• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Mengelola Tembakau, Warisan Orang Tua

V. PROFIL AGRO-EKOLOGI DAN SOSIO-BUDAYA

5.8. Kemampuan Mengelola Tembakau, Warisan Orang Tua

Kemampuan petani dalam melakukan kegiatan usaha tani sifatnya otodidak yang diperoleh dari orang tuanya. Mereka terbiasa membantu orang tuanya mengolah tanah, menanam, panen, dan memasarkan semenjak kecil.

Setelah menamatkan pendidikan tingkat Sekolah Dasar atau tidak lulus SD atau tidak sekolah menambah waktunya untuk belajar dari orang tuanya. Berbagai kebiasaan yang diwariskan orang tuanya tersebut, petani dilatih secara mandiri dengan sekaligus mendapatkan warisan berupan lahan pertanian.

Kebiasaan-kebiasaan tersebut disosialisasikan oleh orang tuanya untuk kemudian diadopsi oleh generasi berikutnya hingga sekarang. Rendahnya migrasi pemuda untuk mencari pekerjaan di luar daerah memaksa mereka harus belajar lebih sehingga menjadi petani sukses seperti generasi sebelumnya. Hasil warisan ilmu pengetahuan inilah yang membawa petani generasi sekarang bisa melangsungkan kehidupannya.

Ngt (53 tahun) mulai belajar mengelola tembakau semenjak umur 12 tahun tahun dengan ikut orang tua. Dan mulai tanam atau bertani tembakau sendiri dari tahun 1987 dengan luas lahan 1,5 Ha. Lahan itu berasal dari warisan orang tua seluas 0,5 Ha dan yang 1 Ha menyewa per musim/per tahun tanam. Memiliki 2 orang anak yaitu: (1) JL (26 tahun) sebagai kepala dusun dan ikut mengelola tanah bengkoknya; (2) BN (22 tahun) juga ikut membantu ayahnya mengelola tanah.

Jml (66 tahun) adalah salah satu petani kaya di desa Wonotirto.

Mendapatkan warisan tanah dari orang tuanya seluas 3 hektar. Memiliki dua orang anak laki-laki yang dididik untuk menjadi petani tembakau.

Lahan seluas 3 hektar tersebut dibagi kepada kedua anaknya, masing-masing 1,5 hektar. Sekarang kedua anaknya tersebut mengikuti jejak ayahnya menjadi petani tembakau dengan segenap warisan tanah dan ilmu mengelola tembakau yang telah didapatkan semenjak kecil.

Pola pewarisan tata cara mengelola tembakau secara turun temurun mendarah daging dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Mereka diajarkan

mulai dari pembibitan, pemupukan, panen, hingga pemasaran. Hal tersebut terjadi baik pada petani pada golongan miskin maupun kaya.

Untuk meningkatkan kualitas tembakau, pada tahun 2005-2006 PT. Jarum melakukan “kemitraan18” dengan menyewa konsultan pendamping untuk memperkenalkan teknologi baru mengenai usaha tani tembakau dengan kualitas dan harga yang tinggi. yang muncul setelah adanya inisiatif dari salah satu pabrik rokok yang membeli tembakau petani untuk mengenalkan sistem usaha tani yang berbeda. Konsultan pendamping tersebut kemudian melatih beberapa petani yang ditunjuk oleh beberapa grader. diantaranya adalah: KHD, USB, dan KIT.

Konsultan pendamping tersebut mendampingi petani selama 2 tahun, hingga kemudian dari petani KHD menggantikannya untuk didifusikan kepada petani lainnya. Keanggotaan “kemitraan” bersifat sukarela dan terbuka. Hingga saat ini tercatat sebanyak ± 400 petani yang telah tergabung dalam anggota kemitraan.

Kegiatan yang dilakukan adalah siapapun yang berminat ikut kemitraan mengikuti penyuluhan mengenai teknologi yang diterapkan. Selain teknik budidaya, juga diperkenalkan teknologi berupa pupuk KNO3 dan fertila. Harga Fertila setiap kwintal mencapai ± 800 ribu rupiah sedangkan harga KNO3 adalah 1,6 juta rupiah/kw. Setiap hektarnya dibutuhkan ± 4,5 kw fertila dan 1,5 kw KNO3. Sehingga untuk kedua input tersebut diperlukan sekitar 6 juta/hektar.

Beberapa kelebihan dari sistem tersebut antara lain: (1) produktifitas: dengan cara biasa 6-7 kwintal/hektar jika menggunakan teknologi ini bisa menjadi 8 kw/ha;

(2) harga, bisa mencapai 200 ribu s.d. 250 ribu per kg dibandingkan dengan cara tradisional (local) dengan harga 50 ribu s.d. 100 ribu. Harga tersebut sama dengan kualitas srintil.

Para petani anggota kemitraan tersebut kemudian membentuk semacam koperasi untuk penyediaan pupuk tersebut. Setiap anggota koperasi difasilitasi untuk mendapatkan fertile dan KNO3 dengan sistem pembayaran di belakang.

Pada saat pembayaran, anggota koperasi membayar harga pupuk dan bunganya (uang jasa membayarkan).

      

18 Bagi sebagian petani, istilah kemitraan ini tidak tepat karena tidak ada ikatan antara petani dengan grader atau perusahaan. Mereka hanya diberi pelatihan mengenai sistem budidaya tanaman. Sedangkan harga jual tergantung dari kualitas tembakau yang dihasilkan.

Teknik yang diperkenalkan tersebut merubah berbagai kebiasaan petani yang diperoleh secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah sistem tumpang sari tidak diperbolehkan karena akan mengganggu perkembangan daun tembakau. Sistem ini telah diterapkan sebagai upaya memberikan penghasilan alternative ketika tembakau mengalami kegagalan.

5.9.Pertanian tembakau dan daya serap tenaga kerja pedesaan

Mengusahakan tembakau memiliki karakteristik yang unik, diantaranya adalah perlunya masa tanam, panen, dan penjemuran yang tepat waktu. Berbagai aktivitas tersebut tidak bisa ditunda karena akan menyebabkan gagal panen, misalnya masa tanam yang terlambat akan menyebabkan tanaman tidak berkembang dengan baik karena kebutuhan air tidak tercukupi. Masa petik yang tidak tepat akan menyebabkan kualitas tembakau akan menurun atau bahkan tidak bisa dijual. Sementara menjemur pada saat hujan tiba akan menyebabkan kualitas tembakau menurun.

Hal ini menyebabkan diperlukannya tenaga kerja yang banyak pada musim tembakau. Bulan Pebruari-maret adalah aktifitas pertama yang dimulai dengan mencangkul lahan. Banyak petani berlahan sempit menuai pendapatan tambahan pada kegiatan ini, karena banyak petani berlahan sedang dan luas memerlukan tenaga mereka. Kurang lebih 1-2 bulan mereka berkecimpung dalam aktifitas mencangkul.

Menanam dan menyiangi juga memerlukan tenaga kerja yang relative banyak, tetapi tahap ini hanya berlangsung beberapa hari saja. Tenaga kerja yang banyak akan dibutuhkan kembali pada bulan Agustus-September. Bulan Agustus adalah masa petik pertama, yang kemudian dilanjutkan aktifitas mengeram dan merajang. Siklus ini berlangsung kurang lebih dua bulan. Saat merajang dan menjemur paling tidak dibutuhkan tenaga kerja 7 orang, 3 orang merajang dan 4 orang menjemur. Fenomena “impor” berdampak semakin banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan.

Sebagai ilustrasi berapa banyak tenaga kerja yang dibutuhkan oleh Swto (58 tahun) dengan lahan 3 hektar:

Aktifitas Jumlah tenaga kerja Waktu yang dibutuhkan

Mencangkul 10 orang 1,5 bulan

Menanam 10 orang 2 hari

Menyiangi 50 orang 2 hari

Munggel 1 orang 5 hari

Mrithili 10 orang 5 hari

Memetik daun 10 orang Sekali petik

Merajang 5 orang Sekali rajang

Menjemur 6 orang Sekali menjemur

Melinting 6 orang Sekali melinting

Aktifitas tersebut dilakukan selama enam bulan yaitu April s.d. September.

Pada tahap mencangkul hingga mrithili biasanya dikerjakan oleh petani di sekitar desa. Akibat kurangnya tenaga kerja dari wilayah desa sendiri, buruh tani diambil dari beberapa wilayah lain seperti Wonosobo dan Banjarnegara. Untuk kebutuhan Memetik, merajang, menjemur, dan melinting tembakau, Swto (58 tahun) memiliki buruh tani sebanyak 15-20 orang yang menginap dirumahnya selama kurang lebih 2 bulan.

Beberapa masyarakat desa juga ikut menikmati keuntungan dibalik hiruk-pikuknya pertembakauan di Wonotirto dan Campursari walaupun secara tidak langsung. Untuk menjemur, petani memerlukan rigen; sementara pada saat menjual, petani membutuhkan keranjang. Peluang ini dimanfaatkan oleh warga masyarakat untuk mensuplai barang-barang tersebut dan bagi mereka aktifitas ini mampu memberikan pendapatan tersendiri walaupun sifatnya musiman.

5.10. Perilaku Konsumtif

Musim tembakau adalah suatu waktu yang ditunggu oleh setiap rumahtangga di lereng Sindoro-Sumbing. Berbagai harapan akan cuaca mendukung dan harga tinggi menjadikan spirit untuk selalu bergelut dengan dunia pertembakauan. Mereka juga selalu berharap agar pulung pada musim tanam tahun ini akan jatuh pada dirinya. Bayangan masa keemasan tembakau masih

menjadi keinginan bagi setiap petani untuk terus berharap bisa mengulang kembali.

Ketika musim tembakau tiba dan cuaca mendukung, maka pada bulan Agustus-September (saat panen tembakau), banyak dealer yang datang ke desa untuk menawarkan produknya. Mereka mengatakan “tuku sepeda motor koyo tuku krupuk, endog dirego sawo, tongkol dirego gesek” (membeli sepeda motor seperti membeli kerupuk, telor dihargai seperti buah sawo, ikan tongkol dihargai seperti ikan teri). Ungkapan ini menekankan bahwa pada saat panen tembakau, para petani tidak terlalu menghiraukan harga barang-barang yang akan dibeli.

Bahkan pada saat membeli hampir tidak ada proses tawar menawar. Harga telor lebih mahal dibandingkan sawo, sehingga saat membeli harus berpikir dahulu berapa banyak akan dibeli dan berapa harga normal dipasar. Pada saat musim panen tembakau, membeli telor disamakan dengan membeli buah sawo, tanpa adanya pertimbangan mengenai jumlah yang akan dibeli dan harga yang ditawarkan. Sehingga membeli telor disamakan seolah-olah membeli buah sawo.

Bahkan harga barang-barang dipasar disekitar lereng Sindoro-sumbing secara otomatis akan naik ketika musim tembakau tiba. Harga-harga tersebut jauh lebih mahal dibandingkan harga-harga di kota kabupaten sekalipun. Meskipun harga melonjak, tetapi hal itu tidak menjadikan persoalan bagi komunitas petani tembakau. Perubahan harga yang drastis tersebut dianggap sudah menjadi tradisi sejak nenek moyang mereka.

Pada saat mengalami gagal panen, harga-harga tetap melambung tinggi.

Petani meresponnya dengan mengurangi berbelanja di pasar dan swalayan. Selain itu pada level rumahtangga, mereka juga mengurangi atau paling tidak sama dalam hal kualitas makanan dibandingkan sebelum musim tembakau. Biasanya, pada musim tanam sebelum tembakau (cabe atau jagung), rumah tangga petani lebih banyak memanfaatkan bahan pangan dari lahan miliknya. Pengeluaran untuk membeli bahan makanan relative kecil, apalagi ditambah seringkali ada pertukaran hasil panen dengan tetangga.

Musim tembakau adalah saat yang ditunggu-tunggu untuk meningkatkan

dengan meningkatknya mutu bahan pangan, seperti: penggunaan telor, daging ayam, tongkol untuk lauk-pauk dan terkadang ada pertukaran bahan makanan pokok dari jagung ke beras. Perubahan tersebut tidak hanya dinikmati oleh rumahtangga petani tembakau saja, tetapi juga pada buruh tani, dimana mereka akan menikmati telor dadar, ayam goreng, atau ikan tongkol goreng. Ketika musim tembakau tidak memberikan keuntungan lebih karena harga tembakau rendah, maka petani mengkonsumsi makanan seperti layaknya musim tanam cabe dan jagung, atau bahkan menurun.

5.11. Ikhtisar

5.11.1. Pertanian sebagai basis penghidupan utama petani tembakau

Menurut data sensus pertanian (2003), sekitar 95 % rumahtangga di desa Wonotirto sangat tergantung kepada lahan pertanian. Mayoritas rumahtangga tersebut adalah petani tembakau19. Hal ini memberikan pemahaman bahwa ketergantungan petani terhadap lahan sebagai basis sumber nafkah menjadi sangat penting. Fakta menunjukkan, pada petani lahan sawah sebanyak 90 % rumahtangga petani hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Sedangkan pada lahan pegunungan, Sebanyak 31,23 % rumahtangga petani memiliki lahan lebih dari 1 hektar. Sedangkan rumahtangga petani dengan luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar sekitar 28 %. Sedangkan 40 % lainnya memiliki lahan antara 0,5 ha s.d. 1 ha (Sensus pertanian, 2003).

Fakta diatas memberikan informasi bahwa pada petani lahan sawah banyak petani gurem yang menggantungkan diri pada lahan pertanian melalui hubungan patronase dengan pemilik lahan luas. Sementara pada petani pegunungan, kepemilikan lahan pertanian masih relative luas walaupun ada kecenderungan menurun karena faktor fragmentasi akibat diwariskan dan migrasi yang rendah sehingga banyak petani yang bertumpu pada lahan pertanian sebagai       

19  Menurut BPS (2005), rumahtangga petani usaha tanaman perkebunan adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman perkebunan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha. Suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga pertanian perkebunan apabila banyak pohon/rumpun/luas yang diusahakan rumah tangga tersebut lebih besar atau sama dengan batas minimal usaha (BMU) masing-masing jenis tanaman tersebut. BMU untuk tanaman tembakau adalah 1600 m2

basis nafkah. Kasus keluarga Tk (58 tahun) memberikan fakta bagaimana fragmentasi lahan akibat pola pewarisan merupakan kondisi serius bagi keberlangsungan petani yang mengandalkan lahan pertanian sebagai basis kehidupannya.

Tk (58 tahun) Mulai bertanam tembakau pada tahun 1970’an dan mulai bertani sendiri tahun 1980’an. Luas lahan yang dimiliki pada waktu itu seluas 2 Ha, merupakan warisan orang tua. Sekarang sudah dibagi kepada 4 orang anaknya masing-masing 0,5 ha. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia menyewa lahan seluas 1 ha.

Pada petani lahan sawah, selain memanfaatkan hubungan patronase dengan petani berlahan luas, mereka mulai terdorong bekerja pada sektor non pertanian (sistem nafkah ganda) karena lahan pertanian tidak lagi mampu menyangga seluruh kebutuhan hidupnya. Sedangkan pada lahan pegunungan, mereka mengalami stagnasi dengan berpijak sepenuhnya kepada lahan pertanian.

Hal ini disebabkan karena lahan pertanian yang tersedia masih memberikan ruang bagi petani untuk mengeksplosari sumberdaya lahannya. Selain itu, proses produksi tembakau juga masih mampu menyerap tenaga kerja pedesaan, bahkan sebagian besar buruh tani pada saat musim tembakau diambil dari daerah lain.

Kemampuan lahan pertanian terhadap serapan tenaga kerja pedesaan merupakan hal yang positif. Namun demikian, pertanyaan berikutnya adalah seberapa lama daya serap tersebut mampu memberikan peluang bagi tenaga kerja pedesaan dan sejauh mana memberikan kemampuan (capability) kepada petani tembakau untuk bertahan atau memperbaiki standar hidupnya.

5.11.2. Tembakau sebagai produk budaya

Tembakau merupakan komoditas penting bagi petani di lereng Sumbing Sindoro. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu: pertama, secara agro-ekologi tanaman yang mampu bertahan hidup di lahan tegalan pada musim kemarau (April-September) hanyalah tembakau. “ojo meneh tanduran sing ora kuat panas, suket wae mati“ (jangankan tanaman yang tidak kuat pada musim kemarau, rumput saja-biasanya rumput lebih tahan terhadap kondisi apapun-kalau

ditanam di sini mati)”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya dugaan sementara bahwa tembakau adalah bagian dari komoditas yang pada awalnya adalah produk yang dipaksakan colonial dan sekarang terpaksa karena kondisi agro-ekologi lahan tegal.

Namun pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan petani berlahan sawah? Mereka memiliki peluang untuk tidak menanam tembakau karena kondisi lahannya memungkinkan untuk diusahakan tanaman lainnya. Pada kenyataannya, petani pada lahan sawah tetap menanam tembakau pada musim kemarau. Hal ini memberikan tanda bahwa tembakau memiliki sisi historis yang terlepas dari dugaan faktor agro-ekologi.

Alasan kedua, yaitu karena rasionalitas instrumental yang berbasis keuntungan. Alasan ini boleh jadi benar, karena produk ini sejak awalnya merupakan komoditas komersial yang diintroduksi penjajah melalui sistem tanam paksa dan berhubungan langsung dengan pasar internasional. Secara historis, petani juga memiliki pengalaman masa kejayaan yang tidak pernah dilupakan.

Misalnya cerita salah satu petani yang mencoba mengingat masa keemasan yang pernah dialami:

Pada tahun 1982, harga tembakau untuk totol D sekitar Rp. 10.000,- dan totol E/F Rp. 35.000,-; sementara harga emas adalah Rp. 15.000/gram.

Apabila satu keranjang memuat 30 kg tembakau kering dengan harga per kg sekitar Rp. 20.000,- ; maka petani akan mendapatkan Rp. 600.000, per keranjang. Apabila hasil tersebut dibelikan emas, maka petani akan mendapatkan 40 gram atau 4 ons. Tembakau dengan harga Rp. 35.000,- per; petani mampu membeli pupuk kandang dua rit. Pada saat ini, harga pupuk kandang ± 1 juta per rit, sedangkan harga tembakau hanya sekitar Rp. 50.000,- s.d. Rp. 70.000,-.per kg.

Dugaan lain adalah karena adanya spirit pulung yang melekat pada setiap lekuk pemikiran petani. Berbagai harapan akan pulung yang akan menghampiri mereka mendorong petani untuk tetap mengusahakan tembakau. Kalau alasan tersebut benar, artinya menambah kuat dugaan bahwa tembakau tetap eksis hingga sekarang karena alasan rasionalitas keuntungan walaupun berdiri diatas ketidakrasionalan (pulung sebagai sesuatu yang bersifat mistik).

Namun demikian, dugaan tersebut meninggalkan pertanyaan lainnya dikaitkan dengan fakta bahwa tembakau sangat berisiko terhadap berbagai perubahan kondisi lingkungan dan fluktuasi harga. Bahkan petani seringkali terjerat hutang dan sering merugi, tetapi mereka tetap menanam tembakau.

Artinya mengapa mereka tidak meninggalkan tembakau untuk kemudian mencari peluang lain. Bahkan cerita tentang migrasi di komunitas tembakau pada lahan tegalan hanya bersifat temporer yang dilakukan sebagai langkah terakhir karena tidak berdaya menghadapi gagal panen yang berturut-turut. Setelah musim tembakau beranjak bagus, petani serta merta akan meninggalkan daerah perantauan untuk kembali menekuni dan terjun di pertembakauan.

Beberapa fakta diatas menggiring peneliti untuk mengambil kesimpulan sementara bahwa tembakau tidak hanya melekat pada petani karena alasan agro-ekologi dan alasan rasional instrumental tetapi juga karena produk budaya.

Dugaan tersebut dikuatkan oleh pernyataan petani: “ojo ngaku wong temanggung menowo ora nandur mbako” (jangan mengaku orang Temanggung kalau tidak menanam tembakau). Pernyataan tersebut seolah memberikan gambaran bahwa apapun kondisinya tembakau tetap menjadi bagian penting bagi kehidupan petani.

Tembakau bukan sekedar bermakna ekonomi tetapi juga bermakna social.

                   

VI. STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI TEMBAKAU

6.1. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani

Sebagian besar rumahtangga pedesaan pada umumnya tidak dapat menghindar dari resiko, apakah yang disebabkan oleh manusia atau karena faktor lingkungan, dan mereka biasanya memanajemen struktur nafkah sehingga mampu meminimalkan resiko, tergantung kepada sumberdaya yang dimiliki (Ellis, 2000).

Dalam upaya memperjuangkan kehidupan ekonominya rumahtangga petani akibat berbagai risiko tersebut biasanya akan melakukan diversifikasi sumber nafkah yaitu proses yang dilakukan oleh keluarga pedesaan untuk melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan sosial mereka dalam upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup. Secara luas bahwa adanya diversifikasi nafkah tidak sekedar untuk bertahan hidup, yang dikonotasikan sebagai resistensi, artinya seolah-olah tidak berkembang. Oleh karena itu, bahwa strategi nafkah selain bertahan hidup tetapi juga berusaha memperbaiki standar hidup (Ellis, 1998; Redclift, 1986).

Alasan individu dan rumahtangga melakukan diversifikasi sebagai strategi nafkah adalah karena keterpaksaan (necessity) dan pilihan (choice). Istilah lain yang sering digunakan adalah antara bertahan hidup (survival) dan pilihan (choice) atau antara bertahan hidup (survival) dan akumulasi (accumulation).

Suatu kondisi yang memaksa, misalnya: tidak adanya akses lahan bagi petani tunakisma, lahan yang semakin sempit akibat fragmentasi lahan warisan, gagal panen, bencana alam, atau ketidakmampuan mengerjakan aktifitas pertanian karena kecelakaan atau sakit. Selain karena kondisi yang memaksa, ada peluang lain yang memberikan tambahan pendapatan, misalnya: mencari pekerjaan diluar musim pertanian, mendidik anak untuk meningkatkan kesempatan mendapatkan pekerjaan di luar pertanian, menabung untuk investasi di luar pertanian, memanfaatkan uang dari hasil off-farm untuk membeli pupuk atau peralatan pertanian (Ellis, 2000).

Secara empiris, White (1973) yang dikutip Sajogyo (1990) membuktikan bahwa dalam kondisi lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani berusaha untuk melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah:

(1) terjadi (sebagian) proses “orang terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses “orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian), dimana imbalan di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah (miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup. Sajogyo (1998) menyebut sebagai pola nafkah ganda.

White (1990) membedakan rumahtangga petani ke dalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda. Pertama, rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sector non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sector pertanian maupun non pertanian. Kedua, rumahtangga usaha tani sedang (usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten). Mereka biasanya bekerja pada sector non pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi konsolidasi. Ketiga, rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Biasanya mereka bekerja dari usaha tani ataupun buruh tani, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akan mengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka-tanpa modal, dengan imbalan yang rendah-ke dalam kegiatan luar pertanian. Pada rumahtangga pada golongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy).

Chambers (1992) yang dikutip Wilson (2004) membagi strategi nafkah rumahtangga ke dalam tiga tahap, yaitu: desperation, vulnerability, dan independence. Masing-masing tahap tersebut memiliki prioritas pemenuhan

bertahan hidup (survival), cara yang ditempuh adalah dengan menjadi buruh lepas, memanfaatkan common property, migrasi musiman, dan meminjam dari patron. Tahap kedua adalah vulnerability, jaminan keamanan adalah tujuan utamanya, diperoleh dengan mengembangkan aset, menggadaikan aset, dan berhutang. Pada kenyataannya, sebagian besar orang mengakumulasi modal terlebih dahulu sebelum melakukan investasi, karena investasi memerlukan biaya yang besar. Tujuan utama dari tahap ketiga-independence adalah kehormatan diri, misalnya: berusaha membebaskan diri dari status klien dalam hubungan patron-klien, melunasi hutang, menabung dan membeli atau mengembangkan aset yang mereka miliki.

Tahap desperation dan vulnerability seringkali disebut dengan coping strategy, apabila tindakan untuk bertahan hidup mengikuti sistem sosial yang berlaku. Sedangkan adaptasi ditandai oleh berubahnya sitem nafkah atau moral ekonomi. Adaptasi tidak selalu bermakna ada perubahan yang fundamental pada sistem, tetapi rumahtangga memiliki kapasitas untuk memilih keluar atau secara langsung menolah sistem yang berlaku.

Chambers dan Conway (1991)

“ A livelihood comprises the capabilities, assets (store, resources, claims, and access) and activities required for a means of living; a livelihood is sustainable which can cope with and recover from stress and shocks, maintain or enchance its capabilities and assets, and provide sustainable livelihood opportunities for the next generation; and which contributes net benefits to other livelihoods at local and global levels and in the short and long term”.

Livelihood meliputi aset (modal alam, modal fisik, modal SDM, modal

Livelihood meliputi aset (modal alam, modal fisik, modal SDM, modal