• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.2. Konsep Petan

2.1.2.1. Tinjauan Petani: Sebuah Perspektif

Untuk memahami perilaku ekonomi rumahtangga petani, maka hal penting yang harus dipahami adalah bagaimana konsep petani itu sendiri. Kurtz (2000: 93- 124) mencoba memahami konsep petani berdasarkan dimensi-dimensi penting yang berkaitan dengan dunia petani. Keempat dimensi penting tersebut merupakan dasar para ahli untuk mendefinisikan petani. Keempat dimensi tersebut adalah: (1) petani sebagai “pengolah tanah di pedesaan (rural cultivator); (2) komunitas petani yang bercirikan perilaku budaya yang jelas, membedakan dari pola budaya urban; (3) petani adalah komunitas desa yang tersubordinasi oleh pihak luar; dan (4) penguasaan/pemilikan lahan yang diolah petani. Berdasarkan dimensi-dimensi tersebut Kurtz kemudian membedakan para ahli kedalam lima kelompok, yaitu: minimalis, anthropologi, moral ekonomi, Marxian, dan Weberian. Kelima kelompok tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap petani. (lihat table 2.1.).

Tabel 2.1. Dimensi Konseptual untuk memahami Petani (peasant)

Dimensi Minimalist Anthro-

pologi

Ekonomi Moral

Marxian Weberian

1 Pengolah tanah pedesaan

2 Komunitas petani dengan budaya yang khas

3 Komunitas tersub-ordinasi

4 Penguasa/pemilik lahan

Banyaknya kajian Sangat banyak Banyak Sedang Sedang Sangat

sedikit Contoh Popkin (1979) Lichbach (1994) Bates (1984, 1988) Teori pilihan rasional lainnya Redfield (1955) Kroeber (1948) Banfield (1958) Scott (1976) Magagna (1991) Kerkvliet (1977) Wolf (1967)* Paige (1975) Moore (1966) Shanin (1982)

*untuk sementara konseptualisasinya Wolf dimasukkan dalam kelompok Marxian, walaupun terkadang argument theoriticalnya masuk dalam kelompok ekonomi moral

Sumber: dikutip dari Kurtz (2000:96)

Kelompok Minimalis memandang petani sebagai pengolah tanah di pedesaan (rural cultivator), dimana mereka berpegang kuat pada teori pilihan rasional. Petani dianggap tidak berbeda dari perilaku ekonomi lainnya. Anthropologi menambahkan satu dimensi penting lainnya yaitu komunitas petani yang bercirikan perilaku budaya yang khas sehingga berbeda dari pola budaya urban. Kelompok ekonomi moral menambahkan satu dimensi lagi yaitu petani merupakan komunitas yang tersubordinasi kuat oleh kekuasaan dari luar. Selain sebagai rural cultivator, komunitas tersubordinasi, kelompok Marxian menambahkan satu aspek penting yaitu dimensi penguasaan/pemilikan lahan yang diolah petani. Sedangkan kelompok Weberian mengacu keempat dimensi tersebut

2.1.2.2. Rumahtangga sebagai Basis Ekonomi Petani

Banyak para ilmuwan yang berusaha memahami konsep petani berdasarkan pengalaman empirisnya. Salah satu ciri penting dari petani adalah basis ekonominya adalah rumahtangga. Sahlin yang dikutip Wolf (1983:3-4) menyatakan bahwa di dalam perekonomian-perekonomian primitive, bagian terbesar dari hasil produksi dimaksudkan untuk digunakan oleh penghasil- penghasilnya sendiri atau untuk menunaikan kwajiban-kwajiban kekerabatan, dan bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Akibatnya

adalah bahwa penguasaan de facto atas sarana-sarana produksi di dalam masyarakat primitive terdesentralisasi, bersifat local dan kekeluargaan.

Redfield (1985) mendefinisikan petani sebagai produsen pertanian dengan skala kecil, peralatannya sederhana, dan tenaga kerja berasal dari keluarga, produk utama yang dihasilkan sebagian besar untuk konsumsi sendiri, dan untuk memenuhi kwajiban-kwajiban kepada kekuatan ekonomi dan politik. Petani merupakan masyarakat dengan nilai setengah desa setengah kota. Ada proses reinterpretasi dan reintegrasi dengan elemen-elemen yang dipandang lebih tinggi dari mereka (kota)-“tradisi agung”.

Ellis (1993) petani adalah rumahtangga yang sumber nafkahnya utamanya berasal dari pertanian, tenaga kerja utama produksi pertaniannya dari keluarga, dan berhubungan dengan pasar secara tidak sempurna. Mendasarkan diri pada penelitiannya di masyarakat nelayan Malaysia, Firth (1966) mendefinisikan petani sebagai sebuah sistem produksi skala kecil dengan teknologi sederhana untuk pemenuhan kebutuhan pangan sendiri dengan basis ekonomi pada rumahtangga.

Chayanov (1986) mengambarkan ekonomi rumah tangga petani dengan houseshold utility maximization dimana adanya upaya memaksimalkan potensi ekonomi rumah tangga melalui tenaga kerja rumah tangga tanpa bayar, dan memaksimalkan fungsi lahan pertanian yang sempit. Ekonomi usaha tani petani adalah berbasis pada perekonomian keluarga (family economy) sehingga semua keluarga tani lebih mudah berhubungan dengan tanah untuk dikerjakan. Seluruh organisasinya ditentukan oleh ukuran dan komposisi keluarga petani itu dan oleh tuntutan-tuntutan konsumsinya dengan jumlah tangan yang bekerja. Usahatani keluarga tidak bersifat profit maximation, melainkan membangun dan menjaga keseimbangan “consumer-labour ratio” (C/L). Apabila kebutuhan konsumsi rumahtangga tidak tercukupi dengan luasan lahan yang ada, maka mereka akan mengolah tanah lebih intensif (menambah jumlah jam kerja). Hasil pertanian hanya digunakan untuk konsumsi keluarga dan kalau dijual harga ditentukan oleh pasar.

Wolf (1983:19-20) melihat kaum tani dengan cara yang berbeda. Wolf melihat bahwa kaum tani adalah suatu kelompok masyarakat yang secara terpaksa

mempertahankan suatu keseimbangan antara tuntutan-tuntutan orang-orang luar dan akan mengalami ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh perjuangan untuk mempertahankan keseimbangan itu. Orang luar pertama-tama memandang petani pedesaan sebagai suatu sumber tenaga kerja dan barang yang dapat menambah dana kekuasaannya (fund of power). Akan tetapi petani adalah juga pelaku ekonomi (economic agent) dan kepala rumahtangga. Tanahnya adalah satu unit ekonomi dan rumahtangga.

Secara lebih rinci, Shanin (1966) mencirikan petani dengan beberapa karakteristik, yaitu: (1) Ciri-ciri ekonomi petani ditentukan oleh keterkaitan petani dengan lahan dan karakteristik produksi pertanian yang khas; (2) usahatani keluarga adalah unit dasar dari kepemilikan petani, produksi, konsumsi, dan kehidupan social; (3) dalam kegiatan ekonomi usahatani, tidak terlalu memperhatikan spesialisasi kerja; (4) budaya tradisional petani sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat desa; dan (5) didominasi oleh pihak luar melalui: land-tenure, penyalahgunaan dalam kekuatan pasar.

Berdasarkan berbagai pemikiran beberapa ahli (Wolf, 1983; Redfield, 1985; Chayanov, 1986; Ellis, 1993; dan Shanin,1966) memiliki pandangan yang sama bahwa basis ekonomi petani adalah pada level rumahtangga. Ortiz dalam Carrier (2005) menyatakan bahwa pada masyarakat non-Barat basis sumberdaya dikelola pada unit rumahtangga dan komunitas yang berbasis kekerabatan. Keputusan dalam kegiatan produksi dan investasi lebih cenderung dilakukan oleh rumahtangga dibandingkan pada level individu.