• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

4.4. Ikhtisar

Secara Geografis, wilayah Kecamatan Bulu adalah termasuk wilayah pegunungan dengan ketinggian rata-rata 772 mdpl. Kondisi lahan, mayoritas (68,15 %) berupa lahan tegal. Potensi ini dimanfaatkan oleh petani untuk bercocok tanam sesuai komoditas yang disesuaikan dengan kondisi lahan, salah satunya adalah dengan mengusahakan tanaman tembakau.

Secara historis, Temanggung merupakan salah satu wilayah di Jawa yang telah dikenal sebagai penghasil tembakau sejak tahun 1746, disamping wilayah lain seperti: Jawa Timur dan Cirebon. Tembakau merupakan komoditas penting -dan wajib ditanam- di bawah system tanam paksa, selain tanaman “tiga besar”

lainnya: tebu, kopi, dan indigo. Komunitas petani pada lahan tegalan mayoritas mengusahakan tanaman tembakau.

15,024.85

19,312.50

14,548.00

9,326.00 13,039.90 7,109.44 9,495.84

3,916.05 4,260.00 8,019.44

-5,000.00 10,000.00 15,000.00 20,000.00 25,000.00

2003 2004 2005 2006 2007

Luas (Ha) Produksi (Ton)

Selain tembakau, petani juga menanam padi untuk lahan sawah. Sementara pada lahan tegalan, mereka menanam cabe, jagung, tanaman hortikultura lainnya.

Sebanyak 59,86 % adalah petani tanaman pangan, sementara di Desa Wonotirto 76,16 % adalah petani perkebunan (tembakau). Pada Petani lahan sawah, selain menanam padi mereka juga terkadang menanam tembakau. Sedangkan pada petani lahan tegal, pada bulan April-September mereka menanam tembakau selain merupakan kebiasaan turun temurun tetapi juga karena pada musim tersebut tanaman yang bisa tumbuh adalah tembakau.

Kepemilikan ternak dimanfaatkan petani sebagai tabungan untuk kebutuhan mendadak. Pada Petani lahan sawah, hewan ternak yang biasanya dipelihara adalah kerbau dan sapi. Sedangkan pada petani lahan tegal, mayoritas hewan piaraanya adalah kambing. Kebutuhan pakan hewan tersebut diambil dari rumput-rumputan yang ditanam dilahan pertanian atau rumput yang tumbuh di pinggir jalan.

Berbagai fasilitas baik pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik telah masuk di Desa Campursari dan Wonotirto. Jarak Desa Campursari yang lebih dekat dengan kota kecamatan dan kota kabupaten memberikan kemudahan dalam akses transportasi. Sementara Desa Wonotirto yang berjarak ± 14 km dari kota kecamatan lebih sulit dalam hal transportasi umum disamping kondisi jalan yang belum diaspal, berkelok-kelok, dan curam. Kebanyakan sarana transportasi yang dipergunakan adalah sepeda motor. Untuk angkutan umum, hanya tersedia mobil pick-up yang biasanya juga dipergunakan untuk mengangkut barang dagangan.

Untuk mengetahui bagaimana kondisi umum daerah penelitian dapat dilihat pada table 4.11.

Tabel 4.11. Kondisi Umum Daerah Penelitian

No Kondisi Desa

Campursari Desa Wonotirto Kecamatan Bulu 1. Kondisi Geografis

a. Luas wilayah 150 ha 544,33 ha 4.303,96 ha dan 68,15 lahan tegal c. Tinggi wilayah 550 mdpl 1.200 mdpl Rata-rata 772 mdpl d. Jarak dari kota

kecamatan

± 1 km ± 14 km 0 km

2. Pembagian wiayah

administrasi 6 dusun, 6 RW,

18 RT, 567 KK 4 dusun, 4 RW,

20 RT, 901 KK 91 dusun, 84 RW, 297 RT, dan 10.786 KK 3. Kependudukan

a. Jumlah

Penduduk 2.008 jiwa terdiri dari 973 laki-laki

42.760 jiwa terdiri dari 21.312 laki-laki dan

tanaman pangan 76,16 % petani

perkebunan 51,97 % petani tanaman pangan

tembakau Padi, jagung, cabe, dan tembakau

6. Kepemilikan ternak Kambing dan sapi Kerbau, sapi,

kuda, kambing kambing, sapi, kerbau, kuda

7. Fasilitas a. Fasilitas

pendidikan Ada bangunan TK

dan SD Ada bangunan TK, SD, dan SMP

Ada bangunan TK, SD, SMP, dan SMA b. Fasilitas

Kesehatan Posyandu dan

Polindes Posyandu dan

Polindes Rumah sakit c. Sarana air bersih PAM, sumur, dan

mata air 99,2 % mata air 72,84 % mata air, 19,02

% air sumur, dan lainnya (5,05 % PAM)

Sumber: Data Primer dan Data Sekunder

V. PROFIL AGRO-EKOLOGI DAN SOSIO-BUDAYA KOMUNITAS PETANI TEMBAKAU

5.1.Lahan sebagai modal penghidupan utama

Sarana utama petani dalam beraktifitas usaha tani adalah lahan pertanian.

Berdasarkan lahan inilah yang kemudian dijadikan dasar penggolongan petani.

Penggolongan tersebut dibedakan menurut dua kriteria yaitu pemilikan dan penguasaan tanah. Pemilikan tanah maknanya sudah jelas yaitu pembedaan petani didasarkan kepada luas dan sempitnya pemilikan lahan, sedangkan penguasaan tanah menggolongkan petani berdasarkan kekuasaan dalam penggarapan lahan pertanian. Petani boleh jadi tidak memiliki lahan pertanian tetapi bisa menguasai dengan kelembagaan tertentu, misalnya: bagi hasil.

Desa Campursari, luas kepemilikan lahan semakin menyempit.

Sebanyak 86,80 % lahan pertanian di desa ini berupa lahan sawah. Jumlah rumahtangga petani yang menggantungkan diri pada pekerjaan pertanian adalah sekitar 63 % (Kecamatan Bulu dalam Angka, 2008). Sementara menurut data hasil sensus pertanian (2003) sebanyak 0,56 % rumahtangga petani yang memiliki lahan lebih dari 1 hektar sementara sekitar 90 % rumah tangga petani memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Bahkan 70 % diantaranya hanya memiliki lahan kurang dari 0,1 hektar.

Banyak hasil penelitian terdahulu yang menemukan hal yang sama walaupun pada lokasi yang berbeda bahwa kecenderungan luas kepemilikan lahan pada lahan padi-sawah semakin menurun (White, 1973; Sajogyo, 1990; Hardjono, 1990; Marzali, 2003). Salah satu penyebabnya adalah semakin banyaknya jumlah penduduk, sedangkan pada sisi yang lain luas lahan pertanian tidak mengalami peningkatan bahkan cenderung menurun. Hampir 70 % rumahtangga petani di desa Campursari hanya memiliki lahan kurang dari 0,1 hektar. Bahkan dalam penelitian dilapangan banyak diantara mereka adalah tunakisma atau tidak memiliki lahan pertanian.

Pada satu sisi ada kelompok petani yang memiliki lahan luas, sementara disisi lainnya banyak rumahtangga petani tidak memiliki lahan untuk melangsungkan kehidupannya. Beberapa kelompok pemilik lahan luas di desa ini biasanya adalah pejabat desa atau mantan pejabat desa. Hal ini menjadi hal umum bahwa secara cultural orang yang diangkat menjadi pamong desa adalah yang dianggap terpandang. Indikator orang terpandang salah satunya adalah seberapa luas dia memiliki akses terhadap lahan.

Wsn (36 tahun), memiliki lahan pertanian seluas 5 hektar. Lahan tersebut merupakan warisan orang tuanya yang merupakan tuan tanah di desa Wonosari. Pada saat ini menjabat sebagai kepala desa dengan bengkok seluas 2 hektar.

H. Rytn (56 tahun) adalah mantan carik (sekretaris desa) pada tahun 1975-1980) dan kepala desa tahun 1980-1998 dengan kepemilikan lahan seluas 1,25 Ha.

Lahan pertanian sebagai sumber alami penting petani tentu akan berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup mereka. Perbedaan kepemilikan dan penguasaan lahan akan menimbulkan perbedaan terhadap strategi dalam mengelola sumber nafkah. Pada gilirannya akan menimbulkan perbedaan terhadap kualitas hidup.

Desa Wonotirto, 95 % rumahtangga menggantungkan kehidupan kepada lahan pertanian.

Menurut data sensus pertanian (2003), sekitar 95 % rumahtangga di desa Wonotirto sangat tergantung kepada lahan pertanian. Mayoritas rumahtangga tersebut adalah petani tembakau. Menurut BPS (2005), rumahtangga petani usaha tanaman perkebunan adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman perkebunan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha. Suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga pertanian perkebunan apabila banyak pohon/rumpun/luas yang diusahakan rumah tangga tersebut lebih besar atau sama

dengan batas minimal usaha (BMU) masing-masing jenis tanaman tersebut. BMU untuk tanaman tembakau adalah 1600 m2.

Sebanyak 31,23 % rumahtangga petani di desa Wonotirto memiliki lahan lebih dari 1 hektar. Sedangkan rumahtangga petani dengan luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar sekitar 28 %. Sedangkan 40 % lainnya memiliki lahan antara 0,5 ha s.d. 1 ha (Sensus pertanian, 2003). Jika mendasarkan diri pada luas kepemilikan lahan, masih banyak ditemukan rumahtangga petani lahan luas.

Namun demikian, pada umumnya lahan mereka tidak mengumpul dalam satu blok tetapi terpisah-pisah dan pada lereng-lereng yang curam. Sehingga hal ini menyebabkan tingginya biaya input pertanian, terutama untuk biaya pengangkutan pupuk kandang.

Namun demikian, luas kepemilikan lahan tersebut cenderung menurun dari tahun ke tahun.

Tk (58 tahun) Mulai bertanam tembakau pada tahun 1970’an dan mulai bertani sendiri tahun 1980’an. Luas lahan yang dimiliki pada waktu itu seluas 2 Ha, merupakan warisan orang tua. Sekarang sudah dibagi kepada 4 orang anaknya masing-masing 0,5 ha. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia menyewa lahan seluas 1 ha.

Mendasarkan diri pada pengalaman tersebut, maka kecenderungan kepemilikan lahan pertanian setiap rumahtangga akan semakin kecil. Hal ini juga ditambah dengan tingkat migrasi yang rendah.

5.2.Kondisi Agro-ekologi

5.2.1. Desa Campursari: pengairan cukup, terbukanya pilihan komoditas Kondisi lahan pertanian sawah memberikan banyak pilihan kepada petani baik komoditas maupun banyaknya musim panen. Pancaran sinar matahari yang cukup memberikan peluang kepada petani untuk memetik hasil pertanian sebanyak tiga kali setiap tahunnya. Pergiliran tanaman yang biasanya diterapkan oleh petani adalah padi-padi-padi atau padi-tembakau-padi.

Keputusan menanam padi atau tembakau tergantung kepada pengalaman selama ini. Pergiliran tanam padi-padi-padi memicu munculnya hama tikus,

dengan tanaman jagung atau tembakau. Tanaman tembakau dipilih karena komoditas ini bersifat turun temurun, sehingga dari aspek cultural ada anggapan bahwa “ojo ngaku wong temanggung menowo ora nandur mbako” (jangan mengaku orang temanggung kalau tidak menanam tembakau). Kualitas tembakau yang dihasilkan di areal persawahan termasuk mutu sedang sehingga harganyapun tidak setinggi di daerah pegunungan. Namun demikian, berbagai harapan akan tingginya harga tembakau membuat mereka tetap membudidayakannya.

Selain tanaman pokok, biasanya petani juga menanam berbagai jenis tanaman yang di tanam dipinggiran sawah pada saat menanam padi dan sebagai tumpangsari pada saat menanam tembakau. Beberapa tanaman selingan yang biasa ditanam antara lain: kapri, kedelai, kacang merah, kacang panjang, brokoli, kacang tanah, sawi, tomat, cabai, kacang panjang, dan sayuran lainnya. Sementara ada beberapa petani yang tidak menanam tanaman selingan terutama pada saat musim tanam tembakau karena diyakini akan menurunkan kualitas tembakau.

Hasil tanaman tumpangsari tersebut pada umumnya tidak dijual tetapi dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Selain bertani, sebagian petani memiliki ternak. Jenis ternak yang dipelihara adalah kerbau. Petani memanfaatkan batang padi (jawa: dami) sebagai makanan ternak tersebut. Sedangkan apabila persediaan dami/damen berkurang, petani mencari rumput disekitar desa.

5.2.2. Desa Wonotirto: pada saat musim kemarau, hanya tembakau yang bisa hidup

Lahan tegal di Kabupaten Temanggung tersebar di seluruh lereng gunung Sindoro-Sumbing. Sebanyak 50 % lahan di Kecamatan Bulu berupa tegal.

Wonotirto adalah salah satu desa paling ujung di lereng Gunung Sindoro. Pada Musim Tanam (MT) April-September hampir 100 % mengusahakan tanaman tembakau. Dalam satu tahun, petani mengusahakan dua musim tanam. Hal ini sebabkan karena kondisi pengairan yang bersifat tadah hujan dan intensitas sinar matahari yang relative lebih sedikit sehingga masa tanam hingga panen lebih lama dibandingkan lahan sawah yang mendapat intensitas sinar matahari yang lebih

panjang. Pola tanam pada lahan tegal adalah jagung-jagung-tembakau dengan pengolahan tanah secara intensif 3 kali setahun.

Tanaman jagung dipergunakan untuk makanan pokok. Namun lama kelamaan, jagung dijual kemudian ditukar dengan beras. Pada sela-sela tanaman jagung mereka juga mengusahakan tanaman seperti: kacang merah, bawang merah, terkadang kedelai, dan tanaman sayuran. Hasil dari tanaman tumpangsari tersebut dipergunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Seringkali mereka saling bertukar bahan makanan dengan tetangga sekitar.

Sebagian besar rumahtangga petani dalam memasak menggunakan bahan bakar kayu yang diambil dari pohon jagung dan tembakau. Sehingga untuk kebutuhan pangan, rumahtangga petani lebih banyak menggunakan sumberdaya alami yang diambil dari ladang, kecuali beras yang dibeli dari hasil penjualan tanaman jagung.

Dalam perkembangannya, petani mulai meninggalkan tanaman jagung untuk kemudian beralih kepada tanaman cabai. Pengaruh desa di sekitarnya melalui interaksi mengenai menanam cabai lebih memberikan keuntungan dibandingkan tanaman jagung merubah pola tanam petani. Tahun 2004-2005 secara perlahan petani mulai menggeser tanaman jagungnya dengan cabai dengan tetap menggunakan tanaman sela seperti: kacang merah, kubis, dan lainnya.

Petani mengusahakan tanaman di lereng-lereng gunung dengan sistem terasiring. Lahan yang curam dan jauh dengan akses jalan raya membuat semakin tingginya biaya angkut pupuk kandang disamping harga pupuknya juga sudah tinggi. Beberapa petani memasang tali yang menghubungkan antara bukit yang satu dengan yang lainnya, untuk kemudian pupuk dalam karung dipasang pada tali tersebut dan didorong sehingga bisa meluncur lebih mendekat dengan lahan masing-masing.

Pada setiap lahan terlihat bangunan sederhana yang mereka sebut sebagai gubug. Bangunan tersebut berukuran kira-kira 2x3 m dengan dinding terbuat dari anyaman bambu dan dilapisi dengan mulsa yang tidak terpakai. Gubug berfungsi sebagai tempat untuk berlindung ketika hujan turun, untuk menikmati makanan

kiriman13, dan adakalanya untuk melakukan kegiatan jaga malam ketiga musim cabai tiba mengingat ada beberapa orang yang melakukan tindakan pencurian terhadap hasil panen.

Tanaman tembakau diusahakan pada bulan April-September. Sebelumnya mereka menyemai benih tembakau pada lahan masing-masing. Bagi rumahtangga petani dengan lahan sempit biasanya mereka mengakses lahan milik tetangga yang tidak terpakai untuk tempat pembibitan. Beberapa petani secara kolektif menggunakan lahan tersebut tanpa dipungut biaya. Apabila harga tembakau bagus, mereka memberi pemilik lahan tanpa adanya jumlah nominal baku.

Benih tembakau diperoleh dari tanaman tembakau milik sendiri yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setelah bunga dirasakan cukup tua, petani segera memetiknya (Jawa: munggel) untuk kemudian dijemur. Setelah kering, disimpan untuk kemudian dibibitkan pada lahan yang telah disiapkan. Tempat pembibitan dibuat dari alas anyaman bamboo dengan posisi diatas tanah, disangga dengan empat tiang yang juga berasal dari bambu. Di atas alas bambu tersebut diletakkan tanah dan pupuk kemudian ditutup dengan rumput atau daun untuk mengurangi penguapan. Setelah tumbuh, dedaunan tersebut diambil. Para petani terkadang gagal dalam melakukan pembibitan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, petani membeli kepada petani lain apabila kebutuhannya banyak tetapi apabila hanya sedikit seringkali petani meminta tetangga yang berlebihan.

Berdasarkan letak penanaman14, mutu tembakau di Desa Wonotirto masuk pada kelompok lamsi. Tembakau dengan mutu atau kualitas lamsi ini tersebar di lereng utara dan timur laut Gunung Sumbing (Bulu dan Parakan) pada lahan

      

13Ketika petani melakukan aktifitas pertanian lebih dari jam 12.00 petani mendapatkan makanan yang dikirim oleh anggota keluarga (biasanya perempuan) dan dimakan bersama-sama di dalam gubug.

14Ada 7 (tujuh) golongan daerah penanaman tembakau yang membedakan mutu hasil tembakau, yaitu: (1) LAMUK, tersebar di lereng timur gunung Sumbing (Tegalmulyo pada lahan > 1.100 m dpl, menghasilkan mutu Srintil Istimewa; (2) LAMSI tersebar di lereng utara dan timur laut Gunung Sumbing (Bulu dan Parakan) pada lahan Regosol>1.100 m dpl, kelerengan 15-40 %, mutu Srintil Istimewa; (3) PAKSI tersebar di lereng timur gunung Sundoro (Ngadirejo dan Bansari) pada lahan Regosol > 1.100 m dpl, mutu Srintil cukup istimewa; (4) TOALO tersebar di lereng selatan gunung Sundoro dan barat Gunung Sumbing (Kledung) pada lahan Regosol > 1,100 m, mutu sedang; (5) TIONGGANG tersebar pada lahan persawahan 500-700 m dpl, mutu sedang; (6) SWANBING tersebar di sekitar gunung Prahu (Tretep dan Wonoboyo), lahan Ondosol 900-1.400 m dpl, mutu sedang; dan (7) KIDUL tersebar di tenggara Gunung Sumbing pada daerah baru, mutu sedang

Regosol>1.100 m dpl, kelerengan 15-40 %, mutu Srintil Istimewa. Mutu ini satu tingkat di bawah Lamuk.

Pada petani di lereng gunung yang berbasis tegal termasuk di desa Wonotirto, ada semacam kondisi yang memaksa mereka untuk tetap setia menanam tembakau karena pada musim kemarau tanaman semusim yang cocok hanyalah tembakau. Tidak ada tanaman musiman lainnya yang bisa hidup ditanam pada musim kemarau.

“ojo meneh tanduran sing ora kuat panas, suket wae mati”

“Jangankan tanaman yang tidak kuat pada musim kemarau, rumput saja (biasanya rumput lebih tahan terhadap kondisi apapun) kalau ditanam di sini mati”

Berkaitan dengan kondisi rumah yang tidak selalu memiliki lahan pekarangan yang luas, maka seringkali tempat pembibitan meminjam kepada tetangga. Bahkan ada satu tempat yang agak luas dimana pekarangan tersebut dipergunakan oleh beberapa petani secara bersama untuk melakukan pembibitan.

Lahan tersebut dipergunakan tanpa adanya biaya sewa. Apabila harga tembakau bagus, mereka memberi pemilik lahan tanpa adanya jumlah nominal baku.

Tembakau membutuhkan air pada saat proses tanam, dan terik matahari pada saat masa penjemuran. Perubahan cuaca yang tidak menentu seringkali membuat petani mengalami gagal panen, dimana pada saat proses tanam kebutuhan air kurang, sementara pada saat proses penjemuran curah hujan tinggi.

Penjemuran yang tidak sempurna membuat kualitas tembakau menurun akibatnya harga tembakau turun drastis. Biasanya petani melakukan perajangan dan nganjang15 tembakau pada malam hari dengan harapan pada saat pagi hari hasil rajangan bisa langsung terkena sinar matahari. Tembakau semakin berkualitas apabila menerima sinar matahari secara sempurna yaitu terkena sinar matahari secara utuh (penuh) selama 2-3 hari.

      

15Nganjang adalah proses meletakkan tembakau yang telah di rajang di atas rigen dan biasanya dilakukan

Intensitas sinar matahari di Kabupaten Temanggung relative lebih banyak jika dibandingkan daerah lain di sekitarnya, misalnya di Kabupaten Wonosobo.

Untuk menyiasati hal tersebut, mereka menjemur tembakau ke daerah lain yang memiliki intensitas matahari yang relative lebih panjang. Pada saat musim jemur, mulai jam 04.00 pagi terlihat mobil pick-up dengan beberapa orang (laki-laki dan perempuan) duduk di sekitar tumpukan rigen16 berlalu lalang di sepanjang jalan di sekitar Parakan. Setelah itu, di pinggir-pinggir jalan yang masih ada lahan yang tidak terpakai terhampar “lautan kuning”. Lahan yang dipakai untuk menjemur rajangan tembakau tersebut ada yang dengan sistem sewa (terutama yang merupakan hak milik pribadi) dan ada yang tidak menyewa (terutama lahan milik umum).

Proses penjemuran tersebut berlangsung dari pagi hingga pukul 14.00 apabila cuaca cerah, dan apabila cuaca tidak cerah, sangat tergantung datangnya air hujan. Selama menunggu proses penjemuran, beberapa orang yang memang ditugaskan untuk menjemur rajangan tembakau melakukan proses pembalikan sehingga bisa kering secara merata. Setelah kurang lebih pukul 14.00 WIB mereka mengangkut kembali tembakau ke atas mobil pick-up untuk kemudian dibawa pulang kembali. Aktifitas “mengejar matahari17” ini berlangsung secara terus-menerus hingga tembakau benar-benar kering dan siap dijual.

Sedangkan bagi petani tembakau di Temanggung sendiri, mereka menjemur tembakau di sekitar rumah, dipinggir jalan, atau di tanah lapang.

Mereka biasanya mendirikan tiang-tiang dari bamboo setinggi kurang lebih 1 meter untuk meletakkan rigen. Saat musim jemur terlihat sepanjang jalan dan disekitar rumah banyak berjajar tiang-tiang bambu dengan deretan tembakau rajang yang tertata rapi. Bagi petani dengan lahan pekarangan sempit, alternative

      

16Rigen merupakan tempat untuk menjemur tembakau yang sudah dirajang. Pada saat bukan musim tembakau terkadang juga difungsikan untuk menjemur hasil panen seperti: kedelai, bawang, kacang tanah, kacang merah (kacang tunggak), dan lainnya. Rigen dibuat dari bamboo yang dianyam berbentuk persegi panjang dengan harga sekitar Rp. 12.000/buah. Salah satu daerah yang memproduksi rigen adalah di Kecamatan Kedu, dan juga bisa di beli di pasar Parakan.

17Istilah mengejar matahari merupakan ungkapan yang menggambarkan bagaimana petani terutama di luar Kabupaten Temanggung yang berusaha mencari sinar matahari untuk menjemur tembakau. Hal ini disebabkan karena intensitas sinar matahari di daerah mereka sangat pendek (sedikit) sehingga sangat riskan terhadap degradasi kualitas tembakau karena tidak kering secara sempurna.

tempat penjemuran selain di jalan adalah ikut pekarangan tetangga. Hal ini menjadi kebiasaan petani sebagai bagian dari kehidupan social masyarakat.

5.3. Tanaman Sela dan pemanfaatan limbah tanaman Tanaman sela

Kebiasaan petani menanam tanaman lain di sela-sela tanaman pokok telah dilakukan semenjak dahulu. Secara kuantitas, seringkali tidak diperhitungkan sebagai pendapatan karena secara nyata tidak selalu diuangkan (dijual).

Kontribusi terbesar adalah untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari dan terkadang sebagai sarana membangun modal social dengan tetangga sekitar dengan cara saling bertukar hasil panen.

Namun demikian, apabila diperhitungkan sebagai bentuk pengeluaran untuk konsumsi maka akan memberikan sumbangan yang besar dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Twyman dan Slater (2005) menyebutnya sebagai hidden livelihood. Banyak cara yang diterapkan oleh rumahtangga petani, tetapi tidak dianggap penting bagi sumber nafkah. Tanaman sela adalah salah satu contoh penting, yang kelihatannya perannya tidak penting namun kalau ditelisik lebih mendalam mampu menopang kebutuhan komsumsi rumahtangga petani.

Kebiasaan menanam tanaman sela pada komoditas tembakau, oleh perusahaan rokok dianggap tidak baik bagi perkembangan dan kualitas tembakau.

Untuk mencapai tembakau yang baik, tembakau harus ditanam secara monokultur.

Bagi sebagian petani dengan lahan luas, berbagai anjuran ini mungkin bisa dilakukan. Sedangkan bagi rumahtangga petani gurem, kebiasaan menanam tanaman sela masih dilakukan. Hal ini disebabkan karena gagal panen pada tembakau akan berdampak terancamnya kelangsungan hidup, apalagi tidak ada tanaman sela yang menunjang konsumsi mereka.

Batang tembakau dan jagung sebagai bahan bakar

Salah satu hidden livelihood lainnya yang dimanfaatkan oleh rumahtangga petani adalah batang tembakau dan jagung. Batang tembakau atau jagung yang sudah dipetik hasilnya akan menjadi sampah yang harus dibuang dari lahan.

Rumahtangga petani biasanya membawa batang-batang tersebut untuk dikeringkan dan disimpan disamping rumah atau di dalam dapur. Batang tembakau dan jagung tersebut dimanfaatkan oleh petani yang sebagian besar menggunakan tungku untuk memasak. Sehingga petani tidak mengeluarkan ongkos untuk bahan bakar.

Penggunaan tanaman sela untuk konsumsi dan batang tembakau-jagung untuk memasak merupan salah satu bukti kemandirian petani. Mereka mampu menghasilkan sendiri kebutuhan pangan tanpa tergantung pada pihak lain.

Berbagai sumberdaya yang tidak penting ternyata mampu dimanfaatkan oleh rumahtangga petani tembakau untuk menopang kebutuhan konsumsinya.

5.4.Kendaraan bermotor: sarana transportasi penting

Kendaraan bermotor adalah salah satu prioritas dalam menyusun alokasi pendapatan dari tembakau terutama pada masyarakat pegunungan. Ketika pada

Kendaraan bermotor adalah salah satu prioritas dalam menyusun alokasi pendapatan dari tembakau terutama pada masyarakat pegunungan. Ketika pada