• Tidak ada hasil yang ditemukan

ko r DE A Tahun

42

Namun demikian, jika ditelisik lebih mendalam, penurunan tingkat efisiensi di sektor pertanian terjadi pada periode 2004 dan 2010. Tetapi pada dua periode ini terdapat perbedaan mendasar mengapa terjadi penurunan tingkat efisiensi. Penurunan tingkat efisiensi di periode 2004 terjadi karena adanya internal variable shock di sektor pertanian, yaitu pada variabel input (jumlah tenaga kerja) yang mengalami penurunan sebesar 784.537 juta orang atau 0,15 persen. Sedangkan pada periode 2010, penurunan tingkat efisiensi diduga disebabkan oleh adanya external variable shock di sektor pertanian. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tidak terjadinya penurunan pada variabel input maupun output di sektor ini (tenaga kerja, jumlah produksi, dan luas panen). Sehingga meskipun variabel input maupun output di sektor ini menunjukkan angka yang positif (masing-masing sebesar: 0,03 persen, 0,05 persen, dan 0,04 persen), namun demikian tetap terjadi penurunan tingkat efisiensi. External variable shock ialah variabel lain di luar sektor pertanian yang berhubungan dengan variabel input/output sektor pertanian. Misalnya, perubahan cuaca/iklim, seperti peningkatan curah hujan yang menyebabkan produktivitas pertanian menurun.

Tabel 7 Tingkat efisiensi pada sektor pertanian periode 2001- 2012

Tahun Luas Panen (Ha) Tenaga Kerja (orang) Produksi (ton) Skor Efisiensi 2001 1.866.069 5.128.660 9.237.593 0,84 2002 1.792.320 4.495.056 9.166.872 0,86 2003 1.664.386 4.345.148 8.776.889 0,89 2004 1.880.142 (4.353.604) 9.602.302 0,86 2005 1.894.796 4.450.695 9.787.217 0,87 2006 (1.798.260) (4.072.068) (9.418.572) 0,88 2007 1.829.085 4.675.914 9.914.019 0,92 2008 (1.803.628) (3.792.677) 10.111.069 0,95 2009 1.950.203 3.758.892 11.322.681 0,98 2010 2.037.657 3.964.243 11.737.070 0,97 2011 1.964.466 3.678.155 11.633.891 1,00 2012 1.918.799 3.700.058 11.271.861 1,00

Sumber: Data diolah (2013).

Berdasarkan Tabel 7 ada hal lain yang menarik untuk dikiritisi di sektor ini yaitu mengapa pada periode 2006 dan 2008 tingkat efisiensinya positif, padahal di tahun 2006 terjadi penurunan luas panen, tenaga kerja, dan jumlah produksi (0,03 persen, 0,03 persen, 0,05 persen), penurunan output tidak sebesar penurunan input sehingga skor efisiensi tetap naik. Sedangkan pada periode 2008 meskipun terjadi penurunan jumlah luas panen dan tenaga kerja (0,01 persen dan 0,188 persen)

43 namun di sisi lain terjadi peningkatan jumlah produksi sebesar 0,019 persen. Sehingga penurunan input tenaga kerja maupun output luas panen tidak menurunkan tingkat efisiensi sektor pertanian pada periode tersebut.

Sektor Perikanan

Pada sektor perikanan, hasil analisis keragaan (performance) melalui analisis DEA menunjukkan tingkat efisiensi sektor perikanan cenderung berfluktuasi. Tingkat efisiensi di sektor perikanan mengalami penurunan pada periode 2002 dan 2003, masing-masing sebesar 0,06 persen dan 0,1 persen. Kemudian meningkat sebesar 0,11 persen pada periode 2004. Periode 2005 sempat kembali mengalami penurunan tingkat efisiensi sebesar 0,09 persen, pada periode 2006 tingkat efisiensinya kembali membaik yaitu sebesar 0,08 persen. Kemudian pada periode 2007 dan 2008 tingkat efisiensinya kembali menurun, masing-masing sebesar (0,01) persen dan (0,16) persen. Namun kembali menurun efisiensinya pada periode 2003 dan 2004, masing-masing sebesar (0,17) persen dan (0,03) persen. Periode 2005 kembali meningkat tingkat efisiensinya sebesar 0,11 persen, dan kembali menurun menjadi 0,01 persen di periode 2006, dan meningkat tingkat efisiensinya di periode 2007 menjadi 0,16 persen. Dan kembali menurun tingkat efisiensinya pada periode 2008 dan 2009 masing-masing sebesar (0,14) persen dan (0,09) persen. Kinerja sektor perikanan menunjukkan tingkat efisiensi yang membaik pada periode 2009-2012 tingkat efisiensinya cenderung ke arah yang jauh lebih membaik, hal ini dapat dilihat dari tingkat efisiensinya yang kembali positif pada periode tersebut masing-masing sebesar sebesar 0,12 persen, 0,04 persen dan 0,02 persen (diilustrasikan pada Gambar 14 dan Tabel 8).

44

Sumber: Data diolah (2013)

Gambar 13 Keragaan ekonomi pada sektor perikanan periode 2001 – 2012 Kondisi keragaan yang fluktuatif tersebut bisa disebabkan karena pada sektor perikanan produksi tidak hanya ditentukan oleh input yang terkendali seperti misalnya tenaga kerja dan armada kapal namun juga oleh faktor external variable shock seperti faktor alam, misalnya kondisi cuaca dan fluktuasi curah hujan yang cukup tajam, sehingga mempengaruhi nelayan melaut.

Tabel 8 Tingkat efisiensi pada sektor perikanan periode 2001 – 2012

Tahun Armada(unit) Jumlah Tenaga Kerja (orang) Jumlah Produksi (ton) EfisiensiTingkat

2001 12.335 35.679 147.032,04 1,00 2002 14.144 45.593 157.600,50 0,94 2003 15.409 50.008 154.942,38 0,84 2004 14.891 46.323 168.671,96 0,95 2005 15.775 45.824 162.019,00 0,86 2006 15.280 41.835 162.344,48 0,94 2007 15.745 70.416 175.397,10 0,93 2008 20.197 75.407 184.601,60 0,77 2009 16.868 86.014 180.392,14 0,89 2010 17.154 88.975 190.787,81 0,93 2011 17.363 103.721 196.991,09 0,95 2012 17.889 98.110 211.886,48 0,99

Sumber: Data diolah (2013).

Potensi Perbaikan Kinerja Sektor Pertanian dan Perikanan di Jawa Barat Potensi perbaikan keragaan ekonomi di sektor pertanian dan sektor perikanan dapat diketahui dengan membandingkan rataan DEA dengan rataan

riil-45 nya. Dari hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa pada sektor pertanian, kinerja output pertanian dapat diperbaiki sebesar 8.75 persen dari kondisi riil sedangkan kinerja output perikanan dapat diperbaiki hingga 9,5 persen dari kondisi riil.

Kinerja input tenaga kerja perikanan dapat dikurangi sebesar 35 persen dari kondisi riil sedangkan kinerja input tenaga kerja sektor pertanian dapat dikurangi hingga 27 persen dari kondisi riil, sedangkan input luas panen pertanian dapat dikurangi hingga 8 persen dari kondisi riil dan input armada dapat dikurangi 9 persen dari kondisi riil (Tabel 9). Keragaan ekonomi di sektor perikanan maupun pertanian bisa diperbaiki melalui mekanisme kebijakan yang mampu mendorong sektor berbasis sumber daya alam di Jawa Barat khususnya sektor perikanan dan pertanian, secara detail bagian ini akan dibahas secara terpisah pada sub bagian analisis kebijakan.

Tabel 9 Perbaikan kinerja pada sektor pertanian dan perikanan di Jawa Barat

Sektor Pertanian

Variabel Rataan Riil Rataan DEA Perubahan

(%)

Orientasi Input Luas Panen (juta Ha) 1,87 1,72 -8

Orientasi Input Tenaga Kerja (juta orang) 4,37 3,20 -27

Orientasi Output (juta ton) 10,16 11,05 8,75

Sektor Perikanan

Variabel Rataan Riil Rataan DEA Perubahan

(%)

Orientasi Input Armada (ribu) 16,02 14,60 -9

Orientasi Input Tenaga Kerja (juta orang) 65,70 42,30 -35

Orientasi Output (juta ton) 174,39 190,99 9,5

Sumber: Hasil Analisis Data Envelopment Analysis (DEA). Data diolah (2013).

Hasil Analisis Tingkat Kesejahteraan Petani dan Nelayan di Jawa Barat Tingkat kesejahteraan petani dan nelayan dalam penelitian ini dianalisis dengan pengukuran Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN). Pengukuran Nilai Tukar Petani (NTP), merupakan angka perbandingan antara indeks harga yang diterima dengan indeks harga yang dibayar oleh petani yang dinyatakan dalam persentase. Indeks harga yang diterima petani adalah indeks harga yang menunjukan perkembangan harga produsen dari hasil produksi petani. Indeks harga yang dibayar petani adalah indeks harga yang menunjukan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik itu untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga maupun untuk keperluan menghasilkan produksi pertanian itu sendiri.

46

Tingkat Kesejahteraan Petani di Jawa Barat

Hasil analisis Nilai Tukar Petani (NTP) terhitung mulai periode 2008 terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga periode 2011, dengan rata-rata NTP terhitung mulai periode 2008 – 2011 yaitu sebesar 98,98 (Gambar 15). Ini dapat mengindikasikan ada kecenderungan terjadi peningkatan kesejahteraan petani di Jawa Barat selama periode tersebut. Namun apakah peningkatan kesejahteraan petani menunjukkan pula kestabilan ekonomi di sektor pertanian di Jawa Barat? Hal ini akan dibahas pada analisis Coppock Instability Index (CII).

Sumber: Data diolah (2013).

Gambar 14 Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Barat periode 2008-2011 Tingkat Kesejahteraan Nelayan di Jawa Barat

Pada Nilai Tukar Nelayan (NTN) cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama periode 2008 – 2011, dengan rata-rata NTN hampir sebesar 95,00 persen selama periode tersebut (Gambar 16). Kondisi ini menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Jawa Barat sepanjang periode 2008-2011 meningkat tiap tahun. Hubungan antara tingkat kesejahteraan nelayan dengan ketidakstabilan ekonomi pada sektor perikanan selanjutnya akan dibahas dan dijelaskan pada analisis Coppock Instability Index.

47

Sumber: Data diolah (2013)

Gambar 15 Nilai tukar nelayan (NTN) di Jawa Barat periode 2008-2011 Analisis Ketidakstabilan Tingkat Kesejahteraan Petani dan Nelayan di Jawa

Barat

Pengukuran indeks ketidakstabilan tingkat kesejahteraan petani dan nelayan dalam penelitian ini menggunakan Coppock Instability Index (CII). Sedangkan untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani dan nelayan dalam analisis ini yaitu dengan melihat Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN). Coppock Instability Index (CII) pada studi ini dilakukan dengan mengikuti metode yang sama yang telah diterapkan untuk pertanian oleh Karjogi et al (2009 dan Reddy (2009), serta untuk perikanan oleh Shah (2007), Wasim (2007) dan Fauzi dan Anna (2011).

Ketidakstabilan Tingkat Kesejahteraan Petani di Jawa Barat

Ketidakstabilan NTP dalam analisis ini dapat diukur dengan melihat hasil Coppock Instability Indeks terhadap NTP. Analisis periode 2008 dan 2009 menunjukkan kestabilan NTP yang memiliki coppock instability indeks (CII-NTP) jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan periode 2010 dan 2011. Hal ini mengindikasikan bahwa pada periode tersebut cenderung lebih stabil dibandingkan dengan periode 2010 dan 2011 (Gambar 17). Pada analisis sebelumnya, diperoleh bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) terhitung mulai periode 2008 terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga periode 2011. Namun demikian, kondisi ini diiringi pula dengan indeks ketidakstabilan coppock yang cukup tinggi. Hal ini

48

dikarenakan banyaknya fluktuasi dalam faktor produksi. Kondisi ini diilustrasikan pada Gambar 17.

Sumber: Data diolah (2013)

Gambar 16 CII pertanian di Jawa Barat periode 2008-2011 Ketidakstabilan Tingkat Kesejahteraan Nelayan di Jawa Barat

Pada sektor perikanan, ketidakstabilan Nilai Tukar Nelayan (NTN) di Jawa Barat selama periode 2008 – 2011 ditunjukkan pada Gambar 18. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa selama periode tersebut sistem perekonomian perikanan di Jawa Barat mengalami fluktuasi ketidakstabilan NTN. Puncak ketidakstabilan NTN terjadi pada periode 2008 yang berada pada level indeks 2,261, kemudian merosot tajam pada periode 2011 hingga berada pada level indeks 0,201. Temuan ini menarik, karena jika kita telusuri melalui data jumlah nelayan maupun jumlah produksi perikanan di Jawa Barat pada periode 2008 – 2011 cenderung meningkat (Gambar 17).

49

Sumber: Data diolah (2013).

Gambar 17 CII perikanan di Jawa Barat periode 2008-2011

Korelasi Ketidakstabilan Sektor Pertanian dan Perikanan dengan Variabel Input

Pada Gambar 18 mengilustrasikan pola hubungan antara jumlah petani dengan indeks ketidakstabilan nilai tukar petani (instability indeks NTP) yang ditunjukkan oleh indeks ketidakstabilan Coppock (CII) selama periode 2008-2011. Terlihat pada grafik adanya pola U-terbalik selama periode tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan jumlah petani cenderung meningkatkan ketidakstabilan Nilai Tukar Petani (NTP). Namun tidak demikian pada periode 2011 dimana jumlah petani menurun namun indeks ketidakstabilan NTP tetap tinggi (tidak stabil).

Sumber: Data diolah (2013).

Gambar 18 Pola hubungan antara jumlah petani vs indeks ketidakstabilan Coppock (CII) 0 0.5 1 1.5 2 2.5 2008 2009 2010 2011 All

CII-Perikanan di Jawa Barat Periode 2008 - 2011

50

Selanjutnya pada Gambar 19 memperlihatkan hubungan antara nilai tukar petani (NTP) dengan indeks ketidakstabilan Coppock (CII) selama periode 2008 dan 2009 cenderung stabil dengan NTP di bawah 97, kemudian pada periode 2010 dan 2011 NTP cenderung meningkat secara eksponensial dengan loncatan yang relatif tinggi. Loncatan NTP yang tinggi ini cenderung meningkatan ketidaksatabilan NTP di masa mendatang karena goncangan (shock) pada komponen input dan output yang bisa mengarah kepada ketidakstabilan di sistem pertanian.

Sumber: Data diolah (2013)

Gambar 19 Pola hubungan nilai tukar petani (NTP) vs indeks ketidakstabilan Coppock (CII)

Pola hubungan antara produksi pertanian dengan indeks ketidakstabilan coppock (CII) diilustrasikan pada Gambar 20. Ditunjukkan pula pada gambar tersebut bahwa hubungan antara produksi dan CII ialah kurva U-terbalik dimana peningkatan produksi cenderung meningkatan indeks ketidakstabilan pada struktur ekonomi pertanian di Jawa Barat. Artinya ialah ada faktor lain selain peningkatan jumlah produksi pertanian yang dapat meningkatkan ketidakstabilan struktur ekonomi pertanian.

51

Sumber: Data diolah (2013).

Gambar 20 Pola hubungan produksi vs indeks ketidakstabilan Coppock (CII) Analisis selanjutnya ialah bagaimana hubungan antara indeks ketidak-stabilan (CII) dengan faktor-faktor lainnya yakni jumlah petani dan produksi pertanian (Tabel 10). Dari hasil analisis diketahui bahwa Indeks ketidakstabilan (CII) berkorelasi positif (0,92) dengan NTP, artinya setiap kenaikan NTP 1 poin menyebabkan kenaikan ketidakstabilan CII sebesar 0,92. Di sisi lain indeks CII berkorelasi negatif (-0,33) dengan jumlah petani yang artinya, peningkatan jumlah petani cenderung akan menurunkan indeks ketidakstabilan. Sedangkan dari sisi produksi, indeks CII berkorelasi positif (0,80) yang artinya peningkatan produksi pertanian cenderung akan meningkatan ketidakstabilan NTP. Nilai NTP juga berkorelasi negatif (-0.67) dengan jumlah petani yang artinya semakin tinggi jumlah petani cenderung menurunkan nilai NTP. Namun demikian, nilai NTP berkorelasi positif (0,58) dengan produksi yang artinya peningkatan produksi padi akan cenderung meningkatkan nilai NTP. Selengkapnya tertuang pada Tabel 10.

Hubungan antara nilai CII dengan NTN, jumlah nelayan dan produksi ikan ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10 menunjukkan, jumlah nelayan memiliki korelasi yang positif (0,99) dengan NTN. Artinya, ada hubungan linier antara jumlah nelayan dengan NTN. Di sisi lain, variabel jumlah nelayan dan NTN memiliki korelasi negatif dengan indeks ketidakstabilan CII masing-masing sebesar -0,92,-0,87, dan -0,27. Artinya, peningkatan jumlah nelayan, produksi ikan, dan NTN cenderung akan menurunkan indeks ketidakstabilan (lebih stabil).

52

Tabel 10 Hubungan antara Indeks Ketidakstabilan (CII) dengan Variabel Input dan Output di sektor pertanian dan perikanan di Jawa Barat

Sektor Pertanian

Variabel CII NTP Jml Petani Produksi

CII - 0,92 -0,33 0,80

NTP - - -0,67 0,58

Jml Petani - - - 0,20

Produksi - - - -

Sektor Perikanan

Variabel CII NTN Jml Nelayan Produksi Ikan

CII - -0,92 -0,87 -0,27

NTN - - 0,99 0,60

Jml Nelayan - - - 0,67

Produksi Ikan - - - -

Sumber: Data diolah (2013)

Analisis Evaluasi Kebijakan

Bagian ini merupakan bagian terakhir dari tujuan penelitian yaitu untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan ekonomi pada sektor berbasis sumber daya alam (sektor pertanian dan sektor perikanan) di Propinsi Jawa Barat. Terdapat banyak model evaluasi program yang digunakan para ahli. Salah satunya adalah model CIPP (Context – input – process – product). Model ini pertama kali dikembangkan oleh Stufflebeam pada tahun 1971 (Stufflebeam, D.L (2003). Model CIPP melihat kepada empat dimensi, yaitu: (1) context, (2) input, (3) process, dan (4) product. Analisis evaluasi kebijakan ini menggunakan framework CIPP Model. Pada prinsipnya, analisis ini merupakan analisis kualitatif sebagai sebuah comprehensive model yang digunakan untuk membangun kerangka kebijakan dalam rangka mendorong kinerja sektor-sektor yang berbasis sumber daya alam.

Keunikan model ini adalah pada setiap tipe evaluasi terkait pada perangkat pengambil keputusan (decission) yang menyangkut perencanaan dan operasional sebuah program. Keunggulan model CIPP memberikan suatu format evaluasi yang komprehensif pada setiap tahapan. Untuk memahami hubungan model CIPP dengan pembuat keputusan dan akuntabilitas dapat diamati pada visualisasi sebagai berikut: General Framework CIPP Model Analysis yang merupakan kerangka umum dari evaluasi kebijakan sektor berbasis sumber daya alam dan Specific Framework CIPP Model Analysis, yang merupakan hasil breakdown dari General Framework CIPP Model Analysis.

53

General Framework CIPP Model Analysis

Secara umum, definisi evaluasi ialah proses menentukan nilai atau manfaat suatu program yang bisa juga dimaknai sebagai inisiatif menuju tujuan pengambilan keputusan untuk mengadopsi, merevisi atau bahkan menolak program/inovasi yang diusulkan. General Framework CIPP Model Analysis dibangun untuk mengetahui program/inovasi apa yang bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan yang dibangun di dalam model dalam kerangka ini ialah tujuan-tujuan yang bersifat umum. Sehingga parameter yang digunakan di dalam model ini juga menggunakan parameter yang bersifat umum, belum secara spesifik dimasukkan kriteria/parameter sektor-sektor berbasis sumber daya alam. Misalnya: untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan ragam sumber pangan, dan sebagainya.

Aplikasi General Framework CIPP Model Analysis untuk sektor pertanian dan perikanan di Jawa Barat dalam penelitian ini penulis mengadopsi dari pendekatan yang dilakukan oleh Tseng, et.al., (2010), seperti terlihat pada gambar di bawah ini:

54

Sumber: Data diolah (2013)

Gambar 21 Framework dalam evaluasi kebijakan di sektor berbasis sumber daya (sektor perikanan-pertanian)

a. Evaluasi Konteks

Evaluasi Konteks berkaitan dengan apakah sebuah program/kebijakan telah mencakup focus, tujuan dan sasaran untuk meningkatkan sumber pangan, pendapatan dan tenaga kerja. Data agregat dan informasi yang dikumpulkan menjadi dasar untuk keputusan program/kebijakan berikutnya. Oleh karena itu, evaluasi konteks meliputi: kebijakan, lingkungan, dan penilaian kebutuhan.

b. Evaluasi Input

Evaluasi input melibatkan pemeriksaan input berkaitan dengan menentukan sumber daya dan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran. Selain itu, tujuan evaluasi input harus mendukung pemilihan sumber daya. Meliputi input fisik (luas sawah, tenaga kerja, jumlah armada) dan kebijakan subsidi untuk bantuan sarana produksi.

c. Evaluasi Proses

Evaluasi Proses berkaitan dengan pelaksanaan dari program/kebijakan yang sedang dilakukan. Berdasarkan hasil uji coba atau evaluasi, perlu untuk melakukan evaluasi proses untuk menggambarkan kebutuhan petani dan nelayan untuk merekonstruksi program. Jadi mereka sebagai penerima manfaat program turut

Inisiasi dan Membangun struktur Kebijakan Operasional Kebijakan Context Evaluation: Agriculture & Fisheries sectors sbg sumber: (1) Pangan, (2)Pendapatan, (3) Tenaga kerja. Input Evaluation:

input fisik (luas sawah, tenaga kerja dan armada). Input kebijakan subsidi petani subsidi nelayan bantuansarana produksi. Process Evaluation: Berupa aliran kebijakan dari APBD melalui dinas dan program-program pembangunan. Product Evaluation: Berupa peningkatan efisiensi pada sector pertanian dan perikanan (dari hasil DEA dan CII)

55 serta dilibatkan didalam menentukan apa saja sebetulnya kebutuhan yang mereka harapkan dari aktivitas ekonomi yang mereka lakukan. Tujuannya ialah untuk: (1) meramalkan kesalahan desain kebijakan; (2) memberikan informasi bagi keputusan; dan (3) menjamin prosedur rencana berjalan dengan baik.

Dengan menggunakan proses evaluasi, dapat memberikan umpan balik (feedback) kepada program yang telah dijalankan. Bagi pemerintah selaku pelaku pembuat kebijakan dapat memahami rencana awal, menemukan proses, melacak perubahan rencana, dan menyediakan bahan untuk menjamin efisiensi suatu program/kebijakan. Sehingga, cara untuk mengumpulkan data evaluasi merupakan langkah yang penting dilakukan. Hal ini termasuk penggunaan ukuran/parameter berupa aliran kebijakan dari APBD melalui dinas dan program-program pembangunan, seperti misalnya: Meningkatnya ketersediaan pupuk bersubsidi bagi petani; tercapainya harga gabah petani paling rencdah sesuai HPP; meningkatnya pencapaian produksi, produktivitas lahan dan mutu hasil pertanian dan meningkatnya taraf kesejahteraan.

d. Evaluasi Produk

Evaluasi produk adalah penilaian hasil dari program/kebijakan yang telah dilakukan, berupa peningkatan efisiensi pada sektor pertanian dan perikanan. Pada evaluasi ini perlu mengacu pada hasil kalkulasi secara cermat yang dilakukan oleh para pengambil kebijakan. Misalnya dalam konteks ini ialah, mengacu pada hasil kalkukasi dari Data Envelopment Analysis dalam mengetahui seberapa besar peluang efisiensi yang dapat ditingkatkan, atau sebaliknya berapa persen tingkat input maupun output yang dapat dikurangi agar dapat memperoleh tingkat efisiensi yang tinggi.

Potensi perbaikan keragaan ekonomi di sektor pertanian dan sektor perikanan seperti analisis yang telah dibahas sebelumnya, dapat diketahui bahwa pada sektor pertanian, kinerja output pertanian dapat diperbaiki sebesar 8.75 persen dari kondisi riil sedangkan kinerja output perikanan dapat diperbaiki hingga 9,5 persen dari kondisi riil. Sedangkan, kinerja input tenaga kerja perikanan dapat dikurangi sebesar 35 persen dari kondisi riil sedangkan kinerja input tenaga kerja sektor pertanian bisa dikurang hingga 27 persen dari kondisi riil. Sedangkan input

56

luas panen pertanian bisa dikurangi sebesar 8 persen dari kondisi riil dan input jumlah armada bisa dikurangi 9 persen dari jumlah riil (Tabel 10).

Kebijakan/program yang dapat dilakukan ialah Pengelolaan Pupuk Bersubsidi dan Gabah; memberikan subsidi bahan bakar bagi nelayan, memberikan kredit usaha mikro bagi Ibu-ibu nelayan, meningkatkan nilai tambah produk hasil dari pertanian maupun perikanan melalui pengembangan produk-produk olahan maupun pengemasan produk dari pertanian dan perikanan.

Selanjutnya, dari Model General Framework Analysis yang telah dibangun sebelumnya, langkah selanjutnya ialah membuat sejumlah daftar pertanyaan yang menghubungkan antara kebutuhan petani dan nelayan dengan feedback yang diharapkan oleh pemerintah (pembuat kebijakan). Model ini penulis adopsi dari Tseng, et.al., 2010.

Tabel 11 Matrix of CIPP representative questions pada sektor pertanian dan perikanan di Jawa Barat

CIPP Representative Questions:

Context Evaluation Jika kebijakan subsidi bagi petani dan nelayan (missal: bibit, benih, pupuk, armada kapal, sarana produksi) akan ditawarkan?

Berpakah populasi petani/nelayan yang akan dilayani?

Bisnis apakah dan atau berapakah populasi industry yg akan dilayani?

Konten apa yg akan dimasukkan dalam kebijakan?

Tujuan apa yang harus dimiliki?

Tujuan apa yang akan digunakan?

Input Evaluation Program kebijakan apa yg mugkin paling berguna bagi petani/nelayan?

Program apa yang paling dapat diterima bagi petani/nelayan?

Apakah instruksi pimpinan menjadi yang terbaik dilaksanakan?

Apa ada dampak relatif dari masukan kebijakan yg berbeda terhadap kesejahteraan petani/nelayana?

Process Evaluation Seberapa baik petani/nelayan mampu melakukan program kebijakan ?

Bagaimana kualitas personil tim pelaksana teknis di dinas pertanian/perikanan mendapatkan dukungan?

Berapa besarnya anggaran yang dibutuhkan dalam operasional?

Sejauh ini apakah petani/nelayan merasa puas dengan instruksi mereka?

Product Evaluation Seberapa sejahtera petani/nelayan dg kebijakan tsb?

Bagaimana respons petani/nelayan thd program/kebijakan tsb?

Bagaimana respons masyarakat luas thd kebijakan/program tsb?

Sumber: Diadopsi Tseng, et.al, 2010

Specific Framework CIPP Model Analysis

Pada bagian ini merupakan kebijakan spesific framework analisis dari CIPP model yg merupakan turunan dari general framework analysis CIPP Model, dibagi

57 kedalam dua sektor yang merupakan basis sumber daya alam di Jawa Barat yaitu sektor perikanan dan pertanian

Berdasarkan hasil analisis CIPP sektor pertanian dapat dijelaskan bahwa context evaluation yang telah dilaksanakan pada sektor pertanian meliputi:

1. Mempertahankan produksi padi yang telah mencapai 11,27 ton pada tahun 2012 dengan produktivitas 6,01 ton/hektar.

2. Meningkat jumlah traktor dengan target 5.000 traktor dari ketersedian traktor pada tahun 2013 sebanyak 2.373 traktor.

3. Mempertahankan jumlah petani yang telah terlayani, dimana pada tahun 2012 jumlah petani Jawa Barat mencapai 2.373 kelompok tani.

4. Meningkatkan jumlah penyuluh pertanian dan penyuluh POPT, dimana pada tahun 2014 penyuluh pertanian telah terdata sebanyak 5523 orang dan petugas POPT sebanyak 849 orang.

5. Meningkatkan kualitas dan kuantitas bantuan JITUT (Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani) dan JIDES (Jaringan Irigasi Desa)

Adapun input evaluation mengenai kebijakan pembangunan pertanian yang utama adalah peningkatan kesejateraan petani. Program yang paling utama untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah dengan meningkatkan bantuan pemberian teknologi dan pengetahun kepada para petani seperti pemberian Sarana Produksi Pertanian (SAPROTAN) dan penerapan teknologi baru untuk meningkatkan produksi padi khususnya peningkatan produktivitas.

Dua program utama diatas merupakan program unggulan yang dinilai terbaik yang dikeluarkan, karena melalui analisis DEA bahwa tahun 2011-2012 merupakan kondisi paling efisien untuk memanfaatkan suruh input pertanian meliputi: jumlah lahan baju sawah, jumlah petani, dan produksi padi dengan produktivitas optimum yang diusahkan pada tahun tersebut.

Dampak relatif yang terjadi dalam input program pertanian adalah meningkatkan ketidakstabilan Nilai Tukar Petani. Hal tersebut terjadi pada tahun

Dokumen terkait