• Tidak ada hasil yang ditemukan

xv

52 Pola simpangan baku spatial dari kriging dan spline-2 untuk

Ozon ... 85

53 Pola ragam spatial Model-11 dan Model-12 untuk PM10 ... 95

54 Plot korelasi spatial, plot ACF, dan plot PACF dari galat

Model-12 untuk PM10 ... 95

55 Pola ragam spatial Model-5 dan Model-6 untuk Ozon ... 97

56 Plot korelasi spatial, plot ACF, dan plot PACF dari galat

Model-6 untuk Ozon ... 97

57 Kontur dari model tanpa faktor meteorologis dan model dengan

faktor meteorologis untuk PM10 pada pada tanggal 31 Agustus

2002 jam 6, 7, 8, 16, 19 ... 102

58 Kontur dari model tanpa faktor meteorologis dan model dengan

faktor meteorologis untuk Ozon pada pada tanggal 31 Agustus

2002 jam 6, 7, 8, 16,19 ... 103

59 Prediksi spatial PM10 pada jam 8 tanggal (a) 19 Mei 2002, (b)22

Juli 2002, (c) 31 Agustus 2002, dan (d) rata-rata ... 106

60 Tahapan penentuan lokasi stasiun pemantau yang baru ... 109

61 Pola ragam spatial (a) SUF asli (b) SUF baru ... 110

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Lokasi jaringan pemantau kualitas udara di Indonesia ... 120

2 Peralatan sensor stasiun dan tampilan data publik ... 121

3 Pusat pemantau dan pengolahan data kualitas Udara di

Surabaya ……….. 122

4 Pengelompokkan arah angin ……….. 123

5 Kontur dari model aditif spatio-temporal terbaik PM10 pada

jam 1 sampai jam 24 ... 124 6 Prediksi temporal dari model aditif spatio-temporal terbaik

PM10 ... 125 7 Kontur dari model aditif spatio-temporal terbaik Ozon pada

jam 1 sampai jam 24 ... 127 8 Prediksi temporal dari model aditif spatio-temporal terbaik

Ozon ... 128

9 Daftar titik contoh dari lokasi SUF baru ... 130

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Teori klasik dari geostatistik terutama berhubungan dengan kasus dari satu

realisasi proses stokastik yang berkorelasi secara spatial (Cressie, 1993; Stein, 1999). Kriging adalah suatu teknik di geostatistik untuk menduga nilai

respon pada lokasi yang tidak diamati melalui interpolasi spatial. Istilah kriging

diambil dari nama insinyur pertambangan Afrika Selatan D.G. Krige, seorang pioner metode interpolasi spatial di industri pertambangan. Pada saat ini kriging digunakan secara luas untuk prediksi spatial pada berbagai bidang.

Akhir-akhir ini banyak dikembangkan model spatio-temporal untuk

menganalisa data spatial yang diamati pada waktu yang kontinu. Pada dasarnya model ini merupakan perluasan dari proses spatial menjadi proses stokastik yang berkorelasi serentak dalam spatial dan waktu. Metode statistika yang digunakan pada model ini merupakan gabungan antara model deret waktu dengan model variogram dari geostatistik. Model spatio-temporal digunakan untuk memprediksi secara optimal pada lokasi dan waktu yang tidak diamati dari proses spatio-temporal. Dengan demikian analisa dengan model spatio-temporal lebih menguntungkan dibandingkan dengan pendekatan model spatial saja atau dengan model deret waktu saja.

Model spatio-temporal banyak diterapkan di bidang lingkungan,

pertanian, klimatologi, meteorologi, hidrologi, dan kesehatan. Pemodelan pada data spatio-temporal sangat beragam, secara umum dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok. Perkembangan model spatio-temporal diawali dari kelompok pertama. Pada kelompok ini, metode deret waktu stasioner diperluas dengan menambahkan matriks ragam-peragam spatial. Metode ini antara lain

STARMA (space-time autoregressive moving average) yang dikemukakan oleh

Pfeifer dan Deutch (1980) dan model STARMAX yang dikemukakan oleh Stoffer (1986) yang dibentuk dengan menambahkan matriks ragam-peragam spasial pada model deret waktu ARMA. Kelompok kedua merupakan gabungan antara analisa deret waktu dengan fungsi peragam spatio-temporal. Pada kelompok ini, respon diuraikan ke dalam komponen deterministik dan komponen galat. Selanjutnya fungsi peragam spatio-temporal diduga dari komponen galat.

2

Beberapa peneliti yang menggunakan model ini antara lain Guttorp et al (1998),

Carroll et al (1997), dan Cressie dan Huang (1999). Sedangkan kelompok ketiga

terdiri dari model linear dinamik Bayes, seperti yang dikemukakan oleh Sanso

dan Guenni (1999), Stroud et al (2001), Tonellato (2001), Cressie and Wikle

(2002), Saddick dan Wakefield (2002). Ketiga kelompok model spatio-temporal di atas merupakan perluasan dari analisa deret waktu. Kelompok keempat merupakan perkembangan terbaru dari model spatio-temporal yang terdiri dari model yang bersifat lebih fleksibel, yaitu model aditif dan model aditif terampat (generalized additive model selanjutnya disebut GAM). Beberapa peneliti yang

menggunakan GAM antara lain Zoppou et al (2000), Draghicescu (2003), dan

Smith dan Kolenikov (2004). Sedangkan Kamman dan Wand (2003) mengembangkan model aditif untuk data spatial yang disebut dengan model geoaditif. Model ini merupakan perluasan dari metode kriging dengan penambahan peubah penjelas.

Model aditif merupakan generalisasi dari model regresi linear berganda,

dan GAM merupakan generalisasi model aditif untuk respon yang berasal dari

sebaran keluarga eksponensial (exponential family). Model ini dipelopori dan

dikembangkan oleh Hastie dan Tibshirani (1990) dengan menggunakan metode

pendugaan algoritma backfitting. Meskipun GAM bersifat fleksibel dan efisien,

algoritma backfitting dengan pemulus linear mempunyai kesulitan dalam seleksi

model dan penarikan kesimpulan. Kesulitan pada GAM ini dipecahkan oleh Gu

dan Wahba (1991) dengan pemulus spline terampat (generalized smoothing spline

selanjutnya disingkat GSS) dan algoritma untuk pendugaan parameter pemulus

ganda pada model GSS. Sayangnya perhitungan GSS mendekati n3, dengan n

adalah banyaknya data yang akan dimodelkan.

Eilers dan Marx (1996) mengemukakan metode pemulus dimensi rendah yang disebut dengan P-spline. Pendekatan yang sama juga dikemukakan Ruppert

dan Carroll (1997) dengan nama regresi spline terpenalti (penalized spline

regression) dan disebut juga dengan P-spline. Metode ini menggunakan basis pemulus dengan lokasi simpul yang tetap dan jumlahnya lebih kecil dari data, sehingga komputasinya lebih memungkinkan. Kriteria pendugaan pada P-spline disebut dengan jumlah kuadrat terpenalti yang terdiri atas jumlah kuadrat galat

3

dan penalti kekasaran (roughness penalty). P-spline mempunyai hubungan

matematis yang sederhana dengan model linear campuran seperti yang dibahas oleh Brumback dan Rice (1998), Fan dan Zhang (1998), Wang (1998), Brumback

et al (1999), Vebyla et al (1999), French et al (2001), Kamman dan Wand (2003), dan Wand (2003).

Model linear campuran merupakan perluasan dari model linear yaitu

dengan menambahkan efek acak. Metode ini banyak digunakan dalam rancangan percobaan untuk data yang berkorelasi seperti pada percobaan pengukuran berulang. Pendugaan model linear campuran menggunakan metode kemungkinan

(maximum likelihood selanjutnya disingkat ML) atau metode kemungkinan

maksimum berkendala (restricted maximum likelihood selanjutnya disingkat

REML). Dengan diketahuinya hubungan matematis antara P-spline dengan model linear campuran, maka P-spline dapat diformulasikan dalam model linear campuran dan dapat diduga dengan metode ML (REML). Efek samping yang menarik dari hubungan antara P-spline dengan model linear campuran adalah parameter pemulus P-spline berhubungan dengan komponen ragam dari model linear campuran. Hubungan antara pemulusan dengan model linear campuran baru terbuka setelah munculnya paket program model ini di SAS dan S-PLUS. Pendugaan metode nonparametrik P-spline dengan menggunakan metode REML merupakan suatu paradigma baru di bidang pemulusan (Wand, 2003)

Di kota Surabaya ditempatkan lima buah stasiun pemantau kualitas udara ambien. Setiap stasiun pemantau dilengkapi dengan alat ukur zat pencemar udara

yang terdiri dari CO (karbon monooksida), SO2 (sulfur dioksida), O3 (ozon), NO2

(nitrogen dioksida) dan PM10 (partikel debu berukuran 10 mikron) dan kondisi

meteorologis yang terdiri dari arah angin, kecepatan angin, suhu, kelembaban udara, dan global radiasi (SARPEDAL KLH, 2003a). Hasil pemantauan ditampilkan di lokasi strategis agar dapat dibaca oleh masyarakat setiap saat.

Pada tahun 2001-2003 pencemar udara dominan di kota Surabaya adalah PM10

diikuti Ozon (Chamida, 2004).

Pada data pencemar udara PM10 dan Ozon terdapat korelasi temporal dan

korelasi spatial yang harus diperhitungkan dalam pemodelannya. Di Indonesia metode statistika yang digunakan pada data kualitas udara adalah statistik

4

deskriptif (Din LH Surabaya, 2002; SARPEDAL KLH, 2003b), metode deret waktu di satu lokasi stasiun (Roekmi, 1997; Prestiwati, 2002), dan metode spatial pada satu waktu pengamatan (Andayani, 2002; Hamonangan, 2004).

Pada umumnya model spatio-temporal untuk pencemar udara yang

terdapat di referensi hanya menggunakan peubah penjelas waktu dan lokasi saja, dengan ukuran data yang tidak terlalu besar. Pada penelitian ini akan

dikembangkan model spatio-temporal dengan mengikutsertakan faktor

meteorologis di samping peubah penjelas waktu dan lokasi. Hal ini disebabkan

faktor meteorologis diduga berpengaruh terhadap penyebaran polutan PM10 dan

Ozon. Model yang dipilih untuk pemodelan pencemar udara PM10 dan Ozon

adalah model aditif dengan pendekatan model linear campuran, dengan beberapa pertimbangan yaitu :

1. dapat digunakan untuk menggabungkan model deret waktu, model spatial,

dan hubungan fungsional faktor meteorologis,

2. bersifat fleksibel karena hubungan fungsional antara peubah penjelas

kontinu dengan respon dapat berbentuk parametrik atau nonparametrik

3. komputasi yang cepat untuk data berukuran besar, karena menggunakan

pemulus berdimensi rendah P-spline.

4. berbasis model dan metode kemungkinan maksimum, karena pendugaan

model dapat menggunakan metode ML atau REML.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat model aditif spatio-temporal

untuk pencemar udara PM10 dan Ozon di Kota Surabaya dengan fungsi mulus

P-spline dan diduga dengan pendekatan model linear campuran

1.3. Kerangka Pemodelan

Permasalahan utama yang akan dikaji pada penelitian ini adalah

pemodelan pencemar udara dominan PM10 dan Ozon di kota Surabaya dengan

model aditif spatio-temporal. Pada data spatio-temporal terdapat korelasi temporal dan korelasi spatial yang harus diperhitungkan dalam pemodelannya. Pada penelitian ini korelasi temporal dimodelkan dalam model aditif deret waktu dan korelasi spatial dimodelkan dalam model aditif spatial. Selanjutnya kedua model aditif ini digabung secara aditif menjadi model aditif spatio-temporal. Sehingga

5

model aditif spatio-temporal dapat menggabungkan kedua korelasi yang terdapat pada data dalam satu model. Kerangka pemodelan disajikan pada Gambar 1. Peubah penjelas yang dilibatkan dalam model aditif deret waktu adalah lag dan jam, sedangkan pada model aditif spatial adalah koordinat geografis dari lokasi stasiun pemantau. Pada model aditif spatio-temporal ini dapat ditambahkan hubungan fungsional faktor meteorologis.

Gambar 1. Kerangka pemodelan PM10 dan Ozon

Bentuk hubungan fungsional antara peubah penjelas kontinu dengan

respon pada model aditif tidak dibatasi dalam bentuk parametrik, akan tetapi dapat berbentuk nonparametrik atau gabungan keduanya. Dalam penentuan model aditif, lebih dahulu dilakukan identifikasi tentang bentuk hubungan fungsional antara peubah penjelas kontinu dengan respon. Bila bentuk hubungan fungsionalnya nonparametrik, maka akan dimodelkan dengan P-spline. Bentuk hubungan fungsional ini kemudian digunakan untuk menyusun model aditifnya.

! " # " $ ! %& " ' " " " " ' " " ' "

6

Model aditif yang sudah terbentuk, selanjutnya diformulasikan ke dalam bentuk model linear campuran. Parameter-parameter pada model aditif diduga

dengan metode REML. Kebaikan model ditentukan dari nilai AIC (Akaike

Information Criteria) yang rendah, dan galat modelnya mempunyai nilai

autokorelasi dalam waktu dan korelasi spatial yang kecil dan tidak berpola.

1.4. Hubungan antar Bab

Keterkaitan antar Bab dalam disertasi ini disajikan pada Gambar 2. Bab 1, Bab 2, dan Bab 3 adalah bab-bab yang diperlukan sebagai masukan dalam membangun model aditif spatio-temporal. Metode yang dikembangkan untuk pemodelan data spatio-temporal dibahas dalam empat bab, yaitu Bab 4, Bab 5, Bab 6, dan Bab 7.

Bab 2 berisi tentang hasil eksplorasi data pencemar udara PM10 dan Ozon.

Bab 3 berisi tentang kajian teori model linear campuran dan hubungannya dengan pemulusan. Pada Bab 4 dibahas tentang hubungan matematis antara regresi spline

terpenalti dengan model linear campuran dan kajian empirik pada data PM10 dan

Ozon. Pada Bab 5 dibahas tentang pengembangan metode Bab 4 untuk data deret waktu. Pada Bab 6 dibahas pengembangan metode pada Bab 4 untuk data berkorelasi spatial. Pada Bab 7 dibahas tentang penggabungan model aditif deret waktu dengan model aditif spatial menjadi model aditif spatio-temporal. Bab 8 berisi tentang pembahasan umum yang mencakup bahasan-bahasan tentang pemodelan data spatio-temporal, pengaruh faktor meteorologis, dan optimasi lokasi stasiun pemantau. Simpulan dan saran dibahas pada Bab 9.

Gambar 2. Keterkaitan antar Bab dalam disertasi B BAABB22 B BAABB11 B BAABB44 B BAABB55 B BAABB66 B BAABB77 BBAABB88 BBAABB99 B BAABB33 digabung diperluas data spatial diperluas data deret waktu

2. DESKRIPSI DATA PENELITIAN

2.1. Pencemar Udara PM10 dan Ozon

Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu

dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya agar dapat memberikan daya dukung bagi mahkluk hidup untuk hidup secara optimal. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemar udara. Definisi pencemaran udara menurut Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1999, adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun hingga ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.

Sumber pencemaran udara berasal dari kejadian alami dan kegiatan

manusia (antropogenik). Sumber pencemaran yang berasal dari alam antara lain kebakaran hutan, letusan gunung berapi, debu, dekomposisi biotik dan lain-lain. Sedangkan sumber pencemaran udara akibat aktivitas manusia secara kuantitatif sering lebih besar, antara lain berasal dari kegiatan transportasi, industri, pemukiman, dan pengelolaan limbah sampah (Soedomo, 2001)

Kegiatan transportasi memberikan kontribusi sekitar 70% terhadap

pencemaran udara di kota-kota besar. Faktor yang mempengaruhi tingginya pencemar udara dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan jumlah kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan bakar minyak (BBM) dan masih digunakannya jenis BBM mengandung Pb, penggunaan teknologi lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia, rendahnya budaya perawatan kendaraan bermotor secara teratur, dan buruknya manajemen transportasi. Sektor industri merupakan penyumbang pencemaran udara terbesar berikutnya setelah kendaraan bermotor, melalui penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit tenaga (KLH, 2002). Pada umumnya bahan pencemar udara

yang terdapat di daerah perkotaan adalah: SO2, NOx, O3, CO, HC, debu, dan Pb,

serta bahan-bahan pencemar organik lainnya (SARPEDAL KLH, 2003a). Sepanjang tahun 2001-2003 pencemar udara yang paling dominan dengan konsentrasi maksimum pada jam-jam tertentu melebihi baku mutu udara ambien

di kota Surabaya adalah PM10 diikuti O3, SO2, dan CO ( Din LH, 2002;

8

Faktor meteorologis mempunyai peran yang sangat utama dalam

menentukan kualitas udara di suatu daerah. Dalam sistem pencemaran udara, intensitas emisi dari sumber pencemar akan masuk ke dalam atmosfer sebagai medium penerima. Sedangkan atmosfer merupakan suatu medium yang sangat dinamik dan mempunyai kemampuan dalam menyebarkan, mengencerkan, dan mendifusikan pencemar udara. Kemampuan atmosfer tersebut ditentukan oleh berbagai faktor meteorologi, seperti kecepatan angin, arah angin, kelembaban udara, suhu udara, dan tekanan udara (Soedomo, 2001)

Partikulat debu dalam bentuk tersuspensi merupakan campuran yang

sangat rumit dari berbagai senyawa organik dan anorganik yang tersebar di udara dengan diameter yang sangat kecil, mulai kurang dari 1 mikron sampai dengan maksimal 500 mikron. Partikulat debu berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara. Karena komposisi partikulat debu udara yang rumit, dan pentingnya ukuran partikulat dalam menentukan dampaknya terhadap kesehatan, maka banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan partikulat debu di udara. Beberapa istilah yang digunakan mengacu

pada metode pengambilan contoh udara antara lain SPM (Suspended Particulate

Matter), TSP (Total Suspended Particulate), dan balack smake. Istilah lainnya mengacu pada tempat di saluran pernafasan dimana partikulat debu dapat

mengendap, seperti inhalable/thoracic particulate yang mengedap di bawah

pangkal tenggorokan. Istilah lainnya yang juga digunakan adalah PM10 (partikulat

debu dengan ukuran diameter aerodinamik <10 mikron), yang mengacu pada unsur fisiologi maupun metode pengambilan contoh.

Pengaruh partikulat debu yang berada di udara terhadap kualitas lingkungan sangat tergantung kepada ukurannya. Ukuran partikulat debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0.1 mikron sampai dengan 10 mikron. Pada umumnya partikulat debu yang berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung masuk kedalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sedangkan partikulat yang lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata. Berdasarkan PP 41 tahun 1999 baku

9

mutu konsentrasi PM10 yang masih diijinkan adalah tidak lebih dari 150 g/m3

untuk waktu pengukuran 24 jam (SARPEDAL KLH, 2003b).

Lapisan troposfer mengandung Ozon atau O3 kira-kira hanya 10% dari

seluruh kandungan Ozon yang ada di atmosfer. Ozon adalah komponen atmosfer yang diproduksi oleh proses fotokimia, yaitu suatu proses kimia yang membutuhkan sinar matahari untuk mengoksidasi komponen-komponen yang tak segera dioksidasi oleh oksigen. Senyawa yang terbentuk merupakan bahan pencemar sekunder yang diproduksi dari interaksi antara bahan pencemar primer dengan sinar matahari. Hidrokarbon merupakan komponen yang berperan dalam

produksi oksidan fotokimia. Reaksi ini juga melibatkan siklus fotolitik NO2.

Polutan sekunder yang dihasilkan dari reaksi hidrokarbon dalam siklus ini adalah Ozon dan Peroksiasetilnitrat (PAN). Karena Ozon merupakan senyawa yang dominan dari oksidan fotokimia ini, yaitu mencakup kira-kira 98% volume, maka hasil pemantauan udara ambien dinyatakan sebagai kadar Ozon. (Soedomo, 2001)

Ozon dapat ditemukan di setiap tempat dimana terdapat oksida nitrogen

dan hidrokarbon yang berinteraksi di bawah radiasi sinar matahari. Ozon

berbahaya bagi tumbuh-tumbuhan, karena dapat mengganggu prosesfotosintesis.

Sedangkan dampak terhadap manusia dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan pernafasan. Berdasarkan PP 41 tahun 1999 baku mutu konsentrasi ozon

yang masih diijinkan adalah tidak lebih dari 235 g/m3 untuk waktu pengukuran

1 jam (SARPEDAL KLH, 2003b).

2.2. Jaringan Pemantau Kualitas Udara Ambien di Kota Surabaya

Sejak tahun 1992 BAPEDAL Pusat/ Menteri Lingkungan Hidup membuat

strategi pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dengan Program Langit Biru. Untuk mengevaluasi pelaksanaan program ini, pemerintah Republik Indonesia bekerjasama dengan pemerintah Austria membangun Jaringan Pemantau Kualitas Udara Ambien Terpadu untuk kota metropolitan dan kota

rawan kebakaran melalui proyek The Integrated Ambient Air Quality Monitoring

for Metropolitan Area. Lokasi jaringan pemantau kualitas udara di Indonesia disajikan pada Lampiran 1. Tujuan utama dari jaringan pemantauan kualitas udara ambien adalah mengetahui besarnya kondisi kualitas udara melalui pengukuran

10

kondisi meteorologis yang terdiri dari arah angin, kecepatan angin, suhu, kelembaban udara, dan global radiasi (SARPEDAL KLH, 2003a).

Untuk dapat memberikan kemudahan dan keseragaman informasi kualitas

udara ambien kepada masyarakat di suatu lokasi pada waktu tertentu, serta sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan upaya pengendalian pencemaran udara telah ditetapkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 45 tahun 1997. ISPU adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu didasarkan dampaknya pada kesehatan manusia, makhluk lainnya, dan nilai estetika (KLH, 2002)

Kota Surabaya telah mengoperasikan jaringan pemantauan kualitas udara

yang bekerja secara kontinu 24 jam sehari sejak April 2001. Peralatan dari jaringan pemantau ini terdiri dari beberapa komponen yaitu :

1. Lima stasiun pemantau kualitas udara permanen.

2. Lima tampilan data publik (Public Data Display)

3. Peralatan RAQMC (Regional Air Quality Monitoring Center)

4. Peralatan kalibrasi dan maintenance

Peralatan sensor pada stasiun pemantau dan tampilan data publik disajikan pada Lampiran 2. Cara kerja peralatan jaringan pemantau kualitas udara ambien disajikan pada Lampiran 3.

Pemilihan lokasi penempatan peralatan jaringan pemantau ditetapkan

bersama oleh Tim BAPEDAL Pusat, Pemerintah Austria, dan Tim Pemkot Surabaya beserta Pemprov Jatim tanggal 10-13 Maret 1999. Lokasi harus berada pada daerah pemukiman agar data yang dihasilkan adalah data kualitas udara ambien dan bukan udara emisi dengan jarak minimum dari jalan raya 20 meter sampai 250 meter. Lokasi penempatan 5 stasiun pemantau kualitas udara ambien kota Surabaya disajikan pada Gambar 3 dengan perincian sebagai berikut :

1. Halaman taman prestasi (Jl. Ketabang Kali) disingkat dengan SUF-1.

Lokasi ini mewakili daerah pusat kota, pemukiman, perkantoran, dan perdagangan Surabaya Pusat.

2. Halaman kantor kelurahan Perak Timur (Jl. Selangor) disingkat dengan

11

3. Halaman bekas kantor pembantu walikota Surabaya Barat (Jl.

Sukomanunggal) disingkat dengan SUF-3. Lokasi ini mewakili daerah pemukiman, dan daerah pinggir kota.

4. Halaman kecamatan Gayungan (Jl. Gayungan) disingkat dengan SUF-4.

Lokasi ini mewakili daerah pemukiman dekat jalan tol Surabaya-Gempol Surabaya Selatan.

5. Halaman Convention Hall (Jl. Arif Rahman Hakim) disingkat dengan

SUF-5. Lokasi ini mewakili pemukiman, kampus dan perkantoran Surabaya Timur.

Gambar 3. Peta kota Surabaya dan lokasi 5 stasiun pemantau

Berdasarkan panduan mutu ISPU, sensor yang ada pada stasiun pemantau kualitas udara mampu menangkap pencemar udara dengan sensitifitas sampai sejauh radius 5 km, dengan mekanisme kerja berdasarkan arah angin yang menuju

alat dengan spesifikasi kisaran arah angin antara 0o sampai 360o dengan

kecepatan angin sampai dengan 60 m/detik [SARPEDAL KLH, 2003b].

2.3. Deskripsi Umum Kota Surabaya

Kota Surabaya merupakan ibukota propinsi Jawa Timur yang terletak di

koordinat 70 12’ -70 21’ lintang selatan dan 1120 36’ sampai 1120 54’ bujur timur

dengan luas wilayah ± 326.37 km2. Wilayah kota Surabaya merupakan dataran

rendah dengan ketinggian antara 0 - 50 meter di atas permukaan laut, sedangkan pada daerah pantai ketinggian berkisar antara 1-3 meter di atas permukaan laut

SUF-1 SUF-2

SUF-3

SUF-4

12

bahkan sebagian lebih rendah dari permukaan laut. Sebagian besar wilayah kota Surabaya memiliki ketinggian tanah berkisar antara 0 - 10 meter yaitu 25919.04 ha (80.72%) yang menyebar di bagian timur, utara, selatan, dan pusat kota. Pada wilayah kota lainnya memiliki ketinggian berkisar antara 10 - 20 meter (12.53%) dan di atas 20 meter dari permukaan laut (6.76%) yang terdapat pada bagian barat dan selatan kota Surabaya (Surabaya dalam Angka, 2002).

Kota Surabaya beriklim tropis dengan suhu udara yang relatif konstan

sepanjang tahun, yaitu dari 250 C pada malam hari sampai 340 C pada siang hari.

Kelembaban rata-rata antara 65 % sampai 85 %. Pola iklim di kota Surabaya dipengaruhi oleh angin muson sehingga setiap tahun terjadi dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada umumnya musim kemarau berlangsung dari bulan April sampai Oktober, sedangkan musim hujan berlangsung dari bulan Desember sampai dengan Maret. Curah hujan maksimum biasanya terjadi pada

Dokumen terkait