• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Konvensi Kejahatan Penerbangan Dalam Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implementasi Konvensi Kejahatan Penerbangan Dalam Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NO 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DIAJUKAN OLEH :

ANTONIUS PARTOGI HUTAPEA 040200227

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

M E D A N

(2)

IMPLEMENTASI KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NO 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Ketua Departemen Hukum Pidana

ABUL KHAIR S.H, M.HUM NIP. 196107021989031001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur selalu kepada Tuhan Yang Maha Baik pemilik langit dan bumi yang senantiasa memberikan kasih karunia dan anugerah selama penulis hidup. Atas perkenan-Nya juga penulis dapat mengecap studi di kampus serta menyelesaikan pembuatan skripsi ini.

(4)

1. Prof. Dr. Runtung, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.DR. Budiman Ginting SH, MHum, selaku Pembantu Dekan I, Syafruddin Hasibuan, S.H.,MH.,DFM selaku Pembantu Dekan II ,Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Abul Khair S.H, M.Hum selaku Ketua Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berkenan membantu dan memperhatikan Mahasiswa/i Perdata

4. Bapak M. Eka Putra S.H, M.Hum selaku dosen pembimbing II yang banyak menuntun penulis dari awal sampai akhir pembuatan skripsi.

5. Bapak DR Mahmud Mulyadi S.H M.Hum selaku dosen pembimbing I yang dengan penuh kesabaran menghadapi penulis selama menulis skripsi. Dengan segala ketulusan saya berdoa kiranya Tuhan memberikan kesehatan dan sukacita yang penuh.

6. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis ketika duduk di bangku perkuliahan.

7. Seluruh Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ABSTRAKSI

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Kerangka Teori... 10

F. Metode Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II: KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL Konvensi-Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil ... 16

1. Konvensi Tokyo ... 17

2. Konvensi Den Haag ... 20

3. Konvensi Montreal ... 21

(6)

B. Kejahatan Penerbangan Sebagai Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang 15 Tahun 2003 ... 29

BAB IV: PRAKTEKNYA PENERAPAN KETENTUAN HUKUM UNDANG-UNDANG NO.15 TAHUN 2003 DALAM PERISTIWA KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME ( CONTOH KASUS PUTUSAN PERKARA PILOT MARWOTO NO. 348 PID. B/2008/PN SLMN)

A. Posisi Kasus ... 59 B. Analisis Perkara Pilot Marwoto (Perkara No. 348 Pid.B/2008/PN Slmn)

berdasarkan UU No 15 Tahun 2003... 67 BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

(7)

ABSTRAKSI

Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Istilah "terorisme" umumnya berkonotasi negatif, seperti juga istilah "genosida" atau "tirani". Istilah ini rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi membuka peluang penyalahgunaan. Tindakan teror bisa dilakukan oleh negara, individu atau sekelompok individu, dan organisasi. Pelaku biasanya merupakan bagian dari suatu organisasi dengan motivasi cita-cita politik atau cita-cita religius tertentu yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang/kelompok yang mempunyai keyakinan tertentu. Tindak pidana terorisme adalah extra ordinary crime. Pengertian extra ordinary crime adalah pelanggaran berat HAM yang meliputi crime againts humanity dan goside (sesuai dengan Statuta Roma). Tindak pidana terorisme dimasukkan dalam extra ordinary crime dengan alasan sulitnya pengungkapan karena merupakan kejahatan transboundary dan melibatkan jaringan internasional

Di Indonesia, undang-undang yang pembuatannya sedikit banyak terpengaruhi oleh kondisi dunia saat itu, yakni Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut sebagai “Undang-Undang-Undang-Undang TPTPT”)

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Istilah "terorisme" umumnya berkonotasi negatif, seperti juga istilah "genosida" atau "tirani". Istilah ini rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi membuka peluang penyalahgunaan. Tindakan teror bisa dilakukan oleh negara, individu atau sekelompok individu, dan organisasi. Pelaku biasanya merupakan bagian dari suatu organisasi dengan motivasi cita-cita politik atau cita-cita religius tertentu yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang/kelompok yang mempunyai keyakinan tertentu. Tindak pidana terorisme adalah extra ordinary crime. Pengertian extra ordinary crime adalah pelanggaran berat HAM yang meliputi crime againts humanity dan goside (sesuai dengan Statuta Roma). Tindak pidana terorisme dimasukkan dalam extra ordinary crime dengan alasan sulitnya pengungkapan karena merupakan kejahatan transboundary dan melibatkan jaringan internasional1

Sebagai metode kekerasan, teror dan terorisme memang dibedakan, meski sama-sama berasal dari istilah Latin: terror/terrere, yang berarti membuat ketakutan mendalam. Aksi teror bercorak spontan, tidak terorganisasi rapi, dan

.

1

Penulis oleh Sunarto Halaman 154 dengan judul Kriminalisasi Dalam Tindak Pidana Terorisme

(9)

cenderung bersifat perorangan. Sebaliknya terorisme bersifat sistematis, terorganisasi rapi, dan dilakukan sebuah organisasi atau kelompok.

Praktik teror sebenarnya termasuk salah satu ekspresi watak dasar manusia yang ingin berkuasa, the will to power. Manusia bisa menjadi serigala bagi yang lain, homo homini lupus.

Terorisme sebuah fenomena yang mengganggu. Aksi terorisme seringkali melibatkan beberapa negara. Sponsor internasional yang sesungguhnya adalah negara besar. Harus dipahami bahwa terorisme sekarang telah mendunia dan tidak memandang garis perbatasan internasional.

Masih sulit diketahui persis kapan Indonesia mulai terperangkap dalam jaringan terorisme. Namun, ada yang berkeyakinan, peledakan bom Malam Natal 24 Desember 2000 merupakan indikasi awal kerja jaringan terorisme. Keyakinan tentang kehadiran jaringan terorisme internasional di Indonesia, semakin meningkat setelah tragedi bom Bali 12 Oktober lalu.

Perkembangan ini membuat orang menjadi khawatir. Namun, praktik kekerasan yang bersifat kultural maupun struktural yang berlangsung dari waktu ke waktu di Indonesia, dianggap telah menjadi lahan subur bagi kehadiran gerakan terorisme. Gelombang kekerasan begitu runyam, bellum omnium contra

omnes, perang oleh semua melawan semua. Sungguh konyol, pelaku dan korban

kekerasan justru sesama warga bangsa sendiri.

(10)

Kemampuan mengelola konflik di kalangan bangsa Indonesia terlihat memudar pula. Orang begitu sensitif, mudah dihasut, cepat mengamuk, dan gampang termakan isu. Ada kecenderungan bergerak liar, seolah tidak ada aturan, tidak ada sopan santun, tidak ada pemerintahan, tidak ada hukum, dan tidak ada sistem nilai.

Kualifikasi serupa tampaknya juga berlaku bagi tiga kasus pembajakan pesawat di Indonesia. Aksi teror udara paling dramatis menimpa pesawat DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia hari Sabtu 28 Maret 1981. Pesawat dengan nomor penerbangan GA-206 itu dibajak dalam penerbangan dari Palembang ke Medan, dan kemudian dipaksa mendarat di Penang, Malaysia, dan selanjutnya ke Bandar Udara Don Muang Bangkok, Thailand.

Sebelum kasus pembajakan pesawat Woyla, dua kasus serupa pernah mengguncang dunia penerbangan Indonesia, tetapi pesawat-pesawat itu tidak dipaksa terbang ke luar negeri. Pembajakan pertama menimpa pesawat Vickers Viscount milik Merpati Nusantara Airlines tanggal 4 April 1971 dalam penerbangan dari Surabaya ke Jakarta. Drama ini berakhir dengan tewasnya pembajak oleh tembakan.

Sekitar 5,5 tahun kemudian, pembajakan udara terjadi lagi. Pesawat DC-9 Garuda dibajak seorang diri yang diidentifikasi sebagai Triyudo (27 tahun). Dengan sebilah badik, karyawan sipil honorer TNI-AU itu mulai beraksi dengan menyandera seorang pramugari dalam penerbangan Surabaya-Jakarta tanggal 5 September 19772

Rangkaian aksi pembajakan udara itu disebut teror karena lebih dari sekadar tindakan kekerasan. Teror atau terorisme tidak identik dengan kekerasan.

.

2

(11)

Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan.

Di Indonesia, undang-undang yang pembuatannya sedikit banyak terpengaruhi oleh kondisi dunia saat itu, yakni Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut sebagai “Undang-Undang-Undang-Undang TPTPT”).3

Sebelumnya substansi dalam undang-undang ini tidak dibentuk dalam format Undang-Undang ini tidak dibentuk dalam format undang-undang, melainkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Keberadaan Undang-Undang Terorisme memiliki latar belakang yang cukup menarik dikarenakan dibuat pada masa-masa yang dianggap mendesak oleh pemerintah Indonesia lantaran ketiadaan hukum yang mengatur khusus mengenai tindak pidana terorisme.4 Untuk lebih jelasnya, sebenarnya Perpu ini dibuat segera setelah peristiwa bom di Bali bulan Oktober 2002 yang banyak menelan korban, ratusan diantaranya turis mancanegara. Peristiwa ledakan bom ini dianggap oleh pemerintah Indonesia sebuah tindakan terorisme, bukan tindak pidana biasa.5

3

Sutan Remi Sjahdeini, op. cit., hal. 298.

4

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu TPTPT), Nomor 1 Tahun 2002, LN No. 106 tahun 2002, TLN No.4232, bagian konsiderans huruf e dan f.

5

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa Peledekan Bom di Bali tanggal 12 oktober 2002, LN No. 107 tahun 2002 ,TLN No 4290, bagian konsiderans huruf b.

(12)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut “Perpu TPTPT”)6 tersebut. Disamping Perpu ini dibuatlah Perpu Nomor 2 Tahun 2002 yang memungkinkan Perpu TPTPT tersebut digunakan untuk peristiwa Bom Bali itu atau dengan kata lain Perpu TPTPT menjadi berlaku surut. Hal ini sempat menjadi kontroversial sebab hukum pidana di Indonesia hanya mengenal asas tidak berlaku surut atau non-retroaktif.7

Hal yang menarik dari pembuatan perpu TPTPT ini adalah kenyataan bahwa tidak ada definisi yang jelas dan pasti mengenai tindak pidana terorisme itu sendiri pada saat Perpu ini dibuat, para ahli hukum pun sampai sekarang belum ada yang berhasil mengambil suatu kesimpulan yang tegas mengenai batasan-batasan tindak pidana terorisme itu untuk dapat dibedakan dari tindak pidana biasa.8

6

Lihat Sutan Remi Sjahdeini, op. cit., hal 299.

Walaupun jika berbicara mengenai tindak pidana terorisme kita pasti berbicara mengenai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), tentunya

7

Pembuatan Perpu ini (yang selanjutnya oleh DPR-RI dijadikan undang-undang) diberlakukan secara surut disebabkan oleh adanya pemikiran bahwa tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa(extraordinary crime). Hal ini sempat menimbulkan kontroversi dikalangan ahli hukum.namun pada akhirnya Mahkamah konstitusi (MK) menghapus undang-undang nomor 16 tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pengganti undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang pemberlakuan perpu nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, pada peristiwa peledekan bom di Bali tanggal 12 oktober 2002 menjadi undang-undang ini, lantaran MK menganggap bahwa tindak pindana terorisme merupakan ordinary crime, walaupun empat dari sembilan hakim yang memutuskan mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Lihat Frans H. Winarta, “Putusan Mahkamah Konstitusi soal Undang-undang

antiterorisme,

8

Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan tindak pidana terorisme, namun belum ada satu kesepakatan yang terbentuk atas definisi yang diajukan dikalangan akademisi. Bahkan, adapula yang mengatakan bahwa tindak pidana terorisme tidak bisa di definisikan (M.Cherif Bassiouni). PBB sendiri belum menerima satu pun definisi tentang terorisme secara resmi. Definisi maupun

deskripsi tindak pidana terorisme, “

(13)

dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan efek terror (ketakutan) di masyarakat yang harus ditangani dengan cara yang luar biasa pula (extraordinary

measures).9

Bahkan, di dalam Perpu TPTPT tersebut, tindak pidana terorisme hanya dirumuskan sebagai “tindak pidana yang memenuhi ketentuan dalam Perpu ini”.10 Jadi sederhananya menurut Perpu TPTPT ini, tindak pidana pencurian pun dapat menjadi tindak pidana terorisme jika dimasukan dalam Perpu tersebut. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 akhirnya dijadikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pada tanggal 4 april 2003 oleh pemerintah Indonesia.11

Sesunguhnya unsur-unsur pidana yang terkandung di dalam pasal 8 Undang-Undang TPTPT ini sebagian besar menunjukkan persamaan – kalau tidak ingin disebut sama persis – dengan unsur –unsur pidana dalam ketentuan pasal 479a hingga Pasal 479r Bab XXIXA tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan penerbangan dan kejahatan sarana/prasarana penerbangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), walaupun dikatakan oleh penjelasan Pasal 8 tersebut bahwa ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Pasal ini

Di dalam substansi yang diaturnya terdapat ketentuan mengenai tindak pidana yang dipersamakan dengan tindak pidana terorisme. Di antaranya adalah tindak pidana kejahatan terhadap penerbangan dan sarana/prasarana penerbangan seperti yang tercantum di dalam Pasal 8 dari undang-undang tersebtu.

9

Lihat “Tata Negara : UU antiterorisme Indonesia masih kurang

keras,

2009

10

Perpu TPTPT, pasal 1 ayat 1

11

(14)

merupakan penjabaran dari Bab XXIXA KUHP tersebut.12

Ini akan menimbulkan konsekuensi yang janggal ketika pasal 8 undang-undang TPTPT ini di terapkan. Sebagai perandaian, ketika seseorang dengan sengaja merokok di dalam pesawat udara, padahal tanda larangan merokok menyala, dia dapat di kenai tuduhan melakukan tindakan pidana terorisme dengan merujuk pasal 8 huruf r yakni menggangu ketertiban dan tata tertib dalam pesawat udara, jadi merokok dalam pesawat adalah tindak pidana terorisme yang dapat di hukum dengan penjara minimal 4 tahun atau seumur hidup atau hukuman mati. Misalnya lagi, jika seseorang pilot mendaratkan pesawat udaranya dan karena kealpaannya menyebabkan pesawatnya itu tergelincir keluar landasan dan mengalami kerusakan, maka berdasarkan Pasal 8 huruf g Undang-Undang TPTPT, dia dapat dikenai tuduhan melakukan tindakan terror dengan alasan

Hal ini sungguh menarik dikaji karena suatu peraturan yang semua termasuk dalam golongan kejahatan biasa (ordinary crime) sekarang menjadi tindakan yang dipersamakan dengan tindak pidana terorisme, dengan tanpa perubahan berarti pada unsur-unsur tindak pidana yang diaturnya. Hal ini dapat menimbulkan masalah karena pada awal ketentuan pada Bab XXIXA KUHP ini dibuat semangatnya adalah mengkriminalisasi kejahatan penerbangan dan sarana penunjangnya, sedangkan undang-undang TPTPT dibuat dengan berdasarkan semangat bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa pula.

12

(15)

kealpaannya telah menyababkan pesawat udara yang menjadi tanggung jawabnya menjadi rusak.13

13

Hal –hal yang berkaitan dengan pasal 8 huruf G undang-undang TPTPT (

Menjadi menarik untuk mempelajari latar belakang di masukannya ketentuan Bab XXIXA KUHP tersebut adalah meluasnya cakupan tindak pidana terorisme ke dalam seluruh ruang tindak pidana dalam penerbangan dala KUHP yang notabene awalnya adalah tindak pidana biasa.

Uraian tersebut di atas membawa kita kepada fokus kajian dari penelitian ini yakni permasalahan kriteria penentuan suatu kejahatan dapat di golongkan sebagai tindak pidana terorisme oleh Undang-Undang TPTPT, dan dari permasalahan itu akan dilihat kelayakan setiap butir peraturan pada Pasal 8 UU TPTPT tersebut sebagai bagian dari tindak pidana terorisme. Instrumen hukum yang akan digunakan selain KUHP, UU TPTPT dan Peraturan Perundang-Undangan nasional lainnya adalah instrument hukum internasional seperti konvensi-konvensi yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme serta instrumen hukum negara-negara lain.

B. Permasalahan

Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1.Bagaimana pengaturan mengenai implementasi konvensi kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme menurut instrumen Hukum Internasional

(16)

2.Bagaimana pengaturan mengenai implementasi konvensi kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme menurut Undang-Undang No.15 Tahun 2003

3.Bagaimana dalam prakteknya penerapan ketentuan hukum Undang-Undang No.15 Tahun 2003 dalam peristiwa kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme (contoh kasus putusan perkara pilot Marwoto No. 348 Pid. B/2008/PN Slmn)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Dalam penyusunan penulisan hukum ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1.Untuk mengetahui implementasi konvensi kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme menurut instrumen Hukum Internasional

2.Untuk mengetahui implementasi konvensi kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme menurut Undang-Undang No.15 Tahun 2003 3. Untuk mengetahui praktek penerapan ketentuan hukum Undang-Undang No.15 Tahun 2003 dalam peristiwa kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme ( contoh kasus putusan perkara pilot Marwoto No. 348 Pid. B/2008/PN Slmn)

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis

Diharapkan hasil penelitian ini mempunyai kegunaan bagi keberadaan dan perkembangan ilmu hukum.

(17)

a. Menambah wawasan dan cakrawala bagi penulis dalam kaitannya dengan kajian kriminologi terhadap pemberitaan kriminal di televisi dan kejahatan anak

b. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan materi penulisan hukum ini;

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai implementasi konvensi kejahatan penerbangan dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorsisme di Indonesia belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini disebut asli sesuai dengan asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka.

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data tentang implementasi konvensi kejahatan penerbangan dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorsisme di indonesia, dan juga pemeriksaan terhadap hasil penelitian yang ada mengenai hal tersebut, sehingga dapat disimpulkan penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E. Metode Penelitian

(18)

rujukan utama. Metode deskriptif ialah metode untuk mempertegas hipotesis14

Metode analtis adalah metode untuk mengkaji fakta-fakta yang ada dikaitkan dengan gambaran atau deksripsi yang telah didapatkan sebelumnya pada metode deskriptif yang digunakan

. Dalam penelitian ini metode deskriptif digunakan untuk mengkaji batasan-batasan dari tindak pidana terorisme secara umum.

15

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia

. Dalam penelitian ini, metode analitis akan digunakan untuk mempelajari keterkaitan secara utuh antara ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang TPTPT dengan batasan-batasan dari tindak pidana terorisme yang berlaku umum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

Teknik pencarian data dilakukan melalui studi dokumentasi atau pustaka (Library Research) dengan menggunakan data sekunder sebagai rujukan utama. Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan adalah:

1. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang dijadikan dasar serta kajian utama dalam mengkaji masalah tindak pidana penerbangan menjadi tindak pidana terorisme yaitu:

b. Convention on Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft, Tokyo: 1963

c. Convention for The Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, The Hague 1970

d. Air Navigation Act International Civil Aviation Organization (ICAO)

14

Soerjono Soekanto. “Pengantar Penelitian Hukum”. Jakarta: UI Press 1986 hal 10

15

(19)

e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Hague 1970, dan Konvensi Montreal 971

f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan

g. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

h. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

i. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana draft 2005, buku-buku, majalah-majalah, jurnal-jurnal, publikasi dan artikel yang mendukung kajian bahan hukum primer

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang mendukung bahan hukum sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia

F. Tinjauan Pustaka

(20)

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, yaitu:

1) Pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara16

2) Pesawat udara dalam penerbangan adalah sejak saat pintu luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang (disembarkasi). Dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tanggung jawab atas pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya

.

17

3) Pesawat udara dalam dinas adalah jangka waktu sejak pesawat udara disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu, hingga setelah 24 jam lewat sesudah setiap pendaratan

.

18

4) Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait

.

19

5) Extraodrinary Crime atau kejahatan luar biasa dalam konteks penelitian

adalah suatu ancaman bagi kebudayaan dunia (world’s culture) dan kemanusiaan (mankind) seperti yang dirumuskan dalam Statuta Roma 1995, karena itu harus diperangi dengan segala cara, baik melalui perangkat hukum, militer, intelijen, kepolisian, dan penegakan hukum

.

16

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 1 Ayat (3)

17

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 95b

18

Ibid Pasal 95c

19

(21)

serta penghukuman yang memadai bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Termasuk di dalam rumusan kejahatan luar biasa ini adalah tindak pidana terorisme20

G. Sistematika Penulisan

Di dalam penulisan hukum ini terdiri dari empat bab. Masing-masing perinciannya sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan,

Di dalamnya berisi uraian latar belakang pemilihan judul, ruang lingkup penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan diakhiri dengan sistematika skripsi yang bertujuan untuk mengantarkan pikiran pembaca ke pokok permasalahan yang akan dibahas.

Bab II Berisi Konvensi Kejahatan Penerbangan Sebagai Sebuah Tindak Pidana Terorisme Menurut Instrumen Hukum Internasional. Dalam bab ini dijabarkan hal yang dipaparkan adalah mengenai Konvensi – Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil diantaranya yaitu Konvensi Tokyo, Konvensi Den Haag, dan Konvensi Montreal

Bab III Merupakan bab yang menguraikan tentang konvensi kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme menurut uu no. 15 tahun 2003.

.

20

Lihat Frans Hendra Winarta: “Terorisme Itu Kejahatan Luar Biasa”

(22)

Di dalamnya sub bab menjelaskan lebih lanjut mengenai Konvensi Kejahatan Penerbangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) serta Kejahatan Penerbangan Sebagai Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang 15 Tahun 2003.

Bab IV Merupakan bab yang memaparkan permasalahan berikutnya mengenai prakteknya penerapan ketentuan hukum undang-undang no.15 tahun 2003 dalam peristiwa kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme ( contoh kasus putusan perkara pilot marwoto No. 348 Pid. B/2008/PN Slmn).

Berturut-turut di dalamya terdapat sub bab mengenai Posisi Kasus dan Analisis Perkara Pilot Marwoto (Perkara No. 348 Pid.B/2008/PN Slmn) berdasarkan UU No 15 Tahun 2003

Bab V Adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi ini. Hal mengenai kesimpulan dan saran terhadap sejumlah penulisan dalam skripsi ini.

(23)

BAB II

KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM

INTERNASIONAL

A. Konvensi – Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil

Kajian instrumen hukum internasional dalam tindak pidana penerbangan pada skripsi ini akan difokuskan pada ketiga konvensi ini saja, yakni Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun 1970, dan Konvensi Montreal tahun 1971. Selain karena hanya ketiga konvesi ini saja yang dapat diberlakukan secara internasional untukmengatur mengenai kejahatan dalam penerbangan, ketiga konvensi ini pula yang dijadikan sumber utama dalam pembuatan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 yang menambahkan beberapa pasal tentang kejahatan penerbangan dan sarana/prasarananya di dalam KUHP.

Beberapa sumber bahkan menyatakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam ketiga konvensi ini sesungguhnya merupakan tindak pidana terorisme21. Namun, akhir penentuan kategori kejahatan yang diatur lewat ketiga konvensi ini termasuk tindak pidana terorisme atau bukan terpulang kepada undang-undang yang dibuat oleh masing-masing negara peratifikasi.22

Usaha-usaha untuk mendefinisikan terorisme sudah nampak di dunia internasional setidaknya sejak tahun 1937. Pada tahun 1937, Liga Bangsa-bangsa sebenarnya sudah merumuskan defenisi terorisme kedalam suatu konvensi sebagai ‘’All criminal acts directed agains a State and intended or calculated to create a

21

Abdul Wahid et al., Op. Cit., hal.27. Lihat pula Paul Stephen Dempsey,

Loc.Cit., hal.666.

22

(24)

state of terror in the minds of particular persons or a group or the general

public.’’ Namun draft konvensi ini tidak pernah disetujui, sehingga definisi ini

tidak pernah dipakai23

Konvensi-konvensi internasional yang mengkategorikan rumusan kejahatan yang diaturnya sebagai tindak pidana terorisme, sesungguhnya banyak yang telah dibuat, misalnya kejahatan pembajakan pesawat udara dan pembiayaan kegiatan teroris.

Berbagai lembaga internasional maupun regional sudah mengeluarkan produk-produk hukumya untuk menjelaskan defenisi terorisme tersebut.

24

Namun, permasalahan sesungguhnya dari konvensi-konvensi ini adalah penerapannya. Kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam konvensi-konvensi tersebut sebenarnya baru dapat disebut sebagai tindak pidana terorisme atau bukan tergantung pada persetujuan Negara-negara peratifikasi di dalam undang-undangnya masing-masing.25 Ini dikarenakan belum adanya definisi menyeluruh mengenai terorisme itu sendiri yang tentunya dapat diterima oleh semua Negara, dan bahkan hingga kini Perserikatan Bangsa-Bangsa masih mencoba mencari rumusan defenisi yang tepat.26

Konvensi-konvensi tersebut adalah :27

Konvensi Tokyo yang dibuat tanggal 14 September 1963 di Tokyo ini diprakarsai oleh Internasioanal Civil Aviation Organization ( ICAO).

1. Konvensi Tokyo

Abdul Wahid et al. Op.Cit., hal.27-28.

(25)

ini lahir dari keinginan dunia untuk mengkriminalisasikan tindak pidana dalam penerbangan yang makin marak, yang pada waktu itu secara internasional belum dianggap sebagai kejahatan.29

Tujuan dari konvensi ini adalah mengkriminalisasikan tindakan-tindakan yang terjadi di dalam pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan penumpang dan barang di dalam pesawat udara tersebut, dan ini merupakan konvensi pertama yang mengikutsertakan secara formal kewenangan internasional terhadap tindak kriminal para pembajak.30

Di dalam konvensi ini yang utama diatur adalah mengenai masalah yurisdiksi Negara atas sebuah pesawat udara yang dibajak, suatu hal yang sebelumnya sering dijadikan bahan perdebatan antar Negara mengenai kewenangan suatu Negara atas suatu pesawat udara yang dibajak di atas laut bebas, wilayah internasional, atau di dalam wilayah negara asing. Konvensi Tokyo menganut prinsip ‘’law of the flag’’, artinya yang memiliki yurisdiksii terhadap pelanggar di dalam pesawat udara adalah Negara di mana pesawat tersebut didaftarkan atau Negara bendera pesawat tersebut (pasal 3). Namun prinsip ini dapat dikecualikan oleh ketentuan-ketentuan dalam pasal 4 konvensi tersebut, yakni apabila suatu Negara yang mendapatkan suatu pesawat udara berbendera asing dibajak di dalam wilayah mereka dan dapat berpengaruh terhadap keamanan Negara tersebut, maka Negara ini dapat mengambil langkah-langkah untuk mengamankan pesawat udara tersebut.31

28

Konvensi ini berjudul ‘’Offences and Certain Other Acts Commited on

Board Aircraft’’. Lihat K. Martono,.Op.Cit., hal.157.

29

Michael S. Simons, Loc. Cit., hal. 742. .30 Ibid, hal. 741

31

K. Martono, Op. Cit, hal 306.

(26)

memastikan kondisi keamanan pesawat udara, dengan memberikan kewenangan-kewenangan yang belum pernah ada sebelumnya. Kewenangan ini antara lain adalah menahan tersangka dan menurunkan tersangka di Negara anggota (peserta konvensi Tokyo), hal ini merupakan kewenangan kepolisian yang dapat dipergunakan kapten pilot manakala ada indikasi kuat keselamatan penerbangan terancam dan tidak ada aparat kepolisian yang dapat melakukan kewenangannya32

Mengenai tindak kejahatan yang diatur di dalam konvensi ini, selain mengatur tindakan-tindakan melawan hukum yang membahayakan keselamatan penumpang, pesawat udara, barang serta tata tertib penerbangan,33 juga mengatur tindakan pengambilalihan pesawat udara secara melawan hukum atau yang biasa disebut sebagai pembajakan pesawat udara.34

Dari Pasal 11 Konvensi Tokyo yang mengatur tentang pembajakan, unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :35

1. Pesawat udara tersebut harus dalam penerbangan; 2. Pelaku pembajakan harus ada dalam pesawat udara; 3. Perbuatan tersebut harus melanggar hukum;

4. adanya paksaan atau ancaman paksaan.

Hal yang harus diperhatikan dalam Konvensi Tokyo ini adalah konvensi ini dirancang utuk mewajibkan Negara peratifikasi agar dapat menolong komandan pesawat udara ( kapten pilot) mengamankan pesawat udaranya dari gangguan pembajakan dan kejahatan lainnya yang diatur dalam konvensi ini. Namun tidak mewajibkan negara tersebut untuk menghukum apalagi

32

Ibid., hal.159.

33

Pasal 1 ayat 1 huruf b Konvensi Tokyo. Lihat Ibid, hal.305.

34

Pasal 11 Konvensi Tokyo. Lihat Ibid, hal. 309.

35

(27)

mengekstradisi pelaku pembajakan ke Negara bendera pesawat udara tersebut.36 Hal inilah yang menjadi kelemahan konvensi ini.37

Konvensi The Hague atau Konvensi The Haag diberlakukan di Den Haag, Belanda tanggal 16 Desember1970.

2. Konvensi Den Haag

38

K. Martono mengatakan bahwa konvensi Den Haag memiliki lingkup keberlakuan lebih luas, dan juga memiliki ketentuan tentang ekstradisi yang lebih tegas dibandingkan Konvesi Tokyo.39 Selain itu, ketentuan di dalamnya juga memperbarui defenisi tindakan pembajakan dalam pesawat udara dan mengamanatkan pula hukuman yang berat bagi pelakunya kepada Negara-negara peratifikasi.40 Sayangnya ‘’hukuman yang berat’’ ini tidak didefinisikan dalam konvensi ini, hal mana yang disesalkan oleh beberapa kalangan, dan menciptakan suatu ketidakseragaman dalam penghukuman bagi pelaku di masing-masing Negara peratifikasi41

36

Michael S. Simsons, Loc. Cit., hal. 742.

37

K.Martono, Op. Cit., Hal. 166.

38

Abdul Wahid et al., Op. Cit., hal. 27. Konvensi in berjudul ‘’The Suppression on Lawfil Seizure of Aircraft’’ dan hanya ditujukan bagi penindakan atas pembajakan di dalam pesawat udara, dan dibuat atas inisiatif ICAO pula.

39

K. Martono, Op. Cit., hal. 190.

40

Michael S. Simons, Loc. Cit., hal. 743.

41

Paul Stephen Dempsey, Loc. Cit., hal.667.

Pasal 1 Konvensi Den Haag ini berbunyi sebagai berikut :

(28)

Perbedaan yang mencolok dari definisi ini dibandingkan dengan definisi yang dimiliki oleh Konvensi Tokyo adalah adanya penambahan ketentuan bahwa seseorang yang membantu terjadinya pembajakan pesawat udara, dianggap melakukan tindak pidana yang sama dengan orang yang dibantunya.

Sama halnya seperti Konvensi Tokyo, konvensi inipun menyimpan kelemahan. Satu diantaranya adalah Konvensi Den Haag ini tidak mengkriminalisasikan kejahatan penyabotasean suatu pesawat udara.42 Kebutuhan pemidanaan atas kejahatan sabotase ini makin mendesak manakala pembajakan atas pesawat udara berkurang tetapi angka sabotase terhadap fasilitas Bandar udara dan peledakan pesawat udara dengan bom yang didesain meledak pada saat pesawat udara terbang makin meningkat. Namun ha ini akan diperbaiki lewat Konvensi Montreal.43

‘’(1) acts of violence likely to endanger the safety of an aircraft; (2) destruction of or serious damage to an aircraft or air navigation

3. Konvensi Montreal

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Konvensi Montreal yang dilahirkan tanggal 23 September 1971 sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan internasional akan pemidanaan terhadap sabotase pesawat udara dan fasilitas penunjangnya di bandara. Walaupun demikian, Konvensi Montreal dalam beberapa segi merupakan perulangan dari Konvensi Den Haag.

Di dalam Pasal 1 Konvensi Montreal, seperti yang dikutip dari Dempsey, rumusan kejahatan yang berbeda dengan konvensi sebelumnya adalah :

42

Paul Stephen Dempsey, Loc. Cit., hal.669.

43

(29)

facilities; and (3) communication of false information that endangers the safety of an aircraft.’’

Juga mengenai percobaan tindak pidana , percobaan atas kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 1 Konvensi Montreal, dianggap melakukan kejahatan :

‘’Any person also commits an offence if he: (a) attempts to commit

(30)

BAB III

KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UU NO. 15 TAHUN 2003

A. Konvensi Kejahatan Penerbangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)

Seperti yang telah secara singkat dipaparkan sebelumnya, tindak pidana penerbangan dan sarana/prasarana penerbangan di dalam KUHP merupakan hal yang masih baru dibandingkan dengan eksisitensi KUHP itu sendiri.44 Masuknya ketentuan ini ke dalam Bab XXIXA Pasal 479a hingga Pasal479r dilatarbelakangi oleh diratifikasinya ketiga konvensi tersebut di atas oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1976. Adapun alasan diratifikasinya ketiga konvensi ini adalah adanya keprihatinan Indonesia akan tindak pidana dalam penerbangan dan merupakan tanda keikutsertaannya dalam upaya pencegahannya, serta alasan yuridis yakni tindak pidana penerbangan belum dikriminalisasi daam hukum pidana di Indonesia 45

Melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Monteral 1971, Indonesia secara resmi meratifikasi dan mengadopsi ketentuan di dalam ketiga

44

KUHP atau Wetboek van Strafrecht (Belanda), telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1918 oleh pemerintah colonial Belanda. Lihat : Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Op. Cit., hal.14.

45

.Undang-undang Republik Indonesia tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971, Nomor 2 Tahun 1976, LN. Tahun 1976 No.18, TLN No.3076, konsiderans butir b.

Lihat pula Undang-undang Republik Indonesia tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Brtalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan, Nomor 4 Tahun 1976, konsiderans butir a dan d.

(31)

konvensi tersebut menjadi undang-undang.46 Sikap ini dibarengi dengan implementasi peraturan dari ketiga konvensi ini, yang diwujudkan dengan penerbitan dan pemberlakuan Undang-undang Nomor 4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Bebarapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/ Prasarana Penerbangan.47

Dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 inilah, cakupan KUHP diperluas lingkupnya hingga ke dalam kejahatan penerbangan beserta sarana/prasarananya.48 Hal ini juga berarti penambahan definisi-definisi baru ke dalam Buku Pertama KUHP.49

46

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1976, Loc.Cit., bagian Penjelasan Umum.

47

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976, Loc.Cit., bagian Penjelasan Umum.

48

Ibid.

49

Ibid., Pasal I

Bagan 1

(32)

Dalam ketentuan pidana pada Bab XXIXA Pasal 479a hingga Pasal 479r KUHP50

50

Lihat Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

terdapat delapan jenis rumusan pidana yang kesemuanya diancam dengan pidana penjara dengan maksimum ancaman yang berbeda. Pertama, pidana perusakan fasilitas penerbangan atau bandara. Pasal-pasal yang memasukkan unsur kesengajaan ke dalam pidana ini adalah Pasal 479a dan Pasal

Konvensi Tokyo, Konvensi Den Haag, dan Konvensi Montreal

UU No. 2/1976

UU No. 4/1976

BAB XXIXA KUHP Definisi baru dalam BUKU I

KUHP

(33)

479c51, sedangkan yang memasukkan unsur kelalaian Pasal 479b dan 479d52. Kedua, pidana perusakan pesawat udara. Pasal-pasal yang memasukkan unsur kesengajaan ke dalam pidana ini adalah Pasal 479e dan Pasal 479f53

51

Pasal 479a berbunyi,’’(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu-lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun;(2) Dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu-lintas udara;(3) DEngan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun jika karena perbuatan itu mengakibatkan mainya orang.’’

Sementara Pasal 479c berbunyi : ‘’(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, dan memindahkan tanda atau aat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru, dipidana dengan pidana penjara lamanya enam tahun; (2) Dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu-lintas udara;(3) Dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

52

Bandingkan dengan tindak pidana yang dirumuskan dalam ketiga konvensi tersebut, tidak ada satupunn ketentuan yang mengatur mengenai masalah kealpaan (kelalaian), yang dirumuskan hanyalah perbuatan yang disengaja. Pasal 479b berbunyi,’’Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tiga tahun.’’

Sedangkan pasal 479d berbunyi,’’Barangsiapa karena kealpaan menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru, dipidana : (a) dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun jika karena perbuatan itu menyebabkan penerbangan tidak aman; (b) dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan celakanya pesawat udara; (c) dengan pidana penjara selama-lamanya tujh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.’’

53

Pasal 479e berbunyi,’’Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, atua merusak pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.’’

; serta Pasal

(34)

selama-479m dan Pasal 479n (untuk pesawat udara dalam dinas) dan delik dikualifisirnya yakni pasal 470o;54 dan pasal yang memasukkan unsure kelalaian adalah Pasal 479g.55

Ketiga, pidana penipuan asuransi yang tercantum dalam ketentuan Pasal 478h.56

lamanya dua puluh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.’’

54

Pasal 479m berbunyi,’’Barangsiapa dengan sengaja melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.’’

Pasal 479n berbunyi,’’Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara atau dapat menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat menyebabkan keamanan dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.’’

Sedangkan Pasal 479o berbunyi,’’Dipidana dengan pidana seumur hidup atau maksimul 20 tahun apabila perbuatan dimaksud Pasal 479l, Pasal 479m, Pasal 479n itu (a) dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama,(b) sebagai kelanjutan dari pemufakatan jahat,(c) dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu,(d) mengakibatkan luka berat bagi seseorang.’’

55

Pasal 479g berbunyi,’’ Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai atau rusak, dipidana: (a) dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain;(b) dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.’’

Keempat, mengenai tindak pidana yang disebut pembajakan, diatur lewat

56

(35)

Pasal 479i dan Pasal 479j,57 dan delik dikualifisirnya diatur dengan Pasal 479k.58 Kelima, pidana perbuatan kekerasan terhadap seseorang yang membahayakan pesawat udara dalam penerbangan, diatur dalam Pasal 479l,59

Keenam, pidana memberian keterangan palsu dalam Pasal 479p beserta delik dikuaifisirnya yang diatur pada Pasal 479o.

60

dipidana: (a) dengan pidana penjara seama-lamanya sepuluh tahun, jika karena perbuatan itu meneybabkan luka berat;(b) dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.’’

57

Pasal 479i berbunyi,’’ Barangsiapa dalam pesawat udara dengan perbuatan melawan hukum merampas atau mempertahankan rampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.’’

Sedangkan Pasal 479j berbunyi,’’Barangsiapa dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.’’

58

Pasal 479k berbunyi,’’(1) Dipidana dengan pidan penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun, apabila perbuatan dimaksud Pasal 479i dan Pasal 479j itu: (a) dilakuakn oleh dua orang atau lebih bersama-sama;(b) sebagai kelanjutan pemufakatan jahat;(c) dlakukan dengan direncanakan terlebih dahulu; (d) mengakibatkan luka berat seseorang;(e) mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara tersebut, sehingga dapat membahayakan penerbangannya,(f) dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun.’’

59

Pasal 479l berbunyi,’’Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam esawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.’’

60

Bandingkan dengan Konvensi Montreal yang menghukum perbuatan yang sama, lihat Article 1 section 1 subsection (e) Konvensi Montreal, dalam K.Martono, Op.Cit., hal.324.Pasal 479p berbunyi,’’ Barangsiapa memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dank arena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbanagn dipidana dengan pidan penjara selama-lamanya lima belas tahun.’’

(36)

pesawat udara dalam Pasal 479q.61 Kedelapan, pidana atas perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib dalam pesawat udara, diatur dengan 479r.62

Delik

Tabel 1

Pasal-pasal pada Bab XXXIXA KUHP Pasal Delik diperberat

(Pasal)

Pasal 479q berbunyi,’’Barangsiapa di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara daam penerbanagan, dipidana dengan idana penjara selama-lamanya lima belas tahun.’’

62

(37)

penerbangan Mengganggu ketertiban dan tata

tertib daam udara

479r

B. Kejahatan Penerbangan Sebagai Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang 15 Tahun 2003

1. Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme No 15 Tahun 2003

a. Latar Belakang

Lahirnya Undang-undang TPTPT ini tidak hanya dilatarbelakangi adanya peristiwa 9 September 2001 di gedung kembar World Trade Center, Amerika Serikat. Tetapi juga didorong oleh keinginan berbagai negara termasuk Indonesia yang telah lama berkehendak untuk mengkriminalisasikan kejahatan jenis ini. Bahkan, khusus Indonesia, hal tersebut telah diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang mengharuskan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia.63

Salah satu faktor pendorong kriminalisasi ini berkaitan dengan aspek viktimologis yang cenderung sangat besar dan luas baik yang berkaitan dengan nyawa, kemerdekaan, dan harta serta timbulnya rasa takut terhadap korban yang

63

Muladi, Pengantar Sosialisasi RUU tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Terorisme: Aspek Hukum Pidana Materiil, makalah yang

(38)

bersifat acak (random attack atau indiscriminate terror) atas dasar filosofi

propaganda by deed atau mass media oriented terrorism.64

Adanya kenyataan yang jauh lebih berbahaya yakni kaitan antara terorisme dengan kejahatan-kejahatan lain yang bersifat transnasional dan terorganisasi (transnational organized crimes) seperti perdagangan senjata, pencucian uang, perdagangan narkotika bahkan perdagangan bahan-bahan nuklir yang berbahaya bagi perdamaian dan keamanan nasional dan internasional.65

Dengan demikian tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se dan bukan mala prohibita. Mala per se adalah kejahatan terhadap hati nurani (crimes against conscience), menjadi jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh undang-undang tetapi pada dasarnya memang tercela (naturally

wrong atau acts wrong in themselves).66

Untuk menanggulangi tindak pidana terorisme yang bersifat internasional, perumusan tindak pidana yang bersifat nasional baik yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP ‘’tidak atau belum memadai’’mengingat unsur-unsur kejahatan yang bersifat spesifik, di samping belum tertampungnya berbagai aspirasi yang berkembang baik regional maupun internasional.67

Ibid. Bandingkan dengan pernyataan Romli Atmasasmita yang mengatakan bahwa,’’…Dewan Keamanan PBB telah sepakat menempatkan masalah ini (terorisme) dalam status sebagai’’kejahatan internasional’’

Di

(39)

samping itu pengaturan tindak pidana terorisme cenderung menempuh sistem global dan komprehensif yang memuat kebijakan kriminal (criminal policy) yang bersifat luas baik preventif maupun represif serta beberapa (hukum) acara yang bersifat khusus, tanpa menyampingkan promosi dan perlindungan Hak Asasi Manusia.68

Oleh karena itu, pemerintah Indonesaia akhirnya memutuskan untuk menerbitkan Undang-undang TPTPT Nomor 15 Tahun 2003 yang diberlakukan pada yanggal 4 April 2003, setelah sebelumnya sempat menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undag-undang Nomor 1 Tahun 2002.69

Pertama, instrument hukum yang berlaku secara internasional seperti Konvensi Internasional Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (1937); b. Konsep Undang Undang TPTPT

Undang-undang TPTPT dikatakan oleh beberapa kalangan ahli hukum didesain untuk menjawab tantangan terorisme yang bersifat internasional, tidak hanya terorisme lokal (domestic). Sehingga dalam pegimplementasiannya di dunia nyata, Undang-undang TPTPT harus dapat bersinergi dengan undang-undang sejenis yang dimiliki oleh negara-negara lain, maupun instrument hukum sejenis di tingkat regional bahkan internasional, selain tentunya undang-undang relevan yang sudah ada dan berlaku di Tanah Air.

Oleh karena itu, proses penyusunan Undang-Undang TPTPT memperhatian dua acuan utama, yakni:

Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia,(Jakarta: Badan Pembinaan HUkum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia,2002), hal.1.

68

Ibid.,hal.3.

69

(40)

Konvensi Menentang Pemboman oleh Terorisme; Konvensi Menentang Pendanaan untuk Terorisme (1999); Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1368 tahun 2000 dan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 tahun 2001.70

Kedua, sistem hukum dan perundang-undangan yang telah berlaku di Indonesia seperti KUHP, Kitab Undnag-undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan perundnag-undnagan lainnya yang berkaitan, antara lain adalah Undang-undang tentang Kewarganegaraan, Undang-undang tetang Pencucian Uang, dan Undang-undang tentang Pertahanan.71

Ditambah pula dengan acuan pelengkap yakni Undang-undang tentang terorisme yang berlaku di Negara-negara ASEAN dan Asia, seperti Jepang dan India, serta Amerika Serikat.72

Maka dari itulah, Undang-undang TPTPT yang semula berbentuk perpu ini didesain khusus sebagai undang-undang payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan terorisme;73 merupakan undang-undang yang memiliki sanksi pidana diperkuat dan sekaligus merupakan undang-undang koordinatif yang berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan terorisme.74 Undang-undang ini memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa yang disebut safeguarding rules;75

70

Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal.4.

71

Ibid.

72

Ibid.

73

Perpu Nomor 1 Tahun 2002,Loc.Cit., Penjelasan Umum.

74

Ibid.

75

Ibid.

(41)

transnasional dan internasional serta memuat ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme yang terkait dengan kegiatan terorisme internasional.76

Seperti yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya, bahwa ketentuan-ketentan pada Bab XXIXA KUHP merupakan hasil dari diadopsinya ketiga konvensi Internasional mengenai keamanan penerbangan yakni Konvensi Tokyo (1963), Konvensi Den Haag (1970), dan Konvensi Montreal(1971). Peratifikasian ketiga konvensi tersebut secara resmi dilakukan pemerintah RI melalui Undang-undnag Nomor 2 Tahun 1976,

2. Masuknya Ketentuan Kejahatan Penerbangan dan Sarana Prasarana Penerbangan Dalam Undang Undang TPTPT

77

dan pengimplementasiannya menjadi ketentuan Undang-undang dilakukan melalui Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976.78

Ada beberapa kalangan ahli hukum yang melihat bahwa kejahatan yang diatur dalam ketiga konvensi tersebut berkategori tindak pidana terorisme.79 Namun, penilaian sesungguhnya bahwa kejahatan-kejahatan yang diatur dalam ketiga konvensi ini termasuk tindak pidana terorisme atau bukan terpulang kepada Negara-negara peratifikasiannya yang mengadopsi ketentuan-ketentuan tersebut dalam undang-undang mereka.80

Di Indonesia, kejahatan penerbangan yang diadopsi melalui Undang-undang Nomor 2 dan Nomor 4 Tahun 1976 dimasukkan ke dalam Bab XXIXA KUHP sejak tahun 1976. Dengan dimasukkannya ketentuan tersebut dalam

76

Ibid.

77

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1976,Loc. Cit., Penjelasan Umum.

78

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976,Loc. Cit., Penjelasan Umum.

79

Lihat Abdul Wahid et al., Op. Cit., hal.27. Lihat pula Paul Stephen Dempsey, Loc. Cit., hal.666.

80

(42)

KUHP, maka rumusan kejahatan penerbangan dan sarana/prasaranamya ini termasuk ke dalam golongan kejahatan biasa.

Hal ini terus berjalan hingga melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2002 (yang kelak menjadi undang-undang) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ketentuan-ketentuan dalam Bab XXIXA ini diadopsi total menjadi bagian dari Perpu tersebut .81 Hal ini dapat dilihat apabila kita teliti lebih lanjut redaksional Pasal 8 huruf a hingga huruf r Perpu TPTPT (Baca : Undang-undang TPTPT), di mana menunjukkan kesamaan substansi yang persis dengan ketentuan Pasal 479a hingga Pasal 479r.82 Bahkan draft V Juni 2002, redaksional Pasal 8 hanya merujuk pada Bab XXIXA KUHP, tanpa menuliskan isi dari pasalnya.83

81

Merupakan hal yang tak dapat disangkal bahwa pemasukan ketentuan ini dlalam Pasal 8 Undang-undang TPTPT sedikit banyak dipengaruhi oleh tragedy WTC 9 September 2001 di Amerika Serikat yang melibatkan dua pesawat terbang sebagai ‘’peluru kendali’’ penghancur menara kembar tersebut, sehingga dapat dilihat bahwa ide dimasukkannya ketentuan-ketentuan ini di dalam Pasal 8 untuk melindungi penerbangan berikut sarana/prasarananya dari tengah-tengah teroris, lihat Muladi,Loc. Cit., hal.1.

82

Bahkan, dalam penjelasan Pasl 8 Perpu ini, dikatakan bahwa,’’Ketentuan ini merupakan penjabaran dari tindak pidana…sebagaimana simaksud dalam Pasal XXIXA Kitab Undang-undang Hukum Pidana.’’ Hal ini sangat memprihatinkan, karena tidak ada Pasal XXIXA KUHP sebagaimana yang ditunjuk oleh Penjelasan Pasal 8 ini. Jika berbicara tentang kejahatan penerbangan , maka Bab XXIXA KUHP yang paling relevan. Ini menunjukkan kesan bahwa Perpu TPTPT ini dibuat dengan tidak cermat dan terburu-buru. Lihat Amiruddin et al., Kajian terhadap Perppu No.1/2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dalam buku, Terrorisme: Definisi, Aksi, dan Regulasi, Editor: Rusdi Marpaung dan Al Araf,(Jakarta: Imparsial,2003), hal.92.

83

Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal.23. Bagan 2

(43)

Muladi menyatakan bahwa ada beberapa asas yang mendasari terbentuknya Undang-undang TPTPT ini.84

1. Kelayakan penempatan ketentuan tindak pidana penerbangan di dalam Undang-undang TPTPT

Khusus pada ketentuan dalam Pasal 8 Undang-undang TPTPT, dipakailah asas kriminalisasi yang diperluas :

‘’…Asas kriminalisasi yang diperluas (the principle of extended criminalization) dalam arti ….(b) Aktualisasi atau afirmasi tindak-tndak pidana yang sudah ada yang relevan untuk dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Hal ini bersumber baik murni hukum nasional maupun yang bersumber pada konvensi hukum internasional yang telah diratifikasi (Pasal 8 RUU…yang bersumber pada Pasal 479a s/d Pasal 479r…).’’

84

Muladi, Loc. Cit., hal.2.

Konvensi Tokyo

Konvensi Den Haag

Konvensi Montreal

UU No.4/1976

BAB XXIXA KUHP

Pasal 8

UU No

KUHP

UU No. 15/2003 UU No. 2/1976

(44)

Akan dianalisis satu per satu, butir-butir pada Pasal 8 Undnag-undnag TPTPT, kesesuaian spirit (jiwa/semangat) Undang-undang TPTPT ini secara keseluruhan dengan spirit parsial pada masing-masing butir.

Adapun karakteristik tindak pidan terorisme dalam Undang-undang TPTPT ini dapat tercermin dalam ‘’lima unsur utama’’ tindak pidana terorisme yang telah disimpulkan dalam Bab sebelumnya, yakni :

Pertama, tindakan ini dapat dilakukan oleh siapa saja;

Kedua, tindakan tersebut dilakukan dengan sengaja, sama sekali bukanlah kesengajaan/ kelalaian.85

Ketiga, dilakukan dnegan tindak pidana yang dapat membahayaan jiwa;

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perihal kesengajaan ini meliputi semua gradasinya;

86

Keempat, tindakan tersebut dengan sengaja didesain untuk menimbulkan rasa tajut atau teror di masyarakat;87

Patut diketahui bahwa dikarenakan penjelasan Pasal 8 ini begitu terbatas,

Kelima, sasarannya dapat berupa apa saja dan siapa saja.

88

85

‘’Kesengajaan’’ diartikan dalam Wilstheorie oleh Von Hippel sebagai kehendak untuk melakukan sesuatu dan kehendak untuk menimbulkan akibat, atau ‘’willens en wettens’’. Lihat Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Op. Cit., hal.41

86

Menurut kamus Oxford,’’membahayakan’’ atau’’endanger’’(Inggris) memiliki makna sebagai: put in danger; cause danger to. Sementara kata ‘’danger’’ sendiri memiliki arti: (1) chance of suffering, liability to suffer, injury or loss of life. Jadi, arti ‘’membahayakan jiwa’’ adalah menempatkan seseorang ke dalam situasi yang dapat membatnya terluka atau menghilangkan jiwanya. Lihat A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (London: Oxford University Press,1974).

87

‘’Teror’’ atau’’terror’’ menurut kamus Oxford berarti : great fear, atau ketakutan yang hebat. Lihat Ibid.

(45)

479r pada KUHP akan dipergunakan, mengingat begitu dekatnya hubungan Pasal 8 Undnag-undnag TPTPT ini dengan Pasal-pasal dalam KUHP tersebut.

Bagian muka Pasal 8 Undang-undang TPTPT berbunyi sebagai berikut : ‘’Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:…’’89

a. Butir a:

Dalam hal ini, karena bagian muka Pasal 8 sudah memberlakukan ketetuan pada butir-butir di dalamnya kepada ‘’setiap orang’’, maka dari itu, karena sudah sesuai dengan unsur tindak pidana terorisme yang pertama-yakni unsure dilakukan oleh ‘’siapa saja’’- untuk selanjutnya unsure pertama ini tidak perlu digunakan lagi.

Begitu pula dengan unsur kelima, yakni ‘’sasarannya dapat ditujukan kepada siapa saja maupun apa saja’’. Karena unsur ini begitu universal pula maknanya- yang menjadikan hasilnya tidak akan begitu signifikkan-maka selanjutnya tidak akan dipakai lagi.

Unsur-unsur yang tersisa akan dipakai, karena ketiga unsure-unsur inilah yang paling memaknai unsur pembetuk tindak pidana terorisme. Tanpa kehadiran salah satu dari ketiga unsur ini, sesuatu ketentuan pidana tidak akan cukup meyakinkan untuk menjadi suatu ketentuan tindak pidana terorisme.

88

Penjelasan Pasal 8 Undang-undang TPTPT (yang semula Perpu TPTPT) menyatakan bahwa,’’ketentuan ini merupakan penjabaran dari tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan sebagaiman dimaksud dalam Pasal XXIXA Kitab undang-undang Hukum Pidana.’’

89

(46)

‘’menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai lagi atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;’’

Dalam penjelasan Pasal 479a KUHP-pasal yang dijadikan acuan dalam pembentukan ketentuan butir a- dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘’bangunan’’ adalah:

‘’…fasilitas penerbangan yang digunakan untuk keamanan dan pengaturan lalu lintas udara seperti terminal, bangunan, menara, rambu udara, penerangan, landasan serta fasilitas-fasilitas lainnya, termasuk bangunannya maupun instalasinya.’’

Unsur kesengajaan terlihat di dalam butir ini yakni kata-kata ‘’menghancurkan’’, ‘’membuat tidak dapat dipakai’’, ‘’merusak’’, atau ‘’menggagalkan usaha’’, kata-kata ini sudah mencukupi adanya makna kesengajaan dalam butir ini.

Unsur ‘’tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa’’, sebenarnya terlihat dari kemungkinan-kemungkinan (atau dapat disebut kesengajaan sebagai suatu keinsyafan kepastian) yang dapat timbul bila ‘’bangunan pengamanan lalu lintas udara’’ ini gagal menunjukkan fungsi pengamanannya akibat unsur ‘’kesengajaan’’ tadi. Misalnya saja ketika ada pesawat udara yang segera akan mendarat, tiba-tiba kontak radio dengan menara terputus, lampu landasan padam, dan landasannya hancur karena ledakan. Praktis, pesawat udara tersebut akan mengalami kecelakaan, entah karena tergelincir keluar landasan, atau rodanya patah saat melakukan pendaratan dikarenakan ada lubang bekas ledakan di tengah

runway.

(47)

kerusakan atau kehancuran yang disengaja. Misalnya yang berhubungan langsung dengan lalu-lintas penerbangan, seperti menara dan rambu udara, besar kemungkinan pesawat udara yang penuh penumpang itu jatuh berkeping-keping atau menabrak pesawat udara lainnya, lantaran ketiadaan alat pengaman lalu lintas, apalagi apabila terjadi di malam hari.

Begitu pula dengan bangunan terminal, misalnya. Tempat ini notabene adalah ruang publik, di mana dapat diakses oleh publik dan digunakan untuk kepentingan umum. Dapat dibayangkan seandainya ada bom yang meledak di tengah keramaian, efek terornya akan langsung terasa di tempat itu juga. Hal ini tentu berpotensi menyebabkan rasa takut di masyarakat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa spirit butir a ini masih sesuai dengan spirit Undang-undang TPTPT.90

90

Sebagai perbandingan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479a KUHP yakni Pasal 252 dan dimasukkan pula ke dalam kategori tindak pidana terorisme dalam penerbangan.

b. Butir b :

‘’menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan tersebut.’’

(48)

Dalam butir ini terdapat kata-kata ‘’menyebabkan hancurnya…rusaknya…’’ yang dapat bermakna bahwa adanya unsure kesengajaan sebagai suatu maksud.

Begitu pula dengan unsur ‘’tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa’’, unsur ini dapat terjadi dengan uraian seperti yang tergambar di nomor a sebelumnya.

Untuk mengkaji unsur ‘’teror’’, kita dapat memakai logika yang sama dengan alur logika pada nomor a di atas, karena butir b ini merujuk pada objek/ sasaran yang sama.

Jadi kesimpulannya adalah spirit butir b ini masih bersesuaian dengan spirit pasal 8 Undang-undang TPTPT.

c. Butir c :

‘’dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru.’’

Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa ketentuan pada butir c ini memiliki tujuan utama untuk mengamankan penerbangan, dengan cara memidana siapapun yang membuat alat pengamanan tidak bekerja dengan semestinya.

Dalam penjelasan Pasal 479c KUHP, defenisi ‘’tanda’’ atau ‘’alat’’ adalah :

‘’…fasilitas penerbangan yang digunakan oleh pesawat udara untuk secara aman melakukan tinggal landas atau mendarat, seperti tanda atau alat andasan (runway-marking), termasuk garis di tengah landasan (runway-counterline-marking), tanda penunuk/koordinat landasan (runway-designation-marking), tanda ujung landasan(

runway-threshold-marking), dan tanda adanya rintangan landasan

(49)

Unsur ‘’ dengan sengaja ‘’ sudah cukup menggambarkan adanya unsur kesengajaan dalam butir ini.

Unsur-unsur ‘’mengambil’’, ‘’memindahkan’’, ‘’merusak’’, ‘’memasang dnegan keliru’’, ‘’menggagalkan bekerjanya alat’’, sebenarnya merupakan kesatuan dari unsure ‘dengan sengaja’’, jadi unsure ini merupakan kesengajaan dari maksud. Tapi dari unsur-unsur ini dapat kila lhat gradasi kesengajaan yang lainnya yang dapat menggambarkan unsure ‘’tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa’’. Dengan perandaian, data dilihat apabila sebuah pesawat udara ingin mendarat, hal utama yang akan diperhatikan adalah visual contact pilot pesawat udara dengan pihak bandara.

Artinya, pilot harus dapat memastikan letak bandara dan landas pacunya dengan matanya sendiri. Untuk membantu pilot mendapatkan visual contact, mutlak diperlukan adanya alata pertanda, seperti marka landasan, untuk memberitahukan tepi maupun ujung landasan; rambu landasan yang akan membantu pilot melihat landasan di dalam kondisi gelap atau kurang cahaya, seperti sewaktu malam hari atau hujan deras;dan penanda bahwa ujung landasan terdapat halangan, seperti tembok atau laut.

(50)

Unsur ‘’teror’’ ini juga terdapat dalam ketentuan ini. Kita dapat membayangkan konsekuensi atau harapan pelaku dari tidak bekerjanya alat tersebut dengan semestinya. Besar kemungkinan sesuatu yang fatal terjadi, misalnya pesawat salah mendarat, menabak sesuatu (misalnya, tiang pemancar radio) sewaktu mendarat atau bahkan jatuh dan meledak karena menabrak sesama pesawat udara lainnya, membuat korban berjatuhan, baik cidera maupun tewas, apalagi kalau terjadi pada malam hari yang gelap. Hal ini jelas dapat menimbulkan ‘’teror’’ di tengah masyarakat.

Jadi, ketentuan di dalam butir c ini masih bersesuaian dengan spirit Undang-undang TPTPT ini.

d. Butir d :

‘’karena kealpaannya menyebabkan tanda atu alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atu alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru’’.

Ketentuan ini menjadi terlihat janggal manakala unsur tindak pidana terorisme ini adalah suatu ‘’kesengajaan’’tapi yang diperihatkan oleh ketentuan pada butir d dalam Undang-undang TPTPT ini adalah unsur ‘’kelalaian’’. Jadi, dengan memakai logika ketentuan ini, karena seseorang lalai dalam berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dia dapat dianggap sebagai teroris. Hal ini jelas bertentangan, bahkan dengan karakteristik tindak pidana terorisme yang digambarkan oleh Undang-undang TPTPT itu sendiri pada Pasal 6.

(51)

Bahkan, BPHN menyatakan bahwa ketentuan pada Pasal 8 huruf d sebaiknya dihapus saja. 91

e. Butir e :

‘’Dengan sengaja atau melawan hukum menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain.’’92

Khusus unsur ‘’menghancurkan’’ sudah dapat menggambarkan unsure ‘’tindak pidana yang dapat membahayakan jiwa’’ yang diatur dalam ketentuan ini. Kata ‘’menghancurkan’’ atau ‘’to destroy’’ (Inggris), dalam kamus Oxford berarti : break to pieces, make useless, put an end to. Jadi, kata menghancurkan dapat digunakan untuk mengekspresikan tindakan membuat sesuatu menjadi pecah berkeping-keping sehingga tidak dapat dipakai lagi.

Unsur ‘’ dengan sengaja’’ atau ‘’melawan hukum’’ dalam ketentuan butir ini cukup sesuai dengan unsur utama tindak pidan terorisme yang kedua yakni ‘’kesengajaan’’.

93

91

BPHN, Informasi yang berkaitan dengan Rancangan UU tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,(Jakarta : Pusat Dokumentasi dan

Informasi Hukum, BPHN, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002), hal.68. Sebagai perbandingan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2005 juga memiliki ketentuan yang sama-sama dipengaruhi oleh Pasal 479d KUHP yakni Pasal 725 tidak dimasukkan ke dalam paragraph mengenai tindak pidana terorisme dalam penerbangan, melainkan ke dalam tindak pidana(biasa) dalam penerbangan pada Bab XXXIV.

92

Penjelasan pada Pasal 479e yang merupakan asal dari ketentuan butir e pasal 8 Undang-undang TPTPT ini adalah,’’Pesawat udara dalam pasal ini adalah pesawat udara yang berada di darat yaitu tidak dalam penerbangan atau masih dalam persiapan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu.’’Lihat Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976, Loc. Cit. Penjelasan pasal 479e.

93

A.S. Hornby, Op. Cit.

Referensi

Dokumen terkait

Demikian pula halnya dengan mayoritas penduduk di Kabupaten Kotawaringin Timur, dimana sekitar 71% penduduknya berada di daerah pedesaan, dengan sektor pertanian

Hasil Presentase Capaian Rata-rata Indikator Pada Angket Motivasi Belajar Biologi Siswa Setiap Siklus Berdasarkan pada gambar 1 tersebut tampak bahwa nilai motivasi

Tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis hubungan pengetahuan dengan minat ibu nifas tentang postnatal massage di Puskesmas Jelakombo, Kecamatan Jombang, Kabupaten

Komunikasi Antara Suami Istri Dalam Penyelesaian Konflik Di Usia Pernikahan Di Bawah 5 Tahun dapat penulis susun dan selesai sebagai wujud pertanggung jawaban atas

Refleksi pada siklus I bertujuan untuk mengetahui kekurangan saat proses pembelajaran yang dilakukan guru pada siklus I, untuk dilakukan perbaikan pada siklus II

a) Proposal ini dibuat adalah untuk mendapatkan pertimbangan serta dukungan dari Pemerintah Aceh, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Bireuen untuk mengembangkan

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau