• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA N AFKAH

RUMAHTANGGA PETANI.

(Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)

Oleh : Agus Subali

A14201061

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

AGUS SUBALI. PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA NAFKAH

RUMAHTANGGA PETANI. Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. (Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO)

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan melakukan analisa terhadap pengaruh konversi lahan terhadap pola nafkah rumahtangga petani. Dalam penelitian ini penulis berusaha meneliti penggunaan uang hasil dari penjualan lahan oleh rumahtangga petani dan untuk mengetahui juga perubahan struktur rumahtangga petani yang lahannya terkonversi. Aspek-aspek yang dikaji meliputi analisis ditingkat rumahtangga petani.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk (1) Mengetahui dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani (2) Mengetahui penggunaan uang hasil konversi.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui studi kasus. Data-data dan informasi yang didapatkan di lapangan disajikan secara deskriptif dan eksploratif dengan berdasarkan informasi atau keterangan dari objek penelitian. Data dan informasi dalam penelitian ini didapatkan dengan menggunakan kombinasi strategi pendekatan yaitu wawancara, observasi dan analisa dokumen. Responden terdiri dari petani yang menjual lahan di desa Batujajar yang berjumlah 20 orang.

Konversi lahan yang dilakukan penduduk Batujajar dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendidikan, peluang kerja, dan pendapatan. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh investor, pengaruh tetangga yang menjual lahan terlebih dahulu , aparat desa dan juga dari calo tanah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan struktur kerja rumahtangga, dan juga terjadi perbedaan pemanfaatan dalam alokasi dana hasil penjualan lahan antar petani. Ada perbedaan yang nyata antara petani lapisan atas, menengah, dan bawah dalam pengelolaan dana hasil penjualan lahan. Petani kaya atau petani lapisan atas cenderung ke arah penggunaan produktif, sedangkan petani miskin cenderung ke arah konsumtif.

(3)

Sedangkan petani yang berada pada lapisan atas mengalokasikan uang hasil penjualan lahan untuk kegiatan yang sifatnya produktif, yakni untuk tambahan modal usaha. Kondisi kemiskinan juga lah yang mendor ong petani lapisan bawah untuk melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup, salah satunya dengan menerapkan pola nafkah ganda dan juga memaksimalkan tenaga kerja keluarga, baik anak maupun istri.

(4)

PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI

( Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor.

Oleh : Agus Subali

A14201061

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PEGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

(5)

Judul : KONVERSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI

( Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor) Nama : Agus Subali

NRP : A14201061

Mengetahui Pembimbing

Dr. Endriatmo Soetarto,MA NIP. 131 610 288

Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham,M.Agr NIP. 130 422 698

(6)

PERNYATAAN.

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ” KONVERSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI ” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Desember 2005

(7)

RIWAYAT HIDUP

(8)

PRAKATA

Dengan memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tulisan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini diberi judul Penga ruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani (Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor , Jawa Barat). Pilihan atas topik ini berawal dari minat penulis untuk lebih memahami konversi lahan dari pertanian ke non pertanian dan dampaknya bagi rumah tangga petani. Banyak kasus masalah agraria muncul, karena pihak pengambil keputusan dalam hal ini pemerintah “ mengubur” UUPA 1960, sehingga persoalan alih kepemilikan lahan menjadi masalah yang berlarut-larut antara pihak yang berkepentingan, dalam hal ini pemerintah, swasta dan masyarakat.

Posisi masyarakat (petani) tidak selalu menguntungkan, sebagai akibat tekanan dari pihak eksternal yakni pemilik modal (swasta) dan juga dari pemerintah sendiri, yang pada ujungnya kepemilikan lahan beralih hak dari petani pemilik ke pihak pengusaha. Keinginan rumahtangga petani menjual lahan juga dipengaruhi oleh faktor internal petani sendiri, yakni pendidikan, pengalaman kerja, pendapatan dan ketergantungan pada tanah, yang kalau boleh di ringkas penyebab utama dari persoalan penjualan lahan adalah masalah kemiskinan.

(9)

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Kedua Orangtua, Bapak dan Ibu, Mbak Yuli dan adik-adik atas dukungan dan do’anya.

2. Bapak Dr. Endriatmo Soetarto,MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Ir. Saharudin, Msi dan Ibu Ir. Ninuk Purnaningsih,MSi selaku dosen penguji. Atas bimbingan dan ”coretannya” yang mendorong penulis untuk berfikir kembali atas sebuah kesalahan.

4. Ibu Dra. Winati Wigna,MDS, selaku pembimbing akademik yang dengan telaten menyempatkan waktu untuk mendengar keluh kesah penulis disaat penulis jenuh dengan rutinitas perkuliahan.

5. Bapak Drs. Satyawan Sunito, selaku pembimbing SP yang dengan tekunnya mengoreksi tulisan kata perkata. Terima kasih banyak atas ide -ide radikalnya tentang konsep berfikir.

6. Bapak Ivanovich Agusta, SP.Msi atas kritikannya yang menggelitik, tentang agama, budaya dan kebijakan pemerintah.

7. Ibu Dr.Ir Ekawati S.Wahyuni,MS. Dengan kedisiplinan dan ketegasannya sehingga memacu semangat untuk secepatnya menyelesaikan skripsi ini.

(10)

9. Teman-teman kost “Dolphin”: Subekh, Agung P, Agung R, Mas Insan, Dekri, Mulyadi, Syah, Heri, Iden, Jamal, Mada, Mas Lilik, Ikin, Sandi, Dukik, Adit, dan juga Yanuar. Makasih banyak atas semua tawa dan kebersamaannya selama ini.

10. Pemikir -pemikir dunia, Sidharta Gautama, Sartre, Hegel, Nietzsche, Soekarno, Mirza Ghulam Ahmad, Che Guevara, Nostradamus, Al_Hallaj, Hamzah Fansuri, Shekh Siti Jenar dan Sunan Kali Jogo, meskipun sudah tiada, pemikiran dan contoh hidupnya menjadi rujukan penulis untuk memahami realitras dunia dengan lebih bermakna.

11. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(11)

PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA N AFKAH

RUMAHTANGGA PETANI.

(Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)

Oleh : Agus Subali

A14201061

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

RINGKASAN

AGUS SUBALI. PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA NAFKAH

RUMAHTANGGA PETANI. Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. (Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO)

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan melakukan analisa terhadap pengaruh konversi lahan terhadap pola nafkah rumahtangga petani. Dalam penelitian ini penulis berusaha meneliti penggunaan uang hasil dari penjualan lahan oleh rumahtangga petani dan untuk mengetahui juga perubahan struktur rumahtangga petani yang lahannya terkonversi. Aspek-aspek yang dikaji meliputi analisis ditingkat rumahtangga petani.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk (1) Mengetahui dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani (2) Mengetahui penggunaan uang hasil konversi.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui studi kasus. Data-data dan informasi yang didapatkan di lapangan disajikan secara deskriptif dan eksploratif dengan berdasarkan informasi atau keterangan dari objek penelitian. Data dan informasi dalam penelitian ini didapatkan dengan menggunakan kombinasi strategi pendekatan yaitu wawancara, observasi dan analisa dokumen. Responden terdiri dari petani yang menjual lahan di desa Batujajar yang berjumlah 20 orang.

Konversi lahan yang dilakukan penduduk Batujajar dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendidikan, peluang kerja, dan pendapatan. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh investor, pengaruh tetangga yang menjual lahan terlebih dahulu , aparat desa dan juga dari calo tanah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan struktur kerja rumahtangga, dan juga terjadi perbedaan pemanfaatan dalam alokasi dana hasil penjualan lahan antar petani. Ada perbedaan yang nyata antara petani lapisan atas, menengah, dan bawah dalam pengelolaan dana hasil penjualan lahan. Petani kaya atau petani lapisan atas cenderung ke arah penggunaan produktif, sedangkan petani miskin cenderung ke arah konsumtif.

(13)

Sedangkan petani yang berada pada lapisan atas mengalokasikan uang hasil penjualan lahan untuk kegiatan yang sifatnya produktif, yakni untuk tambahan modal usaha. Kondisi kemiskinan juga lah yang mendor ong petani lapisan bawah untuk melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup, salah satunya dengan menerapkan pola nafkah ganda dan juga memaksimalkan tenaga kerja keluarga, baik anak maupun istri.

(14)

PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI

( Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor.

Oleh : Agus Subali

A14201061

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PEGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

(15)

Judul : KONVERSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI

( Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor) Nama : Agus Subali

NRP : A14201061

Mengetahui Pembimbing

Dr. Endriatmo Soetarto,MA NIP. 131 610 288

Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham,M.Agr NIP. 130 422 698

(16)

PERNYATAAN.

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ” KONVERSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI ” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Desember 2005

(17)

RIWAYAT HIDUP

(18)

PRAKATA

Dengan memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tulisan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini diberi judul Penga ruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani (Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor , Jawa Barat). Pilihan atas topik ini berawal dari minat penulis untuk lebih memahami konversi lahan dari pertanian ke non pertanian dan dampaknya bagi rumah tangga petani. Banyak kasus masalah agraria muncul, karena pihak pengambil keputusan dalam hal ini pemerintah “ mengubur” UUPA 1960, sehingga persoalan alih kepemilikan lahan menjadi masalah yang berlarut-larut antara pihak yang berkepentingan, dalam hal ini pemerintah, swasta dan masyarakat.

Posisi masyarakat (petani) tidak selalu menguntungkan, sebagai akibat tekanan dari pihak eksternal yakni pemilik modal (swasta) dan juga dari pemerintah sendiri, yang pada ujungnya kepemilikan lahan beralih hak dari petani pemilik ke pihak pengusaha. Keinginan rumahtangga petani menjual lahan juga dipengaruhi oleh faktor internal petani sendiri, yakni pendidikan, pengalaman kerja, pendapatan dan ketergantungan pada tanah, yang kalau boleh di ringkas penyebab utama dari persoalan penjualan lahan adalah masalah kemiskinan.

(19)

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Kedua Orangtua, Bapak dan Ibu, Mbak Yuli dan adik-adik atas dukungan dan do’anya.

2. Bapak Dr. Endriatmo Soetarto,MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Ir. Saharudin, Msi dan Ibu Ir. Ninuk Purnaningsih,MSi selaku dosen penguji. Atas bimbingan dan ”coretannya” yang mendorong penulis untuk berfikir kembali atas sebuah kesalahan.

4. Ibu Dra. Winati Wigna,MDS, selaku pembimbing akademik yang dengan telaten menyempatkan waktu untuk mendengar keluh kesah penulis disaat penulis jenuh dengan rutinitas perkuliahan.

5. Bapak Drs. Satyawan Sunito, selaku pembimbing SP yang dengan tekunnya mengoreksi tulisan kata perkata. Terima kasih banyak atas ide -ide radikalnya tentang konsep berfikir.

6. Bapak Ivanovich Agusta, SP.Msi atas kritikannya yang menggelitik, tentang agama, budaya dan kebijakan pemerintah.

7. Ibu Dr.Ir Ekawati S.Wahyuni,MS. Dengan kedisiplinan dan ketegasannya sehingga memacu semangat untuk secepatnya menyelesaikan skripsi ini.

(20)

9. Teman-teman kost “Dolphin”: Subekh, Agung P, Agung R, Mas Insan, Dekri, Mulyadi, Syah, Heri, Iden, Jamal, Mada, Mas Lilik, Ikin, Sandi, Dukik, Adit, dan juga Yanuar. Makasih banyak atas semua tawa dan kebersamaannya selama ini.

10. Pemikir -pemikir dunia, Sidharta Gautama, Sartre, Hegel, Nietzsche, Soekarno, Mirza Ghulam Ahmad, Che Guevara, Nostradamus, Al_Hallaj, Hamzah Fansuri, Shekh Siti Jenar dan Sunan Kali Jogo, meskipun sudah tiada, pemikiran dan contoh hidupnya menjadi rujukan penulis untuk memahami realitras dunia dengan lebih bermakna.

11. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(21)

DAFTAR ISI

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian... 29

3.2 Pengambilan Sampel ... 29

3.3 Metode Penelitian ... 29

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 30

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak dan Geografis Batujajar ... 31

4.1.1. Lingkungan Alam... 32

(22)

4.1.3 Demografi Desa Batujajar... 36 1. Penduduk ... 36 2. Ketenagakerjaan... 38 3. Pendidikan ... 39 4.2 Kehidupan Ekonomi Sosial dan Budaya ... 40 1. Kehidupan Ekonomi ... 40 2. Kehidupan Sosial Budaya ... 43 3. Teknologi Bercocok Tanam... 43

BAB V. STRUKTUR AGRARIA DI DESA BATUJAJAR

5.1 Pemilikan dan Pemanfaatan Lahan... 47 5.2 Kelembagaan Agraria ... 49

BAB VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI

6.1Faktor Internal ... 54 6.2Faktor Eksternal ... 59 6.3Mekanisme Konversi ... 59

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN DI DESA BATUJAJAR

7.1Penguasaan Lahan ... 63 7.2 Adaptasi Rumahtangga Petani yang Terkonversi Lahannya ... 64

7.2.1. Pola Nafkah Ganda ... 64 7.2.2. Optimalisasi Penggunaan Tenaga Kerja ... 67 7.3 Pola Pengggunaan Uang Hasil Penjualan Lahan... 70 7.4 Pengaruh terhadap Kesempatan Kerja ... 72

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 75 Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

Tabel 1. Penguasaan Lahan Oleh PT di Desa Batujajar Tahun 2005 ... 32 Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Lahan di Desa Batujajar ... 34 Tabel 3. Bentuk Penggunaan Lahan di Desa Batujajar 2005 ... 35 Tabel 4. Jumlah dan persentase Pria dan Wanita menurut umur ... 37 Tabel 5. Kondisi Ketenagakerjaan Masyarakat Batujajar

Menurut Umur Tahun 2005 ... 38 Tabel 6. Jumlah Penduduk Usia Kerja Desa Batujajar Menurut Mata Pancaharian 39 Tabel 7. Jumlah dan Persentase Tingkat Pendidikan Desa Batujajar Tahun 1994 dan

2005... 39 Tabel 8. Jumlah dan Persentase Pendapatan Responden... 41 Tabel 9. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Dusun di Desa Batujajar 42 Tabel 10. Luas Kepemilikan Lahan Sawah Responden... 47 Tabel 11. Jenis Pembagian Pemanfaatan Lahan di Desa Batujajar Tahun 2003... 48 Tabel 12. Penjualan Lahan Bukit oleh Warga Batujajar menurut Tahun dan Harga 52 Tabel 13. Alasan Responden Melakukan Konversi ... 55 Tabel 14. Jawaban Responden Terhadap Hasil Usaha Tani ... 56 Tabel 15. Karakteristik Sumberda ya Manusia Responden ... 58 Tabel 16. Tahun Pembelian dan Luas Lahan Yang di Kuasai PT di Desa Batujajar

tahun 2004 ... 60 Tabel 17. Proses Pendekatan dalam Pembebasan Lahan... 61 Tabel 18. Besarnya Ganti Rugi Lahan Responden di Lihat Dari Tahun Penjualan 62 Tabel 19. Rata-rata Perkembangan Penguasaan Lahan Responden Sebelum dan

Sesudah Konversi... 63 Tabel 20. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan Aset Tetap dan

Aset Lancar... 70 Tabel 21. Jumlah Uang Ganti Rugi Lahan Yang Terkonversi ... 71 Tabel 22. Penggunaan Uang Ganti Rugi Lahan 20 Responden Berdsarkan Produktif

(24)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Pengaruhnya terhadap

Pola Nafkah Rumahtangga Petani ... 25 2. Mekanisme Pelaksanaan Konversi Lahan... 60

LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Aktivitas Perempuan dalam Mengerjakan Pekerjaan Rumahtangga

(Kerja Reproduksi) yang Memanfaatkan Air Sungai... 83 2. Aktivitas Petani dalam Memanfaatkan Ternak untuk Bekerja di Pertanian .. 83 3. Aktivitas Perempuan dalam Upaya Membantu Ekonomi R umahtangga

(25)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang.

Batujajar merupakan satu komunitas pertanian yang terbentuk sejak masa pemerintahan kolonial. Pola kehidupan masayarakatnya adalah bercocok tanam terutama padi, selain itu mereka juga berdagang, menjadi buruh di pertambangan maupun buruh tani. Banyaknya masyarakat yang bekerja disektor pertanian, yang mencapai 87 persen menunjukkan ba hwa kehidupan mereka sangat tergantung pada sumberdaya lahan.

Sebagian besar penduduk memanfaatkan lahan sawah dan ladang dengan menanami padi dan kacang tanah, satu sampai dua kali musim tanam. Padi biasanya ditanam di sawah sedangkan ladang di perbukita n ditanami ketela pohon, pisang maupun durian. Banyaknya bukit yang mengandung batu yang sangat potensial untuk pertambangan, mendorong pihak luar desa (investor) untuk mengincar lahan masyarakat di perbukitan untuk dijadikan pertambangan. Proses pembebasan lahan sudah dimulai sejak tahun 1978 sampai saat ini tahun 2005. Sehingga hampir 272,5 ha lahan di perbukitan kepemilikannya sudah dikuasai oleh pihak luar desa.

(26)

utama. Hal yang membedakan hanyalah bagaimana fungsi, mekanisme pengaturan dan cara pandang terhadap tanah itu sendiri (Suhendar dan Winarni,1998)

Berkembangnya kepentingan atas tanah pada akhirnya menyebabkan kebutuhan atas tanah pun menjadi semakin bertambah. Sementara jumlah tanah yang tersedia tidak bertambah. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya proses alih fungsi lahan pertanian kepenggunaan non pertanian. Fenomena konversi atau alih fungsi lahan pertanian kepenggunaan non pertanian dibeberapa wilayah Indonesia terjadi dengan pesat terutama di pulau Jawa. Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian mendapat perhatian dari banyak pihak karena berkaitan dengan dimensi persoalan yang luas, baik dalam skala makro maupun mikro (Kustiawan, 1997)

Dalam banyak hal pembangunan memang sulit menghindari resiko, baik lingkungan fisik maupun pada lingkungan komunitas sosial. Pertumbuhan penduduk yang pesat berakibat pada upaya penyediaan lahan, baik untuk pemukiman, perkantoran, maupun untuk infrastruktur pendukung. Dalam konteks makro, sesungguhnya fenomena ini merupakan dampak proses transformasi struktur ekonomi (dari pertanian keindustri) dan demografis (dari perdesaan ke perkotaan). Namun yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa konversi lahan tersebut dalam prosesnya tidak selalu menguntungkan petani sebagai pemilik lahan1.

Sebagai gambaran konversi lahan yang terjadi di Indonesia dapat kita lihat bahwa pada tahun 1997 luas lahan sawah kurang lebih 8,5 juta hektar sedangkan tahun 2000 luasnya menurun me njadi 7.8 juta hektar, sehingga dapat dihitung bahwa dalam waktu tiga tahun telah terjadi penyusutan 0.7 juta hektar atau rata-rata 230 ribu hektar pertahun2. Sedangkan sensus pertanian tahun 1983 menunjukkan bahwa rata-rata penguasaan lahan pertanian untuk seluruh Indonesia adalah 0,98 hektar perkeluarga

1

Sebagai contoh kasus kedung Ombo, waduk nipah,dan jenggawah di Jember, dimana untuk kasus yang terakhir tidak ada proses ganti rugi .Pemerintah menetapkan tanah sengketa sebagai HGU PTP XXVII yang akibatnya memicu perlawanan Petani.

(27)

petani. Rata– rata penguasaan lahan tersebut menunjukan kecenderungan yang terus mengecil. Pada tahun 1993 rata-rata nasional penguasaan lahan perkeluarga petani adalah 0,83 hektar, dimana rata-rata di Jawa 0,47 hektar dan di luar Jawa 1,27 hektar perkeluarga petani.

Perubahan peruntukan lahan masyarakat petani desa Batujajar terjadi ketika ada investor yang masuk untuk melakukan kegiatan penambangan di bukit sebagai hasil pembelian lahan dari masyarakat. Proses alih fungsi lahan yang terjadi tidak selamanya berjalan dengan baik, masyarakat lebih banyak dirugikan dengan adanya proses konversi, pencemaran (udara, suara, dan air) akibat proses pertambangan, serta ganti rugi lahan yang tidak memadai merupakan faktor -faktor yang mendorong masyarakat menilai bahwa adanya pertambangan batu di Batujajar tidak menguntungkan masyarakat setempat.

Uang ganti rugi lahan antara petani juga berbeda karena perbedaan luasan lahan yang dijual. Begitu juga dengan alokasi penggunaan uang hasil konversi, antara lapisan atas, menengah, dan bawah cenderung terjadi perbedaan alokasi. Lapisan atas lebih mengarah ke penggunaan produktif sedangkan pada lapisan tengah dan bawah lebih cenderung ke arah penggunaan konsumtif.

(28)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka persoalan dapat diringkas sebagai berikut.

1. Apa dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani?

2. Bagaimana penggunaan uang hasil konversi oleh petani lapisan atas menengah, dan bawah?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu kepada ruang lingkup permasalahan yang dirumuskan di atas, maka tujuan penulisan adalah sebagai berikut :

1. Mempelajari dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani. 2. Mempelajari penggunaan uang hasil konversi oleh petani berbagai lapisan,

yaitu petani lapisan atas, menengah dan bawah.

1.4 Kegunaan Penelitian

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Petani

Dalam perspektif sejarah, masyarakat petani lahir sekitar 10.000 tahun sebelum masehi. Pada saat itu ditandai dengan munculnya kemampuan domistikasi tanaman dan hewan. Sebelumnya manusia hidup dari berburu dan meramu, mereka hanya bisa berburu binatang liar dan mengumpulkan bahan makanan yang tersedia di alam bebas. Kemampuan bertani dapat dipandang sebagai suatu revolusi besar dalam kehidupan umat manusia, karena ia dapat berkembang di permukaan bumi ini dalam waktu yang relatif singkat.

Wolf (1985) memberikan gambaran tiga tingkatan perkembangan kehidupan masyarakat, yaitu bercocok tanam primitif, petani peasant dan farmer. Dia menyatakan secara tegas bahwa petani peasant bukan pencocok tanam primitif dan bukan pula pencocok tanam untuk tujuan komersial (farmer). Menurutnya perbedaan utama antara petani (peasant) dengan pencocok tanam primitif terletak pa da orientasi dan distribusi hasil, dimana pada pencocok tanam primitif sebagian besar dari hasil produksi dipergunakan untuk penghasilnya sendiri atau untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kekerabatan, bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh barang-barang lain yang tidak dihasilkannya sendiri.

(30)

Petani adalah penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam pengelolaan tanah dan membuat keputusan otonomi mengenai proses pengelolaan tanah. Kategori ini dengan demikian meliputi para penyewa dan pemanen bagi hasil seba gaimana kategori untuk pemilik – pengelola sepanjang mereka dalam suatu posisi membuat keputusan yang relevan mengenai bagaimana tanaman mereka dibudidayakan3

. Petani

(peasant), tidaklah melakukan usaha tani dalam arti ekonomi, sebab yang mereka kelola adalah sebuah rumahtangga, bukan sebuah perusahaan bisnis. Tujuan kegiatan produksi hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga (subsisten), sedangkan surplus produksi dipergunakan untuk kepentingan dana pengganti (replacement fund), untuk dana seremonial (ceremonial fund) dan dana untuk sewa tanah (membayar pajak dan sejenisnya). Dalam kehidupan masyarakat petani, pasar dan struktur atas desa secara relatif telah menjadi bagian yang mempengaruhi tingkah laku sosial dan ekonomi mereka.4

Shanin (1971), mencirikan empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga (family farm). Kedua, selaku usaha tani mereka menggantungkan hidupnya kepada tanah. Bagi petani lahan pertanian adalah sega lanya yakni sebagai sumber yang yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas, solidaritas sosial mereka kental dan bersifat meanistik. Keempat, cenderung sebagai pihak yang selalu kalah (tertindas) namun tak gampang ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.

3 Wolf, Perang Petani (yogyakarta : Insist Press,2004) Hal.8

(31)

Dari rumusan kedua ahli tersebut (Shanin dan Wolf) di atas maka secara umum petani (peasant) mempunyai ciri yang membedakan dengan komunitas lainnya yakni (i) Petani tidak dapat dilihat sebagai pengusaha pertanian atau pebisnis dibidang pertanian (ii) Usaha yang dilakukan petani adalah usaha keluarga atau usaha rumahtangga yang menghasilkan produk subsisten, serta menghasilkan kewajiban yang dibayarkan pada kekuatan politik yang mengklaim sebagian dari hasil petani (iii) Rumahtangga petani berfungsi sebagai unit ekonomi, sosial serta religius yang utama. Hal ini berpengaruh pada keputusan untuk produksi dan juga investasi yang dilakukan dengan keputusan dari anggota keluarga (iv) Fungsi produksi dan konsumsi tidak dapat dipisah, dalam artian bahwa kebanyakan peta ni berproduksi sekaligus untuk kebutuhannya sendiri maupun untuk pasar (v) Petani dalam berproduksi tidak selalu didasari oleh prinsip mencari keuntungan namun lebih mengarah pada keinginan untuk mengurangi resiko (vi) Adanya dominasi oleh kekuatan dari luar dalam bentuk ekonomi, politik maupun sosial budaya. Dengan kata lain petani selalu berada dalam hubungan yang asimetris.5

Kalau melihat kondisi petani di Indonesia maka pola hidup petani cenderung subsisten. Namun subsisten dalam pengertian ini buka n berarti makan secukupnya dari suatu usaha tertentu dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, melainkan harus pula melihat pandangan petani terhadap orientasi kerjanya. Suhendar dan Yohana (1998) merumuskan tiga indikator untuk memahami pola subsistensi petani :

1. Adalah sikap atau cara petani memperlakukan faktor -faktor produksi yakni tanah dan sumber agraria. Jika bersikap tidak komersial, tidak eksploitatif terhadap tanah dan sumberdaya agraria, mengangap peningkatan produksi tidak perlu da n hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarganya

(32)

(sekalipun dengan penguasaan lahan luas), petani tersebut termasuk petani subsisten. Sebaliknya, jika sikapnya didasari oleh orientasi surplus produksi dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk petani komersial.

2. Besar kecilnya skala usaha petani. Sekalipun hanya menguasai lahan dalam skala usaha kecil, jika didasari pemikiran yang cenderung berorientasi pasar (mengejar surplus) petani itu dapat disebut sebagai petani komersial. Sebaliknya petani yang berlahan sempit dengan skala usaha terbatas termasuk berpola hidup subsisten apabila dalam usahanya itu tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk memaksimalkan produksi karena keterbatasan skala usaha dan kemampuan berproduksi.

3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani. Walaupun mengusahakan komoditas komersial, jika hanya digunakan sebatas keperluannya, seorang petani disebut petani subsisten. Apabila mengusahakan tanaman komersial dengan tujuan memperoleh surplus, walaupun tanah yang dikuasainya sangat terbatas, petani itu bukanlah seorang petani subsisten, melainkan petani komersial.

Jika pola subsistensi petani tersebut diterapkan dengan kondisi petani di Indonesia saat ini, maka dapatlah dikatakan bahwa petani Indonesia dapat dikatakan hampir tid ak ada petani dengan pola subsisten mutlak. Akan tetapi apabila digunakan indikator kecilnya skala usaha dan kemampuan petani berproduksi, jelas bahwa sebagian besar petani di Indonesia hidup dalam pola subsisten.

(33)

pekerjaan yang dikatakan sampingan tersebut dalam arti di luar usaha tani ternyata merupakan pekerjaan pokoknya.

(ii) Tanaman yang diproduksi adalah tanaman yang tidak beresiko tinggi artinya teknologinya dapat dikuasai serta secara ekonomi menguntungkan. Serta yang menjadi pertimbangan lain adalah, petani paham ke mana pasar bagi tanaman yang diusahakan (iii) Motif berusaha adalah mencari keuntungan, yang dilakukan dengan mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan uang tunai (iv) Petani adalah bagian dari sistem politik yang lebih besar, yang ditunjukkan dengan adanya partai-partai politik yang berpengaruh juga terhadap kepemimpinan di desa (v) Petani subsisten secara mutlak tidak ada tetapi petani mempunyai hubungan yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli barang di pasar untuk dijual di desanya dengan harapan memperoleh keuntungan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ciri petani Indonesia saat ini berbeda dengan ciri-ciri petani menurut Shanin ataupun Wolf. Yang membedakan antara lain: (i) Mengusahakan lahan yang sempit (ii) Produk yang dihasilkan cenderung untuk kebutuhan pasar, dengan tujuan dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. (iii) Penerapan teknologi modern sudah dilakukan didalam usaha taninya (panca usaha tani) (iv) Berpenghasilan ganda (tidak selalu menggantungkan sumber nafkahnya disektor ekonomi saja. (v) Fungsi lahan pertanian lebih sebagai penenang ekonomi6 mereka dan bukan sebagai sumber ekonomi satu-satunya sebagaimana yang dicirikan Shanin (1971)

2.2 Penguasaan lahan.

Masalah penguasaan lahan di pedesaan merupakan masalah yang rumit, karena ia menyangkut berbagai aspek seperti: ekonomi, demografi, hukum politik dan sosial. Pandangan ekonomi melihat tanah sebagai faktor produksi. Tetapi karena faktor

(34)
(35)

Masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah, dalam undang-undang pokok agraria (UUPA 1960) diatur juga dalam pasal 4, pasal 16, dan pasal 53 yang menyebutkan bahwa : adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang la in serta badan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah, dalam batas-batas menurut undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4 UUPA 1960).

Selanjutnya pasal 16 ayat 1 UUPA 1960, dijelaskan macam-macam hak atas tanah yang meliputi : (a) Hak milik; (b) Hak guna usaha ; (c) Hak guna ba ngunan; (d) Hak pakai; (e) Hak sewa; (f) Hak membuka tanah; (g) Hak memungut hasil hutan serta hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara , diatur dalam pasal 53 UUPA 1960 yang menunjuk pada hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan hapus dalam waktu singkat (UUPA dalam subekti,1990)

(36)

berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa -menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.

Selanjutnya mengenai bagi hasil, pada UU No.2 tahun 1960, tentang perjanjian bagi hasil dijelaskan bahwa : Perjanjian bagi hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang disebut penggarap berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.

2.3 Pola Nafkah Ganda

Petani di Indonesia rata-rata penguasaan lahan sekitar 0.83.ha7. Secara ekonomi pemanfaatan lahan yang sempit tidak akan mampu memenuhi kebutuhan petani. Dengan kondisi yang serba kekurangan, rumahtangga petani menerapkan strategi nafkah ganda. Artinya rumah tangga petani tidak hanya mengandalkan hidup pada satu pekerjaan saja. Untuk itu terutama bagi rumahtangga yang mempunyai jumlah anak dalam kategori banyak, mereka mencari sumber pendapatan lain yang dapat menambah penghas ilan rumahtangga mereka. Dalam beberapa penelitian,8 menunjukkan adanya usaha memaksimalkan sumberdaya keluarga, yakni dengan melibatkan peran wanita dan anak-anak sebagai tenaga kerja produktif untuk turut serta menyokong keuangan rumahtangga.

Diantaranya ada wanita yang berjualan makanan kecil-kecilan, beternak ayam ataupun bekerja sebagai buruh dibidang pertanian. Agusta dan Tetiani (2000) menunjukkan bahwa ada kecenderungan pola nafkah ganda di desa di Indonesia, yang

7 BPS.1994. Sensus Pertanian 1993 Seri :J.2 .

Pada tahun 1993 rata -rata nasional penguasaan lahan perkeluarga petani adalah 0,83 ha;dimana rata-rata di Jawa 0,47 ha dan diluar Jawa 1,27 Ha.sebagai gambaran kasus Jawa dan Madura Lihat Tabel Lampiran 5

(37)

biasa dilakukan dengan memanfaatkan tempat tinggal (rumah) tidak hanya sekedar menjadi tempat tinggal tetapi seringkali juga menjadi lokasi berusaha. Contohnya untuk menjemur padi, membuka warung ataupun untuk industri rumahtangga.

Dalam kaitannya dengan pertanian, studi hubungan a ntara pola distribusi tanah dan distribusi pendapatan diantara petani menemukan perbedaan strategi pola nafkah. Rumahtangga dilapisan buruh (petani gurem) berpola ”dahulukan selamat”, dilapisan menengah berpola konsolidasi dimana pendapatan dari perta nian dengan luas lahan tani sedang, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsistensi anggota rumahtangga, sehingga mereka tidak memiliki modal cadangan yang cukup untuk mengembangkan usaha. Oleh karena itu, anggota rumahtangga pencari nafkah bekerja pada usaha luar pertanian untuk berjaga -jaga kalau hasil usahatani tidak mencukupi karena gagal panen misalnya. Untuk petani di lapisan atas (tanah cukup, modal kuat) cenderung berpola akumulasi modal, yaitu mengembangkan usaha produktif, baik dari surplus usaha pertanian keusaha luar pertanian atau sebaliknya (Mawardi,2003). Penelitian yang dilakukan Sayogjo (1978) menunjukkan bahwa penduduk miskin hampir seluruhnya berpola nafkah ganda. Penyesuaian kondisi kemiskinan ini berguna untuk mengurangi resiko manakala salah satu pola nafkah tidak menghasilkan pendapatan. Jika dikaitkan dengan luas pemilikan atau penguasaan lahan dan tingkat kemiskinan tidak sepenuhnya langsung. Kaitan langsung keduanya (luas penguasaan lahan dan kemiskinan) hanya muncul pada usaha tani berbasis lahan.

(38)

tambahan tenaga kerja. Terjadilah involusi yaitu suatu pe rkembangan di mana produktivitas meningkat tapi hasil per individu tidak naik maka yang terjadi adalah kemiskinan berbagi (Share Poverty).

2.4 Konversi Lahan

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Dalam pertanian terutama di negara berkembang termasuk Indonesia , faktor produksi tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima dari tanah dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya.

Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Dari situlah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Karena lahan merupakan faktor faktor produksi dalam berusaha tani, maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani yang diusahakan.

(39)

Sebelum masuknya perusahaan industri di suatu desa, lahan-lahan dikuasai oleh petani. Berkaitan dengan hak atas lahan, maka di situ (di desa) terdapat dua golongan petani yaitu petani pemilik dan petani bukan pemilik lahan. Di dalam penggarapan lahan tersebut, petani pemilik dapa t menggarap lahannya sendiri (pemilik penggarap), selain itu juga dapat menggarapkan lahannya kepada orang lain melalui sistem sakap, sewa atau dengan memanfaatkan sistem gadai. Di sisi lain, petani yang tidak memilik lahan dapat menggarap lahan ora ng lain (pemilik tanah) melalui sistem sakap (bagi hasil) sehingga disebut petani penyakap, dapat juga melakukan penggarapan tanah ini dengan sistem sewa atau sistem gadai.

Setelah masuknya perusahaan industri di suatu desa, penguasaan lahan dapat terpecah menjadi dua bagian besar, yaitu sebagian dari total luas lahan sawah dikuasai oleh perusahaan industri dan digunakan untuk kegiatan di luar pertanian, sedangkan sisanya masih tetap dikuasai petani. Ini berarti bahwa total lahan sawah yang dikuasai petani dan digunakan untuk kegiatan pertanian menjadi lebih sempit. Kaitannya untuk penguasaan lahan, maka akan ada petani pemilik yang berubah statusnya menjadi petani tidak memiliki lahan (karena lahannya dijual) mungkin juga ada petani yang tadinya memiliki lahan yang luas menjadi sempit pemilikannya. Hal ini bisa dilihat dari hasil sensus pertanian tahun 1993 khusus pulau Jawa di mana lahan sawah yang berubah menjadi perumahan 28.603,50 ha, untuk industri 14.481,70 ha dan untuk perkantoran 3.178 hektar.

(40)

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang (hanya mengejar pertumbuhan) menyebabkan beberapa sektor ekonomi terutama industri tumbuh dengan cepat namun disisi lain melumat sektor lain yakni pertanian. Pertumbuhan tersebut akan membutuhkan lahan yang lebih luas, apabila lahan pertanian letaknya berada dekat sumber pertumbuhan ekonomi seperti pinggiran perkotaan maka dengan pertumbuhan ekonomi tersebut akan menggeser penggunaan lahan pertanian kebentuk lain seperti perumahan, lokasi pa brik, jasa, perdagangan, perkotaan, jalan dan lain-lain. Hal ini juga dipengaruhi karena rente lahan persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi dari pada yang dihasilkan sektor pertanian, hal ini biasanya memicu spekulasi lahan dan munculnya percaloan, sehingga memicu pula peningkatan harga lahan secara cepat, yang pada gilirannya justru menjadi pemikat bagi pemilik lahan pertanian menjual dan melepas pemilikan lahannya untuk penggunaan non pertanian (Barlowe,1972 dan Anwar,1993).

(41)

dampak negatif bagi petani (peasant) sebagai penggarap tanah hampir bisa dipastikan akan semakin mempersulit keberadaan petani.

Berbagai bentuk atau jenis penggunaan lahan yang tercermin dari pola tataguna lahan yang terjadi selama ini, merupakan hasil pilihan keputusan individual maupun kelompok atau oleh pihak organisasi pemerintah yang dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi. Pada prakteknya sebenarnya pemerintah memegang peranan yang sangat penting dalam alokasi lahan, termasuk peranannya yang paling mendasar adalah harus mengakui dan melindugi hak-hak individual atas lahan yang dalam hal ini adalah petani. Kenyataannya terjadi proses akumulasi dan pemusatan pemilikan/penguasaan tanah di tangan segolongan orang yang jumlahnya terbatas, halmana jelas melanggar batas-batas maksimum yang dibenarkan oleh UUPA 1960.

Pergeseran pemilikan/penguasaan tanah disertai akumulasi dan pemusatan kepemilikan tanah erat hubungannnya dengan gejala pemilikan/penguasaan tanah yang letaknya jauh di luar daerah di mana sipemilik/penguasa tanah yang bersangkutan bertempat tinggal. De ngan perkataan lain, gejala “absentee ownership” yang meluas atau apa yang dikenal sebagai tanah “ Guntay “ suatu hal yang tidak dibenarkan oleh UUPA9. Pergeseran penguasaan tanah, akumulasi dan pemusatan milik akan kekuasaan tanah, serta meluasnya tanah guntay, dapat mempertajam pertentangan kepentingan antara pemilik/penguasa tanah dan penggarap tanah, khususnya jika pemilik tanah guntay lebih mementingkan kenaikan nilai harga tanah itu sendiri daripada penggarapannya.

Dalam rangka umum alokasi sumber-sumber daya produksi dalam proses pembangunan, maka harus diusahakan pemanfaatan tanah pertanian secara optimal. Pengertian optimal ini selanjutnya dilihat dalam rangka tujuan pembangunan yang

(42)

mengandung tiga dimensi: peningkatan produksi, pembagian hasil produksi yag adil dan lebih merata dan kestabilan pemerintah. Hal ini sesuai dengan apa yang termaktup dalam piagam petani (The Peasants Charter, FAO, Rome 1981

’ Bahwa kemajuan nasional yang didasarkan atas pertumbuhan dengan pemerataan dan partisipasi, memerlukan suatu redistribusi kuasa-kuasa ekonomi dan politik, integrasi penuh dari pedesaan ke dalam usaha pembangunan kelompok-kelompok petani, koperasi, dan bentuk– bentuk lain dari organisasi petani dan buruh tani yang bersifat sukarela, otonom, dan demokratis’

Dalam kenyataan sekarang ini banyak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tentang batas-batas pemilikan. Batas minimum terpaksa tidak dapat dipatuhi oleh golongan petani kecil karena tekanan ekonomi dan sistem waris yang berlaku menurut adat dan agama. Batas maksimum dilanggar oleh pihak golongan atau kalangan yang bersaing mendapatkan tanah untuk kebutuhan (investasi atau spekulasi) Pihak peminta (pemilik modal) mempunyai kedudukan yang jauh lebih kuat dari pemilik/petani kecil yang sering terdesak oleh kebutuhan akan uang tunai. Gejala semacam ini menurut (Spitz,1979) mencerminkan bekerjanya sistem sosial ekonomi yang kurang menguntungkan bagi anggota termiskin masyarakat. Akumulasi dan pemusatan dan penguasaan tanah pada golongan ata u kalangan dengan jumlah terbatas kasus di Indonesia ada kaitannya dengan :

(43)

2. Tanah garapan yang sangat sempit, tidak ekonomis lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga pemilik, kemudian dijual, dilain pihak keluarga pemilik berhadapan dengan kebutuhan uang tunai yang meningkat.

3. Administrasi pendaftaran tanah sering tidak mencerminkan kenyataan, karena banyak transaksi jual beli tanah tidak dilaporkan ataupun karena transaksi-transaksi dilakukan dengan cara pemberian surat kuasa mutlak kepada pihak pembeli.

2.5 Pola Adaptasi

Salah satu masalah sosial pedesaan yang sangat krusial adalah terbatasnya peluang kerja baru disatu pihak dan peningkatan angkatan kerja dipihak lain. Ketidak seimbangan yang sangat memprihatinkan ini antara lain merupakan dampak negatif dari intensifikasi bidang pertanian serta semakin, menipisnya lahan yang menjadi garapan mereka. Intensifikasi pertanian dipandang telah menurunkan daya serap sektor pertanian, mengubah pola -pola hubungan kerja dan memicu konsentrasi kepemilikan lahan pada segelintir golongan masyarakat.

(44)

tekanan-tekanan sosial ekonomi. Dengan demikian mereka tetap dapat menjaga kelangsungan hidupnya.

(45)

perubahan ekonomi pedesaan dan mobilitas tenaga kerja di Jawa Barat yang dilakukan Manning melaporkan bahwa mobilitas penduduk dari desa ke kota menyebabkan kenaikan proporsi pedagang antara 1976-1983 sampai dengan dua pertiga dari seluruh pekerjaan nonpertanian di kecamatan dan kabupaten. Penelitian lain yang dilakukan di pedesaan kabupaten Garut dan Majalengka memperoleh data yang memperlihatkan perubahan cukup dramatik penduduk yang bekerja disektor perdagangan meningkat dari sekitar 4 persen pada tahun 1979 menjadi lebih 24 persen pada 1989

Menurut hasil penelitian Dharmawan (2001) Ada beberapa strategi yang ditempuh petani untuk me njaga kelangsungan hidup rumah tangganya, yaitu ;

1. Mengolah lahan pertanian milik sendiri. 2. Mengolah lahan pertanian milik orang lain 3. Bekerja di luar sektor pertanian

4. Hasil pembayaran dan sumbangan

Biasanya petani melakukan kombinasi-kombinasi dari ke empat faktor di atas. Kombinasi untuk setiap strategi nafkah yang dipergunakan akan selalu berbeda untuk setiap lapisan rumahtangga petani, tergantung dari sumberdaya alam yang dipunyai. Sedangkan menurut hasil penelitian Igbal (2004), terdapat empat kategori pola nafkah ganda yang dilakukan rumahtangga petani, yaitu :

1. Suami-istri masing-masing bekerja disektor yang sama 2. Suami istri bekerja tetapi berlainan sektor

3. Salah satu anggota rumahtangga memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan. 4. Masing-masing anggota keluarga memiliki pekerjaan.

(46)

kualitas sumberdaya manusia yang tinggi seperti umumnya kondisi petani yang berpendidikan rendah. Dalam sektor informal, individu bebas berkreatifitas di luar sistem peraturan yang mengikat dan kepentingan pemerintah, yang berbeda de ngan kondisi kondisi yang terdapat dalam sektor formal.

Bentuk kegiatan yang dilakukan petani sebagaimana tercantum di atas merupakan bentuk difersifikasi kerja, di mana sektor pertanian tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan petani. Menurut Darmawan (2001) upaya diversifikasi kerja yang dilakukan petani adalah untuk :

1. Mempertahankan garis batas aman dengan mencukupi kebutuhan subsisten. 2. Meningkatkan status sosial ekonomi dan meningkatkan standar hidup petani.

2.6 Kerangka Pemikiran

Penguasaan dan kepemilikan lahan sangat erat dengan masalah kemakmuran dan kemiskinan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih menggantungkan hidupnya disektor pertanian. Semakin sempitnya lahan pertanian yang diusahakan petani (Peasant) sebagai akibat dari perta mbahan jumlah penduduk dan juga kebijakan penataan struktur agraria oleh pemerintah yang tidak adil.

(47)

setempat, sedangkan dari faktor eksternal yakni adanya intervensi modal kapital dari para pemilik modal baik swasta maupun pemerintah sendiri, sebagai wujud kebijakan pertanahan yang tidak populis.

Tanah yang dahulu digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga telah beralih kepihak lain. Dengan tidak adanya sumberdaya tanah yang dimiliki, para petani tentu saja juga kehilangan mata pencaharian. Kalaupun masih berusaha disektor pertanian itupun hanya petani penggarap. Hal ini tentu saja berakibat pada perubahan status petani, petani yang dulunya mengusahakan tanah milik sendiri atau sebagai petani pemilik berubah menjadi petani yang menggarap tanah milik orang lain atau sebagai petani penggarap karena sudah tidak memiliki lahan pertanian lagi.

Penelitian ini mengkaji pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian yang fokus utamanya untuk menghasilkan pangan dan hortikultura (usahatani). Konversi lahan yang dimaksudkan adalah konversi lahan kering (tegalan) yang berupa perbukitan. Lahan yang semula dijadikan sebagai tambahan penghasilan dengan ditanami tanaman tahunan, setelah terjadi konversi lahan dialihfungsikan untuk pertambangan batu.

Masuknya perusahaan (PT) untuk menanamkan investasinya akan berpengaruh terhadap kondisi sosial maupun ekonomi masyarakat. Pembelian lahan-lahan oleh investor terhadap petani akan berdampak pada perubahan ekonomi masyarakat. Akses masyarakat terhadap lahan sema kin kecil sehingga masyarakat petani yang sebagian besar berpendidikan rendah melakukan berbagai strategi untuk tetap bertahan dari te kanan ekonomi yang dialaminya yakni pola nafkah ganda dan optimalisasi tenaga kerja keluarga.

(48)

yang pada akhirnya kepemilikan lahan beralih sedangkan uang hasil konversi tidak digunakan untuk alokasi yang produktif sehingga konversi lahan semakin menjadikan masyarakat petani kecil terpuruk dalam kemiskinan.

Faktor yang menyebabkan konversi lahan secara mikro dibagi menjadi dua, faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal meliputi pendidikan, pengalaman kerja, tingkat penghasilan dan juga ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal yakni masuknya perusahaan (PT), pengaruh dari tetangga dan juga calo serta pemerintahan desa sendiri.

(49)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga petani.

Faktor yang mempengaruhi konversi

Faktor Intern. 1. Pendidikan 2. Pengalaman kerja 3. pendapatan

4. Ketergantungan pada tanah Faktor Ekstern.

1. Investor

2. Pemerintah Desa 3. Calo

4. Tetangga

Konversi Lahan

Adaptasi

Berkaiatan dengan Struktur alokasi tenaga kerja rumahtangga)

1. Pola nafkah ganda (memanfaatkan lahan tidur, usaha lain)

(50)

2.7 Definisi Konseptual

a. Petani : Orang desa yang mengolah lahan dengan bantuan

tenaga kerja keluarga sendiri atau orang lain untuk menghasilkan bahan pangan bagi keperluan hidup sehari-hari

b. Komunitas : Suatu satuan sosial yang utuh yang terikat pada suatu tempat dengan ciri-ciri alamiah yang khas.

c. Strategi nafkah ganda : Kegiatan mengkombinasikan berbagai

aktivitas yang dijalankan oleh rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidup

d. Lahan/ Tanah pertanian : Lahan pertanian dalam penelitian ini semua lahan baik itu produktif maupun tidak yang dimiliki masyarakat desa.

e. Konversi lahan : Proses perubahan fungsi peruntukan lahan

f. Konflik Agraria : Perbedaankepentingan yang mengarah ke pertentangan terhadap hak kepemilikan/akses terhadap sumberdaya agraria antara (masyarakat-pemerintah-swasta)

g. Struktur Agraria : Kepemilikan dan penguasaan lahan terkait hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya

h. Rumahtangga : Sekelompok orang yang mendiami sebagian atau

seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama ser ta makan dari satu dapur, atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan serta mengurus keperluannya sendiri.

i. Anggota Rumahtangga : Orang yang bertempat tinggal dalam satu

(51)

sementara tidak ada atau sedang bepergian kurang lebih enam bulan.

j. Rumahtangga Pertanian : Rumahtangga yang sekurang-kurangnya

satu anggotanya melakukan kegiatan bertani/berkebun.

k. Sumber Penghasilan Utama : Sumber penghasilan terbesar sebagai

sumber penghasilan utama rumahtangga.

l. Kepemilikan lahan : Menunjukkan kepada penguasaan formal.

m. Penguasaan : Menunjukkan pada penguasaan efektif. Contoh, jika tanah disewakan kepada orang lain, maka orang itulah yang secara efektif dikuasainya.

n. Struktur Agraria : Sesuatu yang menunjukkan pada kegiatan

masyarakat di dalam kegiatan produksi pertanian (peternakan, perikanan dll), struktur penguasaan dan peruntukan lahan yang terkait juga dengan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya agraria.

2.8 Definisi Operas ional :

1.Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah atau sedang diikuti oleh responden. Dalam penelitian ini tingkat pendidikan dibedakan menjadi tiga tingkat, yaitu :

a. Rendah : responden tidak atau tamat SD b. Sedang : Responden tamat SLTP

(52)

2.Tingkat Pemilikan lahan : Jumlah lahan yang dimiliki oleh suatu rumahtangga dalam penelitian ini tingkat pemilikan lahan dikategorikan menjadi tiga tingkatan yaitu :

a. Rendah : Jika memiliki lahan > dari 0,25 Ha b. Sedang :jika memiliki lahan antara 0,25 – 0,5 Ha

c. Tinggi : jika responden memiliki lahan lebih dari 0,5 Ha

3.Tingkat pemilikan sarana poduksi pertanian adalah jumlah kepemilikan alat-alat yang terkait dengan proses bertani. Dalam penelitian ini tingkat pe milikan sarana produksi pertanian dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Rendah : Jika responden hanya memiliki alat pengolahan saja, atau hanya memiliki peralatan yang relatif tradisional

b.Tinggi : jika responden memiliki satu atau lebih sarana pendukung lanjutan produksi pertanian atau memiliki peralatan yang relatif modern. Misalnya, alat untuk menyiangi, alat memanen dan sebagainmya.

4. Tingkat kekayaan : adalah sumber daya yang dimiliki baik berupa uang atau barang yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sebulan. Dalam penelitian ini tingkat kekayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu :

1. Kaya : Jika sumberdaya (diuangkan) yang dibelanjakan sebulan lebih dari Rp1.000.000,00

2. Sedang : Jika Pengeluran antara Rp432.000-Rp.1.000.000,00

(53)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan di desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Pemilihan tempat didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan di mana lokasi tersebut adalah daerah pertambangan batu yang dikelola oleh perusahaan swasta. Lahan yang dijadikan pertambangan awalnya adalah lahan penduduk setempat yang dibeli dengan harga yang murah. Dengan pertimbangan di atas diharapkan dapat dilihat dampak konversi lahan bagi penduduk setempat, reaksi penduduk terhadap adanya perusahaan pertambangan dan sejauh mana penduduk melakukan penyesuaian (adaptasi) terhadap intervensi akumulasi modal dari perusahaan pertambangan. Adapun pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2005.

3.2 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel/responden dilakukan secara acak (random sampling) dari petani/masyarakat yang tanahnya dijual kepihak perusahaan. Kerangka sampel diperoleh dari kantor kelurahan desa Batujajar. Responden adalah masyarakat desa Batujajar yang menjual lahan, dipilih 20 kk dari 55 kk yang menjual lahan.

3.3 Metode Penelitian

(54)

didokumentasikan dalam bentuk catatan harian. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner dengan pertanyaan-pertanyaan yang berbentuk terbuka dan tertutup. Data dalam penelitian ini dibagi kedalam dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh peneliti, baik itu data dari kuesioner, wawancara, maupun hasil pengamatan. Sementara data sekunder meliputi data -data atau informasi yang diperoleh dari sumber-sumber sekunder, seperti data monografi desa atau sumber pustaka lainnya. Adapun tingkat analisis penelitian ini adalah rumahtangga.

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei dan wawancara langsung kepada responden yang ditentukan, dengan mengunakan kuisioner atau daftar pertanyaan yang telah disediakan. Juga hasil pengamatan di lapangan dan wawancara langsung kepada informan kunci di desa, serta aparat desa.

(55)

BAB IV

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak Geografis Batujajar

Desa Batujajar, sebagai salah satu desa di Kecamatan Cigudeg, yang terletak antara jalan Bogor dan Jasinga, dengan ketinggian tempat antara 300-400 meter di atas permukaan air laut. Secara administrasi desa Batujajar merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, yang terletak di sebelah barat Gunung Salak. Desa Batujajar terdiri dari 11 dusun, dengan luas wilayah 820 ha, serta berbatasan dengan desa lain yang masih dalam satu kecamatan maupun kecamatan lain. Batas wilayah tersebut adalah dengan desa Rengasjajar di sebelah barat dan selatan, Tegallega di sebelah timur dan desa Dago kecamatan Parung Panjang di sebelah utara.

Ditinjau dari potensi sosial ekonomi desa Batujajar merupakan desa dengan penghasil hasil tambang terbesar kedua setelah Rengasjajar. Pusat pemerintahan desa Batujajar terletak kurang lebih 16 km sebelah barat ibukota kecamatan, dari ibukota Kabupaten Bogor terletak kurang lebih 60 km. Antara pusat pemerintahan desa dengan ibukota kecamatan dan ibu kota kabupaten maupun ibukota propinsi dihubungkan dengan jalan tanah dan aspal, sedangkan dengan desa lain dalam satu kecamatan dihubungkan dengan jalan tanah dan jalan aspal pula. Pada umumnya sebagian besar penduduk desa Batujajar adalah petani dan buruh.

(56)

komoditas lain seperti palawija, cabe da n tomat belum banyak dikembangkan karena keterbatasan serta penguasaan teknologi budidaya yang masih rendah.

4.1.1 Lingkungan Alam

1. Topografi

Wilayah desa Batujajar mempunyai ketinggian antara 300 - 400 meter di atas permukaan laut. Secara umum merupaka n daerah perbukitan dengan lembah-lembah datar untuk persawahan. Karena banyaknya perbukitan yang berisi batu gunung maka banyak daerah perbukitan Batujajar yang dialih fungsikan untuk pertambangan batu gunung. Ada sekitar tujuh perusahanaan yang sudah membeli tanah yang berupa bukit dari masyarakat, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta, yang kesemuanya mencapai 419,5 ha atau sekitar 51,15 persen dari keseluruhan luas Desa Batujajar (Lihat tabel 1).

Tabel 1. Penguasaan Lahan Oleh Perusahaan Pertambangan di Desa Batujajar No Nama Perusahaan Luas Lahan

(ha)

Status Tambang Lokasi

1 PT.Manik Jaya 2 42 Aktif Dukuh Wakaf

2 PT.Indocement 31,5 Non aktif Tipar/Bolangh

3 PT.Batutama 82 Non aktif Wakaf

(57)

400 meter di atas permukaan air laut. Dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Dames, maka dapat diperhitungkan bahwa secara keseluruhan wilayah desa Batujajar mempunyai temperataur antara 23,6 C° – 24,2 C°.

Menurut Yoshida (1983) bahwa pertumbuhan padi secara optimum memerlukan suhu antara 20 sampai 35 C°. Dengan mendasarkan pada persyaratan tersebut, maka desa Batujajar dapat dikatakan memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi secara optimum.

3. Tanah

Tanah merupakan akumulasi tubuh alam yang bebas, menduduki sebagian permukaan bumi yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat-sifat sebagai pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula (Darmawidjaja,1970: 9).

Jenis tanah yang terdapat di desa Batujajar termasuk jenis tanah latosol, merupakan tanah yang faktor pembentuknya terdiri dari bahan induk berupa abu volkanik, tanah liat, dengan topografi berbukit-bukit, dan landai. Dengan jenis tanah semacam itu, tanah di Batujajar sebenarnya sangat cocok untuk lahan pertanian padi sawah dan tanaman budidaya seperti sawit, durian dan kelapa.

4. Tata Air

Air pengairan merupakan kebutuhan pokok bagi pertumbuhan tanaman khususnya dibidang usaha tani. Wilayah desa Batujajar dilalui beberapa anak sungai serta beberapa mata air, dengan kondisi demikian maka desa Batujajar dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian, perikanan darat maupun perkebunan. Kedalaman air di desa Batujajar berkisar antara 4 sampai 6 meter.

(58)

selama setahun, namun kalau pasokan air melimpah yang biasanya terjadi pada waktu musim hujan maka panen padi bisa dilakukan sebanyak tiga kali. Namun meskipun pengairan bisa dibilang lancar belum berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas padi.(Tabel 2)

Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Lahan di Desa Batujajar Perhektar Tahun

Sumber : Data primer 2005

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa produktivitas lahan sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain di Jawa semisal Cirebon utara yang mencapai produkrivitas lima sampai enam ton perhektar (Breman dan Wiradi,1999).

4.1.2 LINGKUNGAN FISIK

1 Tata Guna Lahan

(59)

Tabel 3. Bentuk Penggunaan Lahan di Desa Batujajar Tahun 2005

Bentuk Penggunaan Luas (ha) Persen

1. Pertambangan 292,5 35,6

Sumber : Data Monografi desa Batujajar 2005.

Bila dilihat dari luas lahan, yang dominan adalah pertambangan yaitu 35,62 persen dari luas desa Batujajar, maka dapat dikatakan bahwa pertambangan merupakan modal utama untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat desa Batujajar. Sedangkan dengan luas lahan sawah sebesar 197 ha maka dibandingkan dengan jumlah penduduk Batujajar yang mencapai 5.272 (2004) maka kepadatan agraris hanya sekitar 373,4 m², kalau dihitung perkepala keluarga yang mencapai 1.080 maka rata-rata menguasai sebesar 1.869,2 m².

Luas sebesar itu dapat dikatakan tergolong sempit. Apabila ditanami padi kemungkinan untuk mencukupi kebutuhan hidup relatif sulit, kecuali jika ada ta mbahan penghasilan yang didapat di luar sektor usaha tani semisal perdagangan maupun pertambangan ataupun usaha lainnya.

2. Perumahan

(60)

(26,5%) memiliki sanitasi (WC) sendiri, sedangkan keluarga yang menggunakan MCK di sungai mencapai 350 atau sekitar 32,7 persen.

Desa Batujajar merupakan salah satu unit pemerintahan terkecil dibawah kecamatan Cigudeg. Desa ini me liputi 11 (sebelas) wilayah administrasi yang disebut dusun. Dusun-dusun itu sendiri meliputi unit-unit administrasi yang disebut kampung. Setiap kampung terbagi dalam rumahtangga-rumahtangga yang didiami oleh penduduk dan secara keseluruhan membentuk suatu lingkungan sosial tersendiri. Pola pemukiman penduduk menyebar diseluruh desa namun kebanyakan pemukiman berada dipinggir jalan besar. Kondisi kawasan berupa perbukitan juga menjadi faktor terpencarnya pemukiman warga. Warga lebih memilih tinggal di daerah dataran rendah dibandingkan daerah dataran tinggi. Hal ini dimungkinkan mempunyai rumah di pinggir jalan lebih mudah aksesnya terhadap kebutuhan sehari-hari.

Kalau melihat kondisi rumah untuk mengetahui tingkat kemakmuran masyarakat di desa Batujajar maka dusun Sinengah yang rata-rata dihuni orang-orang berada. Bangunan rumah besar-besar dengan perabotan yang merupakan ciri masyarakat kota, sedangkan dusun yang paling miskin adalah dusun Bolang yang sebagian besar masyarakatnya menempati rumah yang sangat sederhana, ukuran kecil dan kebanyakan setengah permanen.

Pengelolaan sampah di perkampungan, biasanya sampah dibuang begitu saja di tanah-tanah kosong di sekitar rumah-rumah mereka bahkan juga dibuang ke sungai, tetapi dalam kondisi kering biasanya dibakar.

4.1.3 Demografi Desa Batujajar

1. Penduduk

(61)

penduduk sebanyak 5.272 tahun 2004. Jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan yaitu sekitar 2.742 jiwa atau 52 persen penduduk laki-laki dan 2.527 jiwa atau 48 persen penduduk perempuan.

Bila dilihat dari komposisi penduduk menurut umur, terlihat bahwa peresentase pendududk usia muda (0-15 tahun) cukup tinggi yaitu sekitar 39,7 persen dan penduduk usia belum wajib sekolah (< 6) juga cukup besar sekitar 19,8 persen dari total penduduk. Penduduk usia tua (> 60 tahun) juga cukup tinggi yaitu sekitar 18,4 persen. Sebagian besar penduduk merupakan penduduk usia produktif (16-60) tahun, yaitu sekitar 41,8 persen. Banyaknya penduduk usia non-produktif dan sedikitnya penduduk usia produktif, bisa memberikan kemungkinan yang berbeda, yaitu (angka harapan hidup penduduk Batujajar tinggi; (2) keluarga cenderung mempunyai anak lebih dari satu dengan rentang kelahiran yang rendah. Bila diasumsikan bahwa pendududk usia non produktif adalah usia 0-15 tahun dan > 60 tahun, maka Rasio Beban Tangungan (RBT), jumlah penduduk usia non produktif yang ditanggung oleh penduduk usia produktif adalah sekitar sebesar 139,4 jiwa10. Rasio beban tanggungan sebesar ini bisa dikatakan tinggi, karena dari 100 orang penduduk usia produktif menanggung sekitar 139 orang penduduk usia non produktif.

Kepadatan pendududk Batujajar, dengan luas desa sekitar 820 ha, pada tahun 1994 sekitar 5.112 jiwa dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 5.272 jiwa.

Tabel. 4. Jumlah dan Persentase Pria dan Wanita Penduduk Batujajar menurut Usia

No Usia Pria Persen Wanita Persen

Sumber: Data monografi desa Batujajar 2005.

(62)

2. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan disini mengacu kepada sumber nafkah utama penduduk Batujajar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa sebagian besar pendududuk Batujajar adalah petani dan buruh tani. Jumlah pendududk usia kerja di desa Batujajar adalah 28 persen. Penduduk yang belum bekerja adalah 44,9 persen Selanjutnya penduduk yang bukan usia kerja adalah 27,1 persen Dari data ini dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang bukan usia kerja hampir sebanding dengan penduduk usia kerja dan jumlah penduduk yang bekerja lebih lebih banyak dibandingkan penduduk yang tidak bekerja.

Tabel 5. Kondisi Ketenagakerjaan Masyarakat Batujajar.

No Kategori Jumlah Persen

1 Penduduk usia kurang dari 15 tahun 2 109

40,0 3 Jumlah Angkatan kerja penduduk usia 15-55 670 12,7 4 Jumla h Penduduk Usia 15-55 yang masih sekolah 57 1,1 5 Jumlah Penduduk usia 15-55 yang menjadi ibu

rumahtangga

1 080 20,5 6 Jumlah Penduduk usia 15-55 yang bekerja penuh 105 1,9 7 Jumlah penduduk usia 15-55 tahun yang bekerja tidak

tentu

205 3,8

8 Penduduk usia ≥56 1 046 19,8

Jumlah Total 5 272 100,0

Sumber : Data monografi desa Batujajar 2005

Pemilikan dan penguasaan lahan berpengaruh terhadap pilihan kerja masyarakat. Dari data tabel 6 menunjukkan bahwa sektor pertanian (petani, buruh tani) menjadi pekerjaan utama masyarakat Batujajar. Kecenderungan menunjukkan sektor pertanian hanya digeluti oleh orang-orang tua. Sedangkan anak-anak muda lebih cenderung bekerja di kota, sebagai buruh bangunan, buruh pabrik atau berdagang. Sedangkan pemuda yang tetap berada di desa lebih memilih menjadi tukang ojek, atau menjadi buruh di pertambangan sebagai sopir atau Pemantek.1

(63)

Tabel 6. Jumlah Penduduk Usia Kerja Desa Batujajar Menurut Matapencaharian Tahun 2003

No Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Karyawan

Sumber : Data monografi Desa Batujajar 200 3

3. Pendidikan

Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan menggambarkan tingkat kemajuan suatu wilayah dalam pembangunan, baik pembangunan pada tingkat pendidikan itu sendiri maupun pembangunan yang lain seperti dalam bidang ilmu pengetahun. Penduduk desa Batujajar menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 7 yang menunjukkan bahwa umumnya tingkat pendidikan di desa Batujajar saat ini adalah tidak sekolah atau tidak tamat SD mencapai 6,7 persen, SD 75,2 persen, SLTP 0,76 persen, SLTA 0,57 persen serta perguruan tinggi 0,17 persen.

Tabel 7. Jumlah dan Presentase tingkat Pendidikan Desa Batujajar Tahun 1994 dan2004 Tahun 1994 Tahun 2004

No Tingkat Pendidikan

Jumlah Jiwa Jumlah Jiwa

1 Belum Sekolah 1 006 6,8% 924 17,5%

Sumber : Data monografi Desa Batujajar

(64)

4.2 Kehidupan ekonomi, Sosial dan Budaya.

1. Kehidupan Ekonomi.

Di daerah Batujajar suatu hal yang menjadi ukuran ekonomi dan kebanggaaan penduduk adalah rumah, sawah dan perabotan mewah. Kesadaran untuk investasi terhadap pendididkan bagi anak-anaknya masih belum membudaya. Kondisi rumah di desa Batujajar secara keseluruhan cukup bagus, dengan artian, sudah tidak terlalu banyak penduduk yang rumahnya berlantai tanah dan berdinding anyaman. Sebagian besar besar sudah permanen dan semi permanen, namun kalau dilihat dari kelengkapan sanitasi maka masih kurang. Hampir 90 persen responden masih menggunakan sungai untuk mandi, cuci dan kakus (MCK).

Umumnya yang bekerja adalah kepala rumahtangga. Tiap kepala rumahtangga menanggung empat sampai delapan orang. Kondisi rumahtangga yang kurang mampu akan mendororng tenaga kerja dari pihak istri dan anak-anak untuk turut serta mencari uang. Kondisi inilah yang mendororng or ang tua yang kondisi ekonominya sulit untuk melepas/menikahkan anaknya di bawah umur 20 tahun.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran  Konversi Lahan  dan Pengaruhnya Terhadap Pola
tabel 1). Tabel 1. Penguasaan Lahan Oleh Perusahaan Pertambangan di Desa Batujajar
Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Lahan di Desa Batujajar Perhektar
Tabel 3. Bentuk Penggunaan  Lahan di Desa Batujajar Tahun 2005
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, pada kasus konversi lahan di Desa Candimulyo ini, tingkat kesejahteraan rumahtangga petani dipengaruhi oleh pengubahan fungsi lahan pertanian mereka menjadi tambang

Modal sosial petani lapisan atas tidak jauh berbeda dengan petani lapisan bawah dan menengah karena jaringan yang dimiliki oleh rumahtangga petani yaitu jaringan pada kelompok

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP SISTEM PENGHIDUPAN RUMAHTANGGA PETANI (STUDI KASUS: KECAMATAN.. COLOMADU

Semakin luas lahan sawah yang dikuasai petani maka semakin tinggi hasil produksi lahan sawahnya dan aktivitas ekonomi yang dilakukan istri petani tidak lagi sebagai

Pada penelitian ini ditemukan bahwa ketidakmapanan keluarga petani yang hanya mengandalkan pola nafkah dari usaha onfarm saja bukan berarti mereka harus mencari

Modal sosial petani lapisan atas tidak jauh berbeda dengan petani lapisan bawah dan menengah karena jaringan yang dimiliki oleh rumahtangga petani yaitu jaringan pada

Dengan semakin maraknya konversi lahan yang terjadi di Kelurahan Pojoksari dapat dikatakan akan membawa pengaruh bagi para petani karena cenderung akan berdampak

Semakin luas lahan sawah yang dikuasai petani maka semakin tinggi hasil produksi lahan sawahnya dan aktivitas ekonomi yang dilakukan istri petani tidak lagi sebagai upaya