MODEL ADITIF SPATIO-TEMPORAL UNTUK
PENCEMAR UDARA PM
10DAN OZON
DI KOTA SURABAYA DENGAN PENDEKATAN
MODEL LINEAR CAMPURAN
ANIK DJURAIDAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ‘Model aditif
Spatio-Temporal untuk Pencemar Udara PM10 dan Ozon di Kota Surabaya dengan
pendekatan Model Linear Campuran’ adalah karya saya sendiri dengan arahan
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2007
Anik Djuraidah
ABSTRAK
ANIK DJURAIDAH. Model aditif Spatio-Temporal untuk Pencemar Udara PM10
dan Ozon di Kota Surabaya dengan pendekatan Model Linear Campuran. Dibimbing oleh AUNUDDIN, AHMAD ANSORI MATTJIK, dan RIZALDI BOER
Model aditif adalah generalisasi model regresi berganda dengan nilai tengah respon dimodelkan sebagai penjumlahan dari bentuk hubungan fungsional
setiap prediktor. Berdasarkan hasil eksplorasi pada data PM10 dan Ozon diketahui
bahwa dalam data terdapat korelasi temporal dan korelasi spatial dan disebut dengan data temporal. Penelitian ini mengkaji pemodelan pada data
spatio-temporal PM10 dan Ozon dengan model aditif. Fungsi mulus pada model aditif
dimodelkan dengan P-spline. Karena P-spline mempunyai hubungan metematis yang sederhana dengan model linear campuran, maka model aditif dengan fungsi mulus P-spline dapat diduga dengan model linear campuran. Model aditif spatio-temporal adalah gabungan antara model aditif deret waktu dengan model aditif spatial. Korelasi spatial dimodelkan dalam model aditif spatial, dan korelasi temporal dimodelkan dalam model aditif deret waktu, sehingga kedua macam korelasi ini sudah diperhitungkan dalam model aditif spatio-temporal. Pada model aditif spatio-temporal dapat ditambahkan hubungan fungsional peubah penjelas lain seperti faktor meteorologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendugaan model aditif dengan pendekatan model linear campuran memberikan kemudahan dalam komputasi karena basis P-spline berdimensi rendah dan dalam penarikan kesimpulan karena model berbasis metode kemungkinan maksimum. Pendugaan model aditif dengan pendekatan model linear campuran dapat dipertimbangkan
sebagai metode alternatif pendugaan model aditif disamping algoritma backfitting.
Penambahan faktor meteorologis pada model aditif spatio-temporal meningkatkan ketelitian model. Pola kontur prediksi spatial pada Ozon lebih beragam
dibandingkan dengan pola kontur pada PM10. Hal ini disebabkan Ozon berbentuk
gas dan PM10 berbentuk padat, sehingga Ozon mudah menyebar dibandingkan
dengan PM10. Dari pola kontur prediksi spatial bisa diketahui sumber dan arah
penyebaran pencemaran udara. Berdasarkan prediksi spatial dari model aditif
spatio-temporal untuk PM10, lokasi stasiun pemantau yang saat ini dioperasikan
kurang optimal sehingga perlu dilakukan realokasi. Hasil realokasi menunjukkan bahwa pada lokasi baru dapat meningkatkan ketelitian prediksi spatial, khususnya
pada daerah konsentrasi PM10 tinggi.
ABSTRACT
ANIK DJURAIDAH. Spatio-Temporal Additive Model for Air Pollution PM10
and Ozone in Surabaya using Linear Mixed Model Approach. Under the direction of AUNUDDIN, AHMAD ANSORI MATTJIK, and RIZALDI BOER
Additive model is the generalized of multiple linear regression that expresses the mean of a reponse variable as a sum of functional form of predictors. The results from data exploration of PM10 and Ozone show that the
data contain spatial correlation and temporal correlation and known as
spatio-temporal data. This research is focused in modelling spatio-spatio-temporal data PM10
and Ozone using additive models with P-spline as smooth functions. Since P-spline has connection with linear mixed models, the estimation of additive model can be approached by linear mixed models. Spatio-temporal additive models are combination of time series addtive models and spatial additive models. Spatial additive model is used for modelling spatial correlation, and time series additive model is used for modelling temporal correlation, hence spatio-temporal additive models take account both correlation. We can add functional form of other predictors like meteorological factors to the model. The research results show that estimation of additive models using linear mixed models offer simplicity in the computation, since use low-rank dimension of P-spline, and in the model inference, since based on maximum likelihood method. Estimation additive model using linear mixed model approach can be suggested as an alternative method of additive models, beside backfitting algorithms. Addition meteorological factors in spatio-temporal models improved the accuracy of models. The contour pattern of spatial prediction for Ozone are more variation than that for PM10, since Ozone is gas and made it spread easier than PM10,
which is particle. The spatial prediction of spatio-temporal additive model can be used to detect the source and spread direction of air pollution. Based on result from spatial prediction of spatio-temporal additive model for air pollutant PM10,
the existing monitoring stations are not optimal and they should be moved to other locations. The result of reallocation shows that new location of monitoring network can increase the accuracy of spatial prediction, especially at area with high concentration of PM10
MODEL ADITIF SPATIO-TEMPORAL UNTUK
PENCEMAR UDARA PM
10DAN OZON
DI KOTA SURABAYA DENGAN PENDEKATAN
MODEL LINEAR CAMPURAN
ANIK DJURAIDAH
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Statistika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : Model Aditif Spatio-temporal untuk Pencemar
Udara PM10 dan Ozon di Kota Surabaya dengan
Pendekatan Model Linear Campuran Nama Mahasiswa : Anik Djuraidah
NIM : G161020031
Program Studi : Statistika
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Aunuddin, MSc Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Ahmad Ansori Mattjik, MSc Anggota
Dr. Ir. Rizaldi Boer, MAgr Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Statistika
Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, MSc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian telah dilaksanakan sejak
awal tahun 2005 dengan judul Model aditif Spatio-Temporal untuk Pencemar
Udara PM10 dan Ozon di Kota Surabaya dengan Pendekatan Model Linear
Campuran.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Aunuddin, MSc,
Bapak Prof. Dr. Ir. H. Ahmad Ansori Mattjik, MSc dan Bapak Dr. Ir. Rizaldi
Boer, MAgr atas bimbingan, arahan, dan kritik, serta sarannya selama penelitian.
Di samping itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:
1. Pimpinan Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang telah memberikan ijin
untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB.
2. Pimpinan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Statistika dan staf
pengajar serta karyawan Sekolah Pascasarjana yang telah memberikan layanan
pengajaran dan adminstrasi dengan baik.
3. Ibu Dra. Chamida, MSi beserta staf di Laboratorium Kualitas Udara Dinas
Lingkungan Hidup Pemkot Surabaya yang telah membantu pengumpulan data
kualitas udara ambien.
4. Bapak Irvan Wahyudrajat, MT dari Dinas Perhubungan Pemkot Surabaya
yang telah membantu pengumpulan data trafik lalu-lintas
5. Kedua orang tua (alm), suami, putra-putri, dan seluruh keluarga penulis yang
senantiasa memberikan dorongan dan do’a yang tulus.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa disertasi ini
masih jauh dari sempurna. Namun demikian penulis berharap tulisan ini dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak lain yang memerlukan.
Bogor, Maret 2007
Anik Djuraidah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 15 Mei 1963, sebagai anak
kedua dari pasangan M. Jasin Dahlan (alm) dan Siti Djulaikah (almh). Pendidikan
sarjana ditempuh di Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1985. Pada
tahun 1987 penulis diterima di Program Studi Statistika pada Program
Pascasarjana, IPB, dan menyelesaikannya pada tahun 1991. Pada tahun 2002
penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti program doktor pada Program
Studi Statistika, Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa pendidikan (BPPS)
diperoleh dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Pada saat ini
penulis bekerja sebagai dosen pada Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, ITS.
Penulis menikah dengan Sjaiful Bachri dan telah dikaruniai empat orang
anak, yaitu Raisya Noor Pertiwi, Anisa Noor Corina, Choirunisa (almh), dan
Mirza Satria.
Selama mengikuti program S3, penulis telah menghasilkan beberapa karya
ilmiah yang telah dipublikasikan dalam seminar nasional, dan sebagian
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional. Karya-karya ilmiah ini merupakan
bagian dari program S3 penulis. Karya-karya ilmiah tersebut adalah:
1. Sunaryo S, Setiawan, Djuraidah A, Saefuddin A. 2003. Sejarah
Perkembangan Statistika dan Aplikasinya. Forum Statistika dan
Komputasi 8(1) : 1-5.
2. Djuraidah A, 2003. Penerapan Gabungan metode Jaringan Syaraf Tiruan
dengan Kuadrat Terkecil Parsial pada Data Kalibrasi. Prosiding Seminar
Nasional Metematika dan Pendidikan Matematika UNJ, Jakarta
28 Juni 2003.
3. Djuraidah A, Notodiputro KA. 2004. Penggunaan Jaringan Syaraf Tiruan
untuk Pendugaan Model Linear dengan Keragaman Konstan. Prosiding
Pertemuan Ilmiah National Basic Science I, UNIBRAW, Malang 17
4. Djuraidah A, Aunuddin. 2004. Analisis Diskriminan Kernel untuk
Pengelompokkan Warna. Prosiding Seminar Nasional Statistika IPB,
Bogor 4 September 2004.
5. Djuraidah A, Aunuddin. 2006a. Pendugaan Regresi Spline Terpenalti
dengan Pendekatan Model Linear Campuran. Statistika Jurnal Statistika
FMIPA-UNISBA 6(1): 39-46.
6. Djuraidah A, Aunuddin. 2006b. Pendugaan Model Aditif untuk Data
Deret Waktu dengan Pendekatan Model Linear Campuran. Inferensi
Jurnal Statistika FMIPA-ITS 2(1):76-92.
7. Djuraidah A, Aunuddin. 2006c. Kriging dan Thin-Plate Spline dengan
Pendekatan Model Linear Campuran. Matematika Integratif Jurnal
MatematikaFMIPA-UNPAD 5(2):1-12.
8. Djuraidah A, Aunuddin. 2006d. Estimation of Spatio-temporal Additive
Model Using Linear Mixed Model Approach with Application to Ozone
Data in Surabaya. Proceedings of The first International Conference on
Mathematics and Statistics, Bandung, June 19 – 21, 2006 (akan
diterbitkan).
9. Djuraidah A, Aunuddin. 2006e. Optimasi Penentuan Lokasi Stasiun
Pemantau Kualitas Udara Ambien di Kota Surabaya. Forum Statistika
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …...………... xii
DAFTAR GAMBAR ………. xiii
DAFTAR LAMPIRAN …..………. xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang ...………... 1
Tujuan Penelitian ………. 4
Kerangka Pemodelan .………. 4
Hubungan antar Bab 6 DESKRIPSI DATA PENELITIAN Pencemar Udara PM10 dan Ozon ………... 7
Jaringan Pemantau Kualitas Udara Ambien di Kota Surabaya …….... 9
Deskripsi Umum Kota Surabaya ………... 11
Metode Eksplorasi Data ………... 12
Hasil Eksplorasi Data ………... 13
Faktor Meteorologis ………... 14
Pencemar Udara PM10 ………... 17
Pencemar Udara Ozon ………... 22
Hubungan antara Pencemar Udara dengan Faktor Meteorologis ... 26
Hubungan Spatial antar Pencemar Udara ………... 28
Simpulan ………... 31
Daftar Pustaka ………... 32
MODEL LINEAR CAMPURAN Sejarah Komponen Ragam ………... 33
Model Linear Campuran ………... 36
Pemulusan dengan Model Linear Campuran ... 38
Daftar Pustaka ... 40
REGRESI SPLINE TERPENALTI DENGAN PENDEKATAN MODEL LINEAR CAMPURAN Abstrak ………... 43
Abstract ……….………... 43
Pendahuluan ………... 44
Regresi Spline Terpenalti ………... 45
x
Penerapan pada Data Pencemar Udara PM10 dan Ozon ... 47
Simpulan ....………..……... 52
Daftar Pustaka ...………... 52
MODEL ADITIF DERET WAKTU DENGAN PENDEKATAN MODEL LINEAR CAMPURAN Abstrak .………... 54
Abstract ………... 54
Pendahuluan ………... 55
Pendugaan Model Aditif Deret Waktu ... 56
Model Aditif ………... 56
Model Aditif Deret Waktu PM10 dan Ozon . 57 Bahan dan Metode ………... 58
Hasil dan Pembahasan………... 59
Model Aditif Deret Waktu PM10 ... 59
Model Aditif Deret Waktu Ozon 65
Simpulan ………... 70
Daftar Pustaka ………... 71
MODEL ADITIF SPATIAL DENGAN PENDEKATAN MODEL LINEAR CAMPURAN Abstrak ...………... 72
Abstract ………... 72
Pendahuluan ………... 73
Pendugaan Model Aditif Spatial ... 74
Kriging dan Spline-d ... 74
Pendugaan Kriging dan Spline-d dalam Model Campuran ... 76
Bahan dan Metode ………... 77
Hasil dan Pembahasan ……... 79
Model Aditif Spatial PM10 ... 79
Model Aditif Spatial Ozon 82
Simpulan ………... 86
Daftar Pustaka ………... 86
MODEL ADITIF SPATIO-TEMPORAL DENGAN PENDEKATAN MODEL LINEAR CAMPURAN Abstrak ………... 87
Abstract ...………... 87
Pendahuluan ..………... 88
xi
Pendugaan Model Aditif Spatio-temporal ... 90
Bahan dan Metode ………... 92
Hasil dan Pembahasan ……... 93
Model Aditif Spatio-temporal PM10 ... 93
Model Aditif Spatio-temporal Ozon . 96 Simpulan .………... 98
Daftar Pustaka ………... 98
PEMBAHASAN UMUM ……… Pemodelan Data Spatio-temporal ……... 99
Pengaruh Faktor Meteorologis ……... 101
Optimasi Lokasi Stasiun Pemantau ... 105
Penilaian Lokasi Stasiun Pemantau di Surabaya ... 106
Prosedur Penentuan Lokasi Jaringan Pemantau ... 108
SIMPULAN DAN SARAN ………... 112
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Nilai parameter pemulus, penalti kekasaran, dan MSE dari
pemulus kubik spline dan P-spline untuk Ozon ... 48
2 Nilai parameter pemulus, penalti kekasaran, dan MSE dari
pemulus kubik spline dan P-spline untuk PM10 ... 50
3 Beberapa model aditif untuk PM10 dan nilai statistik model ... 64
4 Beberapa model aditif untuk Ozondan nilai statistik model ... 68
5 Nilai AIC, MSE, dan parameter pemulus dari model kriging dan
spline-2 untuk PM10 ... 81
6 Nilai AIC, MSE, dan parameter pemulus dari model kriging dan
spline-2 untuk Ozon ... 83
7 Nilai AIC, MSE, dan parameter pemulus dari model aditif
spatio-temporal PM10 ... 94
8 Nilai AIC, MSE, dan parameter pemulus dari model aditif
spatio-temporal Ozon. ... 96
9 Waktu komputasi dari model aditif dengan metode model linear
campuran dan algoritma backfitting ... 101
10 Jarak antar lima SUF di Surabaya 107
11 Jarak antar lima SUF baru 109
12 Nilai MSE dan parameter pemulus pada model aditif
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemodelan PM 10 dan Ozon ... 5
2 Keterkaitan antar Bab dalam disertasi ... 6
3 Peta kota Surabaya dan lokasi 5 stasiun pemantau ... 11
4 Plot antara rataan suhu udara per bulan dengan jam di setiap
SUF pada bulan Januari – Desember 2002 ... 14
5 Plot antara rataan kecepatan angin per bulan dengan jam di
setiap SUF pada bulan Januari – Desember 2002 ... 15
6 Plot antara modus arah angin per bulan dengan jam di setiap
SUF pada Januari- Desember 2002 ... 16
7 Plot rataan curah hujan harian per bulan di 3 stasiun pemantau
pada bulan Januari – Desember 2002 ... 17
8 Diagram kotak garis konsentrasi PM10 di setiap SUF pada bulan
Januari sampai Desember 2002 ... 18
9 Transformasi Box-Cox untuk PM10 ... 19
10 Diagram kotak garis logaritma konsentrasi PM10 di setiap SUF
pada bulan Januari sampai Desember 2002 ... 19
11 Plot antara rataan konsentrasi PM10 per bulan dengan jam di
setiap SUF pada Januari- Desember 2002 ... 20
12 Plot ACF dan PACF dari Rataan Konsentrasi PM10 ... 21
13 Diagram kotak garis konsentrasi Ozondi setiap SUF pada bulan
Januari sampai Desember 2002 ... 22
14 Transformasi Box-Cox untuk Ozon ... 23
15 Diagram kotak garis logaritma konsentrasi Ozon di setiap SUF
pada bulan Januari sampai Desember 2002 ... 23
16 Plot antara rataan konsentrasi Ozonper bulan dengan jam di
setiap SUF pada Januari- Desember 2002 ... 24
17 Plot ACF dan PACF dari rataan konsentrasi Ozon ... 25
18 Plot CCF antara PM10 dengan suhu udara dan kecepatan angin
pada setiap SUF ... 26
19 Plot CCF antara Ozon dengan suhu udara dan kecepatan angin
pada setiap SUF ... 27
20 Plot CCF konsentrasi PM10 antar SUF ... 29
21 Plot CCF konsentrasi Ozon antar SUF ... 30
22 Plot antara CCF dengan jarak antar SUF dan persamaan garis
regresinya untuk PM10 dan Ozon ... 31
xiv
24 Kurva P-spline berderajat-2 untuk PM10 ... 49
25 Kurva P-spline berderajat-3 untuk PM10 ... 49
26 Kurva pemulus kubik spline untuk PM10 ... 49
27 Kurva P-spline berderajat-1 untuk Ozon... 51
28 Kurva P-spline berderajat-2 untuk Ozon ... 51
29 Kurva P-spline berderajat-3 untuk Ozon ... 51
30 Kurva pemulus kubik spline untuk Ozon ... 51
31 Plot tebaran lnPM10 dengan lag-(1) lnPM10 dan empat bentuk hubungan fungsionalnya ... ... 60
32 Plot tebaran lnPM10 dengan lag-(2) lnPM10 dan empat bentuk hubungan fungsionalnya ... ... 60
33 Kurva spline untuk lnPM10 dengan jam jumlah simpul 8 dan 23 .. 61
34 Plot tebaran ln PM10 dengan lag-(-1) kecepatan angindan tiga bentuk hubungan fungsionalnya ... 61
35 Plot ACF dan PACF galat model aditif terbaik PM10 ... 63
36 Plot tebaran data dan hasil pendugaan model aditif deret waktu terbaik PM10 dengan jam ... 63
37 Plot tebaran lnOzon dengan lag-(1) lnOzon dan empat bentuk hubungan fungsionalnya ... ... 65
38 Plot tebaran lnOzon dengan lag-(-2) lnOzon dan empat bentuk hubungan fungsionalnya ... ... 66
39 Kurva spline untuk lnOzondengan jam jumlah simpul 8 dan 23 .. 66
40 Plot tebaran lnOzon dengan suhu udaradan tiga bentuk hubungan fungsionalnya ... 67
41 Plot ACF dan PACF galat model aditif terbaik Ozon ... 70
42 Plot tebaran data dan hasil pendugaan model aditif deret waktu terbaik Ozon dengan jam ... 70
43 Plot rataan sisaan dan plot korelasi spasial dan fungsinya untuk PM10 ... 79
44 Fungsi basis radial untuk kriging dan spline-2 dari PM10 ... 80
45 Kontur dan kurva permukaan kriging PM10 ... 80
46 Kontur dan kurva permukaan spline-2 PM10 ... 81
47 Pola simpangan baku spatial dari kriging dan spline-2 untuk PM10 ... 82
48 Plot rataan sisaan dan plot korelasi spasial dan fungsinya untuk Ozon ... 82
49 Fungsi basis radial untuk kriging dan spline-2 dari Ozon ... 83
50 Kontur dan kurva permukaan kriging Ozon ... 84
xv
52 Pola simpangan baku spatial dari kriging dan spline-2 untuk
Ozon ... 85
53 Pola ragam spatial Model-11 dan Model-12 untuk PM10 ... 95
54 Plot korelasi spatial, plot ACF, dan plot PACF dari galat
Model-12 untuk PM10 ... 95
55 Pola ragam spatial Model-5 dan Model-6 untuk Ozon ... 97
56 Plot korelasi spatial, plot ACF, dan plot PACF dari galat
Model-6 untuk Ozon ... 97
57 Kontur dari model tanpa faktor meteorologis dan model dengan
faktor meteorologis untuk PM10 pada pada tanggal 31 Agustus
2002 jam 6, 7, 8, 16, 19 ... 102
58 Kontur dari model tanpa faktor meteorologis dan model dengan
faktor meteorologis untuk Ozon pada pada tanggal 31 Agustus
2002 jam 6, 7, 8, 16,19 ... 103
59 Prediksi spatial PM10 pada jam 8 tanggal (a) 19 Mei 2002, (b)22
Juli 2002, (c) 31 Agustus 2002, dan (d) rata-rata ... 106
60 Tahapan penentuan lokasi stasiun pemantau yang baru ... 109
61 Pola ragam spatial (a) SUF asli (b) SUF baru ... 110
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Lokasi jaringan pemantau kualitas udara di Indonesia ... 120
2 Peralatan sensor stasiun dan tampilan data publik ... 121
3 Pusat pemantau dan pengolahan data kualitas Udara di
Surabaya ……….. 122
4 Pengelompokkan arah angin ……….. 123
5 Kontur dari model aditif spatio-temporal terbaik PM10 pada
jam 1 sampai jam 24 ... 124
6 Prediksi temporal dari model aditif spatio-temporal terbaik
PM10 ... 125
7 Kontur dari model aditif spatio-temporal terbaik Ozon pada
jam 1 sampai jam 24 ... 127
8 Prediksi temporal dari model aditif spatio-temporal terbaik
Ozon ... 128
9 Daftar titik contoh dari lokasi SUF baru ... 130
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Teori klasik dari geostatistik terutama berhubungan dengan kasus dari satu
realisasi proses stokastik yang berkorelasi secara spatial (Cressie, 1993;
Stein, 1999). Kriging adalah suatu teknik di geostatistik untuk menduga nilai
respon pada lokasi yang tidak diamati melalui interpolasi spatial. Istilah kriging
diambil dari nama insinyur pertambangan Afrika Selatan D.G. Krige, seorang
pioner metode interpolasi spatial di industri pertambangan. Pada saat ini kriging
digunakan secara luas untuk prediksi spatial pada berbagai bidang.
Akhir-akhir ini banyak dikembangkan model spatio-temporal untuk
menganalisa data spatial yang diamati pada waktu yang kontinu. Pada dasarnya
model ini merupakan perluasan dari proses spatial menjadi proses stokastik yang
berkorelasi serentak dalam spatial dan waktu. Metode statistika yang digunakan
pada model ini merupakan gabungan antara model deret waktu dengan model
variogram dari geostatistik. Model spatio-temporal digunakan untuk memprediksi
secara optimal pada lokasi dan waktu yang tidak diamati dari proses
spatio-temporal. Dengan demikian analisa dengan model spatio-temporal lebih
menguntungkan dibandingkan dengan pendekatan model spatial saja atau dengan
model deret waktu saja.
Model spatio-temporal banyak diterapkan di bidang lingkungan,
pertanian, klimatologi, meteorologi, hidrologi, dan kesehatan. Pemodelan pada
data spatio-temporal sangat beragam, secara umum dapat dikelompokkan ke
dalam empat kelompok. Perkembangan model spatio-temporal diawali dari
kelompok pertama. Pada kelompok ini, metode deret waktu stasioner diperluas
dengan menambahkan matriks ragam-peragam spatial. Metode ini antara lain
STARMA (space-time autoregressive moving average) yang dikemukakan oleh
Pfeifer dan Deutch (1980) dan model STARMAX yang dikemukakan oleh
Stoffer (1986) yang dibentuk dengan menambahkan matriks ragam-peragam
spasial pada model deret waktu ARMA. Kelompok kedua merupakan gabungan
antara analisa deret waktu dengan fungsi peragam spatio-temporal. Pada
kelompok ini, respon diuraikan ke dalam komponen deterministik dan komponen
2
Beberapa peneliti yang menggunakan model ini antara lain Guttorp et al (1998),
Carroll et al (1997), dan Cressie dan Huang (1999). Sedangkan kelompok ketiga
terdiri dari model linear dinamik Bayes, seperti yang dikemukakan oleh Sanso
dan Guenni (1999), Stroud et al (2001), Tonellato (2001), Cressie and Wikle
(2002), Saddick dan Wakefield (2002). Ketiga kelompok model spatio-temporal
di atas merupakan perluasan dari analisa deret waktu. Kelompok keempat
merupakan perkembangan terbaru dari model spatio-temporal yang terdiri dari
model yang bersifat lebih fleksibel, yaitu model aditif dan model aditif terampat
(generalized additive model selanjutnya disebut GAM). Beberapa peneliti yang
menggunakan GAM antara lain Zoppou et al (2000), Draghicescu (2003), dan
Smith dan Kolenikov (2004). Sedangkan Kamman dan Wand (2003)
mengembangkan model aditif untuk data spatial yang disebut dengan model
geoaditif. Model ini merupakan perluasan dari metode kriging dengan
penambahan peubah penjelas.
Model aditif merupakan generalisasi dari model regresi linear berganda,
dan GAM merupakan generalisasi model aditif untuk respon yang berasal dari
sebaran keluarga eksponensial (exponential family). Model ini dipelopori dan
dikembangkan oleh Hastie dan Tibshirani (1990) dengan menggunakan metode
pendugaan algoritma backfitting. Meskipun GAM bersifat fleksibel dan efisien,
algoritma backfitting dengan pemulus linear mempunyai kesulitan dalam seleksi
model dan penarikan kesimpulan. Kesulitan pada GAM ini dipecahkan oleh Gu
dan Wahba (1991) dengan pemulus spline terampat (generalized smoothing spline
selanjutnya disingkat GSS) dan algoritma untuk pendugaan parameter pemulus
ganda pada model GSS. Sayangnya perhitungan GSS mendekati n3, dengan n
adalah banyaknya data yang akan dimodelkan.
Eilers dan Marx (1996) mengemukakan metode pemulus dimensi rendah
yang disebut dengan P-spline. Pendekatan yang sama juga dikemukakan Ruppert
dan Carroll (1997) dengan nama regresi spline terpenalti (penalized spline
regression) dan disebut juga dengan P-spline. Metode ini menggunakan basis
pemulus dengan lokasi simpul yang tetap dan jumlahnya lebih kecil dari data,
sehingga komputasinya lebih memungkinkan. Kriteria pendugaan pada P-spline
3
dan penalti kekasaran (roughness penalty). P-spline mempunyai hubungan
matematis yang sederhana dengan model linear campuran seperti yang dibahas
oleh Brumback dan Rice (1998), Fan dan Zhang (1998), Wang (1998), Brumback
et al (1999), Vebyla et al (1999), French et al (2001), Kamman dan Wand (2003),
dan Wand (2003).
Model linear campuran merupakan perluasan dari model linear yaitu
dengan menambahkan efek acak. Metode ini banyak digunakan dalam rancangan
percobaan untuk data yang berkorelasi seperti pada percobaan pengukuran
berulang. Pendugaan model linear campuran menggunakan metode kemungkinan
(maximum likelihood selanjutnya disingkat ML) atau metode kemungkinan
maksimum berkendala (restricted maximum likelihood selanjutnya disingkat
REML). Dengan diketahuinya hubungan matematis antara P-spline dengan model
linear campuran, maka P-spline dapat diformulasikan dalam model linear
campuran dan dapat diduga dengan metode ML (REML). Efek samping yang
menarik dari hubungan antara P-spline dengan model linear campuran adalah
parameter pemulus P-spline berhubungan dengan komponen ragam dari model
linear campuran. Hubungan antara pemulusan dengan model linear campuran
baru terbuka setelah munculnya paket program model ini di SAS dan S-PLUS.
Pendugaan metode nonparametrik P-spline dengan menggunakan metode REML
merupakan suatu paradigma baru di bidang pemulusan (Wand, 2003)
Di kota Surabaya ditempatkan lima buah stasiun pemantau kualitas udara
ambien. Setiap stasiun pemantau dilengkapi dengan alat ukur zat pencemar udara
yang terdiri dari CO (karbon monooksida), SO2 (sulfur dioksida), O3 (ozon), NO2
(nitrogen dioksida) dan PM10 (partikel debu berukuran 10 mikron) dan kondisi
meteorologis yang terdiri dari arah angin, kecepatan angin, suhu, kelembaban
udara, dan global radiasi (SARPEDAL KLH, 2003a). Hasil pemantauan
ditampilkan di lokasi strategis agar dapat dibaca oleh masyarakat setiap saat.
Pada tahun 2001-2003 pencemar udara dominan di kota Surabaya adalah PM10
diikuti Ozon (Chamida, 2004).
Pada data pencemar udara PM10 dan Ozon terdapat korelasi temporal dan
korelasi spatial yang harus diperhitungkan dalam pemodelannya. Di Indonesia
4
deskriptif (Din LH Surabaya, 2002; SARPEDAL KLH, 2003b), metode deret
waktu di satu lokasi stasiun (Roekmi, 1997; Prestiwati, 2002), dan metode spatial
pada satu waktu pengamatan (Andayani, 2002; Hamonangan, 2004).
Pada umumnya model spatio-temporal untuk pencemar udara yang
terdapat di referensi hanya menggunakan peubah penjelas waktu dan lokasi saja,
dengan ukuran data yang tidak terlalu besar. Pada penelitian ini akan
dikembangkan model spatio-temporal dengan mengikutsertakan faktor
meteorologis di samping peubah penjelas waktu dan lokasi. Hal ini disebabkan
faktor meteorologis diduga berpengaruh terhadap penyebaran polutan PM10 dan
Ozon. Model yang dipilih untuk pemodelan pencemar udara PM10 dan Ozon
adalah model aditif dengan pendekatan model linear campuran, dengan beberapa
pertimbangan yaitu :
1. dapat digunakan untuk menggabungkan model deret waktu, model spatial,
dan hubungan fungsional faktor meteorologis,
2. bersifat fleksibel karena hubungan fungsional antara peubah penjelas
kontinu dengan respon dapat berbentuk parametrik atau nonparametrik
3. komputasi yang cepat untuk data berukuran besar, karena menggunakan
pemulus berdimensi rendah P-spline.
4. berbasis model dan metode kemungkinan maksimum, karena pendugaan
model dapat menggunakan metode ML atau REML.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah membuat model aditif spatio-temporal
untuk pencemar udara PM10 dan Ozon di Kota Surabaya dengan fungsi mulus
P-spline dan diduga dengan pendekatan model linear campuran
1.3. Kerangka Pemodelan
Permasalahan utama yang akan dikaji pada penelitian ini adalah
pemodelan pencemar udara dominan PM10 dan Ozon di kota Surabaya dengan
model aditif spatio-temporal. Pada data spatio-temporal terdapat korelasi temporal
dan korelasi spatial yang harus diperhitungkan dalam pemodelannya. Pada
penelitian ini korelasi temporal dimodelkan dalam model aditif deret waktu dan
korelasi spatial dimodelkan dalam model aditif spatial. Selanjutnya kedua model
5
model aditif spatio-temporal dapat menggabungkan kedua korelasi yang terdapat
pada data dalam satu model. Kerangka pemodelan disajikan pada Gambar 1.
Peubah penjelas yang dilibatkan dalam model aditif deret waktu adalah lag dan
jam, sedangkan pada model aditif spatial adalah koordinat geografis dari lokasi
stasiun pemantau. Pada model aditif spatio-temporal ini dapat ditambahkan
hubungan fungsional faktor meteorologis.
Gambar 1. Kerangka pemodelan PM10 dan Ozon
Bentuk hubungan fungsional antara peubah penjelas kontinu dengan
respon pada model aditif tidak dibatasi dalam bentuk parametrik, akan tetapi dapat
berbentuk nonparametrik atau gabungan keduanya. Dalam penentuan model
aditif, lebih dahulu dilakukan identifikasi tentang bentuk hubungan fungsional
antara peubah penjelas kontinu dengan respon. Bila bentuk hubungan
fungsionalnya nonparametrik, maka akan dimodelkan dengan P-spline. Bentuk
hubungan fungsional ini kemudian digunakan untuk menyusun model aditifnya.
!
" # " $ !
%&
" ' "
" "
" ' "
6
Model aditif yang sudah terbentuk, selanjutnya diformulasikan ke dalam
bentuk model linear campuran. Parameter-parameter pada model aditif diduga
dengan metode REML. Kebaikan model ditentukan dari nilai AIC (Akaike
Information Criteria) yang rendah, dan galat modelnya mempunyai nilai
autokorelasi dalam waktu dan korelasi spatial yang kecil dan tidak berpola.
1.4. Hubungan antar Bab
Keterkaitan antar Bab dalam disertasi ini disajikan pada Gambar 2. Bab 1, Bab 2, dan Bab 3 adalah bab-bab yang diperlukan sebagai masukan dalam
membangun model aditif spatio-temporal. Metode yang dikembangkan untuk
pemodelan data spatio-temporal dibahas dalam empat bab, yaitu Bab 4, Bab 5,
Bab 6, dan Bab 7.
Bab 2 berisi tentang hasil eksplorasi data pencemar udara PM10 dan Ozon.
Bab 3 berisi tentang kajian teori model linear campuran dan hubungannya dengan
pemulusan. Pada Bab 4 dibahas tentang hubungan matematis antara regresi spline
terpenalti dengan model linear campuran dan kajian empirik pada data PM10 dan
Ozon. Pada Bab 5 dibahas tentang pengembangan metode Bab 4 untuk data deret
waktu. Pada Bab 6 dibahas pengembangan metode pada Bab 4 untuk data
berkorelasi spatial. Pada Bab 7 dibahas tentang penggabungan model aditif deret
waktu dengan model aditif spatial menjadi model aditif spatio-temporal. Bab 8
berisi tentang pembahasan umum yang mencakup bahasan-bahasan tentang
pemodelan data spatio-temporal, pengaruh faktor meteorologis, dan optimasi
lokasi stasiun pemantau. Simpulan dan saran dibahas pada Bab 9.
Gambar 2. Keterkaitan antar Bab dalam disertasi B
BAABB22
B
BAABB11
B
BAABB44
B
BAABB55
B
BAABB66
B
BAABB77 BBAABB88 BBAABB99
B
BAABB33 digabung
diperluas data spatial diperluas data
2. DESKRIPSI DATA PENELITIAN
2.1. Pencemar Udara PM10 dan Ozon
Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu
dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya agar dapat memberikan daya dukung bagi
mahkluk hidup untuk hidup secara optimal. Perubahan lingkungan udara pada
umumnya disebabkan oleh pencemar udara. Definisi pencemaran udara menurut
Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1999, adalah masuknya atau dimasukkannya
zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan
manusia, sehingga mutu udara turun hingga ke tingkat tertentu yang menyebabkan
udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
Sumber pencemaran udara berasal dari kejadian alami dan kegiatan
manusia (antropogenik). Sumber pencemaran yang berasal dari alam antara lain
kebakaran hutan, letusan gunung berapi, debu, dekomposisi biotik dan lain-lain.
Sedangkan sumber pencemaran udara akibat aktivitas manusia secara kuantitatif
sering lebih besar, antara lain berasal dari kegiatan transportasi, industri,
pemukiman, dan pengelolaan limbah sampah (Soedomo, 2001)
Kegiatan transportasi memberikan kontribusi sekitar 70% terhadap
pencemaran udara di kota-kota besar. Faktor yang mempengaruhi tingginya
pencemar udara dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan jumlah
kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan bakar minyak (BBM) dan masih
digunakannya jenis BBM mengandung Pb, penggunaan teknologi lama (sistem
pembakaran) pada sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia, rendahnya
budaya perawatan kendaraan bermotor secara teratur, dan buruknya manajemen
transportasi. Sektor industri merupakan penyumbang pencemaran udara terbesar
berikutnya setelah kendaraan bermotor, melalui penggunaan bahan bakar fosil
untuk pembangkit tenaga (KLH, 2002). Pada umumnya bahan pencemar udara
yang terdapat di daerah perkotaan adalah: SO2, NOx, O3, CO, HC, debu, dan Pb,
serta bahan-bahan pencemar organik lainnya (SARPEDAL KLH, 2003a).
Sepanjang tahun 2001-2003 pencemar udara yang paling dominan dengan
konsentrasi maksimum pada jam-jam tertentu melebihi baku mutu udara ambien
di kota Surabaya adalah PM10 diikuti O3, SO2, dan CO ( Din LH, 2002;
8
Faktor meteorologis mempunyai peran yang sangat utama dalam
menentukan kualitas udara di suatu daerah. Dalam sistem pencemaran udara,
intensitas emisi dari sumber pencemar akan masuk ke dalam atmosfer sebagai
medium penerima. Sedangkan atmosfer merupakan suatu medium yang sangat
dinamik dan mempunyai kemampuan dalam menyebarkan, mengencerkan, dan
mendifusikan pencemar udara. Kemampuan atmosfer tersebut ditentukan oleh
berbagai faktor meteorologi, seperti kecepatan angin, arah angin, kelembaban
udara, suhu udara, dan tekanan udara (Soedomo, 2001)
Partikulat debu dalam bentuk tersuspensi merupakan campuran yang
sangat rumit dari berbagai senyawa organik dan anorganik yang tersebar di udara
dengan diameter yang sangat kecil, mulai kurang dari 1 mikron sampai dengan
maksimal 500 mikron. Partikulat debu berada di udara dalam waktu yang relatif
lama dalam keadaan melayang-layang di udara. Karena komposisi partikulat debu
udara yang rumit, dan pentingnya ukuran partikulat dalam menentukan
dampaknya terhadap kesehatan, maka banyak istilah yang digunakan untuk
menyatakan partikulat debu di udara. Beberapa istilah yang digunakan mengacu
pada metode pengambilan contoh udara antara lain SPM (Suspended Particulate
Matter), TSP (Total Suspended Particulate), dan balack smake. Istilah lainnya
mengacu pada tempat di saluran pernafasan dimana partikulat debu dapat
mengendap, seperti inhalable/thoracic particulate yang mengedap di bawah
pangkal tenggorokan. Istilah lainnya yang juga digunakan adalah PM10 (partikulat
debu dengan ukuran diameter aerodinamik <10 mikron), yang mengacu pada
unsur fisiologi maupun metode pengambilan contoh.
Pengaruh partikulat debu yang berada di udara terhadap kualitas
lingkungan sangat tergantung kepada ukurannya. Ukuran partikulat debu yang
membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0.1 mikron sampai dengan 10
mikron. Pada umumnya partikulat debu yang berukuran sekitar 5 mikron dapat
langsung masuk kedalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sedangkan
partikulat yang lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan
bagian atas dan menyebabkan iritasi. Selain itu partikulat debu yang melayang
dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat
9
mutu konsentrasi PM10 yang masih diijinkan adalah tidak lebih dari 150 g/m3
untuk waktu pengukuran 24 jam (SARPEDAL KLH, 2003b).
Lapisan troposfer mengandung Ozon atau O3 kira-kira hanya 10% dari
seluruh kandungan Ozon yang ada di atmosfer. Ozon adalah komponen atmosfer
yang diproduksi oleh proses fotokimia, yaitu suatu proses kimia yang
membutuhkan sinar matahari untuk mengoksidasi komponen-komponen yang tak
segera dioksidasi oleh oksigen. Senyawa yang terbentuk merupakan bahan
pencemar sekunder yang diproduksi dari interaksi antara bahan pencemar primer
dengan sinar matahari. Hidrokarbon merupakan komponen yang berperan dalam
produksi oksidan fotokimia. Reaksi ini juga melibatkan siklus fotolitik NO2.
Polutan sekunder yang dihasilkan dari reaksi hidrokarbon dalam siklus ini adalah
Ozon dan Peroksiasetilnitrat (PAN). Karena Ozon merupakan senyawa yang
dominan dari oksidan fotokimia ini, yaitu mencakup kira-kira 98% volume, maka
hasil pemantauan udara ambien dinyatakan sebagai kadar Ozon. (Soedomo, 2001)
Ozon dapat ditemukan di setiap tempat dimana terdapat oksida nitrogen
dan hidrokarbon yang berinteraksi di bawah radiasi sinar matahari. Ozon
berbahaya bagi tumbuh-tumbuhan, karena dapat mengganggu prosesfotosintesis.
Sedangkan dampak terhadap manusia dapat menyebabkan iritasi mata dan
gangguan pernafasan. Berdasarkan PP 41 tahun 1999 baku mutu konsentrasi ozon
yang masih diijinkan adalah tidak lebih dari 235 g/m3 untuk waktu pengukuran
1 jam (SARPEDAL KLH, 2003b).
2.2. Jaringan Pemantau Kualitas Udara Ambien di Kota Surabaya
Sejak tahun 1992 BAPEDAL Pusat/ Menteri Lingkungan Hidup membuat
strategi pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dengan Program Langit
Biru. Untuk mengevaluasi pelaksanaan program ini, pemerintah Republik
Indonesia bekerjasama dengan pemerintah Austria membangun Jaringan
Pemantau Kualitas Udara Ambien Terpadu untuk kota metropolitan dan kota
rawan kebakaran melalui proyek The Integrated Ambient Air Quality Monitoring
for Metropolitan Area. Lokasi jaringan pemantau kualitas udara di Indonesia
disajikan pada Lampiran 1. Tujuan utama dari jaringan pemantauan kualitas udara
ambien adalah mengetahui besarnya kondisi kualitas udara melalui pengukuran
10
kondisi meteorologis yang terdiri dari arah angin, kecepatan angin, suhu,
kelembaban udara, dan global radiasi (SARPEDAL KLH, 2003a).
Untuk dapat memberikan kemudahan dan keseragaman informasi kualitas
udara ambien kepada masyarakat di suatu lokasi pada waktu tertentu, serta
sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan upaya pengendalian pencemaran
udara telah ditetapkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) melalui Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup nomor 45 tahun 1997. ISPU adalah angka yang tidak
mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi
dan waktu tertentu didasarkan dampaknya pada kesehatan manusia, makhluk
lainnya, dan nilai estetika (KLH, 2002)
Kota Surabaya telah mengoperasikan jaringan pemantauan kualitas udara
yang bekerja secara kontinu 24 jam sehari sejak April 2001. Peralatan dari
jaringan pemantau ini terdiri dari beberapa komponen yaitu :
1. Lima stasiun pemantau kualitas udara permanen.
2. Lima tampilan data publik (Public Data Display)
3. Peralatan RAQMC (Regional Air Quality Monitoring Center)
4. Peralatan kalibrasi dan maintenance
Peralatan sensor pada stasiun pemantau dan tampilan data publik disajikan pada
Lampiran 2. Cara kerja peralatan jaringan pemantau kualitas udara ambien
disajikan pada Lampiran 3.
Pemilihan lokasi penempatan peralatan jaringan pemantau ditetapkan
bersama oleh Tim BAPEDAL Pusat, Pemerintah Austria, dan Tim Pemkot
Surabaya beserta Pemprov Jatim tanggal 10-13 Maret 1999. Lokasi harus berada
pada daerah pemukiman agar data yang dihasilkan adalah data kualitas udara
ambien dan bukan udara emisi dengan jarak minimum dari jalan raya 20 meter
sampai 250 meter. Lokasi penempatan 5 stasiun pemantau kualitas udara ambien
kota Surabaya disajikan pada Gambar 3 dengan perincian sebagai berikut :
1. Halaman taman prestasi (Jl. Ketabang Kali) disingkat dengan SUF-1.
Lokasi ini mewakili daerah pusat kota, pemukiman, perkantoran, dan
perdagangan Surabaya Pusat.
2. Halaman kantor kelurahan Perak Timur (Jl. Selangor) disingkat dengan
11
3. Halaman bekas kantor pembantu walikota Surabaya Barat (Jl.
Sukomanunggal) disingkat dengan SUF-3. Lokasi ini mewakili daerah
pemukiman, dan daerah pinggir kota.
4. Halaman kecamatan Gayungan (Jl. Gayungan) disingkat dengan SUF-4.
Lokasi ini mewakili daerah pemukiman dekat jalan tol Surabaya-Gempol
Surabaya Selatan.
5. Halaman Convention Hall (Jl. Arif Rahman Hakim) disingkat dengan
SUF-5. Lokasi ini mewakili pemukiman, kampus dan perkantoran
Surabaya Timur.
Gambar 3. Peta kota Surabaya dan lokasi 5 stasiun pemantau
Berdasarkan panduan mutu ISPU, sensor yang ada pada stasiun pemantau
kualitas udara mampu menangkap pencemar udara dengan sensitifitas sampai
sejauh radius 5 km, dengan mekanisme kerja berdasarkan arah angin yang menuju
alat dengan spesifikasi kisaran arah angin antara 0o sampai 360o dengan
kecepatan angin sampai dengan 60 m/detik [SARPEDAL KLH, 2003b].
2.3. Deskripsi Umum Kota Surabaya
Kota Surabaya merupakan ibukota propinsi Jawa Timur yang terletak di
koordinat 70 12’ -70 21’ lintang selatan dan 1120 36’ sampai 1120 54’ bujur timur
dengan luas wilayah ± 326.37 km2. Wilayah kota Surabaya merupakan dataran
rendah dengan ketinggian antara 0 - 50 meter di atas permukaan laut, sedangkan
pada daerah pantai ketinggian berkisar antara 1-3 meter di atas permukaan laut
SUF-1 SUF-2
SUF-3
SUF-4
12
bahkan sebagian lebih rendah dari permukaan laut. Sebagian besar wilayah kota
Surabaya memiliki ketinggian tanah berkisar antara 0 - 10 meter yaitu 25919.04
ha (80.72%) yang menyebar di bagian timur, utara, selatan, dan pusat kota. Pada
wilayah kota lainnya memiliki ketinggian berkisar antara 10 - 20 meter (12.53%)
dan di atas 20 meter dari permukaan laut (6.76%) yang terdapat pada bagian
barat dan selatan kota Surabaya (Surabaya dalam Angka, 2002).
Kota Surabaya beriklim tropis dengan suhu udara yang relatif konstan
sepanjang tahun, yaitu dari 250 C pada malam hari sampai 340 C pada siang hari.
Kelembaban rata-rata antara 65 % sampai 85 %. Pola iklim di kota Surabaya
dipengaruhi oleh angin muson sehingga setiap tahun terjadi dua musim, yaitu
musim kemarau dan musim hujan. Pada umumnya musim kemarau berlangsung
dari bulan April sampai Oktober, sedangkan musim hujan berlangsung dari bulan
Desember sampai dengan Maret. Curah hujan maksimum biasanya terjadi pada
bulan Januari dan minimum terjadi pada bulan Agustus. Pada tahun 2002, arah
angin terbanyak pada bulan Januari dan Pebruari adalah Barat, pada bulan Maret
sampai Nopember berasal dari arah timur, dan bulan Desember dari arah barat
(Surabaya dalam Angka, 2002).
Jumlah penduduk kota Surabaya sekitar 2.8 juta pada malam hari, dan
bertambah kira-kira 300 ribu penduduk yang bekerja di Surabaya dari wilayah
sekitar Surabaya di pagi hari. Jenis transportasi didominasi oleh kendaraan
pribadi. Berdasarkan hasil penelitian GTZ-SUTP (2000), komposisi kendaraan di
Surabaya adalah 35% kendaraan umum dan 65% kendaraan pribadi. Sedangkan
hasil survey Dinas Perhubungan Surabaya terhadap volume kendaraan di 40
persimpangan pada satu jam sibuk di bulan Mei dan Juni tahun 2002
menunjukkan bahwa volume kendaraan tertinggi terjadi di sekitar SUF-4
(Dinhub Surabaya, 2002).
2.4. Metode Eksplorasi Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah konsentrasi pencemar
udara yang terdiri dari PM10 dan Ozon per jam ( g/m3), dan faktor meteorologis
yang terdiri dari suhu udara per jam (0C), kecepatan angin per jam (m/detik), arah
angin per jam (derajat) pada 5 lokasi stasiun pemantau (SUF) selama satu tahun
13
dalam 16 kategori (metode pengelompokkan disajikan pada Lampiran 4).
Sedangkan data curah hujan (mm) yang digunakan adalah data harian pada waktu
yang sama di 3 stasiun pemantau klimatologi kota Surabaya.
Tahap awal dalam menentukan model aditif spatio-temporal adalah
identifikasi model dengan menggunakan metode eksplorasi data. Dari metode ini
akan diketahui tentang bentuk sebaran data, pola kecenderungan data terhadap
waktu, keeratan hubungan antara pencemar udara dengan faktor meteorologis,
dan pola kecenderungan spatial. Untuk mengetahui pola sebaran dan kesimetrikan
data digunakan diagram kotak garis. Sedangkan untuk mengetahui pola
kecenderungan data terhadap waktu digunakan plot antara rataan data faktor
meteorologis atau pencemar udara per bulan dengan jam pada setiap SUF dari
bulan Januari sampai Desember 2002.
Untuk mengidentifikasi model deret waktu digunakan plot autokorelasi
(autocorrelation function selanjutnya disingkatACF) dan plot autokorelasi parsial
(partial autocorrelation function selanjutnya disingkat PACF). Fungsi ACF
berguna untuk mengukur keeratan hubungan antara pasangan pengamatan pada
waktu-(t) dengan pengamatan pada waktu-(t+k) dari proses stokastik yang sama
dan hanya dipisahkan oleh selang waktu k. Sedangkan fungsi PACF berguna
untuk mengukur keeratan hubungan antara pasangan pengamatan pada waktu-(t)
dengan pengamatan pada waktu-(t+k) setelah hubungan linear dalam pengamatan
pada waktu-(t+1) sampai waktu-(t+k-1) telah dihilangkan. Untuk mengukur
tingkat keeratan hubungan antara pencemar udara dengan faktor meteorologis
digunakan plot korelasi silang (cross correlation function dan disingkatCCF).
Untuk mengidentifikasi pola hubungan spasial dari pencemar udara
digunakan plot CCF dan plot hubungan antara korelasi pencemar udara antar SUF
dengan jarak antar SUF. Data mempunyai hubungan spasial bila pola hubungan
antara korelasi dengan jarak bernilai negatif artinya dengan korelasi antar SUF
semakin kecil bila jarak antar SUF semakin jauh.
2.5. Hasil Eksplorasi Data
Hasil eksplorasi terhadap data faktor meteorologis dan pencemar udara digunakan untuk penentuan model aditif spatio-temporal. Dari hasil eksplorasi
14
udara terhadap jam, model deret waktu pencemar udara, keeratan hubungan antara
pencemar udara dengan faktor meteorologis, dan pola hubungan spasial.
2.5.1. Faktor Meteorologis
Faktor meteorologis seperti arah dan kecepatan angin, suhu udara, dan
curah hujan mempengaruhi kualitas udara dan penyebaran pencemar udara di
suatu lokasi. Deskripsi faktor meteorologis di kota Surabaya sebagai berikut :
a. Suhu Udara
Perbedaan suhu udara pada berbagai daerah di bumi akan mengakibatkan
perbedaan tekanan udara yang mempengaruhi pergerakan udara di dalam
atmosfer. Plot antara rataan suhu udara per bulan dengan jam disajikan pada
Gambar 4. Pola kecenderungan rataan suhu udara dengan jam pada semua SUF
tampak mirip, dengan suhu udara terendah terjadi pada jam 6 dan suhu udara
tertinggi terjadi antara jam 12 sampai jam 14.
J A M
R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 SUF-1
J A M
R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 SUF-2
J A M
R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 SUF-3
J A M
R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 SUF-4
J A M
R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 BULAN 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 SUF-5
Gambar 4. Plot antara rataan suhu udara per bulan dengan jam di setiap SUF pada bulan Januari – Desember 2002
Pada umumnya rataan suhu udara beragam antar bulan, dengan suhu udara
tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan Nopember. Perbedaan suhu udara
tertinggi pada bulan Oktober dan Nopember dengan bulan lainnya pada SUF-1
15
b. Kecepatan Angin
Kecepatan angin berperan menentukan jarak dan waktu perpindahan
pencemar udara dari sumber ke penerima. Di samping itu kecepatan angin akan
menentukan derajat pengenceran pencemar udara searah dengan pergerakan
angin. Plot rataan kecepatan angin per bulan selama 24 jam disajikan pada
Gambar 5. Pola kecenderungan antara kecepatan angin dan suhu udara terhadap
jam tampak mirip. Kecepatan angin meningkat seiring dengan meningkatnya suhu
udara. Setiap SUF mempunyai pola kecenderungan kecepatan angin dengan jam
yang sama, yaitu kecepatan angin terendah dan konstan terjadi antara jam 1
sampai jam 7, dan kecepatan angin tertinggi terjadi pada jam 12 atau jam 13.
J A M
R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 SUF-1
J A M
R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 SUF-2
J A M
R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 SUF-3
J A M
R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 SUF-4
J A M
R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 BULAN 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 SUF-5
Gambar 5. Plot antara rataan kecepatan angin per bulan dengan jam di setiap SUF pada bulan Januari – Desember 2002
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 terlihat bahwa pola kecenderungan
kecepatan angin dan suhu udara terhadap jam tampak mirip. Besarnya kecepatan
angin beragam antar SUF. Kecepatan angin pada SUF-1, SUF-2, SUF-4 lebih
rendah dibandingkan dengan kecepatan angin pada SUF-3 dan SUF-5. Pada
SUF-3 terdapat 2 kelompok, yaitu kelompok rendah yang terjadi pada bulan Juli
sampai Agustus dan kelompok tinggi yang terjadi pada bulan Januari sampai Juni.
SUF-5 mempunyai rataan kecepatan angin tertinggi dibandingkan dengan
16
c. Arah Angin
Arah perjalanan pencemar udara dari sumber ke penerima ditentukan oleh
arah angin. Plot antara modus arah angin per bulan dengan jam disajikan pada
Gambar 6. Pola kecenderungan modus arah angin dengan jam pada setiap SUF
beragam antar bulan.
J A N U A R I 16 12 8 4 0 P E B R U A R I 16 12 8 4 0 M A R E T 16 12 8 4 0 J U L I 16 12 8 4 0 A G U S T U S 16 12 8 4 0 S E P T E M B E R 16 12 8 4 0 A P R I L 16 12 8 4 0 M E I 16 12 8 4 0
J A M
J U N I 24 18 12 6 1 16 12 8 4 0 O K T O B E R 16 12 8 4 0 N O P E M B E R 16 12 8 4 0
J A M
D E S E M B E R 24 18 12 6 1 16 12 8 4 0 SUF 3 4 5 1 2
Gambar 6. Plot antara modus arah angin per bulan dengan jam di setiap SUF
pada Januari- Desember 2002
Pada bulan Januari dan Pebruari modus arah angin umumnya berada
antara arah barat dengan utara. Arah angin pada bulan Maret beragam antar jam,
yaitu antara jam 1 sampai jam 8 dan antara jam 22 sampai jam 24 berada antara
arah selatan dengan barat, antara jam 9 sampai 12 berada antara arah timur
dengan tenggara, sedangkan antara jam 12 sampai jam 21 arah angin bervariasi
antar SUF. Pada bulan April sampai Nopember, pola kecenderungan arah angin
pada semua SUF tampak mirip, yaitu pada jam 1 sampai jam 9 arah angin berada
antara arah selatan dengan barat, dan pada jam 10 sampai jam 24 arah angin
17
arah angin pada bulan Maret, yaitu antara jam 1 sampai jam 8 dan antara jam 21
sampai jam 24 berada antara arah selatan dengan barat laut, sedangkan antara jam
9 sampai 20 arah angin bervariasi antar SUF.
d. Curah Hujan
Plot rataan curah hujan harian per bulan pada 3 stasiun pemantau di kota
Surabaya disajikan pada Gambar 7. Pola kecenderungan rataan curah hujan pada
3 stasiun tampak mirip. Pada bulan Januari sampai Juni tampak curah hujan
cenderung menurun, pada bulan Juni sampai Oktober tidak ada curah hujan, dan
pada bulan Nopember sampai Desember curah hujan cenderung meningkat.
Perbedaan rataan curah hujan di 3 stasiun pemantau tidak besar. Pada umumnya
musim kemarau berawal pada bulan Mei dan berlangsung sampai bulan Oktober.
Peralihan antara musim kemarau dengan musim hujan terjadi pada bulan
Nopember. Musim hujan terjadi pada bulan Desember sampai bulan Maret.
Bulan
Ra
ta
a
n
Cu
ra
h
H
u
ja
n
p
er
B
u
la
n
12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 18
12
6
0
Variable
Juanda Pe rak -1 Pe rak -2
Gambar 7. Plot rataan curah hujan harian per bulan di 3 stasiun pemantau pada bulan Januari – Desember 2002
2.5.2. Pencemar Udara PM10
Deskripsi tentang pola sebaran PM10 antar SUF dari bulan Januari sampai
Desember 2002 dan identifikasi model deret waktu untuk PM10 sebagai berikut :
a. Pola Sebaran Konsentrasi PM10
Diagram kotak-garis konsentrasi PM10 di lima stasiun pemantau (SUF)
mulai bulan Januari sampai Desember 2002 disajikan pada Gambar 8. Pada
umumnya pola sebaran data di setiap SUF tidak simetrik dengan banyak pencilan
18
hal ini menunjukkan keragaman data antar SUF tidak homogen. Oleh karena itu
agar konsentrasi PM10 antar SUF mempunyai pola sebaran yang simetrik dengan
ragam yang lebih homogen, maka dilakukan transformasi.
Gambar 8. Diagram kotak garis konsentrasi PM10 di setiap SUF pada
bulan Januari sampai Desember 2002
Bentuk transformasi data ditentukan dengan metode transformasi Box-Cox
dan hasilnya disajikan pada Gambar 9. Nilai lamda sebesar 0.08 dekat dengan 0,
sehingga bentuk transformasi yang tepat adalah ln (logaritma bilangan dasar e).
Diagram kotak-garis konsentrasi PM10 yang telah ditransformasi ln disajikan
pada Gambar 10. Pola sebaran pada data transformasi sudah simetrik dengan
pencilan yang menyebar baik di nilai besar maupun nilai kecil. Keragaman antar
SUF pada data transformasi juga sudah lebih homogen. Secara umum rataan
konsentrasi PM10 pada SUF-1 SUF-3, dan SUF-5 lebih rendah dibandingkan
rataan pada SUF-2, dan SUF-4. Hal ini wajar mengingat SUF-2 terletak di
kawasan pergudangan pelabuhan Tanjung Perak, sedangkan SUF-4 terletak pada
jalur penghubung antara kota Surabaya dengan kota Sidoarjo dan kota Malang,
dimana aktifitas industri atau transportasi pada kedua SUF ini lebih tinggi
19
!"
#
$
3 2
1 0
-1 140
120
100
80
60
40
20
0
% & ' ' &
L am b d a
0.08 ( u s in g 95.0% co n fid e n ce )
Es t im ate 0.08
L o w e r CL 0.06
Up p e r CL 0.09
Ro u n d e d V alu e
Gambar 9. Transformasi Box-Cox untuk PM10
(
)
Gambar 10. Diagram kotak garis logaritma konsentrasi PM10 di setiap SUF pada
bulan Januari sampai Desember 2002
b. Pola Kecenderungan Rataan konsentrasi PM10 per Bulan dengan Jam
Pola sebaran rataan konsentrasi PM10 selama 24 jam di lima SUF pada
bulan Januari sampai Desember 2002 disajikan pada Gambar 11. Secara umum
pola kecenderungan konsentrasi PM10 dengan jam pada setiap SUF tampak mirip,
yaitu mempunyai 2 puncak yang terdapat pada jam 8 dan jam 18. Kedua waktu
puncak tersebut terutama disebabkan oleh rutinitas transportasi yang berhubungan
dengan waktu berangkat kerja dan pulang kerja. Rataan konsentrasi PM10 tertinggi
20
terdapat pada SUF-4, akan tetapi antara jam 15 sampai jam 19 di bulan Juni
sampai Oktober 2002, rataan tertinggi terdapat pada SUF-2.
J A N U A R I 240 160 80 0 P E B R U A R I 240 160 80 0 M A R E T 240 160 80 0 J U L I 240 160 80 0 A G U S T U S 240 160 80 0 S E P T E M B E R 240 160 80 0 A P R I L 240 160 80 0 M E I 240 160 80 0
J A M
J U N I 24 18 12 6 1 240 160 80 0 O K T O B E R 240 160 80 0 N O P E M B E R 240 160 80 0
J A M
D E S E M B E R 24 18 12 6 1 240 160 80 0 SUF 3 4 5 1 2
Gambar 11. Plot antara rataan konsentrasi PM10 per bulan dengan jam di setiap
SUF pada Januari- Desember 2002
Rataan konsentrasi PM10 antar bulan beragam, pada bulan Januari,
Pebruari, Maret, dan Desember relatif lebih rendah dibandingkan dengan rataan di
bulan lainnya. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi pada bulan
tersebut seperti dijelaskan pada subbab 2.5.1. butir (d). Musim hujan
menyebabkan partikel-partikel berukuran kecil mengalami proses penyisihan dari
atmosfer melalui mekanisme deposisi basah dan kering sehingga konsentrasi
PM10 pada musim hujan mengalami penurunan (Chamida, 2004).
c. Plot Autokorelasi dan Plot Autokorelasi Parsial
Plot ACF dan PACF untuk konsentrasi PM10 disajikan pada Gambar 12.
Setiap SUF mempunyai plot ACF dan PACF yang mirip. Pada plot ACF tampak
nilai ACF yang turun lambat pada lag 24, 48, dan kelipatan 24 lainnya. Hal ini
21
Sedangkan pada plot PACF tampak nilai PACF yang nyata di lag 1, 2 dan sekitar
lag 24. Nilai PACF yang nyata di sekitar lag 24 menunjukkan adanya pengaruh
musiman. Dari plot ACF dan PACF ini diduga model deret waktu untuk
konsentrasi PM10 pada setiap SUF adalah autoregresif lag-(2) atau disingkat
AR(2) dengan musiman 24 jam.
L A G
A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0
S U F -1
L A G
P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0
S U F -1
L A G
A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1
S U F -2
L A G
P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0
S U F -2
L A G
A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0
S U F -3
L A G
P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0
S U F -3
L A G
A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0
S U F -4
L A G
P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0
S U F -4
L A G<