• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI TEMBAKAU DI LERENG GUNUNG SUMBING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI TEMBAKAU DI LERENG GUNUNG SUMBING"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI TEMBAKAU DI LERENG GUNUNG SUMBING

(Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)

WIDIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing(Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)”

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

WIDIYANTO NRP. I 353070021

(3)

ABSTRACT

WIDIYANTO. Livelihood Strategy of the Tobacco Peasant’s Family on the slope of Sumbing Mountain (A Case Study in Wonotirto and Campursari Village, the sub-District of Bulu, Temanggung District). 2009. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and NURAINI WAHYUNING PRASODJO.

The background of this research is the historical fact which says that tobacco has been withdrawing a very significant attention as a potential high value commodity since the East Indies regime. The dependence of the peasant’s family to the market system causes the effect of capitalism penetrates into the village.

Thus the livelihood strategy discourse becomes significant as an effort to dismantle the efforts of tobacco peasant’s family in responding into this conditions. The objectives of this research are: first, to identify and analyze which ethics of moral economy that bases peasants on constructing their livelihood system. Second, to analyze how is the forms of peasant livelihood strategy. Third, to analyze which institutional system built by peasants as the implementation of their livelihood system. Fourth, to analyze how far the implementation of their livelihood strategy can built the sustainable livelihood system.

In this research, the researcher uses the constructivism paradigm.

Meanwhile the strategy that going to be used is a case study. The data collection technique that used are: Inclusive observation, in-depth interview, and document analysis. To analyze the collected data, this research uses a qualitative data analysis method. This research will be conducted in two villages, they are Wonotirto and Campursari Village, Temanggung District. The fieldwork for data collection was carried out during Maret-Juni 2009.

The Study found that the standard morality of livelihood strategy that the tobacco peasant families build, occured in two different form of economical ethic.

Each of them is placed in totally in opposition to the other. These are ”social- collectivism” ethic and ”individual-material acquisition” ethic. Each individual economic ethic build specific livelihood strategy that fit into the existing situation as faced by the peasant family. There are five different types of capitals are the tobacco peasant families as disposal, namely: natural capital, phsycal capital, financial capital, human capital, dan social capital. In majority the peasant families of the research areas build common strategies of livelihood, namely:

vertical solidarity, horizontal solidarity, debt, patronase, production strategy, srabutan, accumulation, and manipulation of commodity. The institutional system built by peasants as the implementation of their livelihood, namely: sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, maro. These strategies are basically using social capital as a main capital to form livelihood strategies. In case of difficulties (in time of crisis), the tobacco peasant families build somewhat different strategies, namely: temporary migration. All These strategies (in normal and in crisis situation) showed that peasant of this area very flexible mechanism to survive.

But, the most sustainable way to survive that the peasant family build is the strategy of using collectivity ties as a instrumental way to support their livelihood.

(4)

RINGKASAN

WIDIYANTO. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)”.2009. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan NURAINI WAHYUNING PRASODJO.

Penelitian ini dilatarbelakangi adalah fakta historis bahwa komoditi tembakau sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditi komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda. Keterhubungan rumahtangga petani langsung kepada pasar menyebabkan merembesnya kapitalisme di pedesaan. Hal ini menyebabkan petani tembakau mengalami mixed ethic, pada satu sisi berorientasi kepada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain harus berorientasi kepada keuntungan yang maksimal.Oleh karena itu, kajian strategi nafkah menjadi penting dilakukan sebagai upaya mengungkap (dismantle) bagaimana upaya rumahtangga petani tembakau dalam merespon berbagai kondisi dan implikasinya terhadap sistem nafkah yang berkelanjutan baik secara ekonomi, ekologi, dan sosial.

Tujuan dari penelitian ini adalah; pertama, mengidentifikasi dan menganalisis etika moral ekonomi apa yang melandasi petani dalam membangun sistem nafkahnya. Kedua, menganalisis bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani. Ketiga, menganalisis kelembagaan apa saja yang dibangun sebagai implementasi dari sistem nafkah rumahtangga petani. Keempat, menganalisis sejauh mana strategi nafkah yang diterapkan dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigm konstruktivisme.

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach), dengan informasi yang bersifat subyektif dan historis. Strategi yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: (1) pengamatan berperan serta, (2) wawancara mendalam, dan (3) analisis dokumen. Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini digunakan metode analisis data kualitatif (Sitorus, 1998). Unit analisa dalam penelitian ini adalah individu dan rumahtangga. Penelitian ini dilaksanakan di dua desa yaitu Desa Wonotirto dan Desa Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung.

Pengumpulan data lapang dilakukan pada bulan Maret-Juni 2009.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi nafkah rumahtangga petani tembakau dibangun diatas dua etika moral ekonomi yang berlawanan. Pada satu sisi berlandaskan pada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain berpijak kepada etika individual-material. Kedua etika tersebut “dimainkan” oleh petani sebagai upaya untuk bertahan dan memperbaiki sistem penghidupannya.

Dalam membangun strategi nafkah, rumahtangga petani tembakau mengkombinasikan aset-aset (modal) yang dimiliki, yaitu: modal alami, modal fisik, modal finansial, modal sumberdaya manusia, dan modal sosial. Secara umum rumahtangga petani di daerah penelitian membangun beberapa strategi nafkah, yaitu: strategi produksi, solidaritas vertikal, solidaritas horizontal, berhutang, patronase, srabutan, akumulasi, dan manipulasi komoditas. Sedangkan

(5)

kelembagaan yang dibangun oleh petani sebagai implementasi dari strategi nafkah adalah sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, dan maro. Berbagai strategi nafkah tersebut lebih banyak “memainkan” modal sosial sebagai asset penting dalam membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan. Sedangkan pada situasi krisis, petani membangun sistem nafkah yang agak berbeda yaitu dengan melakukan migrasi temporer. Strategi ini dilakukan pada saat gagal panen berturut-turut sehingga tidak memiliki modal finansial untuk berusaha tani.

Setelah kondisi pertembakaun membaik, maka petani yang melakukan migrasi akan kembali dan bergelut kembali dengan tembakau.

Melihat berbagai strategi yang diterapkan baik pada situasi normal maupun krisis menunjukkan bahwa petani memiliki mekanisme yang dinamis dan fleksibel dalam merespon setiap perubahan kondisi. Sistem yang berperan penting dalam membangun keberlanjutan penghidupan petani adalah etika sosial-kolektif yang berasaskan pada resiprositas. Melalui asuransi sosial kolektif, rumahtangga petani mampu bertahan dan memperbaiki standar hidupnya.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

(7)

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI TEMBAKAU DI LERENG GUNUNG SUMBING

(Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)

WIDIYANTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(8)

Judul Tesis : Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sindoro Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)

Nama : Widiyanto

NRP : I 353070021

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Ketua

Ir. Nuraini Wahyuning Prasodjo, MS Anggota

Diketahui,

Ketua Program Mayor Sosiologi Pedesaan

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, MS

Tanggal Ujian : 20 Agustus 2009 Tanggal Lulus :

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Titik Sumarti, MS

(10)

PRAKATA

Ucapan syukur yang mendalam ke hadirat Ilahi Robbi atas segala kemurahan dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Berawal dari keingingan untuk mengetahui dinamika kehidupan petani tembakau “membawa” penulis pada judul penelitian: “Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kec. Bulu Kabupaten Temanggung). Selama kurang lebih tiga bulan penulis bercengkerama dengan komunitas petani tembakau untuk menggali berbagai informasi tentang sistem nafkah yang dibangun dalam upaya bertahan dan memperbaiki standar hidupnya. Sehingga pada akhirnya, dengan segenap keterbatan karya ini dapat disajikan.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing, yaitu Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr dan Ir. Nuraini Wahyuning Prasodjo, MS. Mereka tidak hanya sekedar guru tetapi juga sahabat yang selalu mendorong penulis untuk senantiasa bersemangat ketika rasa malas sedang menghantui, memberikan pencerahan ketika penulis mengalami jalan buntu.

Terima kasih atas berbagai referensi yang diberikan sehingga mempermudah penulis dalam mendalami topik penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Titik Sumarti, MS yang telah membaca dengan teliti, memberikan kritikan dan masukan sebagai penguji luar komisi.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pimpinan program studi Sosiologi Pedesaan (SPD) IPB dan seluruh staff pengajar yang telah mendidik dan mengajarkan banyak hal tentang dinamika masyarakat pedesaan. Selanjutnya penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UNS Solo atas izin yang diberikan.

Kepada Dirjen Dikti Depdiknas yang telah memberikan beasiswa (BPPS), terima kasih atas dukungan dananya. Seluruh tineliti, petani tembakau di Lereng Sumbing, terima kasih atas segala keramahan dan keterbukaannya dalam memberikan data kepada peneliti. Akhirnya, terima kasih tiada tara atas perhatian dan dukungan ayahanda, ibunda, beserta seluruh keluarga.

Merujuk pada ungkapan Socrates yang dikutip Wiradi (2009): “makin banyak yang aku ketahui, aku tahu bahwa makin banyak yang aku tidak ketahui, akhirnya aku tahu bahwa hanya satu yang aku tahu, yaitu bahwa aku tidak tahu apa-apa!”, maka penulis dengan segenap kerendahan hati menyadari masih banyak kekurangan dalam karya ini. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya semoga kajian ini mampu memberikan khasanah tersendiri dalam ranah penelitian pedesaan. Amin.

Bogor, Agustus 2009 Penulis,

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 21 Pebruari 1981.

Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara pasangan Kirno Narnorejo dan Pariyem.

Pendidikan Sarjana ditempuh pada tahun 1999 hingga tahun 2004 pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Kesempatan melanjutkan pendidikan program Magister Sains pada SPs IPB diperoleh pada tahun 2007 pada Mayor Sosiologi Pedesaan melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI. Semenjak tahun 2005, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian UNS Solo.

(12)

DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR TABEL ……… xiv

DAFTAR GAMBAR ……… xv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xvi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.1.1. Tembakau sebagai Komoditas berorientasi Ekspor……… 1

1.1.2. Usahatani Tembakau sebagai Sumber Penghidupan……... 2

1.1.3. Implikasi terhadap Strategi Nafkah Pedesaan………. 3

1.2. Perumusan Masalah ………... 5

1.3. Tujuan Penelitian ………... 8

1.4. Manfaat Penelitian……….. 9

II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka ……… 9

2.1.1. Teori Tindakan Ekonomi……… 9

2.1.2. Konsep Petani ………. 11

2.1.2.1. Tinjauan Petani: Sebuah Perspektif ………... 11

2.1.2.2. Rumahtangga sebagai basis ekonomi petani ……. 12

2.1.3. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani: Sebuah Tinjauan Konseptual ……….. 14

2.1.4. Basis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani ……… 18

2.1.5. Beberapa Studi tentang Strategi Nafkah dan Posisi Penelitian dalam Konteks Kekinian ……… 23

2.2. Kerangka Pemikiran ……….. 26

III. METODE PENELITIAN 3.1. Batasan Analisis ……….……….. 29

3.2. Pilihan Paradigma Penelitian ……… 29

3.3. Pendekatan dan Tahap-tahap Penelitian ……… 30

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……….…... 31

3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ……….. 32

3.6. Pemilihan Daerah Penelitian ……….…… 33

3.7. Unit Analisis ………... 34

3.8. Definisi Operasional ………... 34  

(13)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Sekilas tentang Temanggung………...……… 37

4.2. Kondisi Umum Desa Campursari dan Wonotirto……… 39

4.3. Perkembangan Pertembakauan di Temanggung ………. 48

4.4. Ikhtisar ……… 51

V. PROFIL AGRO-EKOLOGI DAN SOSIO-BUDAYA KOMUNITAS PETANI TEMBAKAU 5.1. Lahan sebagai Modal Penghidupan Utama…..…………...…… 54

5.2. Kondisi Agro-ekologi……….………. 56

5.2.1. Desa Campursari: pengairan cukup, terbukanya peluang komoditas……….. 56

5.2.2. Desa Wonotirto: pada saat musim kemarau, hanya tembakau yang bisa hidup………. 57

5.3. Tanaman Sela dan Pemanfaatan Limbah Tanaman………. 62

5.4. Kendaraan Bermotor: Sarana Transportasi Penting……… 63

5.5. Bangunan Rumah, Peninggalan Masa Lalu………. 64

5.6. Teknologi: dari cacak dan gobang ke mesin………... 65

5.7. Hewan Ternak dan Pupuk Sebagai Tabungan…………... 67

5.8. Kemampuan Mengelola Tembakau, Warisan Orang Tua……... 68

5.9. Pertanian Tembakau dan Daya Serap Tenaga Pedesaan………. 70

5.10. Perilaku Konsumtif……….. 71

5.11. Ikhtisar………. 73

5.11.1. Pertanian sebagai basis penghidupan utama petani tembakau……… 73

5.11.2. Tembakau sebagai produk budaya……….… 74

VI. STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI TEMBAKAU 6.1. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani ………….……… 77

6.1.1. Domain “base livelihood”……..………. 82

6.1.1.1. Strategi Produksi……….……… 82

6.1.1.2. Strategi Patronase……… 88

6.1.1.3. Strategi Solidaritas Vertikal……… 91

6.1.1.4. Strategi Solidaritas Horizontal……… 97

6.1.1.5. Strategi Berhutang………... 102

6.1.2. Domain “livelihood diversification”……… 106

6.1.2.1. Strategi Srabutan……… 106

6.1.2.2. Strategi Akumulasi……… 110

(14)

6.1.2.3. Strategi Manipulasi Komoditas……….. 111 6.1.3. Domain “Strategi Migrasi Temporer”………. 115 6.2. Dinamika Sosiologis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani

Tembakau pada berbagai Lapisan……….. 116 6.2.1. Petani Lahan Luas………. 117 6.2.1.1. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Lahan

Sawah………. 117

6.2.1.2. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Lahan

Tegal (pegunungan)……… 118

6.2.2. Petani Lahan Sempit……… 119

6.2.2.1. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Lahan Sawah………..

119 6.2.2.2. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Lahan

tegal (pegunungan)………..

120 6.3. Ikhtisar……… 121 6.3.1. Etika Moral, Strategi Nafkah, dan Kelembagaan……… 121

6.3.2. Modal Sosial sebagai faktor penting dalam sistem penghidupan rumahtangga Petani Tembakau…………..

126 VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan……….. 129

7.2. Saran ……….. 130

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(15)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 2.1. Dimensi Konseptual untuk Memahami Petani (Peasant) ……… 12 Tabel 3.1. Data yang akan dikumpulkan dan Teknik yang dipergunakan… 32 Table 4.1. Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenisnya Tahun 2007…..…. 39 Table 4.2. Ketinggian desa dari permukaan laut dan jaraknya ke pusat

pemerintahan dirinci per desa di kecamatan Bulu tahun 2007…. 40 Table 4.3. Luas Lahan Sawah berdasarkan Pengairan Tahun 2007 ………. 41 Table 4.4. Banyaknya Dusun, RW, RT di Kecamatan Bulu, Desa

Wonotirto dan desa Campursari Tahun 2007 ……… 42 Table 4.5. Kepadatan geografis dan Agraris, Sex ratio, dan Angka Beban

Tanggungan (ABT) di Desa Campursari, Wonotirto, dan Kec.

Bulu Tahun 2007... 43 Table 4.6. Mata Pencaharian Penduduk 10 tahun ke atas Tahun 2007……. 44 Table 4.7. Luas dan Panen komoditas pertanian di desa Wonotirto,

Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007……… 44 Table 4.8. Ternak besar, kecil, unggas desa Wonotirto, Campursari, dan

Kecamatan Bulu Tahun 2007………... 45 Table 4.9. Tingkat Pendidikan Penduduk desa Wonotirto, Campursari, dan

Kecamatan Bulu Tahun 2007 ………. 46 Table 4.10. Sarana Air Bersih desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan

Bulu Tahun 2007………... 47 Tabel 4.11. Kondisi Umum Daerah Penelitian……… 53 Tabel 6.1. Kerangka tipe aktifitas diversifikasi nafkah ………... 80 Tabel 6.2. Kerangka tipe aktifitas diversifikasi nafkah rumahtangga petani

tembakau……….. 81

Tabel 6.3. Rumah Tangga Menurut Golongan Luas Lahan ………... 89 Tabel 6.4. Strategi nafkah, etika moral, dan kelembagaan……….. 124

(16)

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 2.1. Komponen dan Bagan Alir Nafkah Rumahtangga………….. 21 Gambar 2.2. Framework Strategi Nafkah ………... 22 Gambar 2.3 Asset, Livelihood, dan Kemiskinan ……… 23 Gambar 2.4. Pola Distribusi Penghasilan Rumahtangga Petani di Jawa … 25 Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian ………. 28 Gambar 4.1. Peta Kabupaten Temanggung………. 38 Gambar 4.2. Luas Tanam Tembakau di Kabupaten Temanggung ………. 49 Gambar 4.3. Produksi Tembakau di Kabupaten Temanggung……… 50 Gambar 4.4. Perkembangan Luas Tanam (ha) dan produksi (ton)

Tembakau Tahun 2003-2007………..

51 Gambar 6.1. Rumah Tangga Menurut Golongan Luas Lahan ……… 89 Gambar 6.2. Strategi Solidaritas Vertikal yang berbasis pada Kinship-

Genealogis……….. 92

Gambar 6.3. Kelembagaan royongan sebagai Strategi Solidaritas

Horizontal……….. 98

Gambar 6.4. Kelembagaan “menggabungkan hasil panen” sebagai Strategi Solidaritas Horizontal……….

101 Gambar 6.5. Strategi Berhutang Petani kepada Pedagang/Tengkulak…….. 103 Gambar 6.6. Keterkaitan antara Migrasi dan Peningkatan Penghidupan… 116 Gambar 6.7. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau lahan Luas

yang berbasis Tanah Sawah pada berbagai Situasi……… 117 Gambar 6.8. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau lahan Luas

yang berbasis Tanah Tegal (Pegunungan) pada berbagai Situasi ……….

118 Gambar 6.9. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau lahan Sempit

yang berbasis Tanah Sawah pada berbagai Situasi …………...

119 Gambar 6.10. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau lahan Sempit

yang berbasis Tanah Tegal (Pegunungan) pada berbagai Situasi ……….

121 Gambar 6.11. Peran Modal Sosial dalam Mereproduksi Aset dan

Membangun Kapabilitas……….

127

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Penelitian terdahulu mengenai strategi nafkah pada berbagai setting lokasi yang berbeda

Lampiran 2. Pedoman Wawancara Lampiran 3. Peta Lokasi penelitian

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Tembakau sebagai komoditas berorientasi pasar

Secara Internasional, Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara terbesar produsen daun tembakau. Dari sepuluh negara tersebut, empat negara memproduksi hampir 2/3 (lebih dari 4 juta ton) suplai daun tembakau dunia yang berjumlah sekitar 6,3 juta ton. Keempat Negara tersebut adalah: Cina (38 %), Brasilia (10,3 %), India (9,1 %) dan Amerika (6,3 %). Kontribusi Indonesia sekitar 15.000 ton daun tembakau atau 2,3 % suplai dunia (FAO, 2002).

Sementara pengusahaan tembakau di Indonesia sebanyak 98 % adalah termasuk perkebunan rakyat, dan 2 % adalah perkebunan besar nasional (Ditjen Perkebunan, 2000). Menurut jenisnya, sebanyak 75 % (173,695 ha) merupakan tembakau rakyat (rajangan)1. Sebanyak 43,6 % (101,095 ha) ditanam di Jawa Timur dan 26,7 % (61.925 ha) di Jawa Tengah, dan sisanya adalah di NTB, DIY, dan Bali. Sebanyak 30 % tembakau rakyat (rajangan) digunakan sebagai bahan baku rokok kretek. Dari berbagai jenis tembakau rakyat, yang paling banyak digunakan adalah tembakau Madura dan Temanggung (Deptan, 2002).

Secara historis tembakau sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditi komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda.

Temanggung yang juga dikenal dengan nama Kedu2 merupakan salah satu wilayah di Jawa yang telah dikenal sebagai penghasil tembakau sejak tahun 1746, disamping wilayah lain seperti: Jawa Timur dan Cirebon. Tembakau merupakan

      

1Tembakau dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: Voor-Oogst dan Na-Oogst. Voor-Oogst adalah kelompok tembakau yang biasa pada musim hujan dan dipanen pada musim kemarau dan kelompok Na- Oogst adalah jenis tembakau yang ditanam pada musim kemarau dan dipanen pada musim hujan. Jenis tembakau Voor-Oogst diantaranya tembakau Virginia, tembakau rakyat (rajangan) dan tembakau Lumajang.

Sedangkan tembakau Deli (Sumatera Utara), Vorstenlanden (Jawa Tengah) dan Besuki-NO (Jawa Timur) termasuk jenis tembakau Na-Oogst.

2Temanggung dalam cacatan sejarah merupakan bagian dari Karesidenan Kedu yang meliputi Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung. Nama ”Kedu” berasal dari kata kedung. Kabupaten Magelang dan Temanggung, memang menyerupai sebuah palung besar menanjang dari arah barat laut ke tenggara sampai batas Daerah Istimewa Yogyakarta (Suroyo, 2000). Sekarang Kedu merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Temanggung, Propinsi Jawa Tengah.

(19)

komoditas penting -dan wajib ditanam- di bawah sistem tanam paksa, selain tanaman “tiga besar” lainnya: tebu, kopi, dan indigo. Pada tahun 1900 dan tahun 1940, penanaman tembakau oleh petani kecil terpusat di beberapa tempat, yaitu:

Dataran Tinggi Dieng dan daerah sekelilingnya (Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo, Batang, Kendal, Salatiga, dan Karesidenan Kedu), Karesidenan Rembang, dan Karesidenan Probolinggo dan Besuki (Kabupaten Lumajang, Jember, Bondowoso). Tembakau dari Kedu di ekspor ke Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Ambon (Boomgard, 2002: 87-101; Jonge, 1989, Suroyo, 2000:188-189).

Sebagai komoditas ekspor, tembakau menjadi tanaman yang komersial dan berbasis pasar. Tembakau merupakan tanaman bebas yang diusahakan dan diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhubungan langsung dengan pasar. Bahkan karena usaha penanaman tembakau pada tahun 1841 dianggap gagal akibat risiko tinggi terkait kerentanannya terhadap cuaca dan musim menyebabkan pemerintah melepaskan tanam paksa tembakau. Untuk selanjutnya pemerintah membiarkan petani mengusahakan sendiri tanaman tembakau seperti sedia kala, atau mengadakan kontrak penanaman atau penjualan dengan pihak swasta tanpa campur tangan pemerintah secara langsung (Suroyo, 2000: 188-191).

1.1.2. Usahatani tembakau sebagai sumber penghidupan

Hingga sekarang, tembakau masih dibudidayakan oleh petani di Kabupaten Temanggung sebagai sumber penghidupan. Dengan kata lain, pertanian tembakau masih menjadi tumpuan kehidupan bagi sebagian besar petani. Sebanyak 16 (enam belas) Kecamatan di Kabupaten Temanggung membudidayakannya, dengan tiga area tanam terluas adalah Kecamatan Kledung (1.905,5 ha); Ngadirejo (1.683 ha); dan Bulu (1.627 ha). Hanya empat Kecamatan yang sama sekali tidak mengusahakan tembakau yaitu: Kranggan, Pringsurat, Gemawang, dan Bejen.

Pada mulanya petani membudidayakan tanaman tembakau sesuai dengan

(20)

biasanya dikirim ke Weleri dan Cirebon. Tembakau garangan biasanya dipergunakan untuk rokok jenis lintingan3. Pada tahun 1950-an, berkembang tembakau tipungan dengan rajangan yang lebih lembut dibandingkan garangan.

Tembakau jenis ini dipak berbentuk kotak, biasanya dipasarkan di sekitar pasar Parakan. Pada tahun 1975, anjuran ITR (intensifikasi tembakau rakyat) merubah menanam dari system garang dan tipungan menjadi tembakau “tumbon”4 atau kenthungan. Keuntungan dari tembakau “tumbon” adalah: (1) luas lahan yang ditanami lebih luas sehingga hasilnya meningkat; dan (2) harga tembakau tumbon lebih baik bagi para petani dibandingkan tembakau garang.

Pada saat panen, petani tembakau menjual hasil panennya kepada tengkulak yang akan datang ke rumah petani untuk membeli tembakau dengan harga yang berbeda antara satu petani dengan petani lainnya, meskipun jenis tembakaunya sama. Tengkulak kemudian menjualnya kepada juragan, baru setelah itu para juragan menjual ke perusahaan rokok melalui grader.

Hasil penjualan tersebut digunakan petani untuk membeli barang apapun dan setelah masa paceklik dijual lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari hasil penjualan tembakau umumnya mereka gunakan untuk membeli pupuk, membayar hutang, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Sementara pada golongan masyarakat dengan luas lahan 0,25-0,5 ha dan >0,5 ha sebagian hasilnya ditabung dalam bentuk tabanas dan membeli emas (Jacub, 1985).

1.1.3. Implikasi terhadap strategi nafkah Pedesaan

Keterkaitan langsung dengan pasar membuat pedesaan telah mencapai tingkat komersialisasi sedemikian rupa, sehingga langsung lebih terlibat dalam percaturan ekonomi yang lebih luas di luar wilayahnya atau disebut cenderung ke       

3Rokok dibuat sendiri dengan cara melinting (menggulung) selembar kertas kecil yang didalamnya terdapat ramuan tembakau, cengkeh, dan lainnya kemudian digulung secara manual. Aktifitas ini biasanya dilakukan setiap kali akan merokok.

4Istilah tumbon diambil dari kata tumbu (keranjang) yang biasanya dipergunakan untuk mengepak rajangan tembakau. Keranjang dibuat dari bambu yang didalamnya dilapisi debog kering (batang pohon pisang).

Salah satu sentra pengrajin keranjang ini adalah di Kecamatan Kedu. Biasanya petani membeli minimal 1 kepok (berisi dua buah kerangjang) dengan harga yang bervariasi tergantung pada: (1) waktu pembelian, pada musim panen (bulan September) biasanya lebih mahas, ±@keranjang Rp. 100.000,00; bagi petani dengan modal yang lebih mereka membeli sebelum masa panen dengan harga yang relative murah

±@keranjang Rp. 75.000,00; (2) besar kecilnya ukuran keranjang, semakin besar keranjang semakin mahal, ukurang keranjang antara 30-45 kg tembakau rajangan kering. Berat keranjang berkisar antara 10-12 kg.

(21)

kapitalisme Husken (1998). Secara empiris, Penny (1990) membandingkan dua desa yaitu di Sriharjo di Imogiri Yogyakarta dan Sukamulia di Sumatera Utara yang warganya juga “orang-orang Jawa”, ternyata bisa mengalami dampak berbeda dari sistem pasar yang semakin komersial. Sistem pasar telah membuat Desa Sriharjo menderita dan menjadi lebih miskin, sedangkan bagi Sukamulia tidak demikian. Sebab utamanya adalah justru karena desa Sriharjo sudah amat komersial, artinya ia sudah menjadi begitu “terbuka”, sehingga mudah

“dieksploitasi” oleh kekuatan-kekuatan sistem pasar bebas. Sebaliknya bagi Desa Sukamulia, karena masih jauh lebih subsisten (tertutup), maka kekuatan-kekuatan sistem pasar yang “merusak” belum sempat merugikannya.

Long (1987) mencirikan bahwa sistem perekonomian desa di Negara- negara dunia ketiga bercorak kombinasi antara non-kapitalis yang ‘tradisional”

dengan kapitalis yang emergen.. Boeke (1953) dalam Sajogyo (1982) menyebutnya sebagai teori ekonomi ganda (dualistic economics) dimana dalam waktu yang sama terdapat dua atau lebih sistem sosial, dan masing-masing sistem sosial ini jelas berbeda satu sama lain dan masing-masing menguasai bagian tertentu dari masyarakat bersangkutan. Sehingga petani di pedesaan mengalami mixed ethic, pada satu sisi berorientasi kepada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain harus berorientasi kepada keuntungan yang maksimal. Kedua etika tersebut “dimainkan” oleh petani sebagai upaya membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan

Fadjar (2009) membuktikan bahwa pada petani kakao menerapkan strategi amphibian, dimana walaupun pengaruh kapitalisme telah merembes (masuk sedikit demi sedikit) namun nilai-nilai tradisional tidak sepenuhnya ditinggalkan.

Nilai-nilai subsistensi melekat pada aktifitas produksi (on farm) baik pada komoditas padi maupun kakao. Pada sisi yang lain, semangat kapitalisme sangat menonjol pada proses penjualan hasil produksi kebun kakao. Kakao merupakan komoditas yang berorientasi pada pasar yang diperlukan sebagai komoditas baku bagi industry yang berada di luar komunitas petani.

Oleh karena itu, kajian strategi nafkah menjadi penting dilakukan sebagai

(22)

dalam merespon berbagai kondisi. Beberapa kondisi tersebut antara lain; yaitu:

pertama, risiko yang melekat pada karakteristik komoditas itu sendiri, rentan terhadap perubahan cuaca dan iklim. Kedua, pada sisi lain mereka juga dihadapkan kepada sistem ekonomi yang dikendalikan oleh pasar. Kemampuan melakukan adaptasi tersebut sebagai upaya untuk menciptakan sustainable livelihood, yang harus mampu: (1) beradaptasi dengan shock dan tekanan; (2) memelihara kapabilitas dan asset-aset yang dimiliki; dan (3) menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya (Chambers dan Conway, 1992). Makna berkelanjutan tidak sekedar secara ekonomi, tetapi juga ekologi dan sosial.

1.2. Perumusan Masalah

Pengentasan kemiskinan merupakan prioritas penting dalam pembangunan bahkan telah menjadi agenda global. Namun demikian, agenda tersebut kurang memberikan hasil yang memuaskan, bahkan ada kecederungan dibeberapa wilayah mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan adanya pemikiran yang reduksionis dan terlalu menyederhanakan permasalahan orang miskin. Para pakar ekonomi, mengekspresikan kemiskinan dalam dominasi income-poverty. Padahal, orang miskin bersifat lokal, komplek, beragam, dan dinamis. Banyak dimensi penting yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: inferioritas, pengasingan, kerentanan, perampasan, ketidakberdayaan, dan penghinaan (Chambers, 1995).

Salah satu pendekatan dalam memahami kemiskinan adalah sustainable livelihood. Pendekatan ini tidak hanya berbicara mengenai pendapatan (income poverty) dan pekerjaan (jobs) tetapi lebih holistik dengan memahami bagaimana kehidupan orang miskin, apa prioritas hidup mereka, dan apa yang dapat membantu mereka. Dengan kata lain, memahami orang miskin harus bersifat komprehensif, dengan berbagai elemen penting yang harus dipahami secara tepat dan benar, seperti: (a) siapa orang miskin itu?; (b) di mana mereka tinggal?; (c) mengapa mereka miskin?; (d) mengapa mereka tetap miskin?; (e) bagaimana persepsi mereka mengenai apa yang dimaksud dengan “miskin“ ?; dan (f) bagaimana usaha mereka sendiri untuk mengatasinya?.

(23)

Banyak kajian yang dilakukan terkait dengan bagaimana cara masyarakat dalam upaya bertahan dan memperbaiki kehidupannya. Geertz (1976) membuktikan bagaimana pola adaptasi yang dilakukan oleh petani Jawa dengan melakukan budidaya padi sawah. Teknologi yang masuk kepada masyarakat (pupuk, intensifikasi pertanian) ternyata tidak mampu mengubah “nilai tertinggi dari masyarakat” sehingga kemudian yang terjadi adalah masyarakat melakukan perubahan tetapi tidak bersifat fundamental. Akibatnya, dikataan Geertz sebagai involusi (perubahan ke dalam). Hayami dan Kikuchi (1982) juga membuktikan kelembagaan (pranata) telah mencegah polarisasi akibat pengaruh arus modernisasi. Modernisasi ternyata tidak menyebabkan pengkutuban kelas melainkan diferensiasi. Social mechanism petani melalui hubungan patron-klien ternyata menjadi media untuk share of poverty. Melalui media tersebut, petani kelas bawah juga ikut menikmati keuntungan dari kekayaan petani kelas atas guna mencukupi kebutuhan subsistensinya.

Penelitian White (1973) yang dikutip Sajogyo (1990) menyatakan bahwa dalam kondisi lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani bertahan hidup dengan melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah:

(1) terjadi (sebagian) proses “orang terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses “orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian)”, dimana imbalan di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah (miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup. Sajogyo (1998) menyebut sebagai pola nafkah ganda.

Keberagaman dan kompleksitas strategi nafkah yang dibangun oleh petani juga dipengaruhi oleh setting ekologi yang berbeda. Dharmawan (2001) membuktikan bahwa pada pedesaan pegunungan di Jawa Barat dengan kondisi jumlah penduduk yang padat menunjukkan adanya strategi nafkah yang berbasis pada diversifikasi sumber nafkah di luar pertanian melalui alokasi pembagian tenaga kerja keluarga. Sedangkan pedesaan pegunungan di Kalimantan Barat memperlihatkan strategi nafkah yang memusatkan diri pada aktifitas pertanian

(24)

Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa petani sangat dinamis, beragam, dan memiliki respon yang berbeda dalam menghadapi berbagai perubahan baik kebijakan pembangunan maupun kondisi sosio-ekologi. Respon tersebut akan menggerakkan dan “memainkan” sumberdaya yang dimiliki baik berupa modal alam, modal fisik, modal SDM, modal financial, dan modal social (Conway dan Chambers, 1992) yang dapat berupa berupa tangible dan intangible assets. Karena pada hakikatnya sebagian besar rumahtangga pedesaan pada umumnya tidak dapat menghindar dari resiko, apakah yang disebabkan oleh manusia atau karena faktor lingkungan (Ellis, 2000).

Pada petani tembakau berhadapan dengan beberapa risiko, yaitu: pertama, karena tembakau merupakan tanaman bebas yang diusahakan dan diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhubungan langsung dengan pasar, akibatnya sangat rentan terhadap fluktuasi harga yang juga dipengaruhi oleh beberapa aktor mulai dari tengkulak/juragan, grader5 hingga pabrik. Kedua, pertanian tembakau juga sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim.

Pada sisi yang lain, luas lahan pertanian sebagai basis kehidupan utama semakin terfragmentasi karena diwariskan kepada generasi berikutnya.

Untuk menghadapi berbagai risiko tersebut, rumahtangga petani akan mengelola struktur nafkah sehingga mampu meminimalkan resiko, tergantung kepada sumberdaya yang dimiliki. Dalam upaya memperjuangkan kehidupan ekonomi akibat berbagai risiko tersebut, rumahtangga petani biasanya akan melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan sosial mereka dalam upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup.

Secara luas bahwa adanya diversifikasi nafkah tidak sekedar untuk bertahan hidup, yang dikonotasikan sebagai resistensi, artinya seolah-olah tidak berkembang. Oleh karena itu, bahwa strategi nafkah selain untuk bertahan hidup tetapi juga berusaha memperbaiki standar hidup (Ellis, 1998; Redclift, 1986).

      

5 Pedagang besar yang dipercaya oleh pabrik rokok untuk mengumpulkan hasil tembakau baik dari petani maupun pedagang.Tugas grader adalah menentukan kualitas tembakau (A,B,C,D,E,F,G,H, dst) sehingga tembakau yang akan disetorkan ke pabrik benar-benar dapat terjamin kualitasnya. Misalnya: pada PT. Dj.

terdapat 8 grader yaitu: kode TKG dengan grader Bah C; OKT (Bah Cn); LYG (Bah Wwk); JJS (Bbg);

USB (Bah Sbn); KHD (Bah Jg); OKH (Bah KH); dan KIT (Bah Ecg)

(25)

Sistem nafkah yang dibangun sangat dipengaruhi oleh etika moral petani baik pada level individu, rumahtangga, hingga komunitas. Etika moral akan mendorong petani untuk berpijak pada basis sosial-kolektif ataukah individual- materialism dalam membentuk strategi nafkahnya. Etika Sosial-kolektif akan membentuk sistem nafkah yang berorientasi kepada terbentuknya jaminan sosial komunitas. Sementara etika individual-materialism akan bermuara pada tindakan ekonomi yang berbasis rasional instrumental (orientasi pada tujuan memaksimalkan keuntungan). Mendasarkan diri pada etika moral inilah dapat dilihat sumberdaya apa yang paling dominan sebagai katup penyelamat terhadap berbagai risiko yang dihadapi oleh rumahtangga petani tembakau.

Pertanyaan yang kemudian muncul dalam penelitian ini adalah:

1. Etika moral ekonomi apa yang melandasi petani dalam membangun sistem nafkahnya?;

2. Bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani?;

3. Kelembagaan apa saja yang dibangun sebagai implementasi dari sistem nafkah rumahtangga petani?;

4. Sejauh mana strategi nafkah yang diterapkan dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood)?.

1.3. Tujuan Penelitian

Mendasarkan diri pada latar belakang dan permasalahan, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi dan menganalisis etika moral ekonomi apa yang melandasi petani dalam membangun sistem nafkahnya;

2. Menganalisis bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani;

3. Menganalisis kelembagaan apa saja yang dibangun sebagai implementasi dari sistem nafkah rumahtangga petani;

4. Menganalisis sejauh mana strategi nafkah yang diterapkan dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood).

(26)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu mengeksplorasi dinamika sistem nafkah rumahtangga petani tembakau yang bersifat dinamis, khas, dan kompleks;

sehingga dapat berkontribusi kepada:

1. Pengambil kebijakan, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai dinamika rumahtangga petani tembakau dalam upaya berjuang untuk bertahan dan meningkatkan standar hidupnya. Implikasinya, berbagai kebijakan dalam proses pembangunan senantian berpijak kepada kondisi khas masing-masing wilayah dan berorientasi pada basic-need petani.

2. Dunia akademik, diharapkan dapat menyumbangkan referensi baru dalam khasanah penelitian tentang strategi nafkah (livelihood strategy) spesifik pada komunitas petani tembakau.

(27)

II. PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Teori Tindakan Ekonomi

Dilihat dari segi tindakan ekonomi, dalam ekonomi (mikro), pelaku diasumsikan mempunyai kondisi yang tetap (stabil) dan ditentukan oleh satuan pilihannya dan alternatif tindakan untuk memaksimalkan utility atau profit. Ini dikatakan sebagai tindakan/pilihan rasional (rational choice). Berbeda dengan sosiologi, karena pelaku memiliki berbagai kemungkinan dalam melakukan tindakan, seperti yang diillustrasikan Weber, bahwa tindakan ekonomi dapat berarti rasional, tradisional, atau spekulatif (irrational). Hal ini penting, karena ilmu ekonomi tidak memberi tempat pada tindakan tradisional (Smelser dan Swedberg, 1994).

Selanjutnya tindakan ekonomi dilakukan dengan efisien yang berkaitan dengan sumberdaya yang langka. Sedangkan sosiologi memiliki pandangan yang lebih luas, sebagaimana yang dikemukakan Weber, bahwa secara konvensional memaksimalkan ‘utility’ dikatakan sebagai terminologinya kuantitatif atau dianggap sebagai “rasional formal”. Dalam sosiologi, juga dikenal “rasional substantif”, yang mengacu pada pengalokasian dengan sejumlah prinsip seperti loyalitas komunal atau nilai-nilai yang luhur. Sehingga disini rasionalitas dipandang oleh ahli ekonomi sebagai sebuah asumsi, sedangkan dalam sosiologi, rasionalitas dipandang sebagai sebuah variabel (Smelser dan Swedberg, 1994).

Weber menjelaskan bagaimana kategori sosiologi tentang tindakan ekonomi. Bagi Weber, tindakan akan dikatakan menjadi “berorientasi secara ekonomi” (economically oriented), sepanjang itu sesuai dengan makna subjektifnya, yang difokuskan pada pemenuhan terhadap suatu kebutuhan atau utility. Juga dikatakan bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan yang oleh aktor dianggap aman bagi kontrol aktor atas sumberdaya, terutama yang berorientasi ekonomi.

(28)

Menurut Weber yang dikutip oleh Damsar (2002) bahwa: (1) tindakan ekonomi adalah tindakan social; (2) tindakan ekonomi selalu melibatkan makna;

dan (3) tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan. Tindakan ekonomi diinspirasikan oleh custom (habit), convention (norma), dan interest, artinya tindakan ekonomi dapat berupa rasional, tradisional, dan spekulatif-rasional. Hal inilah yang membedakan dengan ilmu ekonomi yang tidak memberikan tempat bagi tindakan tradisional. Tindakan ekonomi merupakan hubungan dua aktor atau lebih yang berorientasi satu sama lain, membentuk hubungan ekonomi. Hubungan tersebut dapat mengambil beragam ekspresi, mencakup konflik, kompetisi, dan upaya untuk menguasai seseorang (kekuasaan). Melalui analisa tindakan ekonominya Weber tersebut dapat jelaskan bagaimana sebenarnya rumahtangga petani melakukan aktivitas ekonominya dalam rangka bertahan dan meningkatkan taraf hidupnya yang didasarkan custom (habit), convention (norma), dan interest, artinya tindakan ekonomi tersebut didasari oleh rasionalitas, tradisional, dan spekulatif-rasional.

2.1.2. Konsep Petani

2.1.2.1. Tinjauan Petani: Sebuah Perspektif

Untuk memahami perilaku ekonomi rumahtangga petani, maka hal penting yang harus dipahami adalah bagaimana konsep petani itu sendiri. Kurtz (2000: 93- 124) mencoba memahami konsep petani berdasarkan dimensi-dimensi penting yang berkaitan dengan dunia petani. Keempat dimensi penting tersebut merupakan dasar para ahli untuk mendefinisikan petani. Keempat dimensi tersebut adalah: (1) petani sebagai “pengolah tanah di pedesaan (rural cultivator);

(2) komunitas petani yang bercirikan perilaku budaya yang jelas, membedakan dari pola budaya urban; (3) petani adalah komunitas desa yang tersubordinasi oleh pihak luar; dan (4) penguasaan/pemilikan lahan yang diolah petani. Berdasarkan dimensi-dimensi tersebut Kurtz kemudian membedakan para ahli kedalam lima kelompok, yaitu: minimalis, anthropologi, moral ekonomi, Marxian, dan Weberian. Kelima kelompok tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap petani. (lihat table 2.1.).

(29)

Tabel 2.1. Dimensi Konseptual untuk memahami Petani (peasant)

Dimensi Minimalist Anthro-

pologi

Ekonomi Moral

Marxian Weberian

1 Pengolah tanah pedesaan

2 Komunitas petani dengan budaya yang khas

3 Komunitas tersub-ordinasi

4 Penguasa/pemilik lahan

Banyaknya kajian Sangat banyak Banyak Sedang Sedang Sangat sedikit

Contoh Popkin (1979)

Lichbach (1994) Bates (1984, 1988) Teori pilihan rasional lainnya

Redfield (1955) Kroeber (1948) Banfield (1958)

Scott (1976) Magagna (1991) Kerkvliet (1977)

Wolf (1967)*

Paige (1975)

Moore (1966) Shanin (1982)

*untuk sementara konseptualisasinya Wolf dimasukkan dalam kelompok Marxian, walaupun terkadang argument theoriticalnya masuk dalam kelompok ekonomi moral

Sumber: dikutip dari Kurtz (2000:96)

Kelompok Minimalis memandang petani sebagai pengolah tanah di pedesaan (rural cultivator), dimana mereka berpegang kuat pada teori pilihan rasional. Petani dianggap tidak berbeda dari perilaku ekonomi lainnya.

Anthropologi menambahkan satu dimensi penting lainnya yaitu komunitas petani yang bercirikan perilaku budaya yang khas sehingga berbeda dari pola budaya urban. Kelompok ekonomi moral menambahkan satu dimensi lagi yaitu petani merupakan komunitas yang tersubordinasi kuat oleh kekuasaan dari luar. Selain sebagai rural cultivator, komunitas tersubordinasi, kelompok Marxian menambahkan satu aspek penting yaitu dimensi penguasaan/pemilikan lahan yang diolah petani. Sedangkan kelompok Weberian mengacu keempat dimensi tersebut

2.1.2.2. Rumahtangga sebagai Basis Ekonomi Petani

Banyak para ilmuwan yang berusaha memahami konsep petani berdasarkan pengalaman empirisnya. Salah satu ciri penting dari petani adalah basis ekonominya adalah rumahtangga. Sahlin yang dikutip Wolf (1983:3-4) menyatakan bahwa di dalam perekonomian-perekonomian primitive, bagian terbesar dari hasil produksi dimaksudkan untuk digunakan oleh penghasil- penghasilnya sendiri atau untuk menunaikan kwajiban-kwajiban kekerabatan, dan

(30)

adalah bahwa penguasaan de facto atas sarana-sarana produksi di dalam masyarakat primitive terdesentralisasi, bersifat local dan kekeluargaan.

Redfield (1985) mendefinisikan petani sebagai produsen pertanian dengan skala kecil, peralatannya sederhana, dan tenaga kerja berasal dari keluarga, produk utama yang dihasilkan sebagian besar untuk konsumsi sendiri, dan untuk memenuhi kwajiban-kwajiban kepada kekuatan ekonomi dan politik. Petani merupakan masyarakat dengan nilai setengah desa setengah kota. Ada proses reinterpretasi dan reintegrasi dengan elemen-elemen yang dipandang lebih tinggi dari mereka (kota)-“tradisi agung”.

Ellis (1993) petani adalah rumahtangga yang sumber nafkahnya utamanya berasal dari pertanian, tenaga kerja utama produksi pertaniannya dari keluarga, dan berhubungan dengan pasar secara tidak sempurna. Mendasarkan diri pada penelitiannya di masyarakat nelayan Malaysia, Firth (1966) mendefinisikan petani sebagai sebuah sistem produksi skala kecil dengan teknologi sederhana untuk pemenuhan kebutuhan pangan sendiri dengan basis ekonomi pada rumahtangga.

Chayanov (1986) mengambarkan ekonomi rumah tangga petani dengan houseshold utility maximization dimana adanya upaya memaksimalkan potensi ekonomi rumah tangga melalui tenaga kerja rumah tangga tanpa bayar, dan memaksimalkan fungsi lahan pertanian yang sempit. Ekonomi usaha tani petani adalah berbasis pada perekonomian keluarga (family economy) sehingga semua keluarga tani lebih mudah berhubungan dengan tanah untuk dikerjakan. Seluruh organisasinya ditentukan oleh ukuran dan komposisi keluarga petani itu dan oleh tuntutan-tuntutan konsumsinya dengan jumlah tangan yang bekerja. Usahatani keluarga tidak bersifat profit maximation, melainkan membangun dan menjaga keseimbangan “consumer-labour ratio” (C/L). Apabila kebutuhan konsumsi rumahtangga tidak tercukupi dengan luasan lahan yang ada, maka mereka akan mengolah tanah lebih intensif (menambah jumlah jam kerja). Hasil pertanian hanya digunakan untuk konsumsi keluarga dan kalau dijual harga ditentukan oleh pasar.

Wolf (1983:19-20) melihat kaum tani dengan cara yang berbeda. Wolf melihat bahwa kaum tani adalah suatu kelompok masyarakat yang secara terpaksa

(31)

mempertahankan suatu keseimbangan antara tuntutan-tuntutan orang-orang luar dan akan mengalami ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh perjuangan untuk mempertahankan keseimbangan itu. Orang luar pertama-tama memandang petani pedesaan sebagai suatu sumber tenaga kerja dan barang yang dapat menambah dana kekuasaannya (fund of power). Akan tetapi petani adalah juga pelaku ekonomi (economic agent) dan kepala rumahtangga. Tanahnya adalah satu unit ekonomi dan rumahtangga.

Secara lebih rinci, Shanin (1966) mencirikan petani dengan beberapa karakteristik, yaitu: (1) Ciri-ciri ekonomi petani ditentukan oleh keterkaitan petani dengan lahan dan karakteristik produksi pertanian yang khas; (2) usahatani keluarga adalah unit dasar dari kepemilikan petani, produksi, konsumsi, dan kehidupan social; (3) dalam kegiatan ekonomi usahatani, tidak terlalu memperhatikan spesialisasi kerja; (4) budaya tradisional petani sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat desa; dan (5) didominasi oleh pihak luar melalui:

land-tenure, penyalahgunaan dalam kekuatan pasar.

Berdasarkan berbagai pemikiran beberapa ahli (Wolf, 1983; Redfield, 1985; Chayanov, 1986; Ellis, 1993; dan Shanin,1966) memiliki pandangan yang sama bahwa basis ekonomi petani adalah pada level rumahtangga. Ortiz dalam Carrier (2005) menyatakan bahwa pada masyarakat non-Barat basis sumberdaya dikelola pada unit rumahtangga dan komunitas yang berbasis kekerabatan.

Keputusan dalam kegiatan produksi dan investasi lebih cenderung dilakukan oleh rumahtangga dibandingkan pada level individu.

2.1.3. Strategi Nafkah Rumahtangga: Sebuah Tinjauan Konseptual

Konsep strategi bertahan hidup di kalangan ilmuwan barat pertama kali digunakan oleh Duque dan Pastrana (1973) dalam studi mereka mengenai keluarga miskin di Santiago, Chili. Semenjak itu, konsep tersebut menjadi sangat popular dan digunakan di dalam referensi untuk rasionalitas strategi dalam meminimalkan resiko di dalam ekonomi yang tidak menentu (Crow, 1989).

Strategi nafkah rumahtangga di kalangan ilmuwan Barat berkembang dalam kegiatan semua study Amerika Latin dan Afrika dimana ekonomi informal paling

(32)

tidak sama pentingnya dengan ekonomi formal dalam pemahaman perilaku ekonomi sehari-hari diantara masyarakat miskin di dalam upaya bertahan hidup akibat lingkungan yang semakin berisiko (Portes, 1994; Crow, 1989; Owusu;

2007).

Namun demikian, sector informal di Afrika masih menjadi perdebatan paling tidak pihak-pihak yang menganut pandangan reformist, institutionalist, dan neo-marxist. Kaum reformist memandang bahwa sector informal adalah solusi bagi pengangguran di Afrika dan mendorong pemerintah untuk mendukungnya.

Secara umum kaum institutionalist tidak setuju dengan pandangan kaum reformis.

Mereka menyalahkan intervensi pemerintah untuk pengembangan sector informal dan melihat spontanitas orang dan tanggapan kreatif terlalu berlebihan dan tidak perlu diatur dalam regulasi oleh Negara (de soto, 1989; World Bank 1989 yang dikutip oleh Owusu, 2007). Kaum neo-marxis tidak setuju akan pendapat pandangan kaum reformis dan institutionalis perihal pentingnya pemerintah dalam memberikan manfaat kepada kaum miskin. Mereka lebih memandang bahwa kemiskinan pada sector informal merupakan hasil dari hubungan yang eksploitatif dengan produksi dan distribusi kapitalis.

Menurut Redclift (1986) orang-orang dalam posisi yang termarginalkan seperti petani, kelompok usaha kecil dan keluarga petani dikatakan memiliki strategi di dalam bertahan hidup yang sering disebut sebagai “strategi survival”

atau “strategi coping”. Menurut Meert, Mistiaen, dan Kesteloot (1997) yang dikutip oleh Owusu (2007) Secara umum, strategi bertahan hidup (survival strategy) didefinisikan sebagai tindakan ekonomi yang disengaja oleh rumahtangga dengan motivasi yang tinggi untuk memuaskan sebagian besar kebutuhan dasar manusia, paling tidak pada level yang minimum, sesuai dengan norma social dan budaya masyarakat.

Dalam khasanah penelitian mengenai strategi nafkah, Dharmawan (2007) membandingkan dua kelompok studi yang concern terhadap kajian sistem penghidupan, yaitu Mazhab Bogor dan Mazhab Sussex. Mazhab Bogor dikembangkan oleh Sajogyo, White, Dharmawan, dan ilmuwan sosial dari IPB.

Sedangkan mazhab Sussex dipelopori oleh Chambers dan Conway, de Haan,

(33)

Bebbington dan Batterbury, Scoones, Ellis, dan lainnya. Secara kesejarahan mazhab Bogor muncul sebagai respon-aktif atas keprihatinannya pada persoalan kemiskinan dan kemunduran ekonomi pedesaan yang disebabkan oleh ketidakmampuan petani kecil dalam menyelaraskan diri pada proses-proses modernisasi pertanian berteknologi padat modal via pembangunan di Indonesia dan Jawa. Sementara pada mazhab Sussex, studi livelihood dilatarbelakangi adanya keprihatinan terhadap kehancuran yang menghempaskan komunitas lokal pada derajad ketidakpastian nafkah yang sangat dalam.

Mazhab Bogor menggunakan tradisi pemikiran strukturalisme-Marxian dimana faktor-faktor sosial-ekonomi (seperti lahan, kapital, jumlah tenaga kerja, struktur rumahtangga) menjadi determinan penting atas munculnya beragam tipe strategi nafkah di pedesaan. Sementara mazhab Sussex kebih banyak menggunakan pendekatan sosio-ekologis dalam menjelaskan fenomena kemiskinan dan sistem penghidupan. Secara metotodologi, kedua mazhab menganut aliran pendekatan yang mirip, yaitu: kualitatif-konstruktuf-reflektif, dimana obyektifitas dibangun melalui apresiasi pemahaman subyektif dari orang miskin yang diamati di lapangan (Dharmawan, 2007)

Kajian White yang dikutip Sajogyo (1990) telah melihat bahwa kondisi lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani berusaha untuk melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah: (1) terjadi (sebagian) proses “orang terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses

“orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian)”, dimana imbalan di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah (miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup.

Ide pemikiran Sajogyo tentang studi nafkah non pertanian yang seringkali diberi merupakan spesifik untuk kondisi petani di Indonesia terutama di Jawa.

Berbagai penelitian ini dilatarbelakangi adanya keprihatinan atas gejala perubahan social terutama perubahan struktur agraria yang mendorong adanya upaya

(34)

tersebut, akhirnya muncul ide dan pemikiran industrialisasi pedesaan. Ide tersebut dipublikasikan melalui “symposium industrialisasi pedesaan” yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Jakarta pada tanggal 18 Desember 1989.

Industrialisasi pedesaan tersebut muncul paling tidak dengan beberapa alasan, yaitu: (1) masih banyaknya jumlah penduduk yang menggantungkan diri pada sector pertanian, (2) sebagian besar berpenghasilan dari skala usaha yang kecil, dan (3) menurunnya dasa absorbsi sector pertanian terhadap tenaga kerja.

Melalui industrialisasi pedesaan tersebut paling tidak berfungsi untuk: (1) mendorong pertumbuhan pedesaan dengan mendiversifikasi sumber pendapatan;

(2) meningkatkan dampak pertumbuhan permintaan di dalam atau di luar suatu daerah; (3) meningkatkan kesempatan kerja baru; (4) mendekatkan hubungan fungsional antara pertanian dengan sector urban/industry; (5) meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan penerimaan industry; dan (6) mengurangi kemiskinan pedesaan, ekonomi uang, dan pasar (Usman dalam Sajogyo, 1990).

Dalam ranah penelitian, strategi rumahtangga dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) sebagai konsep; (2) sebagai metode analisis; dan (3) sebagai unit analisis (Wallace, 2002). Pertama: Sebagai konsep, strategi rumahtangga dapat didefinisikan dalam dua pengertian: (1) bahwa rumahtangga benar-benar duduk dan merencanakan aktivitas mereka dalam menghadapi ketidakpastian-“strong definition”; (2) rumahtangga mengorganisasikan berbagai sumber nafkah baik formal, non formal, dan tenaga kerja rumahtangga untuk bertahan hidup baik direncanakan maupun tidak “weak definition” (Warde, 1990 yang dikutip Wallace, 2002). Kedua: Sebagai metode analisis, terutama dipergunakan untuk memahami kombinasi formal, non-formal, dan pekerjaan rumahtangga dan pembagian kerja diantara mereka. Kombinasi ini biasanya hanya terbatas pada aktivitas yang tidak diatur oleh Negara dan kadang-kadang berbentuk resiprositas atau pertukaran yang tidak dibayar diantara rumahtangga.

Ketiga: sebagai unit analisis, digunakan untuk memahami perilaku ekonomi pada level rumahtangga. Menurut White (1980) alasan rumahtangga menjadi dasar unit

(35)

analisis adalah bahwa rumahtangga adalah dasar unit produksi, reproduksi, konsumsi, seremonial, dan interaksi politik. Hal ini senada dengan pernyataan Chayanov (1966) bahwa pangkal tolak untuk memahami perilaku ekonomi petani adalah melihat rumahtangga petani sebagai unit produksi sekaligus sebagai unit konsumsi.

2.1.4. Basis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani

Dalam upaya memperjuangkan kehidupan ekonominya rumahtangga petani di pedesaan biasanya akan melakukan diversifikasi sumber nafkah yaitu proses yang dilakukan oleh keluarga pedesaan untuk melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan social mereka dalam upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup. Secara luas bahwa adanya diversifikasi nafkah tidak sekedar untuk bertahan hidup, yang dikonotasikan sebagai resistensi, artinya seolah-olah tidak berkembang. Oleh karena itu, bahwa strategi nafkah selain bertahan hidup tetapi juga berusaha memperbaiki standar hidup (Ellis, 1998; Redclift, 1986).

Menurut Ellis (1998) pembentuk strategi nafkah dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu pertama: berasal dari on-farm; merupakan strategi nafkah yang didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dll). Kedua: berasal dari off-farm, yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain. Ketiga: berasal dari non farm, yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi 5 yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, (3) pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; dan (5) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri. Namun, pada kenyataanya klasifikasi tersebut hanya dibagi menjadi dua yaitu dari sector pertanian (on farm dan off farm) dan sector non pertanian (non farm).

Beberapa hal penting yang mendorong terjadinya diversifikasi sumber

(36)

bersifat musiman maka untuk mengisi waktu tunggu panen atau musim panen berikutnya, maka hal ini mendorong petani untuk mencari pekerjaan di luar sektor petanian. Kedua; perbedaan pasar tenaga kerja, hal ini mendorong pemanfaatan berbagai peluang kerja tersebut untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya atau memperbaiki standar hidupnya. Ketiga; strategi mengurangi risiko, melalui berbagi upaya yang dilakukan diharapkan petani mampu menghindari risiko kelaparan, kebutuhan subsistensiya tidak terpenuhi, dan risiko lainnya. Keempat;

sebagai perilaku penyesesuain, maksud penyesesuain disini adalah untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan upaya yang dilakukan sehingga tidak akan terjadi kekurangan. Kelima; strategi menabung dan investasi sementara, berbagai strategi nafkah yang dilakukan dalam upaya memberikan kenyamanan dan keamanan dalam bentuk tabungan atau investasi walaupun bersifat sementara, misalnya: beternak sapi, dianggap sebagai tabungan yang apabila sewaktu-waktu dibutuhkan dapat dijual (Ellis, 1998).

Dalam kerangka untuk bertahan hidup dan meningkatkan standar hidup tersebut, masyarakat melakukan berbagai strategi diantaranya adalah: (1) meningkatkan produktivitas lahan seperti intensifikasi dan ekstensifikasi pada lahan pertanian, sementara pada masyarakat nelayan berusaha meningkatkan teknologi sehingga lebih mudah menangkap ikan; (2) adanya pembagian tugas untuk mencari nafkah antara suami, istri, dan anak; (3) menjalin kerjasama dengan

anggota komunitas dalam upaya mempertahankan jaminan sosial masyarakat;

(4) untuk tetap survive juga menjalin hubungan patron-klien; (5) melakukan migrasi untuk bekerja baik ke kota maupun menjadi TKI ke luar negeri (Ellis, 1998).

Menurut Chambers (1995), beberapa cara yang dipergunakan oleh rumahtangga dalam kerangka bertahan hidup antara lain: (1) mutual help dengan tetangga atau saudara, (2) kontrak lepas, (3) pekerjaan sambilan, (4) pekerjaan khusus (tukang cukur, tukang kayu, penjahit), (5) memanfaatkan tenaga kerja anak, (6) pekerjaan kerajinan, (7) menggadaikan dan menjual asset, (8) pemisahan anggota keluarga (menitipkan anak pada kerabat), (9) migrasi musiman, (10) remitten, (11) penghematan makanan dan konsumsi, dan lainnya.

(37)

Sementara menurut pemikiran Barat, strategi nafkah meliputi asset (modal alam, modal fisik, modal SDM, modal financial, dan modal social), aktifitas, dan akses terhadap asset-aset tersebut yang dikombinasikan untuk menentukan kehidupan bagi individu maupun rumah tangga (Conway dan Chambers, 1992).

Modal alam (natural capital) terdiri dari tanah, air, dan sumberdaya biologi yang di gunakan oleh manusia sebagai sarana bertahan hidup. Modal alam lebih banyak mengacu pada sumber daya lingkungan (environtmental resources) baik yang dapat diperbaharui atau tidak. Modal Fisik (Physical Capital) menyangkut modal yang diciptakan oleh proses ekonomi produksi seperti: bangunan, irigasi, jalan, mesin, dan lainnya. Modal sumber daya manusia (Human Capital) mengacu kepada sumber daya tenaga kerja yang ada pada rumah tangga seperti:

pendidikan, keterampilan, dan kesehatan. Modal financial (Financial Capital and substitutes) mengacu kepada persediaan uang yang telah diakses oleh rumah tangga misalnya: tabungan, akses untuk mendapatkan kredit dalam bentuk bantuan. Modal Sosial (Social Capital) mencakup adanya kepercayaan (trust), clientization, hubungan kekerabatan, suku, daerah asal, almamater, dan lain sebagainya (Ellis, 2000). Selain lima asset yang disebut sebagai pentagon asset, Odero (2007) menambahkan satu asset penting lainnya yaitu asset informasi (information capital).

Menurut Chambers (1995), bahwa strategi nafkah rumahtangga lebih mengacu kepada sarana untuk memperoleh kehidupan, termasuk kemampuan berupa tangible assets dan intangible assets. Inti dari livelihood dapat dinyatakan sebagai kehidupan (a living). Melalui campur tangan manusia, asset-asset nyata (tangible assets) dan asset tidak nyata (intangible assets) berkontribusi terhadap kehidupan (a living) (lihat gambar 2.1).

(38)

Gambar 2.1. Komponen dan bagan alir nafkah rumah tangga

Tangible assets di kendalikan oleh rumah tangga dalam dua bentuk, yaitu:

(1) simpanan (store), contoh: stok makanan, simpanan berharga seperti emas dan perhiasan, tabungan dan (2) dalam bentuk sumber daya (resources) seperti: lahan, air, pohon, ternak, peralatan pertanian, alat dan perkakas domestic. Intangible assets terdiri dari claims yang dapat dibuat untuk material, moral atau pendukung lainnya dan access adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya, simpanan atau jasa, atau untuk memperoleh informasi, material, teknologi, kesempatan kerja, makanan atau pendapatan

Untuk mempermudah pemahaman mengenai livelihood, scoone (1998) membuat sebuah kerangka pemikiran. Kerangka pemikiran tersebut mencoba mengkaitkan antara kondisi, konteks, dan berbagai kecenderungan (trends) mempengaruhi sumber nafkah (natural capital, financial capital, human capital, social capital, dan lainnya). Perubahan pada sumber nafkah juga mempengaruhi struktur organisasi dan proses institusional untuk kemudian berkorelasi dengan strategi nafkah dan muaranya berpengaruh terhadap keberlanjutan sumber nafkah (lihat gambar 2.2).

Livelihood capabilities

Stores and

Resources Claims and

access People

Tangible Assets Intangible Assets

A Living

(39)

Policy  Contexts, conditions

and trends Livelihood resources

Institutional processes &

organisational structure

Livelihood

strategies Sustainable livelihood outcome

Livelihood History

Politics Macro- economic condition Term of Trade

Climate Agro-ecology

Demography Social differentiation

Natural capital Economic/

Financial capital Human capital

Social capital And others…

Agricultural intensification- Exstensification

Livelihood diversification

Migration

1. Increased number of working days created

2. Poverty reduced 3. Well-being and

capabilities improved Institutions and

Organizations

Sustainability 4. Livelihood

adaptation, vulnerability and resilience enhanced 5. Natural resource

base sustainability ensured

Contextual analysis of conditions and

trends and assessment of policy setting

Analysis of livelihood resources; trade

off, combinations,

sequences, trends

Analysis of institutional/organizati

onal influences on access to livelihood

resources and composition of livelihood strategy

portfolio

Analysis of livelihood

strategy portfolios and

pathways

Analysis of out comes and trade-

offs

Sumber : Scoones, 1998

Gambar 2.2. Framework Strategi Nafkah

Dalam kaitan dengan asset-atau yang sering disebut sebagai capital-tidak secara sederhana sumber daya (resources) yang ada langsung digunakan di dalam membangun nafkah (livelihood). Berbagai asset yang ada akan menentukan bagaimana strategi nafkah dibentuk dalam rangka meningkatkan kesejahteraan karena asset (capital) tersebut memberikan orang kemampuan (capability).

Melalui berbagai kemampuan tersebut akan membuat kehidupan menjadi lebih berarti dan berkelanjutan (Bebbington, 1999) (lihat gambar 2.3).

Gambar

Tabel 2.1. Dimensi Konseptual untuk memahami Petani (peasant)
Gambar 2.1. Komponen dan bagan alir nafkah rumah tangga
Gambar 2.2. Framework Strategi Nafkah
Gambar 2.3. Asset, livelihood, dan kemiskinan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 1 menunjukkan bahwa proses pemisahan menggunakan kolom gelas berisi resin Ln sebanyak 2 g dengan ukuran partikel 50 –

Peneliti ingin mengetahui apakah tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan mengenai patah tulang, tingkat pengetahuan mengenai Jamkesmas, keterjangkauan sarana kesehatan,

Tidak banyak kajian terdahulu mengenai peranan yang dimainkan oleh pihak bank dalam pembayaran zakat pelanggan dan menurut Choudhurry (2008), peranan pihak perbankan

Pembagian area harus sesuai dengan aktivitasnya, seperti area cashier, area display, area espresso, area manual brew, penyimpanan dan area cuci sehingga alur

Untuk itu rumusan permasalahannya adalah bahwa pada saat berakhirnya masa kerjasama BOT, nilai buku gedung perkantoran Menara Mandiri yang tercatat pada laporan keuangan Bank

Dalam penelitian ini, akan dilakukan analisis penerapan metode Median Filter dalam mengurangi citra digital yang menyangkut variasi ukuran pixel serta noise sehingga dapat

Perusahaan yang memproduksi massa, menghitung harga pokok produksinya dengan mengumpulkan biaya produksi untuk setiap proses selama jangka waktu tertentu cara

Penelitian ini diharapan dapat memberikan informasi mengenai populasi protozoa dan karakteristik fermentasi dalam rumen, kadar alantoin dalam urin, serta neraca nitrogen