaluasi yaitu: context, input, process, dan product kebijakan. Keempat tipe evaluasi ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan mulai dari perumusan hingga implementasi kebijakan. Keempat tipe evaluasi ini diadopsi dari Tseng, et.al., (2010). Secara ringkas penjelasan evaluasi kebijakan menurut Tseng tersebut disajikan pada Tabel 3.

log log 1 100

(49)

31 Tabel 3 Tipe evaluasi dalam pendekatan CIPP (Tseng, et.al., 2010)

Context Input Process Product

Provinsi Jawa Barat memiliki sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam tersebut meliputi pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan, pertambangan dan jasa lingkungan. Sumber daya alam tersebut memiliki tiga fungsi meliputi: fungsi ekonomi, fungsi sosial budaya, dan fungsi ekologi. Ketiga fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Terkait dengan penelitian ini yang menjadi fokus kajian adalah fungsi ekonomi dan ekologi. Hal ini tidak bermaksud mengenyampingkan fungsi sosial budaya, namun dalam penelitian ini dibatasi oleh ketersediaan metodologi, data, dan informasi.

(50)

32

output belum tercapainya kesejahteraan masyarakat pada sektor pertanian dan perikanan yang menjadi unit analisis pada penelitian ini. Kesejahteraan tersebut pada penelitian ini diukur dengan nilai NTP dan NTN.

Untuk melihat optimasi pemanfaatan sumber daya alam dalam upaya menyejahterakan masyarakat dapat diukur dengan melihat keragaan (performance), analisi kebijakan, dan index ketidakstabilan sumber daya alam. Deskripsi keragaan diukur dengan DEA, analisis kebijakan dievaluasi dengan pendekatan CIPP analisys model, index ketidakstabilan diukur dengan CII. Dari analisis ketiga indikator tersebut diharapkan dapat dihasilkan rekomendasi kebijakan pemanfaatan sumber daya alam khususnya sektor pertanian dan perikanan di Jawa Barat. Kerangka pikir penelitian tersebut secara diagram disajikan pada Gambar 5.

Sumber Daya Alam (SDA) Provinsi Jawa Barat

Fungsi Ekonomi Fungsi Sosial Budaya Fungsi Ekologis

Optimisasi Peran SDA Jawa Barat

Kendala input: sarana produksi, tenaga kerja dan

luas lahan

Kendala Ouput:

NTP dan NTN Pengukuran peran dan

kinerja (performance) SDA

Deskripsi keragaan Analisis kebijakan Indeks ketidakstabilian index

DEA CIPP CII

Rekomendasi kebijakan pemanfaatan SDA

(51)
(52)

34

Sumber: BPS Jawa Barat (diolah, 2012)

Gambar 6 Luas wilayah kabupaten di Jawa Barat (km2)

Secara administratif Provinsi Jawa Barat terdiri dari 27 kabupaten dan kota, yang terbagi dalam 18 kabupaten dan 9 kota, yaitu: Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Bandung Barat, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Pangandaran serta Kota Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasikmalaya dan Banjar.

Jawa Barat memiliki kondisi geografis yang strategis. Hal tersebut merupakan keuntungan bagi Provinsi Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Selain itu, Jawa Barat memiliki lahan yang subur yang berasal dari endapan vulkanis dan dialiri oleh banyak aliran sungai yaitu Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung, Sungai Cimandiri, Sungai Citarum, Sungai Cimanuk, dan Sungai Citanduy sehingga sebagian besar lahannya digunakan untuk pertanian.

Kondisi Demografis

Penduduk merupakan salah satu modal dalam pelaksanaan pembangunan karena penduduk merupakan objek sekaligus subjek dalam pembangunan. Berdasarkan hasil proxy BPS tahun 2012, Provinsi Jawa Barat dihuni sebanyak 44.548.431 jiwa.

Pertambahan penduduk sebesar 11,6 juta jiwa dalam kurun 20 tahun, yang akan berkonsekuensi terhadap: tata guna lahan, kondisi iklim, ketahanan pangan, kesempatan kerja, kecukupan energi dan air baku.

Secara nasional Jawa Barat masih merupakan provinsi dengan jumlah populasi penduduk terbesar dibanding dengan provinsi lain di Indonesia. Hal

(53)

35 tersebut dapat dilihat berdasarkan tiga daerah dengan penduduk terbesar yaitu: Kabupaten Bogor 4.989.939 jiwa, Kabupaten Bandung 3.307.396 jiwa dan Kabupaten Bekasi 2l786.638 jiwa. Sedangkan tiga daerah dengan penduduk terkecil yaitu: Kota Banjar 180.030 jiwa, Kota Cirebon 320.772 jiwa dan Kota Sukabumi 308.508 jiwa.

Sumber: BPS Jawa Barat (diolah). 2013.

Gambar 7 Tren pertumbuhan penduduk Jawa Barat tahun 2000-2012 Sex ratio rata-rata di atas 100 yang berarti penduduk laki-laki lebih banyak dibanding penduduk perempuan di Jawa Barat. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) rata-rata sebesar 1,6% dengan kepadatan penduduk sebesar 1.198 jiwa/km2 pada

Tahun 2012. Adanya ketidakmerataan penduduk di Provinsi Jawa Barat disebabkan kondisi dan potensi di setiap kabupaten tidak sama. Kepadatan penduduk yang tinggi cenderung terjadi di kabupaten dan daerah perkotaan dimana banyak terdapat kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat diberbagai bidang usaha yang dapat memberikan lapangan pekerjaan.

Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian di Jawa Barat

(54)

36

Tahun 2000 apabila dengan migas sebesar Rp 364.405.406.000.000 sedangkan tanpa migas sebesar Rp 356.309.654.000.000.

Empat sektor kontribusi nilai rata-rata tertinggi PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun tahun 2012 dicapai oleh sektor industri pengolahan disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pertanian masing-masing sebesar 41,07 persen, 23,19 persen, dan 11,47 persen. Sedangkan pada tahun 2012 kontribusi nilai PDRB (Atas Dasar Harga Dasar Konstan Tahun 2000) sektor industri pengolahan adalah sebesar Rp 149.677.170.000.000,- sektor perdagangan hotel dan restoran sebesar Rp 84.523.738.000.000,- dan sektor pertanian sebesar Rp 41.801.728.000.000,- Sedangkan kontribusi terkecil diberikan oleh sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp 6.575.728.000.000.

Tabel 4 Persentasi kontribusi nilai rata-rata PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 2012

No Sektor PDRB Persentasi (%)

1 Industri pengolahan 41,07

2 Perdagangan, hotel, dan restoran 23,19

3 Pertanian 11,47

4 Jasa-jasa 7,01

5 Pengangkutan dan komunikasi 5,42

6 Bangunan 4.02

7 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 3,63

8 Listrik, gas, dan air bersih 2,20

9 Pertambangan dan galian 1,80

Sumber: BPS Jawa Barat (diolah). 2013.

Kontribusi Sektor Berbasis Sumberdaya Alam di Jawa Barat

(55)

37

Sumber: BPS Jawa Barat (diolah) 2012

Gambar 8 Kontribusi sektor pertanian terhadapPDRB rata-rata Jawa Barat Tahun 2000-2010

Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata di Jawa Barat pada Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2011 berada di sekitar 5,96%, sedangkan laju infasi rata-rata pada periode yang sama sebesar 5,45% per tahun, sehingga laju pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat rata-rata masih di atas inflasi. Apabila dibandingkan antara laju pertumbuhan ekonomi rata Jawa Barat dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional, maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat setara atau hampir sama dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Sedangkan untuk tingkat inflasi rata-rata di Jawa Barat bila dibandingkan dengan rata-rata-rata-rata inflasi nasional, maka inflasi di Jawa Barat lebih kecil dari inflasi nasional, lebih jelas ada di Tabel 5.

Tabel 5 Tingkat inflasi, laju pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat dan Nasional

(56)

38

Peran Sektor-sektor Berbasis Sumberdaya Alam terhadap Pembangunan di Jawa Barat

Sektor Pertanian

Jawa Barat adalah salah satu lumbung padi utama nasional, dengan 26,23 persen total luas wilayah Jawa Barat atau 942.974 hektar dialokasikan untuk areal persawahan. Tidak dipungkiri lagi, Jawa Barat merupakan 'rumah produksi' bagi ekonomi Indonesia. Tabel 6 memberikan gambaran bahwa hasil pertanian Provinsi Jawa Barat menyumbangkan kurang lebih 17 persen total produksi padi Indonesia. Selain produksinya yang tinggi, Jawa Barat memiliki produktivitas padi sawah hampir 6,004 ton/hektar di atas rata-rata produktifitas padi nasional sebesar sekitar 4,98 ton/hektar. Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Jawa Barat Tahun 2013 sebanyak 3.057.424 rumah tangga. (BPS.2013).

Tabel 6 Luas sawah, luas panen, dan produktivitas padi sawah di Jawa Barat tahun 2001-2012

Tahun Luas Sawah Luas Panen Produksi Produktivitas

Ha Ha Ton Ton/Ha

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat. Tahun 2013.

(57)

39 fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian upaya pencetakan sawah baru pun telah dilakukan.

Sumber: BPS, 2012.

Gambar 9 Grafik produk dan produktivitas padi di Jawa Barat tahun 2001-2011 Sektor Perikanan

Sektor perikanan adalah sektor yang paling penting di Jawa Barat terutama bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai utara dan selatan Jawa Barat, ini terlihat dari jumlah nelayan paling banyak tersebar di Pantai Utara yaitu sebesar 52.842 nelayan (75,04 %) tahun 2007, 58.205 nelayan (77,18 %) tahun 2008, 63.669 nelayan (74,02 %) tahun 2009, meningkat menjadi 67.141 nelayan (75,46 %) tahun 2010, dan meningkat secara signifikan menjadi 81.581 nelayan (78,65 %) tahun 2011. Selebihnya berada di Pantai Selatan (Gambar 10).

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, 2012

(58)

40

Sepanjang tahun 2007-2011 mayoritas nelayan menjadikan sektor perikanan sebagai mata pencaharian utama, persentasenya sangat signifikan yaitu sekitar 71,69 persen dari total nelayan (2007); 71,56 persen dari total nelayan (2008); 75,01 persen dari total nelayan (2009); 74,90 persen dari total nelayan (2010), dan 70,89 persen dari total nelayan (2011). Kemudian yang kedua ialah sambilan utama, persentasenya tidak sebesar mata pencaharian utama, namun mereka yang bekerja di sektor perikanan sebagai sambilan utama persentasenya sekitar 26,92 persen dari total nelayan (2007), 27,18 persen dari total nelayan (2008), 17,02 persen dari total nelayan (2009); 16,09 persen dari total nelayan (2010) dan 13,12 persen dari total nelayan (2011).

Selanjutnya mereka yang menjadikan sektor ini sebagai sambilan tambahan persentasenya bisa dikatakan paling kecil yaitu sekitar 1,38 persen dari total nelayan (2007); 1,27 persen dari total nelayan (2008), kemudian meningkat menjadi 7,97 persen dari total nelayan (2009), meningkat menjadi 9,01 dari total nelayan (2010), dan meningkat signifikan menjadi 15,99 persen dari total nelayan (2011). Hal ini mengindikasikan bahwa, sektor perikanan di Jawa Barat memiliki potensi daya tarik masyarakat pesisir pantai untuk menggantungkan sektor ini sebagai mata pencaharian masyarakat (Gambar 11).

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. 2012.

Gambar 11 Jumlah Nelayan Perikanan Laut di Jawa Barat Tahun 2007 - 2011

2007 2008 2009 2010 2011

Penuh 50,484 53,959 64,516 66,639 73,524

Sambilan Utama 18,957 20,494 14,642 14,317 13,613

Sambilan Tambahan 975 954 6,856 8,019 16,584

0

Gambar

Grafik produksi dan produktivitas padi di Jawa Barat
Gambar 1 Siklus evaluasi kebijakan melalui model CIPP
Gambar 2 Diagram keterkaitan sumberdaya alam dan lingkungan
Gambar 3 Peta administrasi lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sektor pertanian terbukti mampu menurunkan ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat oleh karena itu dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian sebaiknya

Dalam upaya meningkatkan peranan sektor industri pengolahan dalam pembangunan ekonomi Provinsi Jawa Barat, hendaknya pemerintah Provinsi Jawa Barat lebih memprioritaskan

sehingga penulis dapat menyelesaik an skripsi yang berjudul “ Analisis Spesialisasi dan Daya Saing Sektor-Sektor Ekonomi di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-.

Kondisi investasi industri manufaktur di Provinsi Jawa barat yang cenderung menurun menjadikan pengaruh fokus utama terhadap unit sektor sangat penting bagi

Sumberdaya energi - baik yang berasal dari fosil maupun energi yang terbarukan - berperan penting dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat untuk kegiatan ekonomi,

Dalam upaya meningkatkan peranan sektor industri pengolahan dalam pembangunan ekonomi Provinsi Jawa Barat, hendaknya pemerintah Provinsi Jawa Barat lebih memprioritaskan

Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1) Untuk menganalisi Derajat Otonomi Fiskal (DOF) Provinsi Jambi selama periode 2001 sampai dengan 2014; 2) Untuk

Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025 yang selanjutnya disebut RPJP Daerah adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah Provinsi Jawa Barat untuk periode 20 (dua puluh)