• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontroversi Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah Upaya mengkontekstualisasikan diri dengan budaya setempat bukanlah hal

Dalam dokumen T1 712013050 Full text (Halaman 32-35)

yang mudah untuk dilakukan, apalagi di dalam konteks kekristenan. Hal ini jugalah yang menjadi hambatan bagi GKPB Pniel Blimbingsari ketika mencoba mendekatkan diri dengan budaya Bali melalui penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah. Meskipun banyak jemaat dapat menerima usaha kontekstualisasi ini, namun nyatanya ada beberapa jemaat yang keberatan dengan adanya pendekatan budaya ini, khususnya penggunaan gamelan. Hal ini tentu saja menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pemimpin jemaat, karena biarpun rasa keberatan itu tidak disampaikan secara langsung, namun kekhawatiran akan adanya kubu-kubu yang memecah kebersamaan sangat meresahkan.58

Hal ini bermula dari pemikiran radikal para orang Kristen angkatan pertama dibawah asuhan missionaris Tsang To Hang. Dalam ajarannya, beliau mengatakan kepada orang Kristen angkatan pertama untuk meninggalkan dan memutuskan hubungan dengan adat istiadat Bali. Akan tetapi, doktrin yang salah tersebut malah membuat kesalahpahaman yang mendalam bagi orang Kristen pada waktu

56

Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.

57

Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA.

58

Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Perbekel (Kepala Desa) Blimbingsari sekaligus Jemaat di GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.

23

itu sehingga membuat pemikiran mereka menjadi sangat radikal. Mereka tidak hanya memutuskan hubungan, melainkan membenci segala hal yang berkaitan dengan agama Hindu. Mereka tidak segan-segan membongkar sanggah dan merusak tempat-tempat keramat yang dihormati sebagai tempat suci orang orang Hindu, sebagai bukti bahwa mereka telah bertobat. Pemikiran-pemikiran radikal semacam ini menjadikan orang Kristen sebagai persekutuan yang eksklusif dan terlepas dari masyarakat. Tidak hanya terlepas secara organisasi dari masyarakat, namun gaya hidup dan gaya berpakaian pun lebih mengikuti gaya berpakaian Eropa daripada mengenakan pakaian adat Bali. Segala jenis perhiasan yang bernuansa Bali juga ikut dibuang, karena menurut pemahaman mereka, menjadi Kristen adalah menjadi manusia baru. Jadi, memakai cara ataupun adat istiadat Bali menurut mereka adalah bertentangan dengan status yang baru, yaitu sebagai warga Kerajaan Allah.59

Pemahaman seperti inilah yang menjadi dasar penolakan jemaat angkatan pertama terhadap penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah di GKPB Pniel Blimbingsari. Tidak hanya penggunaan gamelan saja yang menjadi persoalan. Ketika GKPB Pniel Blimbingsari mencoba menggunakan hiasan-hiasan bernuansa Bali dalam suatu perayaan ataupun Hari Raya Gerejawi, maka penolakan itupun terjadi. Bahkan, arsitektur gereja yang bernuansa Bali juga ikut menjadi kritikan bagi beberapa orang-orang “tua” di GKPB Pniel Blimbingsari.60

Hal ini selaras dengan kenyataan bahwa ternyata kebanyakan dari orang-orang Kristen angkatan pertama ini adalah orang-orang yang tidak puas akan agama mereka terdahulu dan merasa menemukan jawaban dari permasalahan mereka di dalam Injil Kristus. Oleh karena itu, mereka sangat tidak suka jika orang Kristen memasukkan kebudayaan yang telah ditinggalkan itu ke dalam suatu ibadah di Gereja.61

Kontroversi seputar penggunaan gamelan sebagai alat musik pengiring ibadah tidak hanya terjadi dikalangan beberapa orang-orang “tua” di GKPB Pniel

59

Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Perbekel (Kepala Desa) Blimbingsari sekaligus Jemaat di GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.

60

Wawancara dengan Ibu Rai Miarti, Jemaat sekaligus Penabuh Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.

61

Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Perbekel (Kepala Desa) Blimbingsari sekaligus Jemaat di GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.

24

Blimbingsari, melainkan juga di kalangan generasi muda. Meskipun para generasi muda menerima penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah adalah dalam rangka upaya lebih mendekatkan diri dengan budaya Bali, tetapi tidak sedikit dari mereka juga yang mengaku kurang bisa menikmati musik gamelan itu sendiri.62 Hal ini dikarenakan melodi gamelan tidak sama dengan melodi musik kontemporer. Gamelan merupakan alat musik yang bernada pentatonik, di mana

notasi “fa” dan “si” tidak ada. Maka dari itu, lagu-lagu kidung jemaat yang bisa dimainkan dengan gamelan sangat terbatas. Tidak jarang ketika dilaksanakan ibadah kontekstual dengan menggunakan gamelan sebagai musik pengiring ibadah, lagu yang dinyanyikan selalu mengulang lagu yang sama dan ketika lagu lain dipaksakan untuk diiringi menggunakan gamelan, maka secara otomatis jemaat akan merasa bingung karena nadanya tidak sesuai.63

Selain merasa tidak mengerti dengan melodi gamelan, beberapa generasi muda yang telah terbiasa mendengarkan musik modern bernuansa Barat juga mengaku merasa jenuh karena lagu yang dimainkan dengan musik gamelan hanya mengulang lagu yang sama. Hal ini selain menimbulkan perasaan jenuh dan bosan sepanjang kegiatan ibadah, pada akhirnya membuat mereka kurang bisa menghayati makna dari ibadah tersebut.64 Oleh karena itu, para seniman Kristen telah berupaya mengaransemen ulang beberapa lagu di Kidung Jemaat dan menyesuaikan dengan nada pentatonik sehingga dapat dimainkan dengan gamelan, sehingga lagu yang dimainkan dalam setiap ibadah dapat lebih bervariasi.65

Meskipun banyak terdapat kontroversi seputar penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah dalam rangka gereja mengkontekstualisasikan diri dengan budaya yang ada, namun nyatanya hal tersebut tidak mengurangi makna ibadah bagi sebagian besar jemaat GKPB Pniel Blimbingsari. Tidak sedikit dari jemaat yang merasa lebih tenang dan merasa jalannya kegiatan ibadah menjadi lebih

62

Wawancara dengan Saudara I Putu Adi Suprayitno, Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 13.00 WITA.

63

Wawancara dengan Bapak I Ketut Wirta, Jemaat sekaligus Pelatih Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.

64

Wawancara dengan Saudara Decky Florentana, Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 13.30 WITA.

65

Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.

25

sakral ketika musik gamelan telah dikumandangkan. Hal ini menandakan bahwa sebuah kebudayaan dapat dijadikan sarana untuk mengekspresikan iman.

IV.GAMELAN DALAM TRADISI GEREJA KRISTEN PROTESTAN

Dalam dokumen T1 712013050 Full text (Halaman 32-35)

Dokumen terkait