• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 712013050 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1 712013050 Full text"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari

terhadap Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang

Teologi (S.Si.Teol)

Program Studi Teologi

Oleh:

Anggrayni Eka Putri Tresna Bunga 712013050

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala ungkapan syukur penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena melalui berkat dan kasih karunia-Nya yang melimpah, Tugas Akhir ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Campur tangan-Nya yang begitu besar telah nyata dalam penyertaannya di setiap langkah perjuangan penulis. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Pertama, terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Ayah, Ibu, dan Reyksi, untuk setiap doa, kepercayaan dan motivasi yang selalu menjadi penyemangat terbesar. Salam penuh cinta untuk kalian.

Kedua, terima kasih dan salam hormat kepada kedua dosen pembimbing, Bapak Dr. David Samiyono dan Bapak Pdt. Dr. Jacob Daan Engel, atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.

Ketiga, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada jemaat GKPB Pniel Blimbingsari yang sangat ramah dan membantu penulis dalam mencari data untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini. Kiranya Tuhan selalu menyertai kehidupan iman bapak dan ibu sekalian.

Keempat, terima kasih yang sebesar-besarnya untuk wali study, Bapak Dr.

Tony Tampake, yang telah menjadi orang tua yang selalu mengarahkan, membimbing, dan memperhatikan penulis ditanah perantauan selama masa perkuliahan ini.

Kelima, terima kasih dan hormat bagi seluruh dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, atas seluruh ilmu dan pengalaman yang telah dibagikan untuk membuka wawasan berpikir penulis selama proses perkuliahan. Terkhusus untuk Bapak Prof. Pdt. John A. Titaley dan Pdt. Yusak B. Setyawan, Ph.D, yang selalu menginspirasi saya dalam memaknai kehidupan.

(7)

vii

Ketujuh, salam penuh cinta kepada Vocal Group Lentera Kasih yang telah menjadi keluarga baru dalam mengembangkan potensi bermusik dan membuat masa-masa perkuliahan penulis menjadi lebih berwarna.

Kedelapan, salam penuh cinta untuk Neny Woza dan Beatrix yang selalu menemani dan memberikan semangat untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Kesembilan, salam penuh kasih untuk Edgar Funay yang selalu menemani, memberikan semangat dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Kiranya Tuhan memberkati setiap langkah perjalanan ini.

Kesepuluh, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Mohon maaf oleh karena keterbatasannya, penulis tidak dapat disebutkan satu persatu. Kiranya berkat Tuhan selalu melimpah.

Akhir kata penulis berharap agar Tugas Akhir ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pengetahuan bagi sivitas akademika dan pihak-pihak yang membutuhkan. Tuhan memberkati.

Salatiga, 12 September 2017

(8)

viii DAFTAR ISI

Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Pernyataan Tidak Plagiat ... iii

Pernyataan Persetujuan Akses ... iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi ... v

Kata Pengantar ... vi-vii Daftar Isi ... viii

Motto ... ix

Abstrak ... x

I. Pendahuluan Latar Belakang ... 1-4 Metode Penelitian ... 4-5 Sistematika Penulisan ... 5-6 II. Musik Tradisional sebagai Kebudayaan Kebudayaan ... 6-9 Unsur-unsur Kebudayaan ... 9 Fungsi Kebudayaan ... 10-11 Gamelan sebagai Musik Tradisional ... 11-13 Penggunaan Musik di Gereja ... 13-15 III. Gereja Kristen Protestan di Bali – di Blimbingsari

Letak Geografis dan Profil GKPB Pniel Blimbingsari ... 15-18 Penggunaan Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari ... 18-22 Kontroversi Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah ... 22-25 IV. Gamelan dalam Tradisi Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel”

Blimbingsari ... 25-35 V. Penutup

(9)

ix

MOTTO

DREAM

BELIEVE

SEE IT

(10)

x ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis pemahaman jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah. Gamelan merupakan alat musik tradisional masyarakat Bali yang seringkali digunakan dalam upacara sakral umat Hindu. Oleh karena itu, ketika gamelan digunakan di dalam ibadah Kristen dengan tujuan kontekstualisasi gereja dengan budaya setempat, terjadi kontroversi di kalangan jemaat GKPB Pniel Blimbingsari. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data diambil menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, seperti observasi dan wawancara. Data yang telah didapat kemudian dianalisa menggunakan teori kebudayaan dan musik tradisional. Pada akhirnya penulis menemukan bahwa gamelan merupakan salah satu sarana bagi GKPB Pniel Blimbingsari untuk mengakrabkan diri dengan masyarakat setempat. Melalui gamelan sebagai budaya Bali jemaat ingin mengungkapkan bahwa meskipun beragama Kristen, mereka bukanlah persekutuan yang eksklusif dan juga merupakan orang Bali yang menghargai budaya Bali. Alasan beberapa jemaat tidak setuju dengan penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah adalah karena sebagian jemaat yang dulunya berlatarbelakang agama Hindu beranggapan bahwa berani berkomitmen mengikut Kristus berarti harus meninggalkan kehidupan yang lama dan hidup baru bersama Kristus, termasuk meninggalkan budaya umat Hindu. Maka dari itu, GKPB Pniel Blimbingsari terus melakukan pendekatan dengan cara menggunakan gamelan secara berkala di ibadah-ibadah tertentu serta melakukan perkaderan terhadap generasi muda, sehingga jemaat semakin lama mulai menyadari bahwa orang Kristen juga harus bertumbuh bersama dengan masyarakat.

(11)

1

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Musik adalah ekspresi seni yang berpangkal pada tubuh. Musik terdiri atas suatu peredaran atau feedback atau arus balik dari menyembunyikan, mendengarkan, dan menyembunyikan kembali. Membuat musik sama artinya dengan berdialog dengan tubuh. Setiap manusia tentunya akan sadar, jika mereka sedang mempelajari suatu aliran musik tertentu, pastilah gerakan yang dilakukan saat itu bukanlah gerakan tubuhnya sehari-hari.1

Musik berfungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan ekspresi emosional, kenikmatan estetis, hiburan, komunikasi, representasi simbolis, respon fisik, memperkuat norma-norma sosial, pengesahan institusi-institusi sosial dan ritual, sumbangan pada pelestarian dan stabilitas kebudayaan, dan sumbangan pada integritas masyarakat. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa musik sangat berkaitan dengan kehidupan manusia sebagai sarana untuk mengekspresikan perasaan manusia, baik itu ekspresi sedih, senang, kecewa, bahagia, maka penyajian musik yang tepat dapat menyentuh emosional manusia.2

Melihat kenyataan bahwa musik tidak dapat lepas dari kehidupan manusia, maka tidak jarang musik juga dilibatkan dalam suatu kegiatan ibadah, dengan kata lain, pada saat ini musik merupakan bagian integral dalam kegiatan ibadah yang dilakukan oleh manusia, bahkan dalam tata ibadah gereja saat ini musik memainkan peranan yang sangat penting karena didalamnya musik juga merupakan suatu sarana yang dipakai untuk dapat mengekspresikan iman kepada Tuhan.

Dalam konteks budaya, musik dapat memiliki ciri khas, corak, dan warnanya tersendiri, tergantung kebutuhan sejarah dan lingkungan di mana musik itu hidup. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa musik itu bersifat kontekstual. Musik bukan saja merupakan suatu hal yang bersifat universal tetapi juga bersifat lokal karena terkait dengan konteksnya.3

1

Shin Nakagawa, Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), 42-43.

2

Alan P. Merriam, The Anthropology of Music (Northwestern: University Press, 1964), 222-226.

3

Aristarchus Sukarto, “Kontekstualisasi Musik Gerejawi: Suatu Pertimbangan Teologis

(12)

2

Demikian halnya dengan musik gereja, di mana pada saat ini beberapa gereja telah melakukan usaha kontekstualisasi musik gereja dengan budaya atau lingkungan setempat, meskipun hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan. Hal ini terjadi karena pada kenyataannya banyak gereja telah merasa nyaman menggunakan musik kontemporer sebagai musik pengiring ibadahnya, yang menyebabkan situasi di mana gereja dianggap kurang mengenal dan tidak mau berbaur dengan budaya yang ada. Ironisnya, ketika ada usaha dari gereja untuk mengkontekstualkan diri dengan budaya yang ada, contohnya dengan menggunakan musik tradisional sebagai musik pengiring ibadah, banyak anggota jemaat yang pada akhirnya kurang bisa menikmati dan menghayati ibadah, dikarenakan tidak terbiasa dengan iringan musik tradisional yang digunakan. Padahal, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa kontekstualisasi musik gereja itu dilakukan sebagai upaya mengkontekstualkan gereja itu sendiri, supaya gereja tidak menjadi bagian yang asing bagi lingkungannya.

Salah satu contoh usaha mengkontekstualisasikan musik tradisional dalam ibadah adalah dengan menggunakan iringan gamelan sebagai musik pengiring ibadah. Kontekstualisasi musik tradisional dengan menggunakan gamelan ini sebelumnya telah diteliti oleh Kurniawan, salah seorang mahasiswa Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, yang meneliti penggunaan gamelan dalam konteks GKJ (Gereja Kristen Jawa).

Usaha kontekstualisasi musik gereja ini juga dilakukan oleh jemaat GKPB (Gereja Kristen Protestan di Bali), yang terletak di sebuah desa kecil bernama Blimbingsari, di bagian barat Pulau Bali. Menjadi gereja yang berdiri ditengah mayoritas masyarakat dan kebudayaan Hindu, GKPB Pniel Blimbingsari juga memperlihatkan usahanya dalam mengkontekstualkan diri dengan kebudayaan setempat. Hal ini menjadi nyata ketika dalam kegiatan ibadahnya, gereja ini menggunakan alat musik tradisional, yaitu gamelan sebagai sarana pengiring ibadah.

(13)

3 spiritual keagamaan.4

Dalam seni ritual keagamaan, musik gamelan adalah bagian yang integral demi menciptakan aura mistis dalam ritual tersebut. Secara garis besar, ritual-ritual ini memiliki ciri-ciri khas tersendiri, yaitu diperlukan tempat pertunjukkan yang terpilih yang terkadang dianggap sakral. Diperlukan pemilihan hari serta saat yang terpilih yang biasanya juga dianggap sakral. Diperlukan pemain yang terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci atau yang telah membersihkan diri secara spiritual. Diperlukan seperangkat sesaji yang terkadang sangat banyak jenis dan macamnya. Terakhir, lebih mementingkan penampilan secara estetis dan memerlukan busana yang khas.5

Fungsi gamelan yang terakhir, yaitu sebagai sarana seni ritual keagamaan inilah yang masih sangat kental terlihat di lingkungan GKPB, khususnya di GKPB Pniel Blimbingsari, yaitu ibadah dilaksanakan dengan dipakainya gamelan sebagai musik pengiring jalannya ibadah, tetapi disesuaikan dengan konteks kekristenan.

Dalam perkembangannya, GKPB Pniel Blimbingsari berusaha untuk tetap mempertahankan budaya, agar budaya itu tidak lenyap diterpa arus modernisasi yang ada karena budaya juga merupakan suatu hal yang sangat berharga dan mencerminkan identitasnya sebagai umat Kristiani yang bersuku Bali. Upaya untuk tetap menjaga budaya Bali khususnya mempertahankan dan tetap menggunakan gamelan ini terlihat dari banyaknya anggota jemaat, mulai dari para generasi tua sampai anak-anak Sekolah Minggu, yang bisa memainkan gamelan tersebut. Bagi mereka yang menikmati jenis musik gamelan ini merasa bahwa ketika gamelan digunakan untuk mengiringi ibadah, maka hal itu mampu memberikan nuansa baru pada saat ibadah berlangsung.

Akan tetapi, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, upaya kontekstualisasi dalam hal musik gereja bukanlah merupakan hal yang mudah untuk dilakukan. Permasalahan mulai muncul ketika terjadi pro dan kontra diantara jemaat, dikarenakan tidak semua anggota jemaat bisa menerima jika jalannya ibadah diiringi oleh musik tradisional, yaitu gamelan itu sendiri.

4

I Wayan Senen, Perempuan Dalam Seni Pertunjukan di Bali (Yogyakarta: BP ISI, 2005), 96.

5

(14)

4

Fenomena ini tampak karena ada pengakuan dari beberapa jemaat di GKPB Pniel Blimbingsari yang lebih menyukai ibadah jika diiringi oleh musik populer yang bersifat kontemporer, yaitu musik yang muncul pada zaman ini, yang menjadi populer di kalangan masyarakat umum dan mudah untuk diterima serta dihayati. Beberapa jemaat ini menganggap penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah terkesan mistik karena gamelan sering digunakan dalam upacara sakral agama Hindu.6

Perbedaan pendapat ini jelas menjadi sebuah permasalahan yang serius di dalam gereja, karena pada akhirnya akan ada jemaat yang kurang bisa bahkan tidak bisa menghayati ibadah hanya karena merasa tidak nyaman dengan alunan musik tradisional yang digunakan, sehingga kegiatan ibadah tidak membawa pertumbuhan iman bagi jemaat. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian sehubungan dengan latar belakang ini adalah, “Bagaimana pemahaman jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan gamelan sebagai musik

pengiring ibadah?” dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan

menganalisis pemahaman jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah.

2. Metode Penelitian

Dalam penelitian kali ini, penulis melakukan jenis penelitian lapangan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan pengertian bahwa penelitian ini akan dilakukan dengan cara mendeskripsikan permasalahan yang ada untuk kemudian di analisa menggunakan beberapa teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode observasi, dan metode wawancara.

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit.7 Dalam penelitian yang dimaksud pengamatan tidak hanya sekedar melihat saja melainkan juga perlu keaktifan untuk meresapi, mencermati, memaknai dan akhirnya mencatat.

6

Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Jemaat sekaligus Perkebel (Kepala Desa) Blimbingsari, 28 Agustus 2016, 12.00 WITA.

7

(15)

5

Jadi, dalam metode observasi alat yang digunakan dapat berupa pedoman observasi, catatan, check list, maupun alat-alat perekam lainnya.8 Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teknik pengumpulan data dalam bentuk observasi langsung ke tempat penelitian untuk mengetahui secara langsung situasi dan kondisi di tempat penelitian.

Wawancara adalah proses tanya jawab secara tatap muka yang dilaksanakan oleh pewawancara dengan orang yang diwawancarai untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Namun perlu diingat bahwa wawancara bukan sekedar upaya tanya jawab untuk memperoleh informasi saja melainkan juga untuk memperoleh kesan langsung dari responden, memancing jawaban responden, menilai kebenaran jawaban yang diberikan.9 Penulis juga menggunakan teknik wawancara untuk mengetahui pemahaman jemaat terhadap permasalahan yang akan dianalisa di dalam penelitian ini. Adapun informan yang akan diwawancarai adalah pendeta, majelis, dan beberapa warga dewasa (warga SIDI) di GKPB Pniel Blimbingsari. Alasan penulis memilih GKPB Pniel Blimbingsari sebagai lokasi penelitian adalah karena gereja ini merupakan salah satu gereja yang masih menggunakan gamelan sebagai musik pengiring ibadah. Iringan gamelan biasanya digunakan dalam prosesi ibadah Minggu di minggu I, di mana ibadah tersebut menggunakan bahasa daerah, bahasa Bali. Selain itu, terdapat juga kontroversi karena berbagai alasan diantara jemaat akibat penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah.

3. Sistematika Penulisan

Penulis akan membagi tulisan ini ke dalam 5 bab, yakni sebagai berikut: Bagian satu adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian dua adalah landasan teori tentang musik tradisional dalam ibadah yang meliputi pemahaman tentang gamelan dan peran gamelan dalam ibadah. Selain itu akan disajikan juga teori tentang kebudayaan. Bagian tiga adalah temuan hasil penelitian di lapangan yang meliputi deskripsi dan pemahaman jemaat. Bagian

8

B. Sandjaja dan Albertus Heriyanto, Panduan Penelitian (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), 143.

9

(16)

6

empat adalah pembahasan dan analisa hasil penelitian di lapangan dengan teori kebudayaan dan musik tradisional. Bagian kelima adalah penutup yang meliputi kesimpulan berupa temuan yang di dapat melalui pengolahan data hasil penelitian dan saran kontribusi untuk penelitian selanjutnya.

II. MUSIK TRADISIONAL SEBAGAI KEBUDAYAAN

1. Kebudayaan

Kebudayaan merupakan fenomena yang menyangkut keseharian dari orang-orang yang menetap disuatu tempat. Ada banyak ahli dan teori yang mencoba mendeskripsikan apa itu kebudayaan. Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.10 Hal itu berarti hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya sedikit dari tindakan manusia dalam rangka kehidupan manusia yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar.11 Setiap jejak manusia dapat dijadikan kebudayaan. Jika lebih dikembangkan lagi seluruh ide, pemikiran yang timbul dari pemikiran manusia dapat menjadi karya dalam kehidupan ini dan dapat menunjuang kehidupan yang lebih baik pada manusia itu sendiri.12 Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari unsur-unsuk kebudayaan dikarenakan berbagai tindakan, baik yang menghasilkan suatu karya baru atau menggunakan karya yang lama.

Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Oleh karena itu, kebudayaan

dapat diartikan sebagai, “hal-hal yang bersangkutan dengan akal.” Ada pendapat lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi- itu.13 Melalui pengertian ini dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan wujud dari setiap rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola dan dijadikan sebagai sebuah identitas dalam kelompok-kelompok tertentu. Manusia dan

10

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1979), 193.

11

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 194.

12 Ridayani Simanjuntak, “Esensi Pendidikan Tarian Serampang Dua Belas,” dalam

Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan: Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal, ed. Bungsran Antonius Simanjuntak(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 168.

13

(17)

7

kebudayaan itu juga dapat dikatakan saling terkait satu sama lain. Tanpa manusia, kebudayaan itu tidak akan lahir, begitu juga tanpa kebudayaan manusia akan terlihat seperti mati.

J.J. Honigmann membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu ideas, activities, dan artifacts. Ketiga gejala kebudayaan ini selaras dengan pendirian Koentjaraningrat yang berpendapat bahwa ada tiga wujud kebudayaan. Wujud pertama yang selaras dengan ideas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud pertama juga sering dikatakan sebagai wujud ideal dari kebudayaan. Dalam hal yang pertama ingin menjelaskan bahwa ide maupun gagasan itu tidak dapat dilihat maupun diraba, namun harus diaplikasikan dan dituangkan dalam tulisan-tulisan yang berkualitas dan dijadikan buku-buku yang bermanfaat bagi masyarakat setempat maupun masyarakat luas. Ide-ide dan gagasan-gagasan ini pada akhirnya akan membentuk suatu sistem budaya atau cultural system, yang pada saat ini sering disebut dengan adat istiadat.14

Manusia merupakan homo socius atau makhluk yang selalu berkawan. Pola hidup demikian dapat membentuk sebuah relasi sosial yang menjadikan manusia hidup secara berkelompok.15 Akan tetapi, nyatanya pola hidup berkelompok tidak dapat sepenuhnya menjamin bahwa kehidupan manusia akan berjalan damai tanpa adanya kekacauan. Hal ini dikarenakan meskipun manusia merupakan homo socius, disatu sisi pada dasarnya manusia adalah makhluk yang rasional, penuh

perhitungan, berpusat pada diri sendiri (selfish), dan individualis.16 Sifat seperti ini seringkali menjadikan manusia sebagai makhluk yang selalu ingin bersaing dalam hal apapun dan pada akhirnya menjadi penyebab kekacauan di dalam sebuah kelompok masyarakat. Maka dari itu, diperlukan sebuah sistem, atau norma-norma, atau peraturan untuk mengatur pola hidup masyarakat yang pada saat ini tertuang dalam adat istiadat. Oleh karena itu, di dalam perbedaan sekalipun adat istiadat yang terbentuk dari ide-ide dan gagasan-gagasan, yang telah disepakati bersama di dalam masyarakat pada akhirnya akan mempersatukan

14

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 200-201.

15

Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan: Proses Realisasi Manusia

(Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 72.

16

(18)

8

segala perbedaan yang ada. Kesatuan ini pada akhirnya akan membentuk rasa aman dan damai yang sudah seharusnya dilestarikan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat setempat maupun masyarakat luas.

Wujud kedua adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kedua ini juga disebut dengan sistem sosial atau social system. Sistem sosial ini terdiri atas aktivitas-aktivitas manusia seperti berinteraksi, bersosialisasi, serta bergaul dengan manusia yang lain, menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan nilai-nilai yang telah disepakati dan adat tata kelakukan. Aktivitas manusia ini tidak abstrak, tetapi konkret, dapat dilihat dengan cara difoto, didokumentasikan, diobservasi.17 Proses terbentuknya suatu masyarakat adalah apabila ada sekelompok orang yang bermukim disatu wilayah, yang hidup bersama dan mendukung nilai-nilai, dan cara berlaku atau kebudayaan yang dimiliki bersama dalam hidup kelompok tersebut. Manusia yang hidup berkelompok atau masyarakat ini hidup bersama dengan menganut nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman bagi masyarakat bersangkutan, yang diabstraksikan dan dinamakan kebudayaan. Hal ini menandakan bahwa, masyarakat yaitu orang-orang yang hidup berkelompok, tidak pernah terpisah dari nilai-nilainya.18 Nilai-nilai kebudayaan inilah yang pada akhirnya membentuk suatu sistem sosial di dalam masyarakat. Sistem sosial inilah yang menjadi pedoman agar manusia bisa hidup berdampingan satu sama lain, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan relasi dengan sesamanya.

Wujud kebudayaan ketiga adalah kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ketiga ini disebut juga sebagai kebudayaan fisik dan tidak memerlukan banyak penjelasan, karena berupa keseluruhan dari hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya manusia itu sendiri.19 Kebudayaan fisik ini sangat mudah dijumpai disekitar kita, dalam rupa benda-benda yang memperlengkapi aktivitas manusia sehari-hari. Salah satu benda hasil karya manusia yang merupakan wujud fisik dari kebudayaan adalah alat-alat musik, misalnya gamelan.

17

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 201-202.

18

T. O. Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), xviii-xix.

19

(19)

9

Dalam kebudayaan Bali, gamelan merupakan wujud fisik yang digunakan sebagai musik pengiring berbagai macam kegiatan, terutama sebagai sarana spiritual untuk membangun suasana ibadah sehingga orang-orang dapat lebih menghayati jalannya ibadah tersebut.

Ketiga wujud kebudayaan yang terurai diatas, dalam kehidupan manusia berkaitan satu dengan yang lainnya. Kebudayaan ideal dan adat istiadat dapat mengatur dan memberikan arah kepada tindakan aktivitas manusia sehingga menghasilkan kebudayaan fisik yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang lama-kelamaan semakin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pola perbuatan dan cara berpikir manusia.20

2. Unsur-unsur Kebudayaan

Keseluruhan tindakan masyarakat luas yang berpola itu dapat diperinci ke dalam pranata-pranata yang khusus. Sejajar dengan hal tersebut suatu kebudayaan yang luas itu pun dapat pula diperinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus. Ada tujuh unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditemui pada semua bangsa di dunia ini. Ketujuh unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.21 Ketujuh unsur-unsur ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Misalnya saja dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan sarana penyalur kepercayaan, nilai, estetika, dan norma, termasuk seni dan religi, bahkan unsur-unsur lain pun dapat melebur di dalamnya. Keterkaitan ketujuh unsur-unsur-unsur-unsur ini dapat menjadi suatu tatanan yang mengatur pola hidup masyarakat yang multikultur.

3. Fungsi Kebudayaan

Kebudayaan memiliki fungsi yang sangat besar bagi kehidupan manusia dan masyarakat. Dikatakan demikian karena kebutuhan-kebutuhan masyarakat sebagian besar dipenuhi melalui kebudayaan yang bersumber dari pada masyarakat itu sendiri, meskipun seringkali hasil dari kebudayaan itu juga terbatas

20

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 202.

21

(20)

10

dalam memenuhi kebutuhan manusia. Maka dari itu, secara fungsional, keberadaan kebudayaan dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

Pertama, fungsi kebudayaan untuk melindungi diri terhadap alam, di mana hasil karya dari manusia, menimbulkan teknologi atau kebudayaan fisik yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan alamnya.22 Pemanfaatan kebudayaan yang baik dapat menjadikan manusia lebih bisa untuk menghadapi tantangan-tantangan alam di sekitarnya.

Kedua, fungsi kebudayaan untuk mengatur hubungan antar manusia. Khususnya dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan disebut sebagai suatu struktur normatif atau design for living, yaitu garis-garis atau petunjuk-petunjuk dalam hidup. Artinya kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang perilaku mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang.23 Garis-garis pokok atau petunjuk hidup ini diwujudkan dalam suatu sistem budaya atau adat istiadat yang telah disepakati bersama dalam suatu masyarakat tertentu. Nilai-nilai yang tertuang dalam adat istiadat inilah yang menjadi pedoman untuk mengatur hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat.

Ketiga, fungsi kebudayaan sebagai wadah segenap perasaan manusia. Apabila manusia sudah dapat mempertahankan diri dan menyesuaikan diri dengan alam, dan juga jikalau manusia telah mampu hidup dengan manusia lain dalam suasana damai, maka timbullah keinginan manusia untuk menciptakan sesuatu dalam menyatakan perasaan dan keinginannya kepada orang lain. Dalam menyatakan perasaan dan keinginannya, manusia mewujudkannya dalam suatu karya. Salah satu contohnya adalah kesenian yang dapat berwujud seni suara, seni musik, seni tari, seni lukis, seni ukir, dan lain sebagainya.24 Gamelan adalah salah satu hasil karya manusia yang berwujud karya seni musik, dengan kata lain gamelan merupakan wujud dari fungsi kebudayaan untuk menyatakan perasaan manusia melalui sebuah karya seni.

Setiap daerah dan setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan yang berberbeda-beda. Maka dari itu, nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri juga berbeda disatu tempat dengan tempat yang lainnya, tergantung dimana

22

Tri Widiarto, Pengantar Antropologi Budaya (Salatiga:Widya Sari Press, 2005), 41-42.

23

Widiarto, Pengantar Antropologi, 42-46.

24

(21)

11

kebudayaan itu tumbuh. Mentaati kebudayaan, melestarikan kebudayaan, dan pemanfaatan kebudayaan dengan cara bijak sudah seharusnya dilakukan oleh kelompok masyarakat, sehingga kebudayaan tersebut dapat menjadi sarana untuk mengatur kehidupan masyarakat menuju kehidupannya yang damai. Gamelan merupakan salah satu kebudayaan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tertentu, misalnya masyarakat Bali

4. Gamelan sebagai Musik Tradisional

Musik adalah seni pengungkapan gagasan melalui bunyi, yang unsur dasarnya berupa melodi, irama, dan harmoni, dengan unsur pendukung berupa gagasan, sifat, dan warna bunyi. Dalam penyajiannya, musik seringkali juga berpadu dengan unsur-unsur lain, seperti bahasa, gerak, ataupun warna.25 Hal ini menandakan bahwa musik mempunyai peranan di dalam aktivitas manusia, seperti dalam pekerjaan, dalam bidang tari, atau dalam bidang permainan. Musik, seperti juga bahasa, merupakan aktivitas manusia yang menggunakan elemen dasar suara. Perbedaannya terletak pada tujuan dan pengaturannya.

Di Indonesia, musik berkembang sesuai dengan tradisi yang ada di masyarakat tertentu dan diwariskan secara turun-temurun. Musik tersebut dikenal dengan musik tradisional. Musik tradisional berasal dari luapan makna emosi masyarakat, sejarah, dan kehidupan masyarakat yang terdiri dari fungsi, bentuk, sejarah dan ciri khas daerah tertentu.26 Musik tradisional mempunyai ciri dan sifat yang dapat membedakan dari mana musik tradisional itu berasal.27 Oleh karena itu, dapat dikatakan, bahwa musik tradisional dalam banyak hal digunakan untuk keperluan hidup suatu komunitas yang kemudian menyebabkan musik tradisional identik dengan identitas suatu daerah.

Secara umum musik tradisional memiliki beberapa ciri-ciri: 1) Ide musik tidak disampaikan melalui tulisan berupa notasi atau partitur, tetapi secara lisan oleh penciptanya. 2) Diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan, sehingga tetap dikenal oleh masyarakatnya. 3)

25

M. Soeharto, Kamus Musik (Jakarta: Gramedia, 1992), 86.

26

Philip V. Bohlman, The Study of Folk Music in The Modern World (Bloomington: Indiana University Press, 1988), 16.

27

(22)

12

Syair lagu berbahasa daerah. Selain itu, alunan melodi dan iramanya juga menunjukkan ciri khas kedaerahan. 4) Iring-iringan lagu menggunakan alat musik khas daerah.28 Kesenian tradisional pada umumnya tidak diketahui pasti kapan dan siapa penciptanya. Hal ini dikarenakan kesenian tradisional atau kesenian rakyat bukan merupakan hasil kreativitas individu, tetapi secara anonim bersama kreatifitas masyarakat yang mendukungnya.29 Sampai saat ini nyatanya musik tradisional dapat terus hidup di dalam hati masyarakat karena secara tidak langsung tradisi yang diwariskan secaea turun-temurun tersebut lama-kelaman menjadi sebuah ciri khas dan jati diri daerah di mana musik tradisional itu berkembang, dengan kata lain, suatu musik tradisional di dalamnya terdapat gambaran mentalitas, prinsip-prinsip ekspresif, dan nilai-nilai estetik suatu jenis masyarakat.

Dalam perkembangannya musik tradisional juga dibagi atas musik instrumental dan musik vokal. Musik instrumental bersumber dari alat-alat musik yang digunakan untuk menghasilkan bunyi. Musik instrumental dibedakan berdasarkan cara penggunaannya, alat musik tiup (seruling, terompet, flute, dan lainnya), alat musik tabuh (gamelan, tifa, rebana, drum, kolintang, dan lainnya), alat musik petik (gitar, kecapi, harpa, dan lainnya). Sementara itu, musik vokal bersumber pada suara manusia.30 Dalam kenyataannya kedua jenis musik ini seringkali digunakan secara bersama-sama.

Dibeberapa wilayah di Indonesia perkembangan seni tradisional sangat dijaga kelestariannya, bahkan dalam berbagai kegiatan kedaerahan seni musik tradisional menjadi sarana pilihan, baik itu untuk hiburan ataupun sarana spiritual.

Gamelan, merupakan salah satu alat musik tradisional yang bersifat instrumental, yang seringkali digunakan dalam setiap kegiatan kedaerahan, khususnya Jawa dan Bali. Gamelan adalah suatu bentuk pernyataan musikal yang bersifat majemuk dan mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi serta maju.31

Gamelan berasal dari kata “gamel”, yang dalam bahasa Jawa dan Bali berarti

28

Maryanto, Dwi Wahyu Candra Dewi, dan Syahlan Mattiro, Tinjauan Etnomusikologi: Musik Kuriding Suku Dayak Bakumpai (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), 19.

29

Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta:Sinar Harapan, 1981), 60.

30

M. Th. Mawene, Gereja yang Bernyanyi (Yogyakarta: Andi, 2004), 1-2.

31 Ensiklopedi Musik Indonesia: Seri F-J

(23)

13

“pukul”.32

Jadi, gamelan merupakan suatu aktifitas menabuh yang dilakukan oleh beberapa orang, yang kemudian menjadi nama suatu alat musik ansambel.

Berbeda dari masyarakat Jawa, masyarakat Bali menyebut gamelan dengan gambelan. Terdapat kurang lebih 26 perangkat gamelan di Bali, di mana perangkat satu dengan yang lain memiliki fungsi, ricikan (tangguhan), pendukung, maupun repertoar gending (nyanyian) yang berbeda-beda. Gamelan Bali biasanya lebih menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong.33 Sama halnya dengan kebudayaan musik ditempat lain, gamelan Bali juga memiliki sejarah yang panjang hingga perkembangannya sampai saat ini. Gamelan pn memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Bali, karena tidak hanya digunakan sebagai sarana hiburan semata, melainkan juga sebagai sarana spiritual untuk mengiringi ritus-ritus keagamaan.

5. Penggunaan Musik di Gereja

Sejak awal hadirnya sejarah musik, musik memang dipergunakan sebagai sarana pemujaan karena musik dianggap berasal dari dewa-dewi.34 Seiring dengan berjalannya waktu, lahirnya kekristenan dan musik pun menjadi bagian yang integral dalam kehidupan kekristenan. Istilah musik liturgi atau musik gereja atau musica sacra digunakan sebagai penggambaran terhadap berkembangnya musik dalam suasana kekristenan, serta menjadi salah satu unsur dan bentuk ungkapan liturgi gereja. Oleh karena itu, istilah musik gereja sering dipahami sebagai keseluruhan jenis musik yang digunakan dalam liturgi, sedangkan nyanyian liturgi menunjuk pada hasil atau apa yang dinyanyikan dalam rangka musik gereja.35

Liturgi yang merupakan perayaan iman gereja senantiasa tidak dapat lepas dari unsur musik. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan gereja perdana yang sudah mengenal musik, yaitu musik yang berakar pada ibadat Yahudi. Dalam Perjanjian Baru, kita mencatat bahwa Yesus dan para murid menyanyikan kidung

32

Pono Banoe, Kamus Musik (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 158.

33

Pande Made Sukerta, Gending-gending Gong Gede: Sebuah Analisa Bentuk (Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2002), 1.

34

David Samiyono, Materi Kuliah Pengantar Kedalam Sejarah Musik Gereja (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2006), ii.

35

(24)

14

Hallel (Mat 26:30; Mrk 14:26). Umat beriman juga bernyanyi dalam ibadat

mereka. Maka penulis surat Efesus dan Kolose berkata, “… dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani.

Bernyanyilah dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati” (Ef 5:19; Kol

:16).36

Sejarah gereja selanjutnya mencatat bahwa gereja tidak pernah lepas dari musik. Nyanyian Gregorian yang dikumpulkan oleh Paus Gregorius Agung pada abad 8 merupakan contoh klasik jenis musik nyanyian yang bertahan hingga hari ini.37 Musik gereja mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Dikarenakan belum ada notasi, maka sampai dengan abad ke-10 musik gereja sama dengan musik Gregorian, yang diteruskan secara lisan dan improvisasi. Musik Gregorian sering disebut sebagai musik monofon, yaitu suatu jenis musik yang terdiri dari suatu suara saja, tanpa iringan apapun.38 Oleh karena itu, tidak heran jika pada zaman ini musik Gregorian yang seharusnya dibawakan dengan satu suara, dinyanyikan dengan beberapa suara oleh paduan suara dan terkadang teks asli dari Kitab Suci juga diganti atau disisipi dengan naskah tambahan.39

Tidak hanya musik nyanyian yang mampu berkembang dan bertahan hingga saat ini. Alat-alat musik yang digunakan pun juga terus berkembang dalam sejarah musik. Meskipun pada mulanya gereja sangat berhati-hati dengan alat musik, namun perlahan gereja mulai menerima penggunaan alat-alat musik itu dalam liturgi, sejauh alat musik tersebut dapat mendukung liturgi.

Gamelan merupakan salah satu contoh alat musik tradisional yang pada saat ini sering digunakan sebagai musik pengiring ibadah, khususnya beberapa gereja di Bali. Bagi jemaat Bali, mengkontekstualisasikan diri dengan seni tradisional setempat merupakan sarana penaburan kebenaran firman Tuhan, dilingkungan masyarakat Bali dan juga dilingkungan masyarakat lain. Penggunaan gamelan pun disesuaikan dengan kebutuhan dan nyanyian liturgi, karena tujuan dari sebuah musik ibadah adalah kemuliaan Allah dan pengudusan orang beriman. Maka dari

36

Martasudjita dan Kristanto, Panduan Memilih, 11-12.

37

Martasudjita dan Kristanto, Panduan Memilih, 13

38

Karl Edmund Prier, Sejarah Musik: Jilid 1 (Yogyakarta: Pustaka Musik Liturgi, 1991) 86.

39

(25)

15

itu sebuah musik gereja harus dapat menolong jemaat untuk membuka diri dalam pembaharuan iman.

Pada saat ini ada dua jenis musik yang sering digunakan dalam kegiatan ibadah di gereja, yaitu musik modern dan musik tradisional. Musik modern dikenal dengan nama musik populer yang dipengaruhi oleh gaya musik Barat. Musik modern ini biasa dimainkan menggunakan alat musik Barat, misalnya piano, gitar, bass, drum, dan sebagainya.

Jenis musik kedua adalah musik tradisional. Biasanya musik yang digunakan merupakan ciri khas daerah di mana gereja itu berada. Alat-alat musik yang berkembang dan digunakan sebagai sarana pendukung liturgi saat ini pun disesuaikan dengan tradisi setempat, sehingga muncullah suatu kontektualisasi terhadap penggunaan alat musik tradisional sebagai musik pengiring ibadah.

Dalam kajian penelitian ini akan menggunakan musik tradisional sebagai alat

analisa penelitian. Maka dari itu, judul dari penelitian ini adalah, “Pemahaman

Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai Musik

Pengiring Ibadah.”

II. GEREJA KRISTEN PROTESTAN DI BALI – DI BLIMBINGSARI 1. Letak Geografis dan Profil GKPB Pniel Blimbingsari

Secara geografis, Desa Blimbingsari terletak di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Di sebelah timur, Desa Blimbingsari berbatasan dengan Desa Ekasari dan Desa Palasari, di sebelah utara dan barat berbatasan dengan Taman Nasional Bali Barat, dan di sebelah selatan berbatasan dengan dusun Pangkung Tanah dan Desa Melaya.

(26)

16

menyatakan bahwa menjadi orang Kristen harus lahir baru, mengikuti apa yang dari sorga dan menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan dewa-dewa yang dianggap kafir. Orang Kristen harus menolak segala bentuk persembahan maupun kerja gotong-royong di Pura desa, Pura keluarga, kuburan, maupun sawah-sawah yang berhubungan dengan agama Hindu.40

Akibatnya timbul perlawanan dari saudara yang beragama Hindu, yang mengakibatkan kekacauan di manapun kekristenan itu berada. Orang Kristen Bali dibuang (maselong) atau dikucilkan, tidak diajak berbicara, dibuang dari keluarga, tidak boleh menguburkan di kuburan Hindu, tidak boleh mendapat air untuk sawah-sawah karena menurut kepercayaan Hindu, air adalah milik Dewi sri. Isi lumbung mereka diambil, dicemooh, dicaci maki, dan banyak kesulitan lain yang dihadapi oleh orang Kristen Bali. Akibatnya pemerintah Belanda pada saat itu memutuskan untuk mengucilkan orang Kristen Bali ke alas (hutan) angker di wilayah Bali Barat dengan tujuan agar mereka mati, karena di dalam hutan tersebut banyak terdapat binatang buas. Singkat cerita, berkat pertolongan Tuhan dan juga kerja keras dari orang Kristen Bali pada saat itu, mereka berhasil memberdayakan hutan angker yang penuh dengan binatang buas menajdi sebuah desa yang asri sampai dengan saat ini.41

Dibalik sejarah terbentuknya kekristenan awal di Bali yang begitu rumit, penamaan desa Blimbingsari sendiri memiliki sejarah yang sederhana. Ketika orang Kristen Bali dibuang ke hutan angker Bali Barat, mereka tidak putus asa dan menjauh dari Tuhan, tetapi terus berusaha untuk bertahan hidup. Dalam pergumulannya, mereka pun mulai mengusahakan hutan tersebut sehingga layak untuk dijadikan tempat tinggal, sehingga mereka mulai menebang sebagian pohon untuk dijadikan lahan pemukiman. Diantara pohon yang ditebang terdapat banyak pohon belimbing hutan yang disebut belimbing talun, yaitu pohon yang bentuk daunnya hampir sama dengan daun belimbing, tetapi daun-daun muda yang baru tumbuh berwarna merah muda dan tampak sangat indah karena daun-daun itu

40

Ketut Suyaga Ayub, Blimbingsari The Promise Land: Gereja Kristen Protestan di Bali

(Yogyakarta: Andi, 2014), 18-23.

41

(27)

17

tumbuh pada bulan-bulan tertentu secara bersamaan. Daerah tersebut kemudian

diberi nama “Blimbingsari”.42

Tata letak desa Blimbingsari dapat dikatakan unik, karena jalannya dibuat dengan formasi salib. Arah utara ke selatan, dibuatkan jalan panjang, seolah-olah tempat tubuh Yesus, mulai dari kepala hingga kaki yang dipaku. Sementara dari barat ke timur dibuatkan jalan yang pendek, sebagai tempat tangan Yesus yang dipaku pada salib. Formasi salib ini dibuat berdasarkan budaya Bali, yaitu tanah kuburan diletakkan dibagian selatan, di arah tenggara. Sebagaimana hal pura, Gereja ditempatkan dibagian utara, di arah timur laut, tetapi seiring berjalannya waktu, Gereja dipindahkan dibagian barat. Kemudian, sebagai patokan di pertemuan kayu salib ditanam sebuah pohon beringin besar, yang saat ini telah dibuatkan sebuah tugu, yang sekaligus menjadi pusat aktivitas masyarakat dalam berjualan makanan khas Bali, seusai ibadah Minggu.43 Penamaan dan penataan desa Blimbingsari memang terkesan sederhana, tetapi dibalik kesederhanaannya itu tersimpan makna bersejarah atas lahirnya GKPB.44

Pada saat ini, secara keseluruhan jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terdiri dari 175 KK dengan jumlah anggota jemaat kurang lebih 800 jiwa. Jumlah ini kemungkinan akan meningkat, mengingat pada tahun ini majelis setempat belum melakukan pendataan ulang kepada warga jemaat.45 Mayoritas jemaat Blimbingsari adalah pensiunan dari kota yang memilih pulang kampung dan menetap di kampung. Maka dari itu, kebanyakan jemaat di Desa Blimbingsari bermatapencaharian sebagai petani atau berkebun.46

Selain warga jemaat menetap di Desa Blimbingsari, GKPB Pniel Blimbingsari juga memiliki jemaat diaspora. Jemaat diaspora adalah jemaat yang secara status tercatat sebagai jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, tetapi karena pekerjaan, pendidikan, ataupun kepentingan lainnya mereka terpaksa harus meninggalkan desa dan merantau ke luar desa. Oleh karena itu, perayaan hari raya gerejawi menjadi momen yang paling ditunggu oleh jemaat diaspora, karena

42

Ayub, Blimbingsari The Promise, 49.

43

Ayub, Blimbingsari The Promise, 50-51.

44

I Wayan Sunarya, Blimbingsari Selayang Pandang (Yogyakarta: Andi, 2015), 1.

45

Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA.

46

(28)

18

disanalah mereka akan memiliki kesempatan untuk pulang ke kampung halaman dan berkumpul serta beribadah bersama keluarga.47

Desa Blimbingsari saat ini telah berkembang menjadi desa wisata. Kearifan lokal yang ada menjadikan Desa Blimbingsari memiliki daya tarik tersendiri, tidak hanya bagi wisatawan lokal, melainkan juga wisatawan asing dari berbagai negara. Tidak jarang para wisatawan asing sengaja datang untuk menetap secara sementara hanya untuk mempelajari kearifan lokal yang ada, bahkan mereka juga membantu jemaat dalam bentuk pengajaran bahasa Inggris, khususnya mengajar anak-anak panti asuhan yang berada di Desa Blimbingsari.48

2. Penggunaan Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari

Musik adalah penghayatan isi hati manusia yang diungkapkan dalam bentuk bunyi yang teratur dengan melodi atau ritme serta mempunyai unsur atau keselarasan yang indah.49 Maka dari itu, musik seringkali dijadikan sebagai sarana dalam mengekspresikan emosional manusia. Musik tidak hanya dapat dijadikan sebagai sarana hiburan saja, melainkan musik juga seringkali dijadikan sebagai sarana spiritualitas, yaitu sebagai pengiring dalam suatu upacara keagamaan.

Di dalam konteks kekristenan, musik digunakan sebagai sarana pendukung liturgi. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan gereja perdana yang sudah mengenal musik, yaitu musik yang berakar pada ibadat Yahudi.50 Sampai saat ini penggunaan musik sebagai sarana pendukung liturgi terus berkembang. Pada mulanya gereja-gereja, khususnya di Indonesia lebih sering menggunakan musik bernuansa Eropa, atau yang lebih dikenal dengan musik modern sebagai musik pengiring ibadah. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu musik bernuansa tradisional pun mulai digunakan sebagai upaya mengkontekstualisasikan diri dengan budaya di mana gereja itu bertumbuh.

Upaya mengkontekstualisasikan diri dengan budaya dilakukan pula oleh jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, dengan mengadakan ibadah kontekstual setiap satu bulan sekali, di minggu pertama. Di dalam ibadah kontekstual, seluruh

47

Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA.

48

Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA.

49

Widhyatama, Sejarah Musik, 1.

50

(29)

19

rangkaian ibadah bernuansa budaya Bali. Di mulai dari penggunaan bahasa dalam liturgi dan khotbah adalah bahasa Bali, pakaian yang digunakan adalah pakaian adat Bali, dan musik yang digunakan pun bernuansa Bali. Gamelan gong, menjadi alat musik tradisional yang dipakai oleh jemaat GKPB Pniel Blimbingsari sebagai musik pengiring di dalam ibadah kontekstual. Ibadah ini dirangkai dengan ibadah keluarga, dengan kata lain tidak hanya warga dewasa atau warga SIDI yang mengikuti ibadah kontekstual, melainkan seluruh kategorial, mulai dari Sekolah Minggu sampai lansia.51

Kontekstualisasi budaya merupakan suatu upaya sinode GKPB dalam mengekspresikan iman Kristen melalui karya seni. Berawal setelah Tsang To Hang diusir dari Bali oleh Pemerintah Belanda karena dianggap sebagai orang yang bertanggung jaab atas keributan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat dari ajarannya yang radikal, missionaris Belanda mengajak para pemimpin orang Kristen Bali untuk membuat geguritan (sajak) yang dapat dinyanyikan dengan tembang (lagu) tradisional seperti Pupuh Sinom, Pupuh Ginanti, dan sebagainya. Bersamaan dengan hal tersebut, kurang lebih sejak tahun limapuluhan GKPB Pniel Blimbingsari mencoba mendekatkan diri dengan budaya Bali. Pada saat itu, Pendeta Made Rungu, Ketua Sinode GKPB yang pertama, merasa bahwa sebagai satu-satunya desa Kristen di Bali, Desa Blimbingsari kurang semarak. Maka dari itu, digunakanlah seni pewayangan untuk memberitakan Injil dalam ibadah,

karena secara kebetulan beberapa jemaat adalah seorang “dalang” ketika masih

beragama Hindu. Akan tetapi, tidak disangka jemaat GKPB Pniel Blimbingsari mendapatkan sambutan yang luar biasa tidak hanya dari penduduk Desa Blimbingsari, melainkan juga dari desa-desa lainnya di Kecamatan Melaya. Dari sinilah mulai timbul pemikiran, bagaimana caranya menjadikan kebudayaan Bali sebagai sarana pemberitaan Injil. Lama setelah itu, sekitar tahun delapan puluhan, bertepatan dengan Jubelium GKPB Pniel Blimbingsari, barulah gereja ini menggunakan gamelan sebagai alat musik untuk mengiringi ibadah. Hingga saat

51

(30)

20

ini gamelan masih terus digunakan, tidak hanya dalam ibadah kontekstual saja, melainkan juga dalam perayaan hari raya gerejawi dan juga perjamuan kudus.52

Faktor yang mendasari jemaat GKPB Pniel Blimbingsari menggunakan gamelan sebagai musik pengiring ibadah, yaitu karena gamelan merupakan kesenian khas dalam budaya Bali. Seni gamelan sudah dikenal sejak zaman kerajaan terdahulu dan seringkali digunakan dalam pelaksanaan upacara sakral agama Hindu. Seiring dengan berjalannya waktu, gamelan menjadi kesenian tradisional yang memiliki daya tarik tersendiri dan dijadikan sebagai sarana hiburan. Gamelan Bali dibagi menjadi tiga jenis, yaitu gamelan golongan tua (gamelan gambang, gamelan luang, gamelan gender wayang, dan sebagainya), gamelan golongan madya (gamelan gambuh, gamelan legong, gamelan janger, dan sebagainya), dan gamelan modern (gamelan joged bumbung, gamelan gong kebyar, gamelan blaganjur). Melihat pembagian golongan ini maka dapat dikatakan bahwa gamelan tua dan gamelan madya adalah jenis gamelan yang bersifat sakral dan dalam filosofi agama Hindu, kedua jenis gamelan ini tidak boleh dipergunakan disembarang tempat karena dikhususkan sebagai sarana pemujaan roh-roh. Biasanya dalam tradisi Bali, sebelum memainkan gamelan ini, masyarakat Hindu terlebih dahulu menghaturkan banten dengan tujuan memohon taksu. Banten adalah persembahan suci yang dibuat dengan sarana tertentu, seperti

bunga, buah-buahan, daun sirih, nasi, jajanan, dan sebagainya. Sedangkan, taksu menurut kepercayaan umat Hindu adalah kekuatan roh leluhur yang bersifat magis. Oleh karena itu, secara otomatis kedua gamelan ini tidak diperkenankan jika digunakan dalam konteks ibadah Kristen karena bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani.53

Gamelan yang boleh dipergunakan dalam konteks ibadah Kristen adalah gamelan modern yang disesuaikan dengan kebutuhan ibadah. GKPB Pniel Blimbingsari menggunakan gamelan gong kebyar sebagai musik pengiring ibadah. Gamelan gong kebyar terdiri dari instrumen-instrumen, seperti: 1) Gangsa berbilah sepuluh, terdiri dari dua pengugal, dua pemade, dan empat kantil. 2)

52

Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.

53

(31)

21

Jegogan berbilah lima, dua tungguh. 3) Calung berbilah lima, dua tungguh. 4) Reyong berbilah dua belas, satu tungguh. 5) Kendang besar, dua buah, terdiri dari satu kendang lanang dan satu kendang wadon. 6) Cengceng, satu pangkon. 7) Kajar, satu buah. 8) Gong, satu buah. 9) Kempur, satu buah. 10) Kemong, satu buah. 11) Suling, satu buah.54

Pada mulanya, GKPB Pniel Blimbingsari memiliki 2 sekaa gambelan (kelompok penabuh gamelan), yang terdiri dari sekaa kaum bapak dan sekaa kaum ibu yang bernama sekaa Ester. Kebanyakan anggota dari kedua sekaa ini merupakan warga lansia yang sangat mencintai kegiatan menabuh gamelan. Ditengah keadaan fisik yang semakin melemah, kedua sekaa ini tetap memiliki semangat yang tinggi dalam memainkan gamelan dalam ibadah tertentu karena menabuh gamelan merupakan hobi mereka. Di satu sisi, keadaan fisik yang melemah juga mengakibatkan penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah sempat berhenti dalam waktu yang cukup lama. Hingga pada suatu saat, ketika Bapak Pendeta Ketut Suyaga Ayub menjadi pendeta jemaat di GKPB Pniel Blimbingsari, barulah semangat penggunaan gamelan dibangkitkan lagi. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kedua sekaa yang ada menyadari bahwa diperlukan suatu kaderisasi terhadap jemaat muda dalam menabuh gamelan, sehingga penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah bisa dilakukan secara terus menerus. Maka dari itu, dibentuklah sekaa Gloria yang beranggotakan para penabuh muda.55

Penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah, sekaligus menjadi upaya gereja dalam mengkontekstualisasikan diri dengan budaya setempat ternyata sangat membuahkan respons yang baik tidak hanya dari jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, tetapi juga bagi masyarakat mayoritas. Hal ini terbukti dari ketertarikan masyarakat Hindu yang merasa dihargai ketika kekristenan mau mencoba mendekatkan diri dengan budaya yang ada. Tidak jarang beberapa masyarakat Hindu turut berpartisipasi dalam kegiatan menabuh di dalam suatu ibadah di GKPB Pniel Blimbingsari dan tidak jarang pula sekaa gamelan GKPB

54

Wawancara dengan Bapak I Ketut Wirta, Jemaat sekaligus Pelatih Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.

55

(32)

22

Pniel Blimbingsari diundang untuk menabuh di beberapa acara yang diselenggarakan oleh masyarakat Hindu.56

Bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari sendiri, beribadah sambil mendengarkan alunan musik gamelan ditambah dengan menggunakan bahasa Bali dan pakaian adat Bali, membuat mereka merasa lebih dekat dengan budaya yang

ada. Sebagai jemaat “tua”, kontektualisasi budaya dijadikan sarana dalam

pemberitaan Injil. Salah satu contoh, melalui penggunaan gamelan, jemaat GKPB

Pniel Blimbingsari seolah ingin mengatakan bahwa, “Walaupun kami beragama

Kristen, tetapi kami adalah orang Bali yang menghargai dan ingin melestarikan budaya Bali. Oleh karena itu terimalah kami sebagai bagian dari masyarakat Bali. Terlebih kami akan merasa senang apabila masyarakat mau menjadi bagian dari

kami.”57

3. Kontroversi Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah Upaya mengkontekstualisasikan diri dengan budaya setempat bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, apalagi di dalam konteks kekristenan. Hal ini jugalah yang menjadi hambatan bagi GKPB Pniel Blimbingsari ketika mencoba mendekatkan diri dengan budaya Bali melalui penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah. Meskipun banyak jemaat dapat menerima usaha kontekstualisasi ini, namun nyatanya ada beberapa jemaat yang keberatan dengan adanya pendekatan budaya ini, khususnya penggunaan gamelan. Hal ini tentu saja menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pemimpin jemaat, karena biarpun rasa keberatan itu tidak disampaikan secara langsung, namun kekhawatiran akan adanya kubu-kubu yang memecah kebersamaan sangat meresahkan.58

Hal ini bermula dari pemikiran radikal para orang Kristen angkatan pertama dibawah asuhan missionaris Tsang To Hang. Dalam ajarannya, beliau mengatakan kepada orang Kristen angkatan pertama untuk meninggalkan dan memutuskan hubungan dengan adat istiadat Bali. Akan tetapi, doktrin yang salah tersebut malah membuat kesalahpahaman yang mendalam bagi orang Kristen pada waktu

56

Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.

57

Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA.

58

(33)

23

itu sehingga membuat pemikiran mereka menjadi sangat radikal. Mereka tidak hanya memutuskan hubungan, melainkan membenci segala hal yang berkaitan dengan agama Hindu. Mereka tidak segan-segan membongkar sanggah dan merusak tempat-tempat keramat yang dihormati sebagai tempat suci orang orang Hindu, sebagai bukti bahwa mereka telah bertobat. Pemikiran-pemikiran radikal semacam ini menjadikan orang Kristen sebagai persekutuan yang eksklusif dan terlepas dari masyarakat. Tidak hanya terlepas secara organisasi dari masyarakat, namun gaya hidup dan gaya berpakaian pun lebih mengikuti gaya berpakaian Eropa daripada mengenakan pakaian adat Bali. Segala jenis perhiasan yang bernuansa Bali juga ikut dibuang, karena menurut pemahaman mereka, menjadi Kristen adalah menjadi manusia baru. Jadi, memakai cara ataupun adat istiadat Bali menurut mereka adalah bertentangan dengan status yang baru, yaitu sebagai warga Kerajaan Allah.59

Pemahaman seperti inilah yang menjadi dasar penolakan jemaat angkatan pertama terhadap penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah di GKPB Pniel Blimbingsari. Tidak hanya penggunaan gamelan saja yang menjadi persoalan. Ketika GKPB Pniel Blimbingsari mencoba menggunakan hiasan-hiasan bernuansa Bali dalam suatu perayaan ataupun Hari Raya Gerejawi, maka penolakan itupun terjadi. Bahkan, arsitektur gereja yang bernuansa Bali juga ikut menjadi kritikan bagi beberapa orang-orang “tua” di GKPB Pniel Blimbingsari.60 Hal ini selaras dengan kenyataan bahwa ternyata kebanyakan dari orang-orang Kristen angkatan pertama ini adalah orang-orang yang tidak puas akan agama mereka terdahulu dan merasa menemukan jawaban dari permasalahan mereka di dalam Injil Kristus. Oleh karena itu, mereka sangat tidak suka jika orang Kristen memasukkan kebudayaan yang telah ditinggalkan itu ke dalam suatu ibadah di Gereja.61

Kontroversi seputar penggunaan gamelan sebagai alat musik pengiring ibadah tidak hanya terjadi dikalangan beberapa orang-orang “tua” di GKPB Pniel

59

Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Perbekel (Kepala Desa) Blimbingsari sekaligus Jemaat di GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.

60

Wawancara dengan Ibu Rai Miarti, Jemaat sekaligus Penabuh Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.

61

(34)

24

Blimbingsari, melainkan juga di kalangan generasi muda. Meskipun para generasi muda menerima penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah adalah dalam rangka upaya lebih mendekatkan diri dengan budaya Bali, tetapi tidak sedikit dari mereka juga yang mengaku kurang bisa menikmati musik gamelan itu sendiri.62 Hal ini dikarenakan melodi gamelan tidak sama dengan melodi musik kontemporer. Gamelan merupakan alat musik yang bernada pentatonik, di mana

notasi “fa” dan “si” tidak ada. Maka dari itu, lagu-lagu kidung jemaat yang bisa dimainkan dengan gamelan sangat terbatas. Tidak jarang ketika dilaksanakan ibadah kontekstual dengan menggunakan gamelan sebagai musik pengiring ibadah, lagu yang dinyanyikan selalu mengulang lagu yang sama dan ketika lagu lain dipaksakan untuk diiringi menggunakan gamelan, maka secara otomatis jemaat akan merasa bingung karena nadanya tidak sesuai.63

Selain merasa tidak mengerti dengan melodi gamelan, beberapa generasi muda yang telah terbiasa mendengarkan musik modern bernuansa Barat juga mengaku merasa jenuh karena lagu yang dimainkan dengan musik gamelan hanya mengulang lagu yang sama. Hal ini selain menimbulkan perasaan jenuh dan bosan sepanjang kegiatan ibadah, pada akhirnya membuat mereka kurang bisa menghayati makna dari ibadah tersebut.64 Oleh karena itu, para seniman Kristen telah berupaya mengaransemen ulang beberapa lagu di Kidung Jemaat dan menyesuaikan dengan nada pentatonik sehingga dapat dimainkan dengan gamelan, sehingga lagu yang dimainkan dalam setiap ibadah dapat lebih bervariasi.65

Meskipun banyak terdapat kontroversi seputar penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah dalam rangka gereja mengkontekstualisasikan diri dengan budaya yang ada, namun nyatanya hal tersebut tidak mengurangi makna ibadah bagi sebagian besar jemaat GKPB Pniel Blimbingsari. Tidak sedikit dari jemaat yang merasa lebih tenang dan merasa jalannya kegiatan ibadah menjadi lebih

62

Wawancara dengan Saudara I Putu Adi Suprayitno, Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 13.00 WITA.

63

Wawancara dengan Bapak I Ketut Wirta, Jemaat sekaligus Pelatih Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.

64

Wawancara dengan Saudara Decky Florentana, Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 13.30 WITA.

65

(35)

25

sakral ketika musik gamelan telah dikumandangkan. Hal ini menandakan bahwa sebuah kebudayaan dapat dijadikan sarana untuk mengekspresikan iman.

IV.GAMELAN DALAM TRADISI GEREJA KRISTEN PROTESTAN

DI BALI “PNIEL” BLIMBINGSARI

Kebudayaan identik dengan seluruh tindakan keseharian manusia yang menetap di suatu tempat tertentu. Bahkan kebudayaan seringkali dijadikan sebuah identitas bagi suatu kelompok masyarakat dan sedemikian rupa dijaga kelestariannya untuk kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada generasi penerusnya dan biasanya melalui tradisi lisan. Kebudayaan membuat manusia dapat menghasilkan benda-benda yang berguna bagi kehidupan manusia itu sendiri. Sama halnya dengan pendapat Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa ada tiga wujud kebudayaan, dan salah satunya adalah kebudayaan fisik. Kebudayaan fisik ini sangat mudah dijumpai disekitar kehidupan manusia, dalam rupa benda-benda yang menunjang aktivitas manusia. Salah satu kebudayaan fisik adalah alat-alat musik. Alat musik yang lekat dengan kebudayaan atau tradisi dikenal dengan sebutan alat musik tradisional. Biasanya alat musik tradisional memiliki ciri khas tersendiri, tergantung di mana alat musik itu berkembang.

Pengungkapan identitas melalui kebudayaan ini dilakukan pula oleh jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, melalui penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah. GKPB Pniel Blimbingsari merupakan gereja yang berada dalam lingkup kebudayaan Bali. Maka dari itu, penggunaan gamelan sebagai musik tradisional pengiring ibadah merupakan salah satu contoh kontekstualisasi gereja terhadap kebudayaan Bali. Bohlman mengatakan bahwa musik tradisional merupakan luapan makna emosi masyarakat, sejarah, dan kehidupan masyarakat yang terdiri dari fungsi, bentuk, sejarah dan ciri khas daerah tertentu. Gamelan merupakan musik tradisional khas daerah Bali, yang digunakan oleh jemaat GKPB Pniel Blimbingsari sebagai sarana untuk menyampaikan identitas mereka sebagai orang Kristen yang berbudaya Bali.

(36)

26

awal perkembangannya gereja perdana yang sudah mengenal musik, yaitu musik yang berakar pada ibadat Yahudi, sehingga musik yang digunakan disesuaikan dengan tradisi yang ada. Hal ini jugalah yang telah dilakukan oleh jemaat GKPB Pniel Blimbingsari selama bertahun-tahun, yaitu menggunakan gamelan sebagai musik pengiring ibadah. Selain sebagai pendukung liturgi, maksud dari penggunaan gamelan dalam ibadah adalah agar gereja lebih dekat dengan budaya. Oleh karena itu, selain digunakan di dalam ibadah kontekstual, yaitu ibadah yang menggunakan liturgi budaya Bali, gamelan juga digunakan untuk mengiringi ibadah hari raya gerejawi dan perjamuan kudus.

Gamelan merupakan alat musik tradisional masyarakat Bali, sekaligus menjadi kebudayaan fisik yang diwariskan kepada masyarakat Bali hingga saat ini. Maka dari itu, tidak mengherankan jika penggunaan gamelan sarat dengan upacara-upacara sakral agama Hindu. Penggunaan gamelan dalam upacara sakral

ini pun tidak bisa dimainkan secara sembarangan. Sebelum mulai “megambel”,

sebagai tradisi umat Hindu akan terlebih dahulu menghaturkan banten kepada roh-roh leluhur mereka untuk memohon izin dalam memainkan gamelan. Umat Hindu percaya, bahwa di dalam gamelan bersemayam roh-roh leluhur mereka. Maka dari itu, mebanten selain untuk memohon izin memainkan gamelan, juga dimaksudkan supaya para pemain gamelan memperoleh kekuatan magis yang dipercaya akan melindungi mereka dari kekuatan lain yang mencelakakan.

Kepercayaan seperti ini pada akhirnya membuat umat Hindu tidak dapat terpisah dari nilai-nilai tradisinya. Hal ini selaras dengan pernyataan Ihromi yang mengemukakan bahwa masyarakat yang hidup berkelompok, tidak dapat terpisah dari nilai-nilainya. Bahkan Koentjaraningrat juga mengatakan, bahwa nilai-nilai tersebut pada akhirnya akan membentuk suatu sistem sosial yang dijadikan pedoman hidup di dalam masyarakat tersebut. Kegiatan menghaturkan banten sebelum memainkan gamelan merupakan suatu sistem sosial yang terbentuk dari nilai-nilai yang ada di masyarakat Bali. Nilai-nilai tersebut pun berkembang menjadi suatu kebudayaan yang disepakati bersama oleh masyarakat yang membentuk suatu kepercayaan.

(37)

27

kekristenan. Dalam Keluaran 20: 3-4 berkata, “Jangan ada padamu allah lain dihadapan-Ku. Jangan membuat patung bagimu… Jangan sujud menyembah

kepadanya…” Melalui ayat ini dapat disimpulkan bahwa persembahan sesaji

kepada roh-roh leluhur apalagi disertai dengan unsur-unsur kekuatan magis, sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai Kristen. Hal ini dikarenakan kekristenan mempercayai bahwa Allah Tritunggal adalah satu-satu Tuhan yang berkuasa atas segala kuasa dilangit dan dibumi.

Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari menyadari hal tersebut, maka gamelan yang digunakan dalam prosesi ibadah adalah gamelan modern yang biasanya difungsikan sebagai sarana hiburan oleh umat Hindu. Di sisi lain, jemaat GKPB Pniel Blimbingsari juga tidak melupakan sistem sosial yang terbentuk dari nilai-nilai tradisi yang ada di masyarakat Bali. Oleh sebab itu, sebelum melakukan permainan gamelan di dalam ibadah, para sekaa (kelompok penabuh) terlebih dahulu akan berdoa memohon berkat Tuhan, karena tujuan permainan gamelan mereka adalah untuk memuji Tuhan. Hal ini secara tidak langsung menjadi sarana Pekabaran Injil yang luar biasa bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, karena

“hanya” melalui doa sebelum memainkan gamelan orang Kristen secara tidak

langsung telah menampakkan kuasa Kristus yang mengalahkan segala kuasa lain, tanpa mengabaikan sistem sosial yang telah terbentuk menjadi suatu kebudayaan di masyarakat Bali.

(38)

28

sebagai musik pengiring ibadah merupakan salah satu cara untuk mendidik jemaat agar secara bersama-sama melestarikan kebudayaan Bali, sehingga kebudayaan tersebut tidak tergerus oleh waktu dan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

Gamelan merupakan sarana bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari dalam mengekspresikan iman melalui suatu kebudayaan yang berbentuk karya seni. Secara tidak langsung, pengungkapan ekspresi dengan melibatkan budaya yang ada menjadi sebuah sarana komunikasi iman antara jemaat dengan masyarakat mayoritas. Melalui gamelan, jemaat GKPB Pniel Blimbingsari ingin menyampaikan bahwa mereka bukanlah suatu persekutuan yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat, melainkan mereka tetaplah orang Bali yang menghormati budaya serta ingin turut serta dalam melestarikan kebudayaan Bali meskipun mereka orang Kristen. Hal ini selaras dengan pandangan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat yang mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa yang membawa manusia untuk dapat memahami kehidupannya. Artinya gamelan sebagai kebudayaan Bali merupakan hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut yang kemudian menjadi sebuah identitas bagi masyarakat Bali. Kusumohamidjojo mengatakan bahwa manusia adalah homo socius atau makhluk yang berkawan dan pola hidupnya cenderung

Referensi

Dokumen terkait

yang menyatakan bahwa komite audit tidak berpengaruh terhadap

Program Pelatihan Berbasis Kompetensi di PT PLN (Persero) Unit Layanan, Salatiga Sumber daya manusia adalah aset atau unsur yang paling penting diantara unsur – unsur. organisasi

 Karya komposisi musik Shantika mengolah unsur bunyi dari instrumen suling, kendang, gender wayang yang diolah menjadi berbagai melodi, ditata dengan. unsur musik lainnya

3.1 Mengidentifikasi unsur musik dari berbagai sumber bunyi yang dihasilkan oleh benda bukan alat musik.. 3.2 Membedakan antara nada

Maka dari itu, hal yang membuat musik Pa‟ Pompang dijadikan sebagai identitas budaya masyarakat Toraja di Gereja Toraja Jemaat Lamunan adalah suku Toraja yang pertama

Musbikin (2009: 42) menyatakan secara umum unsur-unsur musik terdiri dari dinamika, harmoni, alat musik, melodi, ritme, tempo, dan timbre (warna suara). Berdasarkan

Perbedaan yang nampak jelas dan cukup menonjol yaitu bahwa pada komposisi Dian HP unsur-unsur musik seperti harmoni, ritmik, melodi maupun tanda-tanda dinamika yang terdapat

 Karya komposisi musik Shantika mengolah unsur bunyi dari instrumen suling, kendang, gender wayang yang diolah menjadi berbagai melodi, ditata dengan unsur musik lainnya