• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Perkembangan Peran Sektoral dalam Transformasi Struktural

4.2.1. Struktur Permintaan dan Penawaran

4.2.1.2. Kontribusi Sektoral dalam Output Total

Pada bagian lain (Lampiran 13-15) dapat diamati pula kontribusi masing-masing sektor terhadap output total, dimana output total merupakan penjumlahan total permintaan antara dan total permintaan akhir (final demand). Secara keseluruhan sektor “bangunan (52)” memberikan kontribusi terbesar dan cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu dalam kisaran 8 hingga 12 persen, diikuti sektor “perdagangan (53)” dengan kontribusi yang relatif konstan pada kisaran 8 hingga 9 persen. Kontribusi sektor “bangunan (52)” yang tinggi

dalam pembentukan output total sangat terkait dengan tingginya nilai investasi yang biasa ditanamkan dalam pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari pembentukan modal tetap bruto sektor-sektor produksi.

Sektor “pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25)” merupakan sektor primer yang mempunyai peranan terbesar pada pembentukan output total bahkan dengan kontribusi lebih dari 10 persen pada era tahun 80-an. Kontribusi sektor ini terus menurun seiring menipisnya cadangan minyak, berbeda dengan dua sektor pertambangan lainnya; “pertambangan batubara dan biji logam (24)” dan “pertambangan dan penggalian lainnya (26)” yang cenderung meningkat seiring eksplorasi temuan sumber-sumber mineral baru. Sektor-sektor primer lain kontribusinya cenderung terus menurun, kecuali sektor “sayur dan buah (5)”, “kelapa sawit (10)” dan “perikanan (23)”. Peningkatan kontribusi sektor-sektor ini merupakan indikasi semakin pentingnya agroindustri (Firdaus, 1998).

Selain sektor “bangunan (52)”, pada sektor sekunder terlihat beberapa sektor yang memiliki kontribusi relatif besar dan stabil seperti sektor “industri

penggilingan padi (29)”, sektor “industri tekstil, pakaian dan kulit (36)”, sektor

“pengilangan minyak bumi (41)” dan sektor “industri mesin dan alat perlengkapan listrik (48)”. Sedangkan sektor “industri kimia (40)” memiliki kontribusi yang

terus meningkat. Sektor-sektor sekunder yang memiliki output relatif besar merupakan sektor yang memanfaatkan output sektor primer sebagai input pada proses produksinya. Sektor-sektor tersebut juga merupakan penghasil barang-barang konsumsi akhir yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi permintaan akhir domestik. Strategi industrialisasi yang bertujuan mengurangi impor barang konsumsi (substitusi impor) menjadi salah satu faktor penyebab tingginya output sektor-sektor sekunder (Kuncoro 2007).

Sektor “perdagangan (53)” masih mendominasi kontribusi sektor-sektor

tersier diikuti sektor “hotel dan restoran (54)” yang relatif stabil. Kontribusi

sektor-sektor tersier yang lain relatif merata dengan fluktuasi yang sangat kecil antar periode pengamatan. Perubahan peringkat pangsa output sektoral sebagaimana terlihat pada Lampiran 58-60 menunjukkan kecenderungan menurunnya peran sektor primer dan semakin meningkatnya peranan sektor tersier. Sementara peranan sektor sekunder mengalami pasang surut, bahkan cenderung menurun yang mengindikasikan adanya proses deindustrialisasi.

Peranan sektor tersier dalam perekonomian akan semakin meningkat seiring kemajuan perekonomian suatu negara, namun kekuatan sektor primer menjadi landasan memuluskan proses industrialisasi. Fakta empiris menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun dapat mencapai fase ekonomi maju (developed countries) tanpa diawali fase tinggal landas (take-off) sektor pertanian, dan tidak ada satu negarapun dapat mencapai kemakmuran ekonomi jika masih didominasi oleh sektor pertanian.

4.2.1.3. Komposisi Permintaan Agregat

Sektor-sektor yang memiliki permintaan antara (intermediate demand) lebih besar daripada permintaan akhir (final demand) menunjukkan sektor tersebut berperan penting dalam transaksi produksi, artinya keluaran (output) sektor tersebut dominan digunakan oleh sektor lainnya sebagai input dalam proses produksi lanjutan. Sebaliknya sektor yang memiliki permintaan akhir lebih besar

41

daripada permintaan antara menunjukkan output sektor tersebut lebih dominan dikonsumsi secara langsung.

Tabel pada Lampiran 16 memperlihatkan bahwa sebagian besar sektor primer lebih didominasi oleh permintaan antara daripada permintaan akhir. Keragaan ini menunjukkan adanya proses produksi lanjutan output sektor primer. Sektor dengan kecenderungan permintaan antara yang terus meningkat antara lain

sektor “jagung (3)”, “sayur dan buah (5)”, “tanaman perkebunan lain (16)” dan “pemotongan hewan (19)”. Hal ini seiring dengan berkembangnya industri yang mengolah hasil pertanian dan mengindikasikan semakin pentingnya peran agroindustri dalam perekonomian.

Sebagian besar sektor sekunder menunjukkan komponen permintaan akhir yang lebih besar daripada permintaan antara, terutama sektor industri hilir. Sementara sektor industri hulu lebih didominasi permintaan antara. Hal ini dimungkinkan karena output sektor ini dimanfaatkan oleh sektor lain sebagai masukan (input). Sektor yang menunjukkan kecenderungan komposisi permintaan akhir yang terus meningkat adalah sektor “industri minuman (33)”, “industri rokok (34)” dan “industri tekstil, pakaian dan kulit (36)”. Peningkatan ini disebabkan oleh naiknya kontribusi permintaan ekspor yang menunjukkan semakin pentingnya peran sektor ini dalam perekonomian. Dapat dilihat bahwa tidak terdapat sektor yang menunjukkan peningkatan komposisi permintaan akhir secara terus menerus, karena output sektor ini banyak digunakan sektor lain sebagai input (Lampiran 17).

Sebagian besar output sektor tersier merupakan permintaan akhir dan tidak banyak yang menjadi input bagi sektor lain. Namun demikian pangsa permintaan antara cenderung terus meningkat kecuali sektor “angkutan kereta api (55)” dan “komunikasi (60)” sebagaimana terlihat pada Lampiran 18. Permintaan antara yang semakin meningkat memperlihatkan peranan sektor tersier dalam pembentukan output sektor lain semakin besar sekaligus mengindikasikan bahwa perekonomian mulai memasuki fase ekonomi maju (developed countries). Perkembangan teknologi komunikasi dan moda transportasi meningkatkan peranan sektor ini dalam memenuhi permintaan akhir domestik yang meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk.

Selanjutnya dapat diamati komposisi permintaan akhir masing-masing sektor. Komposisi permintaan akhir secara umum lebih banyak didominasi oleh konsumsi domestik daripada permintaan ekspor. Pada sektor primer sebagaimana terlihat pada Lampiran 19 sampai dengan tahun 2008 hanya sektor “kopi (12)” dan “tanaman perkebunan lain (16)” yang memiliki pangsa permintaan ekspor lebih besar daripada permintaan domestik. Pada awal periode pengamatan terdapat beberapa sektor yang memiliki pangsa ekspor cukup besar namun terus berkurang dari waktu kewaktu. Upaya mengurangi ekspor bahan mentah, terutama produk pertanian tercermin pada menurunnya pangsa ekspor produk sektor primer. Hal ini juga mengindikasikan meningkatnya peran agroindustri dalam perekonomian.

“Industri minyak dan lemak (28)” dan “industri logam dasar bukan besi (46)” merupakan sektor sekunder yang lebih didominasi permintaan ekspor sebagai akibat kelebihan produksi yang tidak terserap oleh permintaan domestik, sedangkan sebagian besar sektor sekunder yang lain lebih banyak memenuhi permintaan domestik. Hal ini terlihat pada Lampiran 20 dengan kecenderungan permintaan ekspor yang terus meningkat kecuali sektor “industri makanan lain (32)” dan “industri barang karet dan plastik (42)”. Permintaan ekspor sektor 32 yang terus menurun lebih disebabkan oleh meningkatnya konsumsi akhir produk tersebut, sedangkan penurunan ekspor sektor 42 lebih disebabkan oleh meningkatnya permintaan terhadap output sektor tersebut yang berasal dari sektor lain yang menjadikannya sebagai input dalam proses produksi lanjutan.

Pada Lampiran 21 terlihat bahwa pangsa ekspor sektor tersier masih relatif kecil, dominasi permintaan domestik masih sangat tinggi. Volume ekspor jasa masih jauh lebih kecil dibandingkan ekspor barang, hal ini lebih disebabkan karena masih rendahnya daya saing sektor jasa di pasar internasional. Tingginya permintaan domestik beberapa sektor tersier bahkan masih harus dipenuhi oleh penyediaan yang berasal dari impor. Pangsa ekspor sektor “angkutan air (57)”

yang mencapai 80 persen pada tahun 1971 terus menurun hingga tinggal 30 persen pada tahun 2008. Penurunan ini mungkin disebabkan perkembangan moda

43

Penawaran agregat (agregat supply) dalam sistem perekonomian terbuka dapat dibagi menjadi dua sumber yaitu penawaran yang berasal dari produksi domestik dan impor. Sisi penawaran (supply) sektor primer masih dapat dipenuhi

oleh produksi domestik. Sektor “tanaman bahan makanan lain (6)” dan “hasil tanaman serat (15)” merupakan sektor yang masih sangat didominasi impor

dengan pangsa diatas 90 persen. “Tanaman kacang-kacangan (2)” dan “pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25)” memiliki kecenderungan impor

yang terus meningkat (Lampiran 22). Masih tingginya impor sektor primer mengindikasikan rendahnya produktifitas sektor primer sehingga tidak mampu memenuhi permintaan domestik. Permintaan tersebut bahkan digunakan sebagai input antara oleh beberapa sektor produksi sehingga biaya produksi sangat dipengaruhi oleh nilai tukar (kurs) mata uang rupiah. Krisis ekonomi yang berdampak pada penurunan nilai tukar rupiah akhirnya membuat biaya produksi menjadi meningkat dan berimbas pada peningkatan harga output. Inflasi menjadi tidak terkendali ketika harga barang-barang konsumsi sangat dipengaruhi oleh import content dalam proses produksinya.

Pangsa impor sektor sekunder rata-rata dibawah 40 persen kecuali sektor

“industri dasar, besi dan baja (45)” yang masih diatas 60 persen. Impor sektor sekunder cenderung menurun kecuali sektor “industri pengilangan minyak (41)”

yang meningkat dari 4,62 persen pada tahun 1971 menjadi 28,31 persen pada tahun 2008. Meningkatnya impor sektor “industri pengilangan minyak (41)”

disebabkan oleh semakin tingginya permintaan bahan bakar minyak (BBM) yang tidak mampu dipenuhi oleh produksi domestik. Output produksi sektor pertambangan yang relatif besar tidak seluruhnya dapat diolah menjadi produk turunan oleh sektor produksi domestik, sementara kebutuhan akan BBM terus mengalami peningkatan (Lampiran 23).

Pangsa impor sektor tersier relatif kecil yaitu dibawah 30 persen, supply masih dipenuhi oleh produksi domestik. Rincian pangsa impor menurut sektor terlihat pada Lampiran 24.

4.2.2. Analisis Struktur Produk Domestik Bruto dan Pangsa Tenaga Kerja Tabel IO merupakan suatu sistem perekonomian yang seimbang sehingga nilai tambah bruto (value added) yang tercipta dapat dilihat dari sisi pendapatan

(income approach) maupun sisi pengeluaran (expenditure approach). Penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pendapatan dapat di dekomposisi menjadi beberapa komponen nilai tambah, antara lain upah/gaji, surplus usaha, penyusutan, pajak tak langsung dan subsidi. Dari Tabel 4.2 dapat dilihat struktur PDB (gross domestic product) menurut balas jasa faktor produksi berdasarkan Tabel IO Indonesia.

Tabel 4.2. Struktur PDB menurut Pendapatan

Balas Jasa Struktur PDB (%)

1971 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2008 Upah/gaji 29,54 24,89 24,14 27,73 27,42 30,51 29,87 30,67 30,58 Surplus Usaha 62,02 68,12 71,22 63,83 60,74 56,78 57,09 57,58 58,80 Penyusutan 5,33 4,97 5,42 6,36 7,41 8,12 8,16 10,14 9,90 Pajak Tak Langsung 3,11 2,02 2,31 2,90 4,98 4,60 5,12 3,90 4,56 Subsidi - - (3,08) (0,83) (0,55) (0,01) (0,25) (2,29) (3,84)

Komponen upah/gaji tidak banyak berubah sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 2008 dengan pangsa berkisar pada angka 30 persen, sedangkan komponen surplus usaha yang cenderung meningkat pada periode 1971-1980 mengalami penurunan pada periode selanjutnya hingga mencapai 58,80 persen pada tahun 2008. Pangsa surplus usaha yang mencapai dua kali lipat dari komponen upah/gaji memperlihatkan bahwa balas jasa atas faktor produksi yang diterima oleh rumah tangga sebagai pekerja relatif kecil dibanding balas jasa yang diterima pengusaha. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan pendapatan di masyarakat. Jika surplus usaha digunakan untuk investasi maka diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan pendapatan. Disisi lain terlihat beban subsidi terjadi sejak tahun 1980 pada kisaran 3 persen dan terus dikurangi sampai tahun 1985 tetapi kembali meningkat hingga hampir mencapai angka 4 persen pada tahun 2008.

Struktur PDB menurut pengeluaran sebagaimana terlihat pada Tabel 4.3 terdiri atas komponen konsumsi swasta (C), pengeluaran pemerintah (G), investasi (I) dan ekspor netto (NX). Komponen investasi dalam Tabel IO terdiri

45

atas pembentukan modal tetap bruto (303) dan perubahan stok (304), sedangkan ekspor netto adalah selisih antara total ekspor (305+306) dan total impor (409). Konsumsi swasta (C) masih menjadi komponen utama yang membentuk PDB sampai dengan tahun 2008 dengan kontribusi 61,52 persen. Meskipun tren nya terlihat menurun sepanjang periode pengamatan namun angkanya masih relatif tinggi dan mengindikasikan struktur perekonomian yang kurang baik.

Tabel 4.3. Struktur PDB menurut Pengeluaran

Pengeluaran Struktur PDB (%) 1971 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2008 C 74,41 62,68 52,96 58,58 59,76 67,19 62,70 62,07 61,52 G 7,57 9,93 10,65 11,67 8,97 6,67 6,64 7,82 8,03 I 23,55 22,03 24,61 23,30 31,18 28,31 21,33 25,35 29,05 NX (5,53) 5,36 11,78 6,44 0,09 (2,16) 9,33 4,76 1,40

Kecenderungan meningkatnya pangsa investasi (I) memberikan sinyal positf kearah perekonomian yang lebih berkualitas. Komponen ekspor bersih (NX) bernilai positif kecuali pada tahun 1971 dan 1995 yang berarti bahwa nilai ekspor masih lebih besar dibanding nilai impor. Ekspor bersih tertinggi terjadi pada tahun 1980 yang merupakan era bom minyak, selanjutnya angka NX tidak pernah lagi mencapai 10 persen.

PDB juga dapat dirinci menurut lapangan usaha/sektoral untuk melihat peran sektoral dalam perekonomian, seperti terlihat pada Tabel 4.4. Struktur nilai tambah bruto menurut lapangan usaha memperlihatkan terjadinya transformasi struktural yang ditandai oleh kecenderungan menurunnya peranan sektor primer diiringi peningkatan peran sektor sekunder. Pada tahun 1971 kontribusi sektor primer sebesar 37,35 persen dan sektor sekunder 21,19 persen. Tahun 2008 kontribusi sektor primer menjadi 26,88 persen sedangkan sektor sekunder 36,75 persen. Kontribusi sektor tersier terlihat lebih fluktuatif pada kisaran 35-40 persen. Kontribusi sektor primer pada pembentukan nilai tambah bruto lebih didominasi sektor-sektor usaha pertambangan dan penggalian (24, 25 dan 26) sementara sektor pertanian secara luas (1-23) masing-masing hanya memiliki kontribusi dibawah 3 persen.

Tabel 4.4. Struktur PDB menurut Lapangan Usaha

Sektor

Struktur PDB menurut Lapangan Usaha (%)

1971 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2008 Primer 37,35 44,90 49,09 37,03 32,42 25,14 28,89 24,64 26,88 (1) 30,09 26,32 23,36 22,11 20,08 17,47 16,62 13,62 15,82 (2) 7,26 18,58 25,73 14,92 12,34 7,68 12,27 11,02 11,06 Sekunder 21,19 19,25 17,39 23,21 26,98 31,40 33,69 35,22 36,75 (3) 15,67 13,36 11,57 16,43 20,58 23,65 27,47 27,10 27,17 (4) 0,94 0,61 0,48 0,41 0,72 1,08 0,61 0,94 0,89 (5) 4,58 5,27 5,34 6,37 5,68 6,67 5,60 7,19 8,69 Tersier 41,45 35,85 33,52 39,76 40,61 43,45 37,42 40,14 36,37 (6) 19,28 14,89 13,94 14,77 15,76 15,54 14,72 15,06 13,20 (7) 7,69 5,62 4,57 5,89 6,43 6,94 4,76 6,76 6,47 (8) 3,81 4,44 4,87 6,56 7,89 11,69 8,45 8,32 7,41 (9) 10,67 10,90 10,13 12,55 10,52 9,30 9,50 10,00 9,29

Peranan sektor-sektor primer dalam pembentukan nilai tambah bruto

memiliki kecenderungan yang terus menurun, kecuali sektor “pertambangan batubara dan biji logam (24)” yang kontribusinya terus meningkat. Pemberlakuan Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang memberi keleluasan pada pemerintah daerah dalam mengeksplorasi mineral dan batubara sejalan dengan era otonomi daerah mengakibatkan produksi sektor ini terus meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 25.

Kontribusi sektor sekunder dalam pembentukan nilai tambah bruto seperti terlihat pada Lampiran 26 dari tahun ke tahun cenderung meningkat kecuali sektor

“industri tepung (30)” dan “industri gula (31)” yang cenderung turun. Kontribusi terbesar dimiliki oleh sektor “bangunan (52)” yang cenderung meningkat dari

4,58 persen pada tahun 1971 menjadi 8,69 persen pada tahun 2008. Sektor lain

yang terlihat meningkat secara signifikan adalah sektor “pengilangan minyak

bumi (41)”. Penurunan produktifitas pabrik gula yang usianya relatif sudah tua mengakibatkan inefisiensi industri gula (Mardianto, et. al. 2005) sementara industri tepung tidak didukung oleh ketersediaan bahan baku utama seperti gandum (Deptan 2008). Peningkatan nilai tambah bruto sektor “bangunan (52)”

lebih disebabkan oleh pengeluaran pemerintah melalui desentralisasi fiskal yang mengiringi otonomisasi (Ruky 2008).

47

Kontribusi sektor “perdagangan (53)” merupakan yang terbesar disektor tersier namun peranannya perlahan-lahan terus menurun dari 17,65 persen pada tahun 1971 hingga menjadi 10,27 persen pada tahun 2008. Hal ini diperlihatkan oleh Lampiran 27. Sektor-sektor tersier lain terlihat berfluktuasi pada kisaran angka dibawah 4 persen. Sektor “jasa sosial kemasyarakatan (64)”

memperlihatkan tren positif seiring peningkatan kebutuhan masyarakat akan jasa sosial kemasyarakatan dan mengindikasikan pergeseran pola konsumsi akibat adanya peningkatan pendapatan.

49,09 21,19 19,25 17,39 23,21 26,98 37,35 44,90 37,03 32,42 25,14 28,89 24,64 26,88 31,40 33,69 35,22 36,75 41,45 35,85 33,52 39,76 40,61 43,45 37,42 40,14 36,37 0 10 20 30 40 50 1971 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2008

primer sekunder tersier

Gambar 4.1. Struktur PDB

Struktur PDB menurut lapangan usaha memperlihatkan terjadinya transformasi struktural yang ditandai oleh kecenderungan menurunnya peranan sektor primer diiringi peningkatan peran sektor skunder (Gambar 4.1). Berbeda dengan struktur PDB menurut lapangan usaha yang memperlihatkan terjadinya transformasi struktural, perubahan pangsa tenaga kerja tidak berjalan seiring (Gambar 4.2). 64,4 61,3 57,2 56,8 56,6 48,1 45,3 45,5 45,4 13 14,9 16,9 16,7 16,8 27,4 28,3 30,5 30,6 30,4 37 37,8 37,8 37,8 8,2 10,4 12,3 12,6 0 20 40 60 1971 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2008

primer sekunder tersier

Pada tahun 1971 tenaga kerja sektor primer sebesar 64,4 persen dan sektor sekunder 8,2 persen. Tahun 2008 tenaga kerja di sektor primer menjadi 45,4 persen sedangkan sektor sekunder 16,8 persen. Tenaga kerja sektor tersier meningkat dari 27,4 persen pada tahun 1971 menjadi 37,8 persen tahun 2008. Pergeseran peran sektor primer oleh sektor sekunder tidak mampu menyerap kelebihan tenaga kerja dari sektor primer sehingga berdampak pada meningkatnya pengangguran (Hayashi, 2005).

4.2.3.. Analisis Pengganda

4.2.3.1. Analisis Pengganda Output

Peran suatu sektor dalam analisis input output dapat diukur dari besaran dampak pengganda (multiplier) dan koefisien keterkaitannya. Secara umum dari Tabel 4.5 terlihat bahwa besaran pengganda output (output multiplier) rata-rata seluruh sektor pada awalnya turun dari 1,66 pada tahun 1971 menjadi 1,60 pada tahun 1975 dan selanjutnya terus meningkat hingga akhirnya menjadi 1,87 pada tahun 2008 yang berarti peningkatan satu rupiah permintaan akhir akan menyebabkan peningkatan output total sebesar 1.870 rupiah (nilai output diukur dalam ribuan rupiah).

Tabel 4.5. Angka Pengganda Output Rata-rata

Sektor Angka Pengganda Output Terbuka

1971 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2008 Total 1,66 1,60 1,68 1,73 1,76 1,76 1,81 1,83 1,87

Primer 1,23 1,22 1,30 1,34 1,37 1,39 1,42 1,45 1,52

Sekunder 2,05 2,03 2,12 2,16 2,18 2,13 2,15 2,18 2,18

Tersier 1,72 1,51 1,57 1,64 1,70 1,74 1,92 1,90 1,94

Demikian pula halnya dengan angka pengganda output rata-rata sektor primer, pada tahun 1971 sebesar 1,23 persen turun menjadi 1,22 pada tahun 1975 dan selanjutnya terus meningkat hingga mencapai 1,52 pada tahun 2008. Pergerakan angka pengganda output rata-rata sektor tersier searah dengan angka pengganda output rata-rata sektor primer, berbeda dengan pergerakan angka pengganda output rata-rata sektor sekunder yang lebih berfluktuasi. Angka pengganda output rata-rata sektor sekunder selalu lebih tinggi dibanding sektor

49

primer, tersier maupun angka pengganda output rata-rata seluruh sektor, sedangkan angka pengganda output sektor primer adalah yang terkecil.

Angka-angka pengganda output sektor primer secara umum cenderung meningkat walaupun peningkatannya relatif kecil (Lampiran 28). Sampai dengan tahun 2008 hanya ada tiga sektor yang memiliki besaran angka pengganda output

lebih dari 2, yaitu sektor “tembakau (11)”, “pemotongan hewan (19)” dan “unggas

dan hasil-hasilnya (20)”. Sebagian besar angka pengganda output sektor-sektor sekunder sebagaimana terlihat pada Lampiran 29 bernilai lebih besar dari 2 dan hanya terdapat lima sektor yang bernilai kurang dari 2, antara lain adalah sektor

“pengilangan minyak bumi (41)”, “industri rokok (34)”, “industri semen (44)”, “industri barang mineral bukan logam (43)” dan “industri pupuk dan pestisida (39)”. Tiga sektor yang disebut terakhir bahkan juga nyaris mendekati nilai 2.

Angka-angka pengganda output sektor tersier relatif lebih besar daripada angka pengganda output sektor primer. Sampai dengan tahun 2008 sebagian besar

nilainya lebih dari 1,5 kecuali sektor “komunikasi (60)” yang hanya sebesar 1,39

atau menurun dari 1,80 pada tahun 1971 (Lampiran 30). 4.2.3.2. Analisis Pengganda Pendapatan

Pengganda pendapatan (income multiplier) dihitung dari data upah/gaji, yang menunjukkan besarnya peningkatan pendapatan rumah tangga sebagai akibat peningkatan permintaan akhir. Secara umum dari Tabel 4.6 terlihat bahwa besaran pengganda pendapatan rata-rata seluruh sektor pada awalnya turun dari 2,18 pada tahun 1971 menjadi 1,79 pada tahun 1975 dan kembali meningkat menjadi 1,92 pada tahun 1980. Selanjutnya menjadi 2,07 pada tahun 1985 dan cenderung konstan pada kisaran 1,99 sampai dengan tahun 2008 yang berarti peningkatan satu rupiah permintaan akhir akan menyebabkan peningkatan pendapatan total sebesar 1.990 rupiah (nilai diukur dalam ribuan rupiah).

Tabel 4.6. Angka Pengganda Pendapatan Rata-rata

Sektor Angka Pengganda Pendapatan

1971 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2008 Total 2,18 1,79 1,92 2,07 1,99 1,97 1,99 1,98 1,99

Primer 1,79 1,24 1,33 1,30 1,36 1,37 1,33 1,41 1,47

Sekunder 2,88 2,46 2,71 3,14 2,83 2,75 2,64 2,67 2,62

Pergerakan angka pengganda pendapatan disektor primer diawali penurunan pada tahun 1975 dan cenderung meningkat pada periode 1980-2008 dengan sedikit kontraksi pada 1985 dan 2000. Pergerakan angka pengganda pendapatan sektor sekunder dan tersier terlihat fluktuatif dengan kecenderungan yang sedikit berbeda. Sektor tersier cenderung meningkat, sementara sektor sekunder cenderung menurun tetapi nilai pengganda pendapatan sektor sekunder jauh lebih tinggi daripada sektor tersier.

Angka pengganda pendapatan sektor “pemotongan hewan (19)”

merupakan yang tertinggi disektor primer sejak tahun 1971 namun terus menurun sampai tahun 2008. sebagian besar angka pengganda pendapatan sektor-sektor primer bernilai kurang dari 1,5 (Lampiran 34). Angka pengganda pendapatan sektor-sektor sekunder relatif lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor primer maupun tersier dengan pergerakan yang fluktuatif seperti terlihat pada Lampiran 35. Sektor “industri penggilingan padi (29)” dan “industri dasar besi dan baja

(45)” bahkan memiliki nilai lebih dari 4 dan hanya ada empat sektor yang nilainya kurang dari 2 yaitu sektor “industri pupuk dan pestisida (39)”, “pengilangan minyak bumi (41)’, “industri barang mineral bukan logam (43)” dan “industri

barang logam (47)”.

Angka-angka pengganda pendapatan sektor-sektor tersier yang disajikan pada Lampiran 36 terlihat lebih moderat dengan kecenderungan meningkat selama

periode pengamatan, kecuali sektor “restoran dan hotel (54)” dan “komunikasi (60)” yang cenderung menurun. Nilai angka pengganda pendapatan sektor

“angkutan air (57)’ dan “angkutan udara (58)” merupakan yang terbesar. Angka pengganda pendapatan sektor tersier yang terlihat tinggi menjelaskan bahwa peningkatan pendapatan yang relatif besar akan terjadi seiring peningkatan permintaan akhir sektor tersebut. Peningkatan angka pengganda pendapatan akan lebih berdampak pada perekonomian ketika peningkatan tersebut terjadi pada sektor yang banyak menyerap tenaga kerja.

4.2.4. Analisis Ketergantungan Ekspor

Derajat ketergantungan ekspor menunjukkan proporsi produksi suatu sektor yang secara langsung maupun tidak langsung dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor, dengan kata lain indikator ini menunjukkan

51

keterkaitan suatu sektor dengan aktivitas ekspor. Semakin tinggi derajat ketergantungan ekspor suatu sektor berarti semakin besar ketergantungan ekspor terhadap sektor tersebut. Pada Lampiran 40 terlihat bahwa sektor “kelapa sawit (10)”, “kopi (12)”, “tanaman perkebunan lain (16)”, “pertambangan batubara (24)” dan “pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25)” adalah sektor-sektor primer yang memiliki derajat ketergantungan ekspor yang tinggi. Sektor “kelapa

sawit (10)” dan “kopi (12)” memiliki derajat ketergantungan ekspor yang

cenderung meningkat, sementara tiga sektor lainnya relatif konstan.

Meningkatnya luasan perkebunan kelapa sawit tidak sebanding dengan perkembangan industri yang mengolah hasil perkebunan tersebut sehingga menjadikan sektor ini sangat bergantung pada permintaan ekspor. Sektor

“pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25)” memang merupakan sumber

utama devisa negara sehingga ketergantungan ekspornya relatif tinggi, disamping itu juga disebabkan oleh tidak adanya industri pengolahan lanjutan dari hasil produksi sektor tersebut.

Derajat ketergantungan ekspor sebagian besar sektor-sektor sekunder cenderung mengalami peningkatan yang relatif kecil dan mengalami kontraksi pada periode setelah tahun 2000 seperti terlihat pada Lampiran 41. Namun demikian terdapat beberapa sektor yang mengalami peningkatan cukup signifikan yaitu sektor “industri minyak dan lemak (28)”, “industri pemintalan (35)” dan

“industri logam dasar bukan besi (46)”. Peningkatan yang terjadi lebih terlihat pada sektor-sektor sekunder yang memanfaatkan sektor primer sebagai input dalam proses produksinya. Sementara kontraksi yang terjadi setelah tahun 2000 pada beberapa sektor sekunder awalnya disebabkan oleh krisis ekonomi global. Daya beli beberapa negara tujuan ekspor Indonesia mengalami penurunan pasca krisis ekonomi. Selanjutnya era perdagangan bebas menuntut daya saing produk yang tinggi untuk dapat bertahan di pasar internasional.

Dibagian lain sebagaimana terlihat pada Lampiran 43-45 disajikan angka pengganda ekspor terhadap output. Angka pengganda ekspor terhadap output dapat mengukur dampak aktivitas ekspor dari suatu sektor terhadap peningkatan output bagi perekonomian secara keseluruhan. Angka pengganda ekspor terhadap

minyak, gas dan panas bumi (25)” merupakan yang terbesar di sektor primer akan

tetapi arah pergerakannya berbeda dimana sektor “pertambangan batubara dan biji

logam (24)” cenderung meningkat sedangkan sektor “pertambangan minyak, gas

dan panas bumi (25)” cenderung turun. Aktivitas ekspor sektor primer yang berdampak pada peningkatan output sangat bergantung pada sumberdaya alam tak terbarukan (un renewable resources) sehingga tidak menjamin keberlanjutannya sebagai mesin pertumbuhan.

Pada sektor sekunder, sektor “industri lemak dan minyak (28)” dan “pengilangan minyak bumi (41)” memiliki angka pengganda ekspor terhadap

output yang terbesar dengan kecenderungan meningkat, berbeda dengan sektor

Dokumen terkait