STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI
TEMBAKAU DI LERENG GUNUNG SUMBING
(Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)
WIDIYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Strategi Nafkah
Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
WIDIYANTO
ABSTRACT
WIDIYANTO. Livelihood Strategy of the Tobacco Peasant’s Family on the slope of Sumbing Mountain (A Case Study in Wonotirto and Campursari Village, the sub-District of Bulu, Temanggung District). 2009. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and NURAINI WAHYUNING PRASODJO.
The background of this research is the historical fact which says that tobacco has been withdrawing a very significant attention as a potential high value commodity since the East Indies regime. The dependence of the peasant’s family to the market system causes the effect of capitalism penetrates into the village. Thus the livelihood strategy discourse becomes significant as an effort to dismantle the efforts of tobacco peasant’s family in responding into this conditions. The objectives of this research are: first, to identify and analyze which ethics of moral economy that bases peasants on constructing their livelihood system. Second, to analyze how is the forms of peasant livelihood strategy. Third, to analyze which institutional system built by peasants as the implementation of their livelihood system. Fourth, to analyze how far the implementation of their livelihood strategy can built the sustainable livelihood system.
In this research, the researcher uses the constructivism paradigm. Meanwhile the strategy that going to be used is a case study. The data collection technique that used are: Inclusive observation, in-depth interview, and document analysis. To analyze the collected data, this research uses a qualitative data analysis method. This research will be conducted in two villages, they are Wonotirto and Campursari Village, Temanggung District. The fieldwork for data collection was carried out during Maret-Juni 2009.
The Study found that the standard morality of livelihood strategy that the tobacco peasant families build, occured in two different form of economical ethic. Each of them is placed in totally in opposition to the other. These are ”social-collectivism” ethic and ”individual-material acquisition” ethic. Each individual economic ethic build specific livelihood strategy that fit into the existing situation as faced by the peasant family. There are five different types of capitals are the tobacco peasant families as disposal, namely: natural capital, phsycal capital, financial capital, human capital, dan social capital. In majority the peasant families of the research areas build common strategies of livelihood, namely: vertical solidarity, horizontal solidarity, debt, patronase, production strategy, srabutan, accumulation, and manipulation of commodity. The institutional system built by peasants as the implementation of their livelihood, namely: sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, maro. These strategies are basically using social capital as a main capital to form livelihood strategies. In case of difficulties (in time of crisis), the tobacco peasant families build somewhat different strategies, namely: temporary migration. All These strategies (in normal and in crisis situation) showed that peasant of this area very flexible mechanism to survive. But, the most sustainable way to survive that the peasant family build is the strategy of using collectivity ties as a instrumental way to support their livelihood.
RINGKASAN
WIDIYANTO. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan
Bulu Kabupaten Temanggung)”.2009. Dibimbing oleh ARYA HADI
DHARMAWAN dan NURAINI WAHYUNING PRASODJO.
Penelitian ini dilatarbelakangi adalah fakta historis bahwa komoditi tembakau sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditi komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda. Keterhubungan rumahtangga petani langsung kepada pasar menyebabkan merembesnya kapitalisme di pedesaan. Hal ini menyebabkan petani tembakau mengalami mixed ethic, pada satu sisi berorientasi kepada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain harus berorientasi kepada keuntungan yang maksimal.Oleh karena itu, kajian strategi nafkah menjadi penting dilakukan sebagai upaya mengungkap (dismantle) bagaimana upaya rumahtangga petani tembakau dalam merespon berbagai kondisi dan implikasinya terhadap sistem nafkah yang berkelanjutan baik secara ekonomi, ekologi, dan sosial.
Tujuan dari penelitian ini adalah; pertama, mengidentifikasi dan menganalisis etika moral ekonomi apa yang melandasi petani dalam membangun sistem nafkahnya. Kedua, menganalisis bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani. Ketiga, menganalisis kelembagaan apa saja yang dibangun sebagai implementasi dari sistem nafkah rumahtangga petani. Keempat, menganalisis sejauh mana strategi nafkah yang diterapkan dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigm konstruktivisme. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach), dengan informasi yang bersifat subyektif dan historis. Strategi yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: (1) pengamatan berperan serta, (2) wawancara mendalam, dan (3) analisis dokumen. Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini digunakan metode analisis data kualitatif (Sitorus, 1998). Unit analisa dalam penelitian ini adalah individu dan rumahtangga. Penelitian ini dilaksanakan di dua desa yaitu Desa Wonotirto dan Desa Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. Pengumpulan data lapang dilakukan pada bulan Maret-Juni 2009.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi nafkah rumahtangga petani tembakau dibangun diatas dua etika moral ekonomi yang berlawanan. Pada satu sisi berlandaskan pada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain berpijak kepada etika individual-material. Kedua etika tersebut “dimainkan” oleh petani sebagai upaya untuk bertahan dan memperbaiki sistem penghidupannya.
kelembagaan yang dibangun oleh petani sebagai implementasi dari strategi nafkah adalah sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, dan maro. Berbagai strategi nafkah tersebut lebih banyak “memainkan” modal sosial sebagai asset penting dalam membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan. Sedangkan pada situasi krisis, petani membangun sistem nafkah yang agak berbeda yaitu dengan melakukan migrasi temporer. Strategi ini dilakukan pada saat gagal panen berturut-turut sehingga tidak memiliki modal finansial untuk berusaha tani. Setelah kondisi pertembakaun membaik, maka petani yang melakukan migrasi akan kembali dan bergelut kembali dengan tembakau.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI TEMBAKAU DI LERENG GUNUNG SUMBING
(Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)
WIDIYANTO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sindoro Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)
Nama : Widiyanto
NRP : I 353070021
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Ketua
Ir. Nuraini Wahyuning Prasodjo, MS Anggota
Diketahui,
Ketua Program Mayor Sosiologi Pedesaan
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, MS
PRAKATA
Ucapan syukur yang mendalam ke hadirat Ilahi Robbi atas segala kemurahan dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Berawal dari keingingan untuk mengetahui dinamika kehidupan petani tembakau “membawa” penulis pada judul penelitian: “Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kec. Bulu Kabupaten Temanggung). Selama kurang lebih tiga bulan penulis bercengkerama dengan komunitas petani tembakau untuk menggali berbagai informasi tentang sistem nafkah yang dibangun dalam upaya bertahan dan memperbaiki standar hidupnya. Sehingga pada akhirnya, dengan segenap keterbatan karya ini dapat disajikan.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing, yaitu Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr dan Ir. Nuraini Wahyuning Prasodjo, MS. Mereka tidak hanya sekedar guru tetapi juga sahabat yang selalu mendorong penulis untuk senantiasa bersemangat ketika rasa malas sedang menghantui, memberikan pencerahan ketika penulis mengalami jalan buntu. Terima kasih atas berbagai referensi yang diberikan sehingga mempermudah penulis dalam mendalami topik penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Titik Sumarti, MS yang telah membaca dengan teliti, memberikan kritikan dan masukan sebagai penguji luar komisi.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pimpinan program studi Sosiologi Pedesaan (SPD) IPB dan seluruh staff pengajar yang telah mendidik dan mengajarkan banyak hal tentang dinamika masyarakat pedesaan. Selanjutnya penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UNS Solo atas izin yang diberikan. Kepada Dirjen Dikti Depdiknas yang telah memberikan beasiswa (BPPS), terima kasih atas dukungan dananya. Seluruh tineliti, petani tembakau di Lereng Sumbing, terima kasih atas segala keramahan dan keterbukaannya dalam memberikan data kepada peneliti. Akhirnya, terima kasih tiada tara atas perhatian dan dukungan ayahanda, ibunda, beserta seluruh keluarga.
Merujuk pada ungkapan Socrates yang dikutip Wiradi (2009): “makin banyak yang aku ketahui, aku tahu bahwa makin banyak yang aku tidak ketahui, akhirnya aku tahu bahwa hanya satu yang aku tahu, yaitu bahwa aku tidak tahu apa-apa!”, maka penulis dengan segenap kerendahan hati menyadari masih banyak kekurangan dalam karya ini. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya semoga kajian ini mampu memberikan khasanah tersendiri dalam ranah penelitian pedesaan. Amin.
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI
TEMBAKAU DI LERENG GUNUNG SUMBING
(Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)
WIDIYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Strategi Nafkah
Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
WIDIYANTO
ABSTRACT
WIDIYANTO. Livelihood Strategy of the Tobacco Peasant’s Family on the slope of Sumbing Mountain (A Case Study in Wonotirto and Campursari Village, the sub-District of Bulu, Temanggung District). 2009. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and NURAINI WAHYUNING PRASODJO.
The background of this research is the historical fact which says that tobacco has been withdrawing a very significant attention as a potential high value commodity since the East Indies regime. The dependence of the peasant’s family to the market system causes the effect of capitalism penetrates into the village. Thus the livelihood strategy discourse becomes significant as an effort to dismantle the efforts of tobacco peasant’s family in responding into this conditions. The objectives of this research are: first, to identify and analyze which ethics of moral economy that bases peasants on constructing their livelihood system. Second, to analyze how is the forms of peasant livelihood strategy. Third, to analyze which institutional system built by peasants as the implementation of their livelihood system. Fourth, to analyze how far the implementation of their livelihood strategy can built the sustainable livelihood system.
In this research, the researcher uses the constructivism paradigm. Meanwhile the strategy that going to be used is a case study. The data collection technique that used are: Inclusive observation, in-depth interview, and document analysis. To analyze the collected data, this research uses a qualitative data analysis method. This research will be conducted in two villages, they are Wonotirto and Campursari Village, Temanggung District. The fieldwork for data collection was carried out during Maret-Juni 2009.
The Study found that the standard morality of livelihood strategy that the tobacco peasant families build, occured in two different form of economical ethic. Each of them is placed in totally in opposition to the other. These are ”social-collectivism” ethic and ”individual-material acquisition” ethic. Each individual economic ethic build specific livelihood strategy that fit into the existing situation as faced by the peasant family. There are five different types of capitals are the tobacco peasant families as disposal, namely: natural capital, phsycal capital, financial capital, human capital, dan social capital. In majority the peasant families of the research areas build common strategies of livelihood, namely: vertical solidarity, horizontal solidarity, debt, patronase, production strategy, srabutan, accumulation, and manipulation of commodity. The institutional system built by peasants as the implementation of their livelihood, namely: sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, maro. These strategies are basically using social capital as a main capital to form livelihood strategies. In case of difficulties (in time of crisis), the tobacco peasant families build somewhat different strategies, namely: temporary migration. All These strategies (in normal and in crisis situation) showed that peasant of this area very flexible mechanism to survive. But, the most sustainable way to survive that the peasant family build is the strategy of using collectivity ties as a instrumental way to support their livelihood.
RINGKASAN
WIDIYANTO. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan
Bulu Kabupaten Temanggung)”.2009. Dibimbing oleh ARYA HADI
DHARMAWAN dan NURAINI WAHYUNING PRASODJO.
Penelitian ini dilatarbelakangi adalah fakta historis bahwa komoditi tembakau sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditi komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda. Keterhubungan rumahtangga petani langsung kepada pasar menyebabkan merembesnya kapitalisme di pedesaan. Hal ini menyebabkan petani tembakau mengalami mixed ethic, pada satu sisi berorientasi kepada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain harus berorientasi kepada keuntungan yang maksimal.Oleh karena itu, kajian strategi nafkah menjadi penting dilakukan sebagai upaya mengungkap (dismantle) bagaimana upaya rumahtangga petani tembakau dalam merespon berbagai kondisi dan implikasinya terhadap sistem nafkah yang berkelanjutan baik secara ekonomi, ekologi, dan sosial.
Tujuan dari penelitian ini adalah; pertama, mengidentifikasi dan menganalisis etika moral ekonomi apa yang melandasi petani dalam membangun sistem nafkahnya. Kedua, menganalisis bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani. Ketiga, menganalisis kelembagaan apa saja yang dibangun sebagai implementasi dari sistem nafkah rumahtangga petani. Keempat, menganalisis sejauh mana strategi nafkah yang diterapkan dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigm konstruktivisme. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach), dengan informasi yang bersifat subyektif dan historis. Strategi yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: (1) pengamatan berperan serta, (2) wawancara mendalam, dan (3) analisis dokumen. Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini digunakan metode analisis data kualitatif (Sitorus, 1998). Unit analisa dalam penelitian ini adalah individu dan rumahtangga. Penelitian ini dilaksanakan di dua desa yaitu Desa Wonotirto dan Desa Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. Pengumpulan data lapang dilakukan pada bulan Maret-Juni 2009.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi nafkah rumahtangga petani tembakau dibangun diatas dua etika moral ekonomi yang berlawanan. Pada satu sisi berlandaskan pada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain berpijak kepada etika individual-material. Kedua etika tersebut “dimainkan” oleh petani sebagai upaya untuk bertahan dan memperbaiki sistem penghidupannya.
kelembagaan yang dibangun oleh petani sebagai implementasi dari strategi nafkah adalah sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, dan maro. Berbagai strategi nafkah tersebut lebih banyak “memainkan” modal sosial sebagai asset penting dalam membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan. Sedangkan pada situasi krisis, petani membangun sistem nafkah yang agak berbeda yaitu dengan melakukan migrasi temporer. Strategi ini dilakukan pada saat gagal panen berturut-turut sehingga tidak memiliki modal finansial untuk berusaha tani. Setelah kondisi pertembakaun membaik, maka petani yang melakukan migrasi akan kembali dan bergelut kembali dengan tembakau.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI TEMBAKAU DI LERENG GUNUNG SUMBING
(Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)
WIDIYANTO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sindoro Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)
Nama : Widiyanto
NRP : I 353070021
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Ketua
Ir. Nuraini Wahyuning Prasodjo, MS Anggota
Diketahui,
Ketua Program Mayor Sosiologi Pedesaan
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, MS
PRAKATA
Ucapan syukur yang mendalam ke hadirat Ilahi Robbi atas segala kemurahan dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Berawal dari keingingan untuk mengetahui dinamika kehidupan petani tembakau “membawa” penulis pada judul penelitian: “Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kec. Bulu Kabupaten Temanggung). Selama kurang lebih tiga bulan penulis bercengkerama dengan komunitas petani tembakau untuk menggali berbagai informasi tentang sistem nafkah yang dibangun dalam upaya bertahan dan memperbaiki standar hidupnya. Sehingga pada akhirnya, dengan segenap keterbatan karya ini dapat disajikan.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing, yaitu Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr dan Ir. Nuraini Wahyuning Prasodjo, MS. Mereka tidak hanya sekedar guru tetapi juga sahabat yang selalu mendorong penulis untuk senantiasa bersemangat ketika rasa malas sedang menghantui, memberikan pencerahan ketika penulis mengalami jalan buntu. Terima kasih atas berbagai referensi yang diberikan sehingga mempermudah penulis dalam mendalami topik penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Titik Sumarti, MS yang telah membaca dengan teliti, memberikan kritikan dan masukan sebagai penguji luar komisi.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pimpinan program studi Sosiologi Pedesaan (SPD) IPB dan seluruh staff pengajar yang telah mendidik dan mengajarkan banyak hal tentang dinamika masyarakat pedesaan. Selanjutnya penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UNS Solo atas izin yang diberikan. Kepada Dirjen Dikti Depdiknas yang telah memberikan beasiswa (BPPS), terima kasih atas dukungan dananya. Seluruh tineliti, petani tembakau di Lereng Sumbing, terima kasih atas segala keramahan dan keterbukaannya dalam memberikan data kepada peneliti. Akhirnya, terima kasih tiada tara atas perhatian dan dukungan ayahanda, ibunda, beserta seluruh keluarga.
Merujuk pada ungkapan Socrates yang dikutip Wiradi (2009): “makin banyak yang aku ketahui, aku tahu bahwa makin banyak yang aku tidak ketahui, akhirnya aku tahu bahwa hanya satu yang aku tahu, yaitu bahwa aku tidak tahu apa-apa!”, maka penulis dengan segenap kerendahan hati menyadari masih banyak kekurangan dalam karya ini. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya semoga kajian ini mampu memberikan khasanah tersendiri dalam ranah penelitian pedesaan. Amin.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 21 Pebruari 1981. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara pasangan Kirno Narnorejo dan Pariyem.
DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR TABEL ……… xiv
DAFTAR GAMBAR ……… xv
DAFTAR LAMPIRAN ……… xvi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……….. 1
1.1.1. Tembakau sebagai Komoditas berorientasi Ekspor……… 1
1.1.2. Usahatani Tembakau sebagai Sumber Penghidupan……... 2
1.1.3. Implikasi terhadap Strategi Nafkah Pedesaan………. 3
1.2. Perumusan Masalah ………... 5
1.3. Tujuan Penelitian ………... 8
1.4. Manfaat Penelitian……….. 9
II. PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka ……… 9
2.1.1. Teori Tindakan Ekonomi……… 9
2.1.2. Konsep Petani ………. 11
2.1.2.1. Tinjauan Petani: Sebuah Perspektif ………... 11
2.1.2.2. Rumahtangga sebagai basis ekonomi petani ……. 12
2.1.3. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani: Sebuah Tinjauan
Konseptual ……….. 14
2.1.4. Basis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani ……… 18
2.1.5. Beberapa Studi tentang Strategi Nafkah dan Posisi
Penelitian dalam Konteks Kekinian ……… 23
2.2.Kerangka Pemikiran ……….. 26
III. METODE PENELITIAN
3.1. Batasan Analisis ……….……….. 29
3.2. Pilihan Paradigma Penelitian ……… 29
3.3. Pendekatan dan Tahap-tahap Penelitian ……… 30
3.4. Teknik Pengumpulan Data ……….…... 31
3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ……….. 32
3.6. Pemilihan Daerah Penelitian ……….…… 33
3.7. Unit Analisis ………... 34
3.8. Definisi Operasional ………... 34
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1.Sekilas tentang Temanggung………...……… 37
4.2. Kondisi Umum Desa Campursari dan Wonotirto……… 39
4.3. Perkembangan Pertembakauan di Temanggung ………. 48
4.4. Ikhtisar ……… 51
V. PROFIL AGRO-EKOLOGI DAN SOSIO-BUDAYA KOMUNITAS PETANI TEMBAKAU
5.1.Lahan sebagai Modal Penghidupan Utama…..…………...…… 54
5.2.Kondisi Agro-ekologi……….………. 56
5.2.1. Desa Campursari: pengairan cukup, terbukanya peluang
komoditas……….. 56
5.2.2. Desa Wonotirto: pada saat musim kemarau, hanya
tembakau yang bisa hidup………. 57
5.3.Tanaman Sela dan Pemanfaatan Limbah Tanaman………. 62
5.4.Kendaraan Bermotor: Sarana Transportasi Penting……… 63
5.5.Bangunan Rumah, Peninggalan Masa Lalu………. 64
5.6.Teknologi: dari cacak dan gobang ke mesin………... 65
5.7.Hewan Ternak dan Pupuk Sebagai Tabungan…………... 67
5.8.Kemampuan Mengelola Tembakau, Warisan Orang Tua……... 68
5.9.Pertanian Tembakau dan Daya Serap Tenaga Pedesaan………. 70
5.10. Perilaku Konsumtif……….. 71
5.11. Ikhtisar………. 73
5.11.1. Pertanian sebagai basis penghidupan utama petani
tembakau……… 73
5.11.2. Tembakau sebagai produk budaya……….… 74
VI. STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI TEMBAKAU
6.1. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani ………….……… 77
6.1.1. Domain “base livelihood”……..………. 82
6.1.1.1. Strategi Produksi……….……… 82
6.1.1.2. Strategi Patronase……… 88
6.1.1.3. Strategi Solidaritas Vertikal……… 91
6.1.1.4. Strategi Solidaritas Horizontal……… 97
6.1.1.5. Strategi Berhutang………... 102
6.1.2. Domain “livelihood diversification”……… 106
6.1.2.1. Strategi Srabutan……… 106
6.1.2.3. Strategi Manipulasi Komoditas……….. 111
6.1.3. Domain “Strategi Migrasi Temporer”………. 115
6.2.Dinamika Sosiologis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani
Tembakau pada berbagai Lapisan……….. 116
6.2.1. Petani Lahan Luas………. 117
6.2.1.1. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Lahan
Sawah………. 117
6.2.1.2. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Lahan
Tegal (pegunungan)……… 118
6.2.2. Petani Lahan Sempit……… 119
6.2.2.1. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Lahan
Sawah………..
119
6.2.2.2. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Lahan
tegal (pegunungan)………..
120
6.3. Ikhtisar……… 121
6.3.1. Etika Moral, Strategi Nafkah, dan Kelembagaan……… 121
6.3.2. Modal Sosial sebagai faktor penting dalam sistem
penghidupan rumahtangga Petani Tembakau………….. 126
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan……….. 129
7.2. Saran ……….. 130
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1. Dimensi Konseptual untuk Memahami Petani (Peasant) ……… 12 Tabel 3.1. Data yang akan dikumpulkan dan Teknik yang dipergunakan… 32 Table 4.1. Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenisnya Tahun 2007…..…. 39 Table 4.2. Ketinggian desa dari permukaan laut dan jaraknya ke pusat
pemerintahan dirinci per desa di kecamatan Bulu tahun 2007…. 40 Table 4.3. Luas Lahan Sawah berdasarkan Pengairan Tahun 2007 ………. 41 Table 4.4. Banyaknya Dusun, RW, RT di Kecamatan Bulu, Desa
Wonotirto dan desa Campursari Tahun 2007 ……… 42
Table 4.5. Kepadatan geografis dan Agraris, Sex ratio, dan Angka Beban Tanggungan (ABT) di Desa Campursari, Wonotirto, dan Kec. Bulu Tahun 2007... 43 Table 4.6. Mata Pencaharian Penduduk 10 tahun ke atas Tahun 2007……. 44 Table 4.7. Luas dan Panen komoditas pertanian di desa Wonotirto,
Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007……… 44
Table 4.8. Ternak besar, kecil, unggas desa Wonotirto, Campursari, dan
Kecamatan Bulu Tahun 2007………... 45
Table 4.9. Tingkat Pendidikan Penduduk desa Wonotirto, Campursari, dan
Kecamatan Bulu Tahun 2007 ………. 46
Table 4.10. Sarana Air Bersih desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan
Bulu Tahun 2007………... 47
Tabel 4.11. Kondisi Umum Daerah Penelitian……… 53
Tabel 6.1. Kerangka tipe aktifitas diversifikasi nafkah ………... 80 Tabel 6.2. Kerangka tipe aktifitas diversifikasi nafkah rumahtangga petani
tembakau……….. 81
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1. Komponen dan Bagan Alir Nafkah Rumahtangga………….. 21
Gambar 2.2. Framework Strategi Nafkah ………... 22
Gambar 2.3 Asset, Livelihood, dan Kemiskinan ……… 23
Gambar 2.4. Pola Distribusi Penghasilan Rumahtangga Petani di Jawa … 25
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian ………. 28
Gambar 4.1. Peta Kabupaten Temanggung………. 38
Gambar 4.2. Luas Tanam Tembakau di Kabupaten Temanggung ………. 49
Gambar 4.3. Produksi Tembakau di Kabupaten Temanggung……… 50
Gambar 4.4. Perkembangan Luas Tanam (ha) dan produksi (ton)
Tembakau Tahun 2003-2007………..
51
Gambar 6.1. Rumah Tangga Menurut Golongan Luas Lahan ……… 89
Gambar 6.2. Strategi Solidaritas Vertikal yang berbasis pada Kinship-Genealogis………..
92 Gambar 6.3. Kelembagaan royongan sebagai Strategi Solidaritas
Horizontal……….. 98
Gambar 6.4. Kelembagaan “menggabungkan hasil panen” sebagai Strategi Solidaritas Horizontal……….
101 Gambar 6.5. Strategi Berhutang Petani kepada Pedagang/Tengkulak…….. 103 Gambar 6.6. Keterkaitan antara Migrasi dan Peningkatan Penghidupan… 116 Gambar 6.7. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau lahan Luas
yang berbasis Tanah Sawah pada berbagai Situasi……… 117 Gambar 6.8. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau lahan Luas
yang berbasis Tanah Tegal (Pegunungan) pada berbagai Situasi ……….
118 Gambar 6.9. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau lahan Sempit
yang berbasis Tanah Sawah pada berbagai Situasi …………...
119 Gambar 6.10. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau lahan Sempit
yang berbasis Tanah Tegal (Pegunungan) pada berbagai Situasi ……….
121 Gambar 6.11. Peran Modal Sosial dalam Mereproduksi Aset dan
Membangun Kapabilitas……….
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Penelitian terdahulu mengenai strategi nafkah pada berbagai setting lokasi yang berbeda
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Tembakau sebagai komoditas berorientasi pasar
Secara Internasional, Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara
terbesar produsen daun tembakau. Dari sepuluh negara tersebut, empat negara
memproduksi hampir 2/3 (lebih dari 4 juta ton) suplai daun tembakau dunia yang
berjumlah sekitar 6,3 juta ton. Keempat Negara tersebut adalah: Cina (38 %),
Brasilia (10,3 %), India (9,1 %) dan Amerika (6,3 %). Kontribusi Indonesia
sekitar 15.000 ton daun tembakau atau 2,3 % suplai dunia (FAO, 2002).
Sementara pengusahaan tembakau di Indonesia sebanyak 98 % adalah
termasuk perkebunan rakyat, dan 2 % adalah perkebunan besar nasional (Ditjen
Perkebunan, 2000). Menurut jenisnya, sebanyak 75 % (173,695 ha) merupakan
tembakau rakyat (rajangan)1. Sebanyak 43,6 % (101,095 ha) ditanam di Jawa
Timur dan 26,7 % (61.925 ha) di Jawa Tengah, dan sisanya adalah di NTB, DIY,
dan Bali. Sebanyak 30 % tembakau rakyat (rajangan) digunakan sebagai bahan
baku rokok kretek. Dari berbagai jenis tembakau rakyat, yang paling banyak
digunakan adalah tembakau Madura dan Temanggung (Deptan, 2002).
Secara historis tembakau sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai
komoditi komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda.
Temanggung yang juga dikenal dengan nama Kedu2 merupakan salah satu
wilayah di Jawa yang telah dikenal sebagai penghasil tembakau sejak tahun 1746,
disamping wilayah lain seperti: Jawa Timur dan Cirebon. Tembakau merupakan
1Tembakau dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: Voor-Oogst dan Na-Oogst. Voor-Oogst adalah
kelompok tembakau yang biasa pada musim hujan dan dipanen pada musim kemarau dan kelompok Na-Oogst adalah jenis tembakau yang ditanam pada musim kemarau dan dipanen pada musim hujan. Jenis tembakau Voor-Oogst diantaranya tembakau Virginia, tembakau rakyat (rajangan) dan tembakau Lumajang. Sedangkan tembakau Deli (Sumatera Utara), Vorstenlanden (Jawa Tengah) dan Besuki-NO (Jawa Timur) termasuk jenis tembakau Na-Oogst.
2
komoditas penting -dan wajib ditanam- di bawah sistem tanam paksa, selain
tanaman “tiga besar” lainnya: tebu, kopi, dan indigo. Pada tahun 1900 dan tahun
1940, penanaman tembakau oleh petani kecil terpusat di beberapa tempat, yaitu:
Dataran Tinggi Dieng dan daerah sekelilingnya (Kabupaten Banjarnegara,
Wonosobo, Batang, Kendal, Salatiga, dan Karesidenan Kedu), Karesidenan
Rembang, dan Karesidenan Probolinggo dan Besuki (Kabupaten Lumajang,
Jember, Bondowoso). Tembakau dari Kedu di ekspor ke Semenanjung Malaya,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Ambon (Boomgard,
2002: 87-101; Jonge, 1989, Suroyo, 2000:188-189).
Sebagai komoditas ekspor, tembakau menjadi tanaman yang komersial dan
berbasis pasar. Tembakau merupakan tanaman bebas yang diusahakan dan
diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhubungan
langsung dengan pasar. Bahkan karena usaha penanaman tembakau pada tahun
1841 dianggap gagal akibat risiko tinggi terkait kerentanannya terhadap cuaca dan
musim menyebabkan pemerintah melepaskan tanam paksa tembakau. Untuk
selanjutnya pemerintah membiarkan petani mengusahakan sendiri tanaman
tembakau seperti sedia kala, atau mengadakan kontrak penanaman atau penjualan
dengan pihak swasta tanpa campur tangan pemerintah secara langsung (Suroyo,
2000: 188-191).
1.1.2. Usahatani tembakau sebagai sumber penghidupan
Hingga sekarang, tembakau masih dibudidayakan oleh petani di
Kabupaten Temanggung sebagai sumber penghidupan. Dengan kata lain,
pertanian tembakau masih menjadi tumpuan kehidupan bagi sebagian besar
petani. Sebanyak 16 (enam belas) Kecamatan di Kabupaten Temanggung
membudidayakannya, dengan tiga area tanam terluas adalah Kecamatan Kledung
(1.905,5 ha); Ngadirejo (1.683 ha); dan Bulu (1.627 ha). Hanya empat Kecamatan
yang sama sekali tidak mengusahakan tembakau yaitu: Kranggan, Pringsurat,
Gemawang, dan Bejen.
Pada mulanya petani membudidayakan tanaman tembakau sesuai dengan
biasanya dikirim ke Weleri dan Cirebon. Tembakau garangan biasanya
dipergunakan untuk rokok jenis lintingan3. Pada tahun 1950-an, berkembang
tembakau tipungan dengan rajangan yang lebih lembut dibandingkan garangan.
Tembakau jenis ini dipak berbentuk kotak, biasanya dipasarkan di sekitar pasar
Parakan. Pada tahun 1975, anjuran ITR (intensifikasi tembakau rakyat) merubah
menanam dari system garang dan tipungan menjadi tembakau “tumbon”4 atau
kenthungan. Keuntungan dari tembakau “tumbon” adalah: (1) luas lahan yang
ditanami lebih luas sehingga hasilnya meningkat; dan (2) harga tembakau tumbon
lebih baik bagi para petani dibandingkan tembakau garang.
Pada saat panen, petani tembakau menjual hasil panennya kepada
tengkulak yang akan datang ke rumah petani untuk membeli tembakau dengan
harga yang berbeda antara satu petani dengan petani lainnya, meskipun jenis
tembakaunya sama. Tengkulak kemudian menjualnya kepada juragan, baru
setelah itu para juragan menjual ke perusahaan rokok melalui grader.
Hasil penjualan tersebut digunakan petani untuk membeli barang apapun
dan setelah masa paceklik dijual lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari
hasil penjualan tembakau umumnya mereka gunakan untuk membeli pupuk,
membayar hutang, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Sementara pada
golongan masyarakat dengan luas lahan 0,25-0,5 ha dan >0,5 ha sebagian
hasilnya ditabung dalam bentuk tabanas dan membeli emas (Jacub, 1985).
1.1.3. Implikasi terhadap strategi nafkah Pedesaan
Keterkaitan langsung dengan pasar membuat pedesaan telah mencapai
tingkat komersialisasi sedemikian rupa, sehingga langsung lebih terlibat dalam
percaturan ekonomi yang lebih luas di luar wilayahnya atau disebut cenderung ke
3Rokok dibuat sendiri dengan cara melinting (menggulung) selembar kertas kecil yang didalamnya terdapat
ramuan tembakau, cengkeh, dan lainnya kemudian digulung secara manual. Aktifitas ini biasanya dilakukan setiap kali akan merokok.
4
kapitalisme Husken (1998). Secara empiris, Penny (1990) membandingkan dua
desa yaitu di Sriharjo di Imogiri Yogyakarta dan Sukamulia di Sumatera Utara
yang warganya juga “orang-orang Jawa”, ternyata bisa mengalami dampak
berbeda dari sistem pasar yang semakin komersial. Sistem pasar telah membuat
Desa Sriharjo menderita dan menjadi lebih miskin, sedangkan bagi Sukamulia
tidak demikian. Sebab utamanya adalah justru karena desa Sriharjo sudah amat
komersial, artinya ia sudah menjadi begitu “terbuka”, sehingga mudah
“dieksploitasi” oleh kekuatan-kekuatan sistem pasar bebas. Sebaliknya bagi Desa
Sukamulia, karena masih jauh lebih subsisten (tertutup), maka kekuatan-kekuatan
sistem pasar yang “merusak” belum sempat merugikannya.
Long (1987) mencirikan bahwa sistem perekonomian desa di
Negara-negara dunia ketiga bercorak kombinasi antara non-kapitalis yang ‘tradisional”
dengan kapitalis yang emergen.. Boeke (1953) dalam Sajogyo (1982)
menyebutnya sebagai teori ekonomi ganda (dualistic economics) dimana dalam
waktu yang sama terdapat dua atau lebih sistem sosial, dan masing-masing sistem
sosial ini jelas berbeda satu sama lain dan masing-masing menguasai bagian
tertentu dari masyarakat bersangkutan. Sehingga petani di pedesaan mengalami
mixed ethic, pada satu sisi berorientasi kepada etika sosial-kolektif dan pada sisi
yang lain harus berorientasi kepada keuntungan yang maksimal. Kedua etika
tersebut “dimainkan” oleh petani sebagai upaya membangun sistem penghidupan
yang berkelanjutan
Fadjar (2009) membuktikan bahwa pada petani kakao menerapkan strategi
amphibian, dimana walaupun pengaruh kapitalisme telah merembes (masuk
sedikit demi sedikit) namun nilai-nilai tradisional tidak sepenuhnya ditinggalkan.
Nilai-nilai subsistensi melekat pada aktifitas produksi (on farm) baik pada
komoditas padi maupun kakao. Pada sisi yang lain, semangat kapitalisme sangat
menonjol pada proses penjualan hasil produksi kebun kakao. Kakao merupakan
komoditas yang berorientasi pada pasar yang diperlukan sebagai komoditas baku
bagi industry yang berada di luar komunitas petani.
Oleh karena itu, kajian strategi nafkah menjadi penting dilakukan sebagai
dalam merespon berbagai kondisi. Beberapa kondisi tersebut antara lain; yaitu:
pertama, risiko yang melekat pada karakteristik komoditas itu sendiri, rentan
terhadap perubahan cuaca dan iklim. Kedua, pada sisi lain mereka juga
dihadapkan kepada sistem ekonomi yang dikendalikan oleh pasar. Kemampuan
melakukan adaptasi tersebut sebagai upaya untuk menciptakan sustainable
livelihood, yang harus mampu: (1) beradaptasi dengan shock dan tekanan; (2)
memelihara kapabilitas dan asset-aset yang dimiliki; dan (3) menjamin
penghidupan untuk generasi berikutnya (Chambers dan Conway, 1992). Makna
berkelanjutan tidak sekedar secara ekonomi, tetapi juga ekologi dan sosial.
1.2. Perumusan Masalah
Pengentasan kemiskinan merupakan prioritas penting dalam pembangunan
bahkan telah menjadi agenda global. Namun demikian, agenda tersebut kurang
memberikan hasil yang memuaskan, bahkan ada kecederungan dibeberapa
wilayah mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan adanya pemikiran yang
reduksionis dan terlalu menyederhanakan permasalahan orang miskin. Para pakar
ekonomi, mengekspresikan kemiskinan dalam dominasi income-poverty. Padahal,
orang miskin bersifat lokal, komplek, beragam, dan dinamis. Banyak dimensi
penting yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: inferioritas, pengasingan,
kerentanan, perampasan, ketidakberdayaan, dan penghinaan (Chambers, 1995).
Salah satu pendekatan dalam memahami kemiskinan adalah sustainable
livelihood. Pendekatan ini tidak hanya berbicara mengenai pendapatan (income
poverty) dan pekerjaan (jobs) tetapi lebih holistik dengan memahami bagaimana
kehidupan orang miskin, apa prioritas hidup mereka, dan apa yang dapat
membantu mereka. Dengan kata lain, memahami orang miskin harus bersifat
komprehensif, dengan berbagai elemen penting yang harus dipahami secara tepat
dan benar, seperti: (a) siapa orang miskin itu?; (b) di mana mereka tinggal?; (c)
mengapa mereka miskin?; (d) mengapa mereka tetap miskin?; (e) bagaimana
persepsi mereka mengenai apa yang dimaksud dengan “miskin“ ?; dan (f)
Banyak kajian yang dilakukan terkait dengan bagaimana cara masyarakat
dalam upaya bertahan dan memperbaiki kehidupannya. Geertz (1976)
membuktikan bagaimana pola adaptasi yang dilakukan oleh petani Jawa dengan
melakukan budidaya padi sawah. Teknologi yang masuk kepada masyarakat
(pupuk, intensifikasi pertanian) ternyata tidak mampu mengubah “nilai tertinggi
dari masyarakat” sehingga kemudian yang terjadi adalah masyarakat melakukan
perubahan tetapi tidak bersifat fundamental. Akibatnya, dikataan Geertz sebagai
involusi (perubahan ke dalam). Hayami dan Kikuchi (1982) juga membuktikan
kelembagaan (pranata) telah mencegah polarisasi akibat pengaruh arus
modernisasi. Modernisasi ternyata tidak menyebabkan pengkutuban kelas
melainkan diferensiasi. Social mechanism petani melalui hubungan patron-klien
ternyata menjadi media untuk share of poverty. Melalui media tersebut, petani
kelas bawah juga ikut menikmati keuntungan dari kekayaan petani kelas atas guna
mencukupi kebutuhan subsistensinya.
Penelitian White (1973) yang dikutip Sajogyo (1990) menyatakan bahwa
dalam kondisi lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani bertahan hidup
dengan melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah:
(1) terjadi (sebagian) proses “orang terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar
pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian
lain) proses “orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian)”, dimana imbalan
di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan
bawah (miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi
bertahan hidup. Sajogyo (1998) menyebut sebagai pola nafkah ganda.
Keberagaman dan kompleksitas strategi nafkah yang dibangun oleh petani
juga dipengaruhi oleh setting ekologi yang berbeda. Dharmawan (2001)
membuktikan bahwa pada pedesaan pegunungan di Jawa Barat dengan kondisi
jumlah penduduk yang padat menunjukkan adanya strategi nafkah yang berbasis
pada diversifikasi sumber nafkah di luar pertanian melalui alokasi pembagian
tenaga kerja keluarga. Sedangkan pedesaan pegunungan di Kalimantan Barat
memperlihatkan strategi nafkah yang memusatkan diri pada aktifitas pertanian
Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa petani sangat
dinamis, beragam, dan memiliki respon yang berbeda dalam menghadapi berbagai
perubahan baik kebijakan pembangunan maupun kondisi sosio-ekologi. Respon
tersebut akan menggerakkan dan “memainkan” sumberdaya yang dimiliki baik
berupa modal alam, modal fisik, modal SDM, modal financial, dan modal social
(Conway dan Chambers, 1992) yang dapat berupa berupa tangible dan intangible
assets. Karena pada hakikatnya sebagian besar rumahtangga pedesaan pada
umumnya tidak dapat menghindar dari resiko, apakah yang disebabkan oleh
manusia atau karena faktor lingkungan (Ellis, 2000).
Pada petani tembakau berhadapan dengan beberapa risiko, yaitu: pertama,
karena tembakau merupakan tanaman bebas yang diusahakan dan diperdagangkan
tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhubungan langsung dengan
pasar, akibatnya sangat rentan terhadap fluktuasi harga yang juga dipengaruhi
oleh beberapa aktor mulai dari tengkulak/juragan, grader5 hingga pabrik. Kedua,
pertanian tembakau juga sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim.
Pada sisi yang lain, luas lahan pertanian sebagai basis kehidupan utama semakin
terfragmentasi karena diwariskan kepada generasi berikutnya.
Untuk menghadapi berbagai risiko tersebut, rumahtangga petani akan
mengelola struktur nafkah sehingga mampu meminimalkan resiko, tergantung
kepada sumberdaya yang dimiliki. Dalam upaya memperjuangkan kehidupan
ekonomi akibat berbagai risiko tersebut, rumahtangga petani biasanya akan
melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan sosial mereka dalam
upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup.
Secara luas bahwa adanya diversifikasi nafkah tidak sekedar untuk bertahan
hidup, yang dikonotasikan sebagai resistensi, artinya seolah-olah tidak
berkembang. Oleh karena itu, bahwa strategi nafkah selain untuk bertahan hidup
tetapi juga berusaha memperbaiki standar hidup (Ellis, 1998; Redclift, 1986).
5
Sistem nafkah yang dibangun sangat dipengaruhi oleh etika moral petani
baik pada level individu, rumahtangga, hingga komunitas. Etika moral akan
mendorong petani untuk berpijak pada basis sosial-kolektif ataukah
individual-materialism dalam membentuk strategi nafkahnya. Etika Sosial-kolektif akan
membentuk sistem nafkah yang berorientasi kepada terbentuknya jaminan sosial
komunitas. Sementara etika individual-materialism akan bermuara pada tindakan
ekonomi yang berbasis rasional instrumental (orientasi pada tujuan
memaksimalkan keuntungan). Mendasarkan diri pada etika moral inilah dapat
dilihat sumberdaya apa yang paling dominan sebagai katup penyelamat terhadap
berbagai risiko yang dihadapi oleh rumahtangga petani tembakau.
Pertanyaan yang kemudian muncul dalam penelitian ini adalah:
1. Etika moral ekonomi apa yang melandasi petani dalam membangun sistem
nafkahnya?;
2. Bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani?;
3. Kelembagaan apa saja yang dibangun sebagai implementasi dari sistem nafkah
rumahtangga petani?;
4. Sejauh mana strategi nafkah yang diterapkan dapat membangun sistem nafkah
yang berkelanjutan (sustainable livelihood)?.
1.3. Tujuan Penelitian
Mendasarkan diri pada latar belakang dan permasalahan, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi dan menganalisis etika moral ekonomi apa yang melandasi
petani dalam membangun sistem nafkahnya;
2. Menganalisis bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani;
3. Menganalisis kelembagaan apa saja yang dibangun sebagai implementasi dari
sistem nafkah rumahtangga petani;
4. Menganalisis sejauh mana strategi nafkah yang diterapkan dapat membangun
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu mengeksplorasi dinamika sistem nafkah
rumahtangga petani tembakau yang bersifat dinamis, khas, dan kompleks;
sehingga dapat berkontribusi kepada:
1. Pengambil kebijakan, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
dinamika rumahtangga petani tembakau dalam upaya berjuang untuk bertahan
dan meningkatkan standar hidupnya. Implikasinya, berbagai kebijakan dalam
proses pembangunan senantian berpijak kepada kondisi khas masing-masing
wilayah dan berorientasi pada basic-need petani.
2. Dunia akademik, diharapkan dapat menyumbangkan referensi baru dalam
khasanah penelitian tentang strategi nafkah (livelihood strategy) spesifik pada
II.PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Teori Tindakan Ekonomi
Dilihat dari segi tindakan ekonomi, dalam ekonomi (mikro), pelaku
diasumsikan mempunyai kondisi yang tetap (stabil) dan ditentukan oleh satuan
pilihannya dan alternatif tindakan untuk memaksimalkan utility atau profit. Ini
dikatakan sebagai tindakan/pilihan rasional (rational choice). Berbeda dengan
sosiologi, karena pelaku memiliki berbagai kemungkinan dalam melakukan
tindakan, seperti yang diillustrasikan Weber, bahwa tindakan ekonomi dapat
berarti rasional, tradisional, atau spekulatif (irrational). Hal ini penting, karena
ilmu ekonomi tidak memberi tempat pada tindakan tradisional (Smelser dan
Swedberg, 1994).
Selanjutnya tindakan ekonomi dilakukan dengan efisien yang berkaitan
dengan sumberdaya yang langka. Sedangkan sosiologi memiliki pandangan yang
lebih luas, sebagaimana yang dikemukakan Weber, bahwa secara konvensional
memaksimalkan ‘utility’ dikatakan sebagai terminologinya kuantitatif atau
dianggap sebagai “rasional formal”. Dalam sosiologi, juga dikenal “rasional
substantif”, yang mengacu pada pengalokasian dengan sejumlah prinsip seperti
loyalitas komunal atau nilai-nilai yang luhur. Sehingga disini rasionalitas
dipandang oleh ahli ekonomi sebagai sebuah asumsi, sedangkan dalam sosiologi,
rasionalitas dipandang sebagai sebuah variabel (Smelser dan Swedberg, 1994).
Weber menjelaskan bagaimana kategori sosiologi tentang tindakan
ekonomi. Bagi Weber, tindakan akan dikatakan menjadi “berorientasi secara
ekonomi” (economically oriented), sepanjang itu sesuai dengan makna
subjektifnya, yang difokuskan pada pemenuhan terhadap suatu kebutuhan atau
utility. Juga dikatakan bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan yang oleh aktor
dianggap aman bagi kontrol aktor atas sumberdaya, terutama yang berorientasi
Menurut Weber yang dikutip oleh Damsar (2002) bahwa: (1) tindakan
ekonomi adalah tindakan social; (2) tindakan ekonomi selalu melibatkan makna;
dan (3) tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan. Tindakan ekonomi
diinspirasikan oleh custom (habit), convention (norma), dan interest, artinya
tindakan ekonomi dapat berupa rasional, tradisional, dan spekulatif-rasional. Hal
inilah yang membedakan dengan ilmu ekonomi yang tidak memberikan tempat
bagi tindakan tradisional. Tindakan ekonomi merupakan hubungan dua aktor atau
lebih yang berorientasi satu sama lain, membentuk hubungan ekonomi. Hubungan
tersebut dapat mengambil beragam ekspresi, mencakup konflik, kompetisi, dan
upaya untuk menguasai seseorang (kekuasaan). Melalui analisa tindakan
ekonominya Weber tersebut dapat jelaskan bagaimana sebenarnya rumahtangga
petani melakukan aktivitas ekonominya dalam rangka bertahan dan meningkatkan
taraf hidupnya yang didasarkan custom (habit), convention (norma), dan interest,
artinya tindakan ekonomi tersebut didasari oleh rasionalitas, tradisional, dan
spekulatif-rasional.
2.1.2. Konsep Petani
2.1.2.1. Tinjauan Petani: Sebuah Perspektif
Untuk memahami perilaku ekonomi rumahtangga petani, maka hal penting
yang harus dipahami adalah bagaimana konsep petani itu sendiri. Kurtz (2000:
93-124) mencoba memahami konsep petani berdasarkan dimensi-dimensi penting
yang berkaitan dengan dunia petani. Keempat dimensi penting tersebut
merupakan dasar para ahli untuk mendefinisikan petani. Keempat dimensi
tersebut adalah: (1) petani sebagai “pengolah tanah di pedesaan (rural cultivator);
(2) komunitas petani yang bercirikan perilaku budaya yang jelas, membedakan
dari pola budaya urban; (3) petani adalah komunitas desa yang tersubordinasi oleh
pihak luar; dan (4) penguasaan/pemilikan lahan yang diolah petani. Berdasarkan
dimensi-dimensi tersebut Kurtz kemudian membedakan para ahli kedalam lima
kelompok, yaitu: minimalis, anthropologi, moral ekonomi, Marxian, dan
Weberian. Kelima kelompok tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda
Tabel 2.1. Dimensi Konseptual untuk memahami Petani (peasant)
Dimensi Minimalist
Anthro-pologi
Ekonomi Moral
Marxian Weberian
1 Pengolah tanah pedesaan √ √ √ √ √ 2 Komunitas petani dengan budaya
yang khas
√ √ √
3 Komunitas tersub-ordinasi √ √ √ 4 Penguasa/pemilik lahan √ √
Banyaknya kajian Sangat banyak Banyak Sedang Sedang Sangat sedikit Contoh Popkin (1979)
Lichbach (1994)
*untuk sementara konseptualisasinya Wolf dimasukkan dalam kelompok Marxian, walaupun terkadang argument theoriticalnya masuk dalam kelompok ekonomi moral
Sumber: dikutip dari Kurtz (2000:96)
Kelompok Minimalis memandang petani sebagai pengolah tanah di
pedesaan (rural cultivator), dimana mereka berpegang kuat pada teori pilihan
rasional. Petani dianggap tidak berbeda dari perilaku ekonomi lainnya.
Anthropologi menambahkan satu dimensi penting lainnya yaitu komunitas petani
yang bercirikan perilaku budaya yang khas sehingga berbeda dari pola budaya
urban. Kelompok ekonomi moral menambahkan satu dimensi lagi yaitu petani
merupakan komunitas yang tersubordinasi kuat oleh kekuasaan dari luar. Selain
sebagai rural cultivator, komunitas tersubordinasi, kelompok Marxian
menambahkan satu aspek penting yaitu dimensi penguasaan/pemilikan lahan yang
diolah petani. Sedangkan kelompok Weberian mengacu keempat dimensi tersebut
2.1.2.2. Rumahtangga sebagai Basis Ekonomi Petani
Banyak para ilmuwan yang berusaha memahami konsep petani
berdasarkan pengalaman empirisnya. Salah satu ciri penting dari petani adalah
basis ekonominya adalah rumahtangga. Sahlin yang dikutip Wolf (1983:3-4)
menyatakan bahwa di dalam perekonomian-perekonomian primitive, bagian
terbesar dari hasil produksi dimaksudkan untuk digunakan oleh
penghasil-penghasilnya sendiri atau untuk menunaikan kwajiban-kwajiban kekerabatan, dan
adalah bahwa penguasaan de facto atas sarana-sarana produksi di dalam
masyarakat primitive terdesentralisasi, bersifat local dan kekeluargaan.
Redfield (1985) mendefinisikan petani sebagai produsen pertanian dengan
skala kecil, peralatannya sederhana, dan tenaga kerja berasal dari keluarga, produk
utama yang dihasilkan sebagian besar untuk konsumsi sendiri, dan untuk
memenuhi kwajiban-kwajiban kepada kekuatan ekonomi dan politik. Petani
merupakan masyarakat dengan nilai setengah desa setengah kota. Ada proses
reinterpretasi dan reintegrasi dengan elemen-elemen yang dipandang lebih tinggi
dari mereka (kota)-“tradisi agung”.
Ellis (1993) petani adalah rumahtangga yang sumber nafkahnya utamanya
berasal dari pertanian, tenaga kerja utama produksi pertaniannya dari keluarga,
dan berhubungan dengan pasar secara tidak sempurna. Mendasarkan diri pada
penelitiannya di masyarakat nelayan Malaysia, Firth (1966) mendefinisikan petani
sebagai sebuah sistem produksi skala kecil dengan teknologi sederhana untuk
pemenuhan kebutuhan pangan sendiri dengan basis ekonomi pada rumahtangga.
Chayanov (1986) mengambarkan ekonomi rumah tangga petani dengan
houseshold utility maximization dimana adanya upaya memaksimalkan potensi
ekonomi rumah tangga melalui tenaga kerja rumah tangga tanpa bayar, dan
memaksimalkan fungsi lahan pertanian yang sempit. Ekonomi usaha tani petani
adalah berbasis pada perekonomian keluarga (family economy) sehingga semua
keluarga tani lebih mudah berhubungan dengan tanah untuk dikerjakan. Seluruh
organisasinya ditentukan oleh ukuran dan komposisi keluarga petani itu dan oleh
tuntutan-tuntutan konsumsinya dengan jumlah tangan yang bekerja. Usahatani
keluarga tidak bersifat profit maximation, melainkan membangun dan menjaga
keseimbangan “consumer-labour ratio” (C/L). Apabila kebutuhan konsumsi
rumahtangga tidak tercukupi dengan luasan lahan yang ada, maka mereka akan
mengolah tanah lebih intensif (menambah jumlah jam kerja). Hasil pertanian
hanya digunakan untuk konsumsi keluarga dan kalau dijual harga ditentukan oleh
pasar.
Wolf (1983:19-20) melihat kaum tani dengan cara yang berbeda. Wolf
mempertahankan suatu keseimbangan antara tuntutan-tuntutan orang-orang luar
dan akan mengalami ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh perjuangan
untuk mempertahankan keseimbangan itu. Orang luar pertama-tama memandang
petani pedesaan sebagai suatu sumber tenaga kerja dan barang yang dapat
menambah dana kekuasaannya (fund of power). Akan tetapi petani adalah juga
pelaku ekonomi (economic agent) dan kepala rumahtangga. Tanahnya adalah satu
unit ekonomi dan rumahtangga.
Secara lebih rinci, Shanin (1966) mencirikan petani dengan beberapa
karakteristik, yaitu: (1) Ciri-ciri ekonomi petani ditentukan oleh keterkaitan petani
dengan lahan dan karakteristik produksi pertanian yang khas; (2) usahatani
keluarga adalah unit dasar dari kepemilikan petani, produksi, konsumsi, dan
kehidupan social; (3) dalam kegiatan ekonomi usahatani, tidak terlalu
memperhatikan spesialisasi kerja; (4) budaya tradisional petani sangat berkaitan
dengan kehidupan masyarakat desa; dan (5) didominasi oleh pihak luar melalui:
land-tenure, penyalahgunaan dalam kekuatan pasar.
Berdasarkan berbagai pemikiran beberapa ahli (Wolf, 1983; Redfield,
1985; Chayanov, 1986; Ellis, 1993; dan Shanin,1966) memiliki pandangan yang
sama bahwa basis ekonomi petani adalah pada level rumahtangga. Ortiz dalam
Carrier (2005) menyatakan bahwa pada masyarakat non-Barat basis sumberdaya
dikelola pada unit rumahtangga dan komunitas yang berbasis kekerabatan.
Keputusan dalam kegiatan produksi dan investasi lebih cenderung dilakukan oleh
rumahtangga dibandingkan pada level individu.
2.1.3. Strategi Nafkah Rumahtangga: Sebuah Tinjauan Konseptual
Konsep strategi bertahan hidup di kalangan ilmuwan barat pertama kali
digunakan oleh Duque dan Pastrana (1973) dalam studi mereka mengenai
keluarga miskin di Santiago, Chili. Semenjak itu, konsep tersebut menjadi sangat
popular dan digunakan di dalam referensi untuk rasionalitas strategi dalam
meminimalkan resiko di dalam ekonomi yang tidak menentu (Crow, 1989).
Strategi nafkah rumahtangga di kalangan ilmuwan Barat berkembang dalam
tidak sama pentingnya dengan ekonomi formal dalam pemahaman perilaku
ekonomi sehari-hari diantara masyarakat miskin di dalam upaya bertahan hidup
akibat lingkungan yang semakin berisiko (Portes, 1994; Crow, 1989; Owusu;
2007).
Namun demikian, sector informal di Afrika masih menjadi perdebatan
paling tidak pihak-pihak yang menganut pandangan reformist, institutionalist, dan
neo-marxist. Kaum reformist memandang bahwa sector informal adalah solusi
bagi pengangguran di Afrika dan mendorong pemerintah untuk mendukungnya.
Secara umum kaum institutionalist tidak setuju dengan pandangan kaum reformis.
Mereka menyalahkan intervensi pemerintah untuk pengembangan sector informal
dan melihat spontanitas orang dan tanggapan kreatif terlalu berlebihan dan tidak
perlu diatur dalam regulasi oleh Negara (de soto, 1989; World Bank 1989 yang
dikutip oleh Owusu, 2007). Kaum neo-marxis tidak setuju akan pendapat
pandangan kaum reformis dan institutionalis perihal pentingnya pemerintah dalam
memberikan manfaat kepada kaum miskin. Mereka lebih memandang bahwa
kemiskinan pada sector informal merupakan hasil dari hubungan yang eksploitatif
dengan produksi dan distribusi kapitalis.
Menurut Redclift (1986) orang-orang dalam posisi yang termarginalkan
seperti petani, kelompok usaha kecil dan keluarga petani dikatakan memiliki
strategi di dalam bertahan hidup yang sering disebut sebagai “strategi survival”
atau “strategi coping”. Menurut Meert, Mistiaen, dan Kesteloot (1997) yang
dikutip oleh Owusu (2007) Secara umum, strategi bertahan hidup (survival
strategy) didefinisikan sebagai tindakan ekonomi yang disengaja oleh
rumahtangga dengan motivasi yang tinggi untuk memuaskan sebagian besar
kebutuhan dasar manusia, paling tidak pada level yang minimum, sesuai dengan
norma social dan budaya masyarakat.
Dalam khasanah penelitian mengenai strategi nafkah, Dharmawan (2007)
membandingkan dua kelompok studi yang concern terhadap kajian sistem
penghidupan, yaitu Mazhab Bogor dan Mazhab Sussex. Mazhab Bogor
dikembangkan oleh Sajogyo, White, Dharmawan, dan ilmuwan sosial dari IPB.
Bebbington dan Batterbury, Scoones, Ellis, dan lainnya. Secara kesejarahan
mazhab Bogor muncul sebagai respon-aktif atas keprihatinannya pada persoalan
kemiskinan dan kemunduran ekonomi pedesaan yang disebabkan oleh
ketidakmampuan petani kecil dalam menyelaraskan diri pada proses-proses
modernisasi pertanian berteknologi padat modal via pembangunan di Indonesia
dan Jawa. Sementara pada mazhab Sussex, studi livelihood dilatarbelakangi
adanya keprihatinan terhadap kehancuran yang menghempaskan komunitas lokal
pada derajad ketidakpastian nafkah yang sangat dalam.
Mazhab Bogor menggunakan tradisi pemikiran strukturalisme-Marxian
dimana faktor-faktor sosial-ekonomi (seperti lahan, kapital, jumlah tenaga kerja,
struktur rumahtangga) menjadi determinan penting atas munculnya beragam tipe
strategi nafkah di pedesaan. Sementara mazhab Sussex kebih banyak
menggunakan pendekatan sosio-ekologis dalam menjelaskan fenomena
kemiskinan dan sistem penghidupan. Secara metotodologi, kedua mazhab
menganut aliran pendekatan yang mirip, yaitu: kualitatif-konstruktuf-reflektif,
dimana obyektifitas dibangun melalui apresiasi pemahaman subyektif dari orang
miskin yang diamati di lapangan (Dharmawan, 2007)
Kajian White yang dikutip Sajogyo (1990) telah melihat bahwa kondisi
lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani berusaha untuk melakukan
kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah: (1) terjadi
(sebagian) proses “orang terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian
lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses
“orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian)”, dimana imbalan di luar
pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah
(miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan
hidup.
Ide pemikiran Sajogyo tentang studi nafkah non pertanian yang seringkali
diberi merupakan spesifik untuk kondisi petani di Indonesia terutama di Jawa.
Berbagai penelitian ini dilatarbelakangi adanya keprihatinan atas gejala perubahan
social terutama perubahan struktur agraria yang mendorong adanya upaya
tersebut, akhirnya muncul ide dan pemikiran industrialisasi pedesaan. Ide tersebut
dipublikasikan melalui “symposium industrialisasi pedesaan” yang
diselenggarakan atas kerjasama Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian
IPB dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Jakarta pada tanggal 18
Desember 1989.
Industrialisasi pedesaan tersebut muncul paling tidak dengan beberapa
alasan, yaitu: (1) masih banyaknya jumlah penduduk yang menggantungkan diri
pada sector pertanian, (2) sebagian besar berpenghasilan dari skala usaha yang
kecil, dan (3) menurunnya dasa absorbsi sector pertanian terhadap tenaga kerja.
Melalui industrialisasi pedesaan tersebut paling tidak berfungsi untuk: (1)
mendorong pertumbuhan pedesaan dengan mendiversifikasi sumber pendapatan;
(2) meningkatkan dampak pertumbuhan permintaan di dalam atau di luar suatu
daerah; (3) meningkatkan kesempatan kerja baru; (4) mendekatkan hubungan
fungsional antara pertanian dengan sector urban/industry; (5) meningkatkan
produktivitas tenaga kerja dan penerimaan industry; dan (6) mengurangi
kemiskinan pedesaan, ekonomi uang, dan pasar (Usman dalam Sajogyo, 1990).
Dalam ranah penelitian, strategi rumahtangga dapat dikelompokkan
menjadi tiga yaitu: (1) sebagai konsep; (2) sebagai metode analisis; dan (3)
sebagai unit analisis (Wallace, 2002). Pertama: Sebagai konsep, strategi
rumahtangga dapat didefinisikan dalam dua pengertian: (1) bahwa rumahtangga
benar-benar duduk dan merencanakan aktivitas mereka dalam menghadapi
ketidakpastian-“strong definition”; (2) rumahtangga mengorganisasikan berbagai
sumber nafkah baik formal, non formal, dan tenaga kerja rumahtangga untuk
bertahan hidup baik direncanakan maupun tidak “weak definition” (Warde, 1990
yang dikutip Wallace, 2002). Kedua: Sebagai metode analisis, terutama
dipergunakan untuk memahami kombinasi formal, non-formal, dan pekerjaan
rumahtangga dan pembagian kerja diantara mereka. Kombinasi ini biasanya hanya
terbatas pada aktivitas yang tidak diatur oleh Negara dan kadang-kadang
berbentuk resiprositas atau pertukaran yang tidak dibayar diantara rumahtangga.
Ketiga: sebagai unit analisis, digunakan untuk memahami perilaku ekonomi pada
analisis adalah bahwa rumahtangga adalah dasar unit produksi, reproduksi,
konsumsi, seremonial, dan interaksi politik. Hal ini senada dengan pernyataan
Chayanov (1966) bahwa pangkal tolak untuk memahami perilaku ekonomi petani
adalah melihat rumahtangga petani sebagai unit produksi sekaligus sebagai unit
konsumsi.
2.1.4. Basis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani
Dalam upaya memperjuangkan kehidupan ekonominya rumahtangga
petani di pedesaan biasanya akan melakukan diversifikasi sumber nafkah yaitu
proses yang dilakukan oleh keluarga pedesaan untuk melakukan berbagai aktivitas
dan kemampuan dorongan social mereka dalam upaya berjuang untuk bertahan
hidup dan untuk meningkatkan standar hidup. Secara luas bahwa adanya
diversifikasi nafkah tidak sekedar untuk bertahan hidup, yang dikonotasikan
sebagai resistensi, artinya seolah-olah tidak berkembang. Oleh karena itu, bahwa
strategi nafkah selain bertahan hidup tetapi juga berusaha memperbaiki standar
hidup (Ellis, 1998; Redclift, 1986).
Menurut Ellis (1998) pembentuk strategi nafkah dibedakan menjadi 3
(tiga) yaitu pertama: berasal dari on-farm; merupakan strategi nafkah yang
didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan,
kehutanan, peternakan, perikanan, dll). Kedua: berasal dari off-farm, yaitu dapat
berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system),
kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain. Ketiga: berasal dari non farm,
yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi
menjadi 5 yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha
sendiri di luar kegiatan pertanian, (3) pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa),
(4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; dan (5) kiriman dari buruh
migran yang pergi ke luar negeri. Namun, pada kenyataanya klasifikasi tersebut
hanya dibagi menjadi dua yaitu dari sector pertanian (on farm dan off farm) dan
sector non pertanian (non farm).
Beberapa hal penting yang mendorong terjadinya diversifikasi sumber