• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

VI. STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI TEMBAKAU

6.1. Strategi Nafkah Rumahtangga Petan

6.1.1. Domain “base livelihood” 1.Strategi Produks

6.1.1.3. Strategi Solidaritas Vertikal

Istilah solidaritas vertikal merujuk pada adanya hubungan bertingkat berbasis pada rasa solidaritas untuk “menembus” struktur distribusi tembakau. Solidaritas ini dibangun atas dasar etika moral sosial-kolektif yang berbasis pada sosial capital yang terwujud dalam bentuk asuransi sosial. Kemampuan sumberdaya manusia yang terbatas mendorong rumahtangga petani memanfaatkan sumberdaya lain, seperti modal sosial sebagai aset penting dalam membentuk sistem nafkah.

Gambar 6.2. Strategi Solidaritas Vertikal yang berbasis pada Kinship-Genealogis

Swto (P1) adalah salahsatu orang terpandang dan berpengaruh di desa Wonotirto karena memiliki lahan yang luas. Walaupun orang terpandang dan relatif kaya, tingkat pendidikannya dan anggota keluarganya tidak mendapatkan perhatian penting. Semua anaknya mengikuti jejak ayahnya sebagai petani tembakau. Swto memiliki hubungan baik dengan Bah CL

P1 P2 PL G1 G2 Hubungan petani dengan grader

Hubungan petani dengan

grader generasi baru Petani lain

menjalin trust

dengan petani yang memiliki hubungan baik

dengan grader Hubungan petani dengan

grader melalui jalinan

trust dengan P2 GENEALOGIS KINSHIP KINSHIP PG SISTEM NITIP Petani Pedagang Perantara Grader Pabrik

Tidak semua petani memiliki akses kepada grader

(G1) yang didasarkan pada kepercayaan yang sifatnya turun temurun. Semua hasil panen tembakau dijual kepada Bah CL dan kadang tidak dibayar langsung dan dengan harga yang nyaris tidak ada tawar menawar. Harga yang ditetapkan oleh grader seolah menjadi hak prerogatif yang tidak bisa dibantah. Ketika harga tembakau sedang

anjlok terkadang pembayaran ditunda satu hingga dua minggu kemudian. Namun demikian, grader menjamin harga pasti lebih tinggi dibandingkan harga lain yang dijual melalui pedagang perantara (tengkulak). Meski tembakau memiliki kualitas yang sama atau lebih jelek dibandingkan dengan tembakau petani lain yang dijual kepada tengkulak karena tidak memiliki akses kepada grader, namun jika yang menjual swto bisa dipastikan harganya akan lebih tinggi. Pada saat gagal panen, grader tidak segan-segan memberikan hutang kepada petani tersebut yang akan dibayarkan setelah masa panen melalui potongan tembakau yang dijual kepada grader. Hubungan antara petani dan grader

ini sangat ekslusif dan membutuhkan waktu yang relatif lama bahkan dari satu generasi ke generasi. Hubungan inilah yang disebut sebagai relasi yang berbasis pada kinship-genealogis, artinya selain didasarkan pada sistem kinship tetapi juga bersifat turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sementara petani lain yang secara turun temurun tidak memiliki hubungan baik dengan grader, akan menjual hasil panennya kepada pedagang perantara dengan harga yang lebih rendah. Agar bisa mengakses kepada Bah CL, maka petani ini harus mendapatkan jaminan dari swto, sebagai petani yang telah bertahun- tahun menjalin hubungan baik dengan Bah CL. Swto biasanya akan percaya dengan petani lain (PL) karena adanya hubungan kekerabatan atau tetangga dekat. Proses jalinan trust ini tidak mudah karena harus menjalani “uji kesetiaan” bahwa adanya jaminan kualitas yang baik. Setelah adanya kepercayaan dari Swto, maka petani tersebut akan direkomendasikan kepada grader untuk menjadi “anggota”-nya. Keanggotaan ini ada yang bersifat non-formal artinya karena saling mengenal secara dekat dan ada yang bersifat formal dengan menggunakan legalisasi berupa KTA (Kartu Tanda Anggota). Sedangkan bagi petani gurem (lahan sempit) biasanya agak sulit mengakses Bah CL walaupun memiliki hubungan baik dengan Swto. Ada mekanisme lain yang dibangun sebagai strategi solidaritas vertikal, yaitu dengan sistem nitip. Sistem ini dilakukan dengan cara menitipkan hasil panennya kepada Swto, sehingga tembakau miliknya seolah-olah milik Swto. Harapannya harganya bisa setara dengan tembakau yang dimiliki oleh Swto. Tidak semua petani bisa melakukan sistem nitip ini, hanya kerabat dan tetangga dekat yang bisa mengaksesnya. Petani penitip biasanya akan menyerahkan tembakaunya kepada swto dan percaya sepenuhnya dengan harga yang ditetapkan oleh grader. Imbalan atas jasa ini tidak ditetapkan secara pasti melainkan didasarkan pada asas saling memahami. Apabila harga tinggi, petani akan memberi kira-kira 100 ribu setiap keranjangnya atau terkadang merelakan 2 kg tembakaunya untuk swto.  Melihat kelembagaan nafkah yang dibangun seperti sistem nitip

dan kinship-genealogis menunjukkan bahwa nafkah yang dibangun sangat dipengaruhi oleh peran modal sosial.

Strategi ini diterapkan baik pada petani berlahan luas maupun petani lahan sempit (gurem/tunakisma). Hal ini terkait dengan karakteristik yang khas dari komoditas tembakau. Kualitas tembakau yang bertingkat dan banyak ragamnya “memaksa” petani harus menjalin hubungan baik dengan grader. Setelah musim panen tiba, semua hasil panen berupa tembakau rajangan di jual ke beberapa gudang pabrik rokok yang bertempat di sekitar Temanggung melalui grader. Grader akan menentukan totol24 tembakau yang didasarkan pada warna dan bau tembakau. Kegiatan ini merupakan otoritas tunggal karena kemampuan memilah kualitas tembakau hanya dimililiki oleh grader. Keputusan apapun mengenai kualitas dan harga tembakau akan diterima oleh petani.

Sifat pasrah dan fatalis (pasrah dengan keputusan grader) ini juga didorong adanya keyakinan akan adanya “pulung” 25. Melalui pulung inilah, petani akan beruntung atau tidak dengan ditandai harga yang tinggi atau rendah pada hasil tembakaunya. Siapapun yang memperoleh harga tinggi, maka diyakini bahwa mereka mendapatkan anugerah berupa pulung. Keyakinan ini menjadikan mereka saling menerima harga tembakau walaupun jauh berbeda nilainya. Mereka tidak akan saling menuntut, walaupun harga tembakaunya jauh lebih rendah dibandingkan yang lainnya. Harga yang rendah menandakan bahwa pada musim tanam ini mereka belum mendapatkan pulung tersebut. Berikut ini adalah pernyataan petani mengenai peran pulung dan pengaruhnya terhadap keberuntungan petani:

“kulo nate sumerep pulung wonten tempat imbon. Lan leres, mbako kulo luwih pajeng dibanding kalian mbako tanggi”.

“saya pernah melihat pulung yang jatuh disekitar tempat mengeramkan tembakau. Dan terbukti benar, tembakau saya lebih laku dibandingkan tembakau tetangga di sekitar”.

      

24 Totol adalah istilah untuk menyebut kualitas tembakau, biasanya menggunakan symbol huruf. Misalnya:

totol A: menunjukkan kualitas paling rendah sehingga harganya paling murah. Totol yang paling bagus adalah F,G,H. Harganya bervariasi tergantung kepada letak tanam tembakau. daerah tanam yang paling bagus adalah Lamuk dan Lamsi.

25

Pulung adalah semacam keberuntungan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada petani tembakau. Petani yang akan mendapatkan pulung biasanya ditandai dengan adanya sinar yang akan jatuh ke lahan tegal, rumah, atau disekitarnya. Sinar tersebut biasanya dengan bermacam-macam bentuk, ada yang berbentuk rigen warna hijau ada yang berwarna kuning. Pulung yang jatuh di lahan tempat menanam tembakau dipercaya akan memberikan anugerah yang luar biasa.

“ten ngandap mriko, mbakonipun ditebas grader namung mboten sedoyo dipendhet. Wonten wolulas wit sing dijebol langsung dibeto wangsul diregani 22 juta. Lajeng turahanipun ditinggal mboten dipendhet lan diparingaken ingkang gadhah sabin. Wonten daerah mbako lamuk, pulung dhawah wonten sumur. Lajeng sumuripun ditutup, kersane pulungipun mboten pindah. Anehipun, sedoyo mbako ingkang dipunkeringaken sekitar sumur hasilipun mesti sae”

(di bawah sana-maksudnya tembakau yang ditanam di lahan sawah-, tembakaunya dijual secara ijon. Tetapi tembakaunya tidak diambil semua. Dari tembakau yang ada hanya diambil 18 pohon dengan cara dicabut hingga akarnya dengan harga 22 juta. Sementara yang lainnya ditinggal dan diberikan kepada yang memiliki lahan. Cerita lain, di daerah tembakau lamuk, pulungnya jatuh di dalam sumur, lalu sumurnya ditutup agar

pulung-nya tidak berpindah tempat. Anehnya semua tembakau yang dijemur di sekitar sumur tersebut hasilnya pasti bagus).

Hubungan petani dengan grader dimulai sejak tembakau ada di

Temanggung. Pada mulanya grader mendatangi petani untuk membeli hasil tembakaunya, sementara petani berkumpul di suatu tempat di desanya. Kemudian petani dan grader melakukan transaksi di tempat. Relasi tersebut dibangun atas dasar pondasi trust diantara satu dengan lainnya. Hubungan tersebut berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pada saat ini, untuk transaksi ekonomi dilakukan dengan cara petani mendatangi grader. Apakah semua petani bisa melakukan hubungan dengan grader?. Hanya beberapa petani yang dipercaya oleh grader yang bisa langsung menjual hasil tembakaunya kepada grader. Petani tersebut biasanya telah menjalin hubungan dengan grader pada waktu yang relatif lama bahkan berbeda generasi. Apabila orang tua atau generasi sebelumnya telah menjadi kepercayaan grader, maka secara otomatis keturunannya juga dipercaya oleh grader (lihat gambar 6.2.). Sementara bagi petani yang tidak memiliki hubungan genealogis dengan orang yang pernah menjadi kepercayaan grader, strategi yang dilakukan adalah dengan membangun trust dari petani yang sudah memiliki hubungan baik dengan grader. Beberapa grader memberikan bukti keanggotaan berupa Kartu Tanda Anggota (KTA). Keistimewaan menjadi kepercayaan grader adalah: (1) bisa menjual hasil panennya tanpa melalui pedagang perantara; (2) harga yang ditetapkan biasanya lebih tinggi; dan (3) memiliki akses permodalan.

Beberapa petani berlahan sempit, pada umumnya tidak memiliki hubungan khusus dengan grader sehingga mereka membawa hasil panennya kepada pedagang perantara (bakul). Strategi yang digunakan adalah dengan menitipkan hasil panen tembakaunya kepada petani lain yang telah memiliki hubungan baik dengan grader. Harapannya adalah dia akan memperoleh harga yang tinggi karena tembakaunya dijual oleh petani yang telah dipercaya.

Sistem nitip dibangun atas dasar saling percaya dan adanya moral ekonomi untuk membantu petani lain. Oleh karena itu, tidak ada perhitungan yang pasti antara hak dan kwajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Apabila harganya tinggi, maka petani yang menitipkan tembakau akan memberikan uang pengganti transportasi dan kuli angkut sebesar ±Rp. 100.000,00/keranjang atau merelakan 2 kg tembakaunya untuk diberikan kepada petani yang membantu menjual. Sementara pada saat harga anjlok, biasanya mereka tidak memberikan apapun melainkan adanya hubungan sosial yang baik antara petani yang satu dengan petani lainnya.

Woolcock dalam Bebbington et al (2006) membedakan tipe modal sosial menjadi tiga yaitu: pertama; bounding social capital, dicirikan adanya ikatan yang kuat diantara anggota atau diantara anggota keluarga dalam kelompok etnik tertentu. Kedua, Social Bridging, dicirikan oleh adanya hubungan yang inklusif dengan kelompok dari luar komunitas atau etnik. Ketiga; Social linking, modal sosial dibangun pada tataran yang lebih luas, misalnya: hubungan dengan status sosial yang berbeda. Mendasarkan diri pada pemikiran Woolcock tersebut, dapat dilihat bahwa salah satu strategi yang dibangun oleh petani tembakau dalam upaya melakukan keberlanjutan sistem nafkahnya adalah tidak hanya mengandalkan bounding social capital tetapi juga social bridging.

Berjalannya solidaritas vertikal menunjukkan bahwa kesempatan mengakses

social bridging atau social linking tidak serta merta meninggalkan hubungan pada level yang lebih kecil. Ikatan yang kuat pada level etnik yang lebih sempit memberikan kesempatan kepada petani yang tidak mampu mengakses modal sosial pada level yang lebih luas. Strategi solidaritas vertikal mampu menerobos struktur yang menghambat akses petani kepada grader.