• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Konversi Lahan

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Dalam pertanian terutama di negara berkembang termasuk Indonesia , faktor produksi tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima dari tanah dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya.

Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Dari situlah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Karena lahan merupakan faktor faktor produksi dalam berusaha tani, maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani yang diusahakan.

Jika dikaitkan dengan proses pembangunan pada dasarnya pertumbuhan ekonomi dalam suatu wilayah akan mendorong terjadinya peningkatan permintaan akan lahan untuk berbagai kebutuhan termasuk kebutuhan pertanian, industri jasa dan kegiatan lainnya. Oleh karena persediaan lahan tidak berubah dalam suatu wilayah maka dengan perubahnya struktur ekonomi yang terjadi seperti yang terlihat terutama dalam wilayah perkotaan, perubahan tersebut telah menggeser peranan sektor pertanian kesektor industri yang juga membutuhkan lahan untuk kegiatannya. Dalam keadaan demikina lahan-lahan pertanian akan mendapat tekanan permintaan untuk penggunaan lahan bagi kepentingan kegiatan di luar pertanian (Anwar 1993).

Sebelum masuknya perusahaan industri di suatu desa, lahan-lahan dikuasai oleh petani. Berkaitan dengan hak atas lahan, maka di situ (di desa) terdapat dua golongan petani yaitu petani pemilik dan petani bukan pemilik lahan. Di dalam penggarapan lahan tersebut, petani pemilik dapa t menggarap lahannya sendiri (pemilik penggarap), selain itu juga dapat menggarapkan lahannya kepada orang lain melalui sistem sakap, sewa atau dengan memanfaatkan sistem gadai. Di sisi lain, petani yang tidak memilik lahan dapat menggarap lahan ora ng lain (pemilik tanah) melalui sistem sakap (bagi hasil) sehingga disebut petani penyakap, dapat juga melakukan penggarapan tanah ini dengan sistem sewa atau sistem gadai.

Setelah masuknya perusahaan industri di suatu desa, penguasaan lahan dapat terpecah menjadi dua bagian besar, yaitu sebagian dari total luas lahan sawah dikuasai oleh perusahaan industri dan digunakan untuk kegiatan di luar pertanian, sedangkan sisanya masih tetap dikuasai petani. Ini berarti bahwa total lahan sawah yang dikuasai petani dan digunakan untuk kegiatan pertanian menjadi lebih sempit. Kaitannya untuk penguasaan lahan, maka akan ada petani pemilik yang berubah statusnya menjadi petani tidak memiliki lahan (karena lahannya dijual) mungkin juga ada petani yang tadinya memiliki lahan yang luas menjadi sempit pemilikannya. Hal ini bisa dilihat dari hasil sensus pertanian tahun 1993 khusus pulau Jawa di mana lahan sawah yang berubah menjadi perumahan 28.603,50 ha, untuk industri 14.481,70 ha dan untuk perkantoran 3.178 hektar.

Menurut Kustiawan (1997) pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan kepenggunaan lainnya. Konversi lahan pertanian ini tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang (hanya mengejar pertumbuhan) menyebabkan beberapa sektor ekonomi terutama industri tumbuh dengan cepat namun disisi lain melumat sektor lain yakni pertanian. Pertumbuhan tersebut akan membutuhkan lahan yang lebih luas, apabila lahan pertanian letaknya berada dekat sumber pertumbuhan ekonomi seperti pinggiran perkotaan maka dengan pertumbuhan ekonomi tersebut akan menggeser penggunaan lahan pertanian kebentuk lain seperti perumahan, lokasi pa brik, jasa, perdagangan, perkotaan, jalan dan lain-lain. Hal ini juga dipengaruhi karena rente lahan persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi dari pada yang dihasilkan sektor pertanian, hal ini biasanya memicu spekulasi lahan dan munculnya percaloan, sehingga memicu pula peningkatan harga lahan secara cepat, yang pada gilirannya justru menjadi pemikat bagi pemilik lahan pertanian menjual dan melepas pemilikan lahannya untuk penggunaan non pertanian (Barlowe,1972 dan Anwar,1993).

Demikian juga menurut Crowel (1995) transfer lahan dari lahan pertanian ke lahan Industri atau lahan untuk peruntukan lainnya terjadi sebagai konsekwensi pertumbuhan penduduk kota secara alamiah maupun karena urbanisasi. Dari uraian- uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa dengan meningkatnya kebutuhan lahan di luar sektor pertanian, menyebabkan terjadinya pergeseran lahan pertanian. Sebagai contoh adanya peningkatan penggunaan lahan perkotaan seperti pemukiman, jasa, perdagangan, perkantora, industri, prasarana jalan dan sebagainya, menyebabkan makin sempitnya areal pertanian di sekitar perkotaan. Apabila transformasi lahan pertanian terus berlanjut maka lahan pertanian makin sempit bahkan kemungkinan habis. Konversi lahan pertanian dekat pusat kota (pusat perekonomian) berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan konversi lahan yang lokasinya jauh dari pusat perekonomian, proses konversi lahan pertanian tidak berdasarkan asas keadilan maka

dampak negatif bagi petani (peasant) sebagai penggarap tanah hampir bisa dipastikan akan semakin mempersulit keberadaan petani.

Berbagai bentuk atau jenis penggunaan lahan yang tercermin dari pola tataguna lahan yang terjadi selama ini, merupakan hasil pilihan keputusan individual maupun kelompok atau oleh pihak organisasi pemerintah yang dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi. Pada prakteknya sebenarnya pemerintah memegang peranan yang sangat penting dalam alokasi lahan, termasuk peranannya yang paling mendasar adalah harus mengakui dan melindugi hak-hak individual atas lahan yang dalam hal ini adalah petani. Kenyataannya terjadi proses akumulasi dan pemusatan pemilikan/penguasaan tanah di tangan segolongan orang yang jumlahnya terbatas, halmana jelas melanggar batas-batas maksimum yang dibenarkan oleh UUPA 1960.

Pergeseran pemilikan/penguasaan tanah disertai akumulasi dan pemusatan kepemilikan tanah erat hubungannnya dengan gejala pemilikan/penguasaan tanah yang letaknya jauh di luar daerah di mana sipemilik/penguasa tanah yang bersangkutan bertempat tinggal. De ngan perkataan lain, gejala “absentee ownership” yang meluas atau apa yang dikenal sebagai tanah “ Guntay “ suatu hal yang tidak dibenarkan oleh UUPA9. Pergeseran penguasaan tanah, akumulasi dan pemusatan milik akan kekuasaan tanah, serta meluasnya tanah guntay, dapat mempertajam pertentangan kepentingan antara pemilik/penguasa tanah dan penggarap tanah, khususnya jika pemilik tanah guntay lebih mementingkan kenaikan nilai harga tanah itu sendiri daripada penggarapannya.

Dalam rangka umum alokasi sumber-sumber daya produksi dalam proses pembangunan, maka harus diusahakan pemanfaatan tanah pertanian secara optimal. Pengertian optimal ini selanjutnya dilihat dalam rangka tujuan pembangunan yang

9 Tahun 1998,Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui kantor-kantor agraria setempat diseluruh Indonesia mengeluarkan izin loka si atas tanah seluas 3,025 juta hektar, tetapi lahan yang dimanfaatkan hanya 481.558 ha atau hanya 16 % saja. Sedangkan sisanya ditelantarkan sebagai obyek spekulasi tanah.

mengandung tiga dimensi: peningkatan produksi, pembagian hasil produksi yag adil dan lebih merata dan kestabilan pemerintah. Hal ini sesuai dengan apa yang termaktup dalam piagam petani (The Peasants Charter, FAO, Rome 1981

’ Bahwa kemajuan nasional yang didasarkan atas pertumbuhan dengan pemerataan dan partisipasi, memerlukan suatu redistribusi kuasa- kuasa ekonomi dan politik, integrasi penuh dari pedesaan ke dalam usaha pembangunan kelompok-kelompok petani, koperasi, dan bentuk– bentuk lain dari organisasi petani dan buruh tani yang bersifat sukarela, otonom, dan demokratis’

Dalam kenyataan sekarang ini banyak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tentang batas-batas pemilikan. Batas minimum terpaksa tidak dapat dipatuhi oleh golongan petani kecil karena tekanan ekonomi dan sistem waris yang berlaku menurut adat dan agama. Batas maksimum dilanggar oleh pihak golongan atau kalangan yang bersaing mendapatkan tanah untuk kebutuhan (investasi atau spekulasi) Pihak peminta (pemilik modal) mempunyai kedudukan yang jauh lebih kuat dari pemilik/petani kecil yang sering terdesak oleh kebutuhan akan uang tunai. Gejala semacam ini menurut (Spitz,1979) mencerminkan bekerjanya sistem sosial ekonomi yang kurang menguntungkan bagi anggota termiskin masyarakat. Akumulasi dan pemusatan dan penguasaan tanah pada golongan ata u kalangan dengan jumlah terbatas kasus di Indonesia ada kaitannya dengan :

1. Fragmentasi tanah sebagai akibat sistem waris dan pemindahan hak walaupun sudah ada larangan penjualan tanah, hal mana menyebabkan pemecahan bidang tanah menjadi kurang darai 2 hektar.

2. Tanah garapan yang sangat sempit, tidak ekonomis lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga pemilik, kemudian dijual, dilain pihak keluarga pemilik berhadapan dengan kebutuhan uang tunai yang meningkat.

3. Administrasi pendaftaran tanah sering tidak mencerminkan kenyataan, karena banyak transaksi jual beli tanah tidak dilaporkan ataupun karena transaksi-transaksi dilakukan dengan cara pemberian surat kuasa mutlak kepada pihak pembeli.

Dokumen terkait