• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

VI. STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI TEMBAKAU

6.1. Strategi Nafkah Rumahtangga Petan

6.1.1. Domain “base livelihood” 1.Strategi Produks

6.1.1.4. Strategi Solidaritas Horizontal

Strategi solidaritas vertikal menunjukkan bagaimana sistem kinship yang dibangun pada struktur sosial yang berbeda. Sedangkan strategi solidaritas horizontal lebih menekankan bagaimana modal sosial dibangun pada tataran social bounding. Bangunan solidaritas tersebut terjadi diantara petani lahan sempit atau petani gurem. Sempitnya kepemilikan lahan membuat aset alami, aset finansial, aset sumberdaya manusia yang rendah. Untuk menyiasati kondisi tersebut maka petani lahan sempit membangun sosial capital diantara petani sehingga memberikan kapabilitas dalam merespon berbagai shock dan tekanan.

Luas lahan 0,3 ha adalah salah satu prasyarat bagi petani untuk mendapatkan rajangan tembakau sebanyak satu keranjang, dengan asumsi kualitas tembakau baik. Kisaran untuk memperoleh rajangan tembakau satu keranjang antara 3000-4000 m2. Hal ini adalah salah satu keunikan dari mengusahakan tanaman tembakau. Apabila tidak memenuhi satu keranjang (30-40 kg rajangan kering) maka petani berusaha membeli kepada petani lain, membeli dipasar, atau impor.

“Wsn (38 tahun), memiliki luas lahan 5 Ha milik sendiri ditambah tanah

bengkok seluas 2 Ha. Lahan tersebut tidak dikerjakan sendiri melainkan

disakapkan kepada 17 rumahtangga petani yang memiliki lahan kurang dari 0,1 Ha atau tidak memiliki lahan sama sekali. Masing-masing rumahtangga mendapatkan 3000-4000 m2. Alasan praktisnya adalah untuk menghasilkan satu keranjang tembakau kering setiap kali petik dibutuhkan kurang lebih 3000-4000 m2. Ke-17 rumahtangga petani yang menyakap kepada Wsn adalah Mly (4000 m2), Kmr (4000 m2), Wrsd (3000 m2), Gn (3000 m2), Asryd (3000 m2), Srs (3000 m2), Pno(3000 m2), Msrt (3500 m2), Hrn (3000 m2), Tg (3000 m2), Atm (3500 m2), Mkt (3500 m2), No (3000 m2), Ktg (3000 m2), Msd (3000 m2), Sbr (3000 m2), dan Yd (3000 m2)”.

Selain angka luas lahan 0,3 ha, luasan minimal untuk menghasilkan satu keranjang rajangan tembakau kering maka hal yang penting lainnya adalah dengan lahan seluas itu maka petani mampu mengerjakan sendiri tanpa membutuhkan tenaga kerja dari luar keluarga kecuali kegiatan mencangkul. Lantas pertanyaannya bagaimana dengan petani lahan luas? Hal inilah yang secara sosiologis menarik untuk dikaji.

Pada kelompok petani lahan luas (> 1 hektar) pada umumnya tidak akan mampu mengerjakan lahannya sendiri apalagi membantu tetangga untuk melakukan usaha taninya. Bahkan mereka cenderung memerlukan tenaga kerja yang banyak. Sehingga kegiatan royongan sangat sulit dan tidak berlaku pada kelompok petani kelas atas. Sedangkan pada petani kelompok kelas bawah (gurem- luas lahan <0,5 hektar) masih memungkinkan bagi mereka untuk saling membantu dengan tetangga dekat.

Gambar 6.3. Kelembagaan royongan sebagai strategi solidaritas horizontal

Pada komunitas petani tembakau padi sawah, dalam melakukan kegiatan produksi pada mulanya secara bergantian saling membantu kepada semua tetangga. Bahkan ketika ada salah satu dari pejabat desa ada yang sedang menggarap sawahnya, maka hampir seluruh warga di desa Campursari berkumpul untuk membantunya. Mereka tidak diupah, melaksanakan tradisi secara sukarela. Warga masyarakat diberi hidangan sekedarnya untuk suguhan makan siang dan dilakukan secara bersama-sama.

Sementara untuk antar warga, pada umumnya mereka saling membantu secara bergiliran. Lima atau enam warga yang berdekatan bergantian mengerjakan sawah dibantu kerabat dekat. Setelah yang satu selesai, kemudian berpindah kepada tetangga yang lain. Mereka tidak diberi upah dengan uang, hanya kebutuhan konsumsi yang dipenuhi dengan kondisi sekedarnya. Tradisi inilah yang mereka sebut dengan royongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong tanpa meminta imbalan.

Petani D Petani A Petani B Petani C Royongan : adanya resiprositas sebanding dalam beberapa aktifitas usahatani tembakau seperti: menanam, memetik, merajang, nganjang yang dilaksanakan secara bergantian tanpa adanya upah

Pada saat ini, budaya saling membantu tersebut masih berjalan. Namun demikian, kecenderungan mengarah upah telah kelihatan secara nyata. Apa dan kapan sistem royongan tersebut mulai pudar tidak ada jawaban pasti. Beberapa pendapat menyatakan karena krisis ekonomi 1998-1999, harga kebutuhan yang semakin melambung tinggi sehingga warga semakin komersial dan setiap perilakunya mengarah pada upaya mendapatkan uang. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa pudarnya tradisi royongan ini karena adanya fenomena impor tembakau. Alasan kuatnya adalah dengan melakukan impor akhirnya mereka sibuk dengan urusannya sendiri sehingga tidak memiliki waktu untuk membantu tetangga.

Tradisi saling membantu antar tetangga sebenarnya masih ada. Bedanya dengan sistem royongan adalah setiap orang yang membantu diberi uang dan tidak ada ikatan untuk melakukan hal yang sama pada orang yang telah membantunya. Bahkan terkadang karena masing-masing sibuk dengan lahannya masing-masing, petani mencari tenaga kerja di luar RT bahkan di luar desa. Banyak petani dari desa, kecamatan, atau kabupaten teangga yang menjadi tenaga kerja upah di desa Campursari.

Secara tidak dilembagakan formal, ada kelompok orang baik laki-laki maupun perempuan yang seringkali menerima borongan dari petani. Ada group borongan yang siap mengerjakan lahan apabila diperlukan. Dalam kelompok tersebut juga tidak ada aturan formal untuk terus bersama dan menerima pekerjaan bersama, tetapi secara tidak tertulis semacam ada kecocokan sehingga tiap-tiap group tersebut sering bekerja bersama.

Kelompok laki-laki, biasanya mengerjakan lahan terutama pada saat mencangkul. Sedangkan kelompok perempuan biasanya pada saat menyiangi dan memetik baik untuk komoditas padi maupun tembakau. Pembagian kerja ini tidak kaku, tidak jarang laki-laki melakukan kegiatan menyiangi, dan sebaliknya perempuan menangkul. Bagi masyarakat Campursati tidak ada hal yang aneh dengan peran yang bergantian antara laki-laki dan perempuan.

Ada juga kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat yang biasa memborong pekerjaan di lahan pertanian. Kelompok tersebut bekerja untuk

menghidupi kelangsungan kelompoknya. Hasil yang diperoleh tidak untuk masing-masing orang tetapi untuk kemaslahatan kelompok. Misalnya: kelompok yasinan, yang melakukan pekerjaan adalah anggota kelompok yasinan tersebut. Kemudian hasil yang didapatkan digunakan untuk kegiatan rutin kelompok yasinan tersebut dan sisanya disimpan sebagai kas.

Ketergantungan petani terhadap tembakau pada masyarakat lahan sawah dan pegunungan tentunya lebih tinggi di pegunungan. Salah satu penyebabnya adalah karena pada masyarakat di bawah (sawah) memiliki pilihan yang lebih banyak terhadap komoditas yang dipilih karena air yang tersedia secara kontinyu. Sementara pada lahan pegunungan, pada saat musim kemarau tidak ada pilihan lain kecuali tanaman tembakau. Sedangkan, dari sisi historis petani di pegunungan lebih merasakan lebih mendalam bagaimana dinamika pertembakauan yang terjadi mengingat bahwa tembakau masih menjadi prioritas petani untuk menunjang kehidupannya.

Pada komunitas petani tembakau lahan tegal, terjadi pola yang unik. Secara nyata bahwa fenomena impor memang membuat setiap petani semakin sibuk dengan urusannya sendiri. Namun demikian kalau dilihat pada level petani menengah ke bawah, rasa gotong royong dalam kegiatan hubungan produksi masih tinggi. Sementara kelompok petani menengah ke atas relatif lebih renggang. Lahan yang semakin luas membuat petani sibuk untuk menyelesaikan tembakaunya sendiri, mengingat masa petik, masa rajang, dan masa jemur tembakau tidak bisa ditunda. Namun demikian, masih ada satu dusun di desa Wonotirto yang masih kental dengan gotong royong baik dalam mencangkul, menanam, petik, ngrajang, nganjang, dan menjemur. Mereka bahu membahu satu sama lain untuk saling membantu dengan tetangga yang lain. Luasan lahan yang dimiliki masih memungkinkan untuk saling membantu.

Mengingat bahwa tenaga kerja diperlukan pada saat bersamaa, terkadang untuk mencari tenaga kerja dari lingkungan sekitar sangat sulit. Akibatnya beberapa buruh tani diambil dari daerah lain. Terkadang kegiatan usahatani dilakukan secara borongan, baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Secara perorangan di lakukan dengan cara menghubungi salah satu dari anggota

kelompok borong yang dibentuk secara tidak formal untuk menggarap lahannya. Anggota kelompok ini tidak terikat satu sama lain, namun secara tidak sadar mereka memiliki tindakan terpola untuk secara bersama memborong lahan milik orang lain. Sedangkan secara kelompok, misalnya: dalam mencangkul dikerjakan oleh kelompok pengajian. Uang borongan tersebut diberikan kepada kelompok untuk kegiatan kelompok dan bukan untuk kepentingan individu. Pada Wonotirto ada beberapa kelompok kesenian yang juga sering memborong, dimana uang borongan untuk menjamin keberlangsungan kelompok seni tersebut.

Ditengah kondisi melemahnya etika sosial-kolektif yang digantikan dengan sistem uang, Dusun Tritis yang merupakan bagian wilayah di Desa Wonotirto dimana mayoritas masyarakatnya memiliki lahan < 1 hektar masih tampak budaya royongan mulai mencangkul, menanam, memetik, merajang, hingga nganjang. Hal yang unik lainnya adalah ketika pada saat petik tidak memenuhi syarat penjualan (1 keranjang), maka daun tembakau yang belum dirajang dari beberapa petani digabungkan dan dirajang bersama. Untuk kemudian hasilnya dibagi pada saat penjualan sesuai dengan perkiraan banyaknya yang digabung. Pada saat melakukan kegiatan perajangan biasaya mereka saling membantu dengan cara membawa alat perajang masing-masing kepada tetangga yang membutuhkan. Kemudian mereka merajang tembakau dengan alat rajangnya masing-masing.

Gambar 6.4. Kelembagaan ”menggabungkan hasil panen” sebagai strategi solidaritas horizontal

Terjadi pada petani lahan sempit, dimana hasil panen yang tidak mencapai satu keranjang digabung dan dirajang menjadi satu sehingga memenuhi satu keranjang. Kemudian hasilnya dibagi pada saat penjualan sesuai dengan perkiraan banyaknya yang digabung. Petani A Petani B Menggabung kan hasil panen Dijual bersama Trust

Rasa percaya (trust) ini sangat sulit ditemukan pada 3 (tiga) dusun lainnya, mengingat bahwa daun tembakau sifatnya unik dimana pada lahan yang sama harga tembakaunya bisa berbeda. Apalagi ketika daun dari beberapa petani digabung, maka boleh jadi harga tembakau tersebut tidak sama antara satu petani dengan petani lainnya apabila dijual secara terpisah. Trust yang tinggal ini adalah modal sosial penting bagi petani. Sedangkan pada daerah yang trust-nya menurun, mereka akan berusaha menggenapi menjadi satu keranjang tembakaunya dengan cara membeli atau impor.