• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH

3. Konvensi Montreal

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Konvensi Montreal yang dilahirkan tanggal 23 September 1971 sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan internasional akan pemidanaan terhadap sabotase pesawat udara dan fasilitas penunjangnya di bandara. Walaupun demikian, Konvensi Montreal dalam beberapa segi merupakan perulangan dari Konvensi Den Haag.

Di dalam Pasal 1 Konvensi Montreal, seperti yang dikutip dari Dempsey, rumusan kejahatan yang berbeda dengan konvensi sebelumnya adalah :

42

Paul Stephen Dempsey, Loc. Cit., hal.669.

43

facilities; and (3) communication of false information that endangers the safety of an aircraft.’’

Juga mengenai percobaan tindak pidana , percobaan atas kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 1 Konvensi Montreal, dianggap melakukan kejahatan :

‘’Any person also commits an offence if he: (a) attempts to commit

BAB III

KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UU NO. 15 TAHUN 2003

A. Konvensi Kejahatan Penerbangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)

Seperti yang telah secara singkat dipaparkan sebelumnya, tindak pidana penerbangan dan sarana/prasarana penerbangan di dalam KUHP merupakan hal yang masih baru dibandingkan dengan eksisitensi KUHP itu sendiri.44 Masuknya ketentuan ini ke dalam Bab XXIXA Pasal 479a hingga Pasal479r dilatarbelakangi oleh diratifikasinya ketiga konvensi tersebut di atas oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1976. Adapun alasan diratifikasinya ketiga konvensi ini adalah adanya keprihatinan Indonesia akan tindak pidana dalam penerbangan dan merupakan tanda keikutsertaannya dalam upaya pencegahannya, serta alasan yuridis yakni tindak pidana penerbangan belum dikriminalisasi daam hukum pidana di Indonesia 45

Melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Monteral 1971, Indonesia secara resmi meratifikasi dan mengadopsi ketentuan di dalam ketiga

44

KUHP atau Wetboek van Strafrecht (Belanda), telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1918 oleh pemerintah colonial Belanda. Lihat : Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Op. Cit., hal.14.

45

.Undang-undang Republik Indonesia tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971, Nomor 2 Tahun 1976, LN. Tahun 1976 No.18, TLN No.3076, konsiderans butir b.

Lihat pula Undang-undang Republik Indonesia tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Brtalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan, Nomor 4 Tahun 1976, konsiderans butir a dan d.

konvensi tersebut menjadi undang-undang.46 Sikap ini dibarengi dengan implementasi peraturan dari ketiga konvensi ini, yang diwujudkan dengan penerbitan dan pemberlakuan Undang-undang Nomor 4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Bebarapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/ Prasarana Penerbangan.47

Dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 inilah, cakupan KUHP diperluas lingkupnya hingga ke dalam kejahatan penerbangan beserta sarana/prasarananya.48 Hal ini juga berarti penambahan definisi-definisi baru ke dalam Buku Pertama KUHP.49

46

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1976, Loc.Cit., bagian Penjelasan Umum.

47

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976, Loc.Cit., bagian Penjelasan Umum. 48 Ibid. 49 Ibid., Pasal I Bagan 1

Bagan Proses Ratifikasi dan Implementasi Ketiga Konvensi menjadi Ketentuan dalam KUHP

Dalam ketentuan pidana pada Bab XXIXA Pasal 479a hingga Pasal 479r KUHP50

50

Lihat Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

terdapat delapan jenis rumusan pidana yang kesemuanya diancam dengan pidana penjara dengan maksimum ancaman yang berbeda. Pertama, pidana perusakan fasilitas penerbangan atau bandara. Pasal-pasal yang memasukkan unsur kesengajaan ke dalam pidana ini adalah Pasal 479a dan Pasal

Konvensi Tokyo, Konvensi Den Haag, dan Konvensi Montreal

UU No. 2/1976

UU No. 4/1976

BAB XXIXA KUHP Definisi baru dalam BUKU I

KUHP

Garis ratifikasi/ Implementasi Garis peraturan tambahan

479c51, sedangkan yang memasukkan unsur kelalaian Pasal 479b dan 479d52. Kedua, pidana perusakan pesawat udara. Pasal-pasal yang memasukkan unsur kesengajaan ke dalam pidana ini adalah Pasal 479e dan Pasal 479f53

51

Pasal 479a berbunyi,’’(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu-lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun;(2) Dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu-lintas udara;(3) DEngan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun jika karena perbuatan itu mengakibatkan mainya orang.’’

Sementara Pasal 479c berbunyi : ‘’(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, dan memindahkan tanda atau aat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru, dipidana dengan pidana penjara lamanya enam tahun; (2) Dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu-lintas udara;(3) Dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

52

Bandingkan dengan tindak pidana yang dirumuskan dalam ketiga konvensi tersebut, tidak ada satupunn ketentuan yang mengatur mengenai masalah kealpaan (kelalaian), yang dirumuskan hanyalah perbuatan yang disengaja. Pasal 479b berbunyi,’’Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tiga tahun.’’

Sedangkan pasal 479d berbunyi,’’Barangsiapa karena kealpaan menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru, dipidana : (a) dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun jika karena perbuatan itu menyebabkan penerbangan tidak aman; (b) dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan celakanya pesawat udara; (c) dengan pidana penjara selama-lamanya tujh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.’’

53

Pasal 479e berbunyi,’’Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, atua merusak pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.’’

; serta Pasal

Sedangkan Pasal 479f berbunyi,’’Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, atau merusak pesawat udara, dipidana: (a)dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain;(b) dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara untuk

selama-479m dan Pasal 479n (untuk pesawat udara dalam dinas) dan delik dikualifisirnya yakni pasal 470o;54 dan pasal yang memasukkan unsure kelalaian adalah Pasal 479g.55

Ketiga, pidana penipuan asuransi yang tercantum dalam ketentuan Pasal 478h.56

lamanya dua puluh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.’’

54

Pasal 479m berbunyi,’’Barangsiapa dengan sengaja melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.’’

Pasal 479n berbunyi,’’Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara atau dapat menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat menyebabkan keamanan dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.’’

Sedangkan Pasal 479o berbunyi,’’Dipidana dengan pidana seumur hidup atau maksimul 20 tahun apabila perbuatan dimaksud Pasal 479l, Pasal 479m, Pasal 479n itu (a) dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama,(b) sebagai kelanjutan dari pemufakatan jahat,(c) dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu,(d) mengakibatkan luka berat bagi seseorang.’’

55

Pasal 479g berbunyi,’’ Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai atau rusak, dipidana: (a) dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain;(b) dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.’’

Keempat, mengenai tindak pidana yang disebut pembajakan, diatur lewat

56

Hal ini juga merupakan pidana yang tidak diatur dalam ketiga konvensi. Pasal 479h berbunyi,’’(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas kerugian penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan, atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara,yang dipertanggungkan terhadap bahaya terwujud di atas atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun;(2) Apabila yang dimaksud pada ayat (1) Pasal ini adalah pesawat udara dalam penerbangan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun,(3) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum atas kerugian penanggung asuransi, menyebabkan penumpang pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya mendapat kecelakaan

Pasal 479i dan Pasal 479j,57 dan delik dikualifisirnya diatur dengan Pasal 479k.58 Kelima, pidana perbuatan kekerasan terhadap seseorang yang membahayakan pesawat udara dalam penerbangan, diatur dalam Pasal 479l,59

Keenam, pidana memberian keterangan palsu dalam Pasal 479p beserta delik dikuaifisirnya yang diatur pada Pasal 479o.

60

dipidana: (a) dengan pidana penjara seama-lamanya sepuluh tahun, jika karena perbuatan itu meneybabkan luka berat;(b) dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.’’

57

Pasal 479i berbunyi,’’ Barangsiapa dalam pesawat udara dengan perbuatan melawan hukum merampas atau mempertahankan rampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.’’

Sedangkan Pasal 479j berbunyi,’’Barangsiapa dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.’’

58

Pasal 479k berbunyi,’’(1) Dipidana dengan pidan penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun, apabila perbuatan dimaksud Pasal 479i dan Pasal 479j itu: (a) dilakuakn oleh dua orang atau lebih bersama-sama;(b) sebagai kelanjutan pemufakatan jahat;(c) dlakukan dengan direncanakan terlebih dahulu; (d) mengakibatkan luka berat seseorang;(e) mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara tersebut, sehingga dapat membahayakan penerbangannya,(f) dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun.’’

59

Pasal 479l berbunyi,’’Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam esawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.’’

60

Bandingkan dengan Konvensi Montreal yang menghukum perbuatan yang sama, lihat Article 1 section 1 subsection (e) Konvensi Montreal, dalam K.Martono, Op.Cit., hal.324.Pasal 479p berbunyi,’’ Barangsiapa memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dank arena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbanagn dipidana dengan pidan penjara selama-lamanya lima belas tahun.’’

. ketujuh, pidana atas perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam

pesawat udara dalam Pasal 479q.61 Kedelapan, pidana atas perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib dalam pesawat udara, diatur dengan 479r.62

Delik

Tabel 1

Pasal-pasal pada Bab XXXIXA KUHP Pasal Delik diperberat

(Pasal) Kelalaian (Pasal) Perusakan fasilitas penerbangan 479a, 479c - 479b, 479d Perusakan pesawat udara 479e, 479f 479g Perusakan pesawat udara dalam dinas

479m, 479n 479o - Penipuan asuransi 479h - - Pembajakan 479i, 479j 479k - Perbuatan kekerasan terhadap seseorang yang membahayakan penerbangan 479l 479o - Memberikan keterangan palsu 479p - - Perbuatan membahayakan 479q - - 61

Pasal 479q berbunyi,’’Barangsiapa di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara daam penerbanagan, dipidana dengan idana penjara selama-lamanya lima belas tahun.’’

62

Pasal 479r berbunyi,’’Barangsiapa di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tatatertib di dalam pesawat udara daam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun.’’

penerbangan Mengganggu ketertiban dan tata

tertib daam udara

479r

B. Kejahatan Penerbangan Sebagai Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang 15 Tahun 2003

1. Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme No 15 Tahun 2003

a. Latar Belakang

Lahirnya Undang-undang TPTPT ini tidak hanya dilatarbelakangi adanya peristiwa 9 September 2001 di gedung kembar World Trade Center, Amerika Serikat. Tetapi juga didorong oleh keinginan berbagai negara termasuk Indonesia yang telah lama berkehendak untuk mengkriminalisasikan kejahatan jenis ini. Bahkan, khusus Indonesia, hal tersebut telah diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang mengharuskan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia.63

Salah satu faktor pendorong kriminalisasi ini berkaitan dengan aspek viktimologis yang cenderung sangat besar dan luas baik yang berkaitan dengan nyawa, kemerdekaan, dan harta serta timbulnya rasa takut terhadap korban yang

63

Muladi, Pengantar Sosialisasi RUU tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Terorisme: Aspek Hukum Pidana Materiil, makalah yang

bersifat acak (random attack atau indiscriminate terror) atas dasar filosofi

propaganda by deed atau mass media oriented terrorism.64

Adanya kenyataan yang jauh lebih berbahaya yakni kaitan antara terorisme dengan kejahatan-kejahatan lain yang bersifat transnasional dan terorganisasi (transnational organized crimes) seperti perdagangan senjata, pencucian uang, perdagangan narkotika bahkan perdagangan bahan-bahan nuklir yang berbahaya bagi perdamaian dan keamanan nasional dan internasional.65

Dengan demikian tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se dan bukan mala prohibita. Mala per se adalah kejahatan terhadap hati nurani (crimes against conscience), menjadi jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh undang-undang tetapi pada dasarnya memang tercela (naturally

wrong atau acts wrong in themselves).66

Untuk menanggulangi tindak pidana terorisme yang bersifat internasional, perumusan tindak pidana yang bersifat nasional baik yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP ‘’tidak atau belum memadai’’mengingat unsur-unsur kejahatan yang bersifat spesifik, di samping belum tertampungnya berbagai aspirasi yang berkembang baik regional maupun internasional.67 64 Ibid., hal.1. 65 Ibid. 66 Ibid., hal.2. 67

Ibid. Bandingkan dengan pernyataan Romli Atmasasmita yang mengatakan bahwa,’’…Dewan Keamanan PBB telah sepakat menempatkan masalah ini (terorisme) dalam status sebagai’’kejahatan internasional’’

Di

‘’Telah berkembang pendapat bahwa terorisme dan tindakan teror cukup diatasi oleh KUHP…Dalam konteks wacana tersebut…, kiranya kita sependapat jika terhadap ‘’domestic terrorism’’ atau tindakan teror yang bersifat domestic masih cukup ditangani dengan…KUHP yang berlaku. Namun demikian, untuk mewujudkan suatu undang-undang nasional yang bertujuan mencegah dan memberantas terorisme secara keseluruhan baik yang bersifat domestic maupun yang bersifat internasional…’’. Lihat Romli Atmasasmita, Masalah dan Prospek Pemberantasan Terorisme di Indonesia, dalam bukunya yang berjudul, Masalah

samping itu pengaturan tindak pidana terorisme cenderung menempuh sistem global dan komprehensif yang memuat kebijakan kriminal (criminal policy) yang bersifat luas baik preventif maupun represif serta beberapa (hukum) acara yang bersifat khusus, tanpa menyampingkan promosi dan perlindungan Hak Asasi Manusia.68

Oleh karena itu, pemerintah Indonesaia akhirnya memutuskan untuk menerbitkan Undang-undang TPTPT Nomor 15 Tahun 2003 yang diberlakukan pada yanggal 4 April 2003, setelah sebelumnya sempat menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undag-undang Nomor 1 Tahun 2002.69

Pertama, instrument hukum yang berlaku secara internasional seperti Konvensi Internasional Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (1937); b. Konsep Undang Undang TPTPT

Undang-undang TPTPT dikatakan oleh beberapa kalangan ahli hukum didesain untuk menjawab tantangan terorisme yang bersifat internasional, tidak hanya terorisme lokal (domestic). Sehingga dalam pegimplementasiannya di dunia nyata, Undang-undang TPTPT harus dapat bersinergi dengan undang-undang sejenis yang dimiliki oleh negara-negara lain, maupun instrument hukum sejenis di tingkat regional bahkan internasional, selain tentunya undang-undang relevan yang sudah ada dan berlaku di Tanah Air.

Oleh karena itu, proses penyusunan Undang-Undang TPTPT memperhatian dua acuan utama, yakni:

Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia,(Jakarta: Badan Pembinaan HUkum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia,2002), hal.1.

68

Ibid.,hal.3.

69

Lihat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, Loc.Cit., konsiderans huruf b,c, dan d.

Konvensi Menentang Pemboman oleh Terorisme; Konvensi Menentang Pendanaan untuk Terorisme (1999); Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1368 tahun 2000 dan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 tahun 2001.70

Kedua, sistem hukum dan perundang-undangan yang telah berlaku di Indonesia seperti KUHP, Kitab Undnag-undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan perundnag-undnagan lainnya yang berkaitan, antara lain adalah Undang-undang tentang Kewarganegaraan, Undang-undang tetang Pencucian Uang, dan Undang-undang tentang Pertahanan.71

Ditambah pula dengan acuan pelengkap yakni Undang-undang tentang terorisme yang berlaku di Negara-negara ASEAN dan Asia, seperti Jepang dan India, serta Amerika Serikat.72

Maka dari itulah, Undang-undang TPTPT yang semula berbentuk perpu ini didesain khusus sebagai undang-undang payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan terorisme;73 merupakan undang-undang yang memiliki sanksi pidana diperkuat dan sekaligus merupakan undang-undang koordinatif yang berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan terorisme.74 Undang-undang ini memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa yang disebut safeguarding rules;75

70

Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal.4.

71

Ibid.

72

Ibid.

73

Perpu Nomor 1 Tahun 2002,Loc.Cit., Penjelasan Umum.

74

Ibid.

75

Ibid.

dan undang-undang ini secara spesifik juga memuat ketentuan tentang lingkup yurisdiksi yang bersifat

transnasional dan internasional serta memuat ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme yang terkait dengan kegiatan terorisme internasional.76

Seperti yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya, bahwa ketentuan-ketentan pada Bab XXIXA KUHP merupakan hasil dari diadopsinya ketiga konvensi Internasional mengenai keamanan penerbangan yakni Konvensi Tokyo (1963), Konvensi Den Haag (1970), dan Konvensi Montreal(1971). Peratifikasian ketiga konvensi tersebut secara resmi dilakukan pemerintah RI melalui Undang-undnag Nomor 2 Tahun 1976,

2. Masuknya Ketentuan Kejahatan Penerbangan dan Sarana Prasarana Penerbangan Dalam Undang Undang TPTPT

77

dan pengimplementasiannya menjadi ketentuan Undang-undang dilakukan melalui Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976.78

Ada beberapa kalangan ahli hukum yang melihat bahwa kejahatan yang diatur dalam ketiga konvensi tersebut berkategori tindak pidana terorisme.79 Namun, penilaian sesungguhnya bahwa kejahatan-kejahatan yang diatur dalam ketiga konvensi ini termasuk tindak pidana terorisme atau bukan terpulang kepada Negara-negara peratifikasiannya yang mengadopsi ketentuan-ketentuan tersebut dalam undang-undang mereka.80

Di Indonesia, kejahatan penerbangan yang diadopsi melalui Undang-undang Nomor 2 dan Nomor 4 Tahun 1976 dimasukkan ke dalam Bab XXIXA KUHP sejak tahun 1976. Dengan dimasukkannya ketentuan tersebut dalam

76

Ibid.

77

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1976,Loc. Cit., Penjelasan Umum.

78

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976,Loc. Cit., Penjelasan Umum.

79

Lihat Abdul Wahid et al., Op. Cit., hal.27. Lihat pula Paul Stephen Dempsey, Loc. Cit., hal.666.

80

KUHP, maka rumusan kejahatan penerbangan dan sarana/prasaranamya ini termasuk ke dalam golongan kejahatan biasa.

Hal ini terus berjalan hingga melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2002 (yang kelak menjadi undang-undang) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ketentuan-ketentuan dalam Bab XXIXA ini diadopsi total menjadi bagian dari Perpu tersebut .81 Hal ini dapat dilihat apabila kita teliti lebih lanjut redaksional Pasal 8 huruf a hingga huruf r Perpu TPTPT (Baca : Undang-undang TPTPT), di mana menunjukkan kesamaan substansi yang persis dengan ketentuan Pasal 479a hingga Pasal 479r.82 Bahkan draft V Juni 2002, redaksional Pasal 8 hanya merujuk pada Bab XXIXA KUHP, tanpa menuliskan isi dari pasalnya.83

81

Merupakan hal yang tak dapat disangkal bahwa pemasukan ketentuan ini dlalam Pasal 8 Undang-undang TPTPT sedikit banyak dipengaruhi oleh tragedy WTC 9 September 2001 di Amerika Serikat yang melibatkan dua pesawat terbang sebagai ‘’peluru kendali’’ penghancur menara kembar tersebut, sehingga dapat dilihat bahwa ide dimasukkannya ketentuan-ketentuan ini di dalam Pasal 8 untuk melindungi penerbangan berikut sarana/prasarananya dari tengah-tengah teroris, lihat Muladi,Loc. Cit., hal.1.

82

Bahkan, dalam penjelasan Pasl 8 Perpu ini, dikatakan bahwa,’’Ketentuan ini merupakan penjabaran dari tindak pidana…sebagaimana simaksud dalam Pasal XXIXA Kitab Undang-undang Hukum Pidana.’’ Hal ini sangat memprihatinkan, karena tidak ada Pasal XXIXA KUHP sebagaimana yang ditunjuk oleh Penjelasan Pasal 8 ini. Jika berbicara tentang kejahatan penerbangan , maka Bab XXIXA KUHP yang paling relevan. Ini menunjukkan kesan bahwa Perpu TPTPT ini dibuat dengan tidak cermat dan terburu-buru. Lihat Amiruddin et al., Kajian terhadap Perppu No.1/2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dalam buku, Terrorisme: Definisi, Aksi, dan Regulasi, Editor: Rusdi Marpaung dan Al Araf,(Jakarta: Imparsial,2003), hal.92.

83

Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal.23. Bagan 2

Muladi menyatakan bahwa ada beberapa asas yang mendasari terbentuknya Undang-undang TPTPT ini.84

1. Kelayakan penempatan ketentuan tindak pidana penerbangan di dalam Undang-undang TPTPT

Khusus pada ketentuan dalam Pasal 8 Undang-undang TPTPT, dipakailah asas kriminalisasi yang diperluas :

‘’…Asas kriminalisasi yang diperluas (the principle of extended criminalization) dalam arti ….(b) Aktualisasi atau afirmasi tindak-tndak pidana yang sudah ada yang relevan untuk dikategorikan

Dokumen terkait