• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Desa Campursari dan Wonotirto

III. METODE PENELITIAN

4.2. Kondisi Umum Desa Campursari dan Wonotirto

Desa Campursari dan Wonotirto merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Bulu. Dari Kota Temanggung, Ibu kota kecamatan Bulu terletak ± 6 Km ke arah Barat (arah ke Wonosobo). Dengan kendaraan bermotor dapat ditempuh ± selama 15 menit melalui jalan yang sudah diaspal. Luas wilayah Kecamatan Bulu adalah 4.303,96 Ha dengan rincian sebagai berikut: 1.370,84 Ha (31,85%) merupakan lahan sawah dan 2.933,12 Ha (68,15 %) termasuk lahan bukan sawah. Lahan bukan sawah diperuntukkan untuk bangunan seluas 365.83 (12,47%); tegal/ladang 2.102,47 ha (71,68 %); kolam 1,86 ha (0,06 %); hutan Negara 411 ha (14,01 %); dan lainnya 51,95 ha (1,77 %).

Desa Campursari lebih dekat dengan ibu kota Kecamatan Bulu dibandingkan Wonotirto. Dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat ditempuh selama ± 10 menit. Desa ini relative dekat dengan pusat kota, dan dengan kondisi jalan yang sudah beraspal halus dengan basis pertanian lahan sawah (86,8 %). Sedangkan di Wonotirto semua lahannya (100 %) bukan merupakan lahan sawah (tegal) (lihat table 4.1.).

Tabel 4.1. Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenisnya Tahun 2007

Desa Luas lahan (Ha) % terhadap

luas Kec.

Bulu Lahan

Sawah % Bukan

Sawah % Jumlah

Wonotirto - 0,00 544,33 100,00 544,33 12,65

Campursari 130,20 86,80 19,8 13,20 150 3,49

Bulu 1370,84 31,85 2933,12 68,15 4303,96 100

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Keberadaan lahan sawah dan tegal di kedua desa tersebut sangat dipengaruhi oleh ketinggiannya dari permukaan laut. Rata-rata ketinggian wilayah di Kecamatan Bulu adalah 772 mdpl. Desa campursari terletak pada 550 mdpl, sedangkan Wonotirto berada pada 1.200 mdpl (lihat pada table 4.2.). Kecamatan Bulu terletak di lereng Gunung Sumbing, sementara ketinggian Gunung Sumbing adalah ± 3.260 mdpl) atau 1,5 kali dari ketinggian desa Wonotirto.

Ketinggian wilayah ini juga mempengaruhi sarana transportasi yang tersedia. Desa campursari yang terletak di pusat kota kecamatan relative lebih banyak pilihan sarana transportasi baik umum maupun pribadi. Desa ini dilalui jalan raya Temanggung-Wonosobo, disamping merupakan jalan utama menuju Parakan yang merupakan pusat perdagangan tembakau di Kabupaten Temanggung. Sementara di Desa Wonotirto, sarana transportasi pribadi6 lebih dominan terutama untuk mobilitas yang bukan untuk perdagangan tembakau.

Sarana transportasi umum biasanya menggunakan pick-up yang juga dipergunakan untuk mengangkut barang pada saat musim tembakau. Pada musim tembakau frekuensi mobil pick-up lebih sering dibandingkan non-tembakau. Saat musim panen tembakau, satu hari bisa 5-7 kali dari Wonotirto ke Parakan atau Temanggung dengan jumlah pick-up yang relative banyak (4-8 buah). Sedangkan di luar musim tembakau biasanya hanya 2-3 kali per hari dengan jumlah pick-up yang lebih sedikit.

Tabel 4.2. Ketinggian desa dari permukaan laut dan jaraknya ke pusat pemerintahan dirinci per desa di kecamatan Bulu tahun 2007

Desa Ketinggian dari

Permukaan Laut (m)

Jarak dari kantor desa ke ibu kota Kecamatan Kabupaten Propinsi

Wonotirto 1200 14 8,6 65

Campursari 650 1 4,07 85

Rata-rata Kec. Bulu 772 4,47 6 84,47

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

      

6 Pada kelompok kelas menengah ke bawah mayoritas memiliki sepeda motor yang dibeli pada saat panen

Lahan sawah di desa campursari 45,23 % berpengairan teknis; 34,18 % berpengairan ½ teknis; dan lainya adalah berpengairan sederhana PU (lihat table 4.3.). Potensi ini dimanfaatkan oleh masyarakat dengan melakukan kegiatan tanam sebanyak tiga kali. Pilihan komoditasnya pun relative lebih banyak, misalnya: padi-padi-padi; padi-padi-tembakau; padi-padi-jagung. Hal tersebut berbeda dengan desa Wonotirto dengan lahan tegalan. Pilihan komoditas tanaman hanya bisa dilakukan pada musim tanam Nopember-April yaitu: cabe, jagung, diselingi dengan tanaman tumpangsari. Sedangkan pada musim tanam April-September pilihan komoditas menggantungkan diri pada tanaman tembakau, mengingat untuk saat ini tanaman yang paling tahan terhadap musim kemarau adalah tembakau. Secara umum, ketergantungan petani dari sudut pandang agro-ekologi terhadap tembakau pada lahan tegal di lereng Gunung Sindoro-Sumbing jauh lebih tinggi dibandingkan pada lahan sawah. Pada lahan sawah, petani memiliki pilihan komoditas yang lebih banyak. Namun demikian, keterikatan terhadap tembakau tidak serta merta merenggang. Berbagai harapan akan harga tinggi mendorong petani tetap mengusahakan tembakau walaupun pilihan untuk menanam padi juga relative terbuka.

Tabel 4.3. Luas Lahan Sawah berdasarkan Pengairan Tahun 2007

Desa Irigasi Tadah

hujan Teknis ½ teknis Sederhana

PU Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Pada lahan sawah, petani melakukan strategi perubahan komoditas. Pada tahun-tahun yang kurang menguntungkan untuk tanaman tembakau7, untuk mengurangi resiko gagal panen, petani lahan sawah tidak menanam tembakau dan menggantinya dengan tanaman padi yang relative lebih aman (risiko rendah).

      

7 Didasarkan pada ramalan sesepuh atau grader atau berdasarkan pengalaman petani dengan angka tahun pada digit terakhir 8 dianggap kurang baik untuk menanam tembakau terutama yang didahului angka ganjil, misalnya: tahun 1978, 1998, dan lainnya.

Pilihan menaman padi selama tiga musim tanam sebenarnya mengandung risiko terhadap serangan tikus. Namun demikian dibandingkan gagal panen tembakau, risiko menanam padi lebih kecil.

Kecamatan Bulu terdiri dari 19 Desa8, 91 dusun, 84 RW, dan 297 RT.

Desa Wonotirto terdiri dari 4 dusun, 4 RW (Rukun Warga), 20 RT (Rukun Tetangga) dan 901 KK (Kepala Keluarga). Sedangkan desa Campursari terdiri dari 6 dusun, 6 RW, 18 RT, dan 567 KK (lihat table 4.4.). Keenam dusun di Desa Campursari adalah Sojayan, Watukarung, Gregesan, Sewatu, Dalangan, Tegalsari.

Antar dusun terletak berdekatan satu sama lain dan hanya dipisahkan oleh jalan raya. Sementara di dusun-dusun di Wonotirto: Kwadungan, Grubug, Tritis, Wunut, jarak antar dusun dipisahkan oleh bukit, lahan tegalan, dan ada yang terhubung dengan jalan yang relative sulit untuk dilalui.

Tabel 4.4. Banyaknya Dusun, RW, RT di Kecamatan Bulu, Desa Wonotirto dan desa Campursari Tahun 2007

Desa Dusun RW RT KK Jml Penduduk

L P Jml

Wonotirto 4 4 20 901 1.846 1.746 3.594

Campursari 6 6 18 567 973 1.035 2.008

Bulu 91 84 297 10.786 21.312 21.448 42760

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Dilihat dari jumlah penduduk, desa Campursari lebih padat dibandingkan Wonotirto maupun Kecamatan Bulu baik dari sisi geografis maupun agraris (lihat table 4.5.). Semakin kecil angka kepadatan penduduknya (geografis dan agraris) maka akan berimplikasi kepada luas kepemilikan lahan baik lahan pertanian maupun non pertanian. Hal ini dapat dilihat dari data sensus pertanian tahun 2003 yang menunjukkan luas kepemilikan di atas 1 hektar di desa Wonotirto adalah 31,23 %; Campursari sebesar 0,56 %; dan Kecamatan Bulu adalah 8,26 %.

Berdasarkan komposisi jenis kelamin, terlihat di Wonotirto terdapat 110 laki-laki per 100 perempuan; Campursari 95 laki-laki per 100 perempuan; dan di Kecamatan Bulu 99 laki-laki per 100 perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa       

8Desa-desa tersebut adalah: Wonotirto, Pagergunung, Wonosari, Bansari, Pandemulyo, Malangsari,

komposisi laki-laki terhadap perempuan relative sama atau tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Sementara dari angka beban tanggungan (ABT) di desa Wonotirto terlihat lebih tinggi dibandingkan Campursari yaitu terdapat 65 pendudukan usia non produktif per 100 usia produktif. Hal ini bermakna bahwa setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 65 orang usia non produktif.

Tabel 4.5. Kepadatan geografis dan Agraris, Sex ratio, dan Angka Beban Tanggungan (ABT) di Desa Campursari, Wonotirto, dan Kec. Bulu Tahun 2007

Desa Kepadatan Geografis9

Kepadatan Agraris10

Sex Ratio11 Angka Beban Tanggungan (ABT)12

Wonotirto 666 9 110 65,00

Campursari 1.357 15 95 50,52

Bulu 994 11 99 48,63

Sumber: diolah dari Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Kondisi geografi suatu wilayah akan mempengaruhi jenis mata pencaharian penduduknya. Mayoritas pekerjaan penduduk Wonotirto adalah sebagai petani perkebunan, terutama adalah petani tembakau. BPS (2005) mendefinisikan rumahtangga petani usaha tanaman perkebunan adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman perkebunan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha. Suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga pertanian perkebunan apabila banyak pohon/rumpun/luas yang diusahakan rumah tangga tersebut lebih besar atau sama dengan batas minimal usaha (BMU) masing-masing jenis tanaman tersebut. BMU untuk tanaman tembakau adalah 1600 m2. Sedangkan desa Campursari yang lahannya berbasis pada sawah petani yang mengusahakan tembakau tidak sebanyak di desa Wonotirto. Sebagian besar adalah petani tanaman pangan terutama padi (lihat table 4.6.)

      

9 Kepadatan geografis adalah perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah (km3)

10 Kepadatan agraris adalah perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian (ha)

11 Sex Rasio adalah rasio antara penduduk laki-laki dengan perempuan

12 Angka Beban Tanggungan (ABT) adalah rasio antara penduduk non produktif (0-14 tahun dan 65+) dengan penduduk produktif (15-64 tahun)

 

Tabel 4.6. Mata Pencaharian Penduduk 10 tahun ke atas Tahun 2007

Mata Pencaharian Ds. Wonotirto Ds. Campursari Kec. Bulu

Petani tanaman pangan 179 798 12.369

Peternak 100 3 756

Petani perkebunan 1.160 30 3.045

Pertambangan/penggalian 4 2 14

Industri Pengolahan 0 3 347

Bangunan 3 7 765

Perdagangan, hotel, RM 22 77 2.614

Pengangkutan dan

komunikasi 22 32 556

Jasa 0 352 2.481

Lainnya 36 30 462

Jumlah 1.526 1.333 23.801

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Komoditas pertanian yang diusahakan di Wonotirto lebih bervariasi dibandingkan di Campursari. Komoditas utama desa Campursari adalah padi dan paling tidak sekali musim tanam dalam setahun mengusahakan tembakau.

Sedangkan di Wonotirto komoditas utamanya adalah tembakau dan jagung.

Kacang tanah, kedelai, sayuran, kacang merah adalah sebagai tanaman tumpangsari yang tidak selalu dijual melainkan untuk konsumsi pribadi. Secara perlahan, jagung juga sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan tanaman cabe karena alasan lebih menguntungkan. Untuk melihat lebih jelas mengenai luasan lahan dan panen komoditas pertanian dapat dilihat pada table 4.7.

Tabel 4.7. Luas dan Panen komoditas pertanian di desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007

Komoditas

Wonotirto Campursari Kec. Bulu

Luas

Padi 0 0 3.999,14 13,91 4.053 26.032

Jagung 112,18 129,64 0 0 1.777 5.082

Kacang Tanah 15,6 12,27 0 0 39 81

Kedelai 0,8 0,3 0 0 2 2

Cabe 59,64 133,31 1,19 6,96 630 17.216

Kacang Merah 3,69 9,02 0,07 0,47 39 1165

Kobis 67,62 15.723,03 0 0 128 27.403

Tembakau 367,58 51,42 72,31 0 1.627 976,20

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Beternak adalah salah satu aktivitas penting bagi rumahtangga petani.

Binatang ternak dapat dijadikan sebagai tabungan sekaligus investasi. Sebagai tabungan ketika mengalami kebutuhan yang mendadak, sewaktu-waktu bisa dijual. Sedangkan sebagai investasi, karena diupayakan agar bernak-pinang atau paling tidak bisa menghasilkan keuntungan selama dipelihara. Pakan ternak biasanya sebagian diambil dari jerami untuk rumahtangga petani berbasis padi sawah selain mencari rumput di sekitar desa yang kepemilikannya bersifat umum.

Sementara pada masyarakat pegunungan seperti Wonotirto, para petani mencari rumput hingga di luar desa.

Pada umumnya. sambil mengelola lahan mereka mencari rumput di pinggir jalan bahkan terkadang berombongan dengan para tetangga mencari ke luar desa. Rumput yang sudah diambil dimasukkan dalam karung. Apabila yang mencari rumput perempuan, karung tersebut digendong dengan menggunakan kain panjang seperti selendang. Sedangkan kalau laki-laki, karung tersebut di panggul atau di letakkan di atas kepala (jawa: disunggi). Apabila persediaan rumput di dalam desa sudah menipis atau habis mereka berjalan hingga 1-2 km untuk mencari rumput yang masih tersedia. Jenis hewan piaraan di Wonotirto paling banyak adalah kambing dan sapi, sedangkan di Campursari lebih banyak jenis kerbau (lihat table 4.8.). Bangunan kandang ternak ada yang dibuat secara sederhana dengan memakai kayu yang dirangkai berbentuk limas dengan lantai tanah dan ada yang dengan lantai yang sudah dikeraskan. Letak kandang biasanya berdekatan dengan dapur rumah, dan sebagian besar di Desa Wonotirto kandang kambing menyatu dengan dapur.

Tabel 4.8. Ternak besar, kecil, unggas Desa Campursari, Wonotirto, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007.

Desa Sapi Kerbau Kuda Kambing

Wonotirto 18 - - 910

Campursari 5 59 9 2

Bulu 647 151 23 6808

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Meskipun jauh dari kota kecamatan (± 14 km), namun dari sisi pendidikan dan kesehatan, desa Wonotirto tidak terlalu ketinggalan. Paling tidak sudah ada 4

bangunan sekolah TK, 3 SD, dan 1 SMP. Sementra Campursari yang dekat dengan kota kecamatan hanya ada 1 bangunan TK dan 2 SD. Namun demikian karena aksesnya yang mudah, maka tidak ada kesulitan untuk mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP.

Dari sisi tingkat pendidikan yang ditamatkan, desa Campursari lebih tinggi dibandingkan Wonotirto. Hal ini dapat dilihat dari jumlah yang tamat Perguruan Tinggi dan Akademi, SLTA, dan SLTP. Sedangkan yang menamatkan SD, Wonotirto jauh lebih banyak jika dibandingkan Campursari (lihat table 4.8.).

Tingkat migrasi yang rendah dari para generasi muda ke luar desa atau kecamatan menyebabkan mereka hanya mengenyam pendidikan SD atau SMP. Sementara untuk melanjutkan tingkat SLTA atau Perguruan Tinggi, mereka harus ke luar desa bahkan kecamatan atau kabupaten. Sebagian dari mereka lulus SD atau SMP segera mengikuti jejak orang tuanya menjadi petani tembakau. Untuk menuju ke sekolah, sebagian besar berjalan kaki bersama-sama dengan kondisi jalan bebatuan dan naik turun karena tidak ada sarana angkutan. Kalau melihat table 4.9. mayoritas penduduk di Wonotirto adalah tamat SD.

Tabel 4.9. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007

Desa PT

Aka-demi

SLTA SLTP SD Belum Tamat

SD

Belum/

Tidak Sekolah

Jumlah

Wonotirto 5 5 76 127 2.132 1.062 5 3.413

Campursari 169 143 496 453 372 265 3 1.900

Bulu 663 291 2.915 4.298 17.797 12.863 115 38.942 Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Untuk menunjang kesehatan, penduduk Wonotirto dan Campursari biasanya pergi ke Posyandu atau Polindes. Sedangkan untuk membantu persalinan, di Wonotirto memiliki 4 dukun bayi dan 1 bidan desa. Secara tradisional, ada 7 dukun pijat yang membantu masyarakat untuk memulihkan kesegaran tubuh. Apabila mengalami derita sakit yang tidak bisa ditangani, mereka harus turun ke kota kecamatan untuk memeriksakan diri ke dokter umum.

Sedangkan di Campursari ada 1 (satu) dokter umum yang membuka praktek.

Untuk kebutuhan penerangan, kedua desa telah menggunakan listrik dari PLN. Listrik masuk desa Wonotirto sekitar tahun 1980-an dengan swadaya dari masyarakat. Sedangkan untuk kebutuhan air, karena letaknya di pegunungan maka hampir 100 % menggunakan mata air. Ada beberapa tipe mata air yang dimanfaatkan oleh penduduk, yaitu: (1) dari sumber mata air Kledung; (2) dari masing-masing dusun; dan (3) dari lahan masing-masing.

Tabel 4.10. Sarana Air Bersih Desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007

Desa Ledeng/PAM Sumur Mata Air Air Sungai Jumlah

Wonotirto - 7 833 - 840

Campursari 195 225 177 - 597

Bulu 545 2.052 7.857 232 10.786

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Sumber mata air dari Kledung adalah hasil dari swadaya masyarakat..

Warga masyarakat yang ingin memanfaatkan sampai di rumah ditarik iuran sebesar ± 3,5 juta. Uang tersebut dipergunakan untuk membeli paralon sehingga bisa masuk ke penampungan rumah masing-masing. Untuk biaya perawatan dipungut biaya bulanan dengan nominal yang relative kecil. Mereka bisa mengakses air tanpa dibatasi.

Sedangkan bagi warga masyarakat yang tidak memiliki uang untuk membayar iuran awal, biasanya mereka hanya membeli paralon sendiri untuk kemudian mengambil dari tetangga dekat. Sedangkan sumber mata air yang lain adalah yang diprakarsai oleh desa. Desa memfasilitisai air hingga level Rukun Tetangga. Pada masing-masing RT dibangun bak penampungan yang bisa diakses oleh warga desa tanpa dipungut biaya. Sedangkan sebagian lainnya biasanya mengambil air dari mata air yang dibuat di lahan masing-masing. Setiap setahun sekali mereka melakukan ritual dengan melakukan kenduri di bak-bak penampungan utama dan juga di sumber air masing-masing. Untuk keperluan buang air besar, mereka melakukannya di WC pribadi dan sebagian kecil di sungai.

Sementara di Campursari, air bersih diambil dari ledeng/PAM, sumur, dan mata air. Sedangkan untuk keperluan MCK dilakukan di WC umum yang

dibangun pada masing-masing dusun. Kelompok petani kelas atas, menggunakan air PAM dan WC permanen yang dibangun di rumah masing-masing.

4.3.Perkembangan Tembakau Temanggung

Secara historis, Temanggung yang juga dikenal dengan nama Kedu merupakan salah satu wilayah di Jawa yang telah dikenal sebagai penghasil tembakau sejak tahun 1746, disamping wilayah lain seperti: Jawa Timur dan Cirebon. Tembakau merupakan komoditas penting -dan wajib ditanam- di bawah system tanam paksa, selain tanaman “tiga besar” lainnya: tebu, kopi, dan indigo.

Pada tahun 1900 dan tahun 1940, penanaman tembakau oleh petani kecil terpusat di beberapa tempat, yaitu: Dataran Tinggi Dieng dan daerah sekelilingnya (Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo, Batang, Kendal, Salatiga, dan Karesidenan Kedu), Karesidenan Rembang, dan Karesidenan Probolinggo dan Besuki (Kabupaten Lumajang, Jember, Bondowoso). Tembakau dari Kedu di ekspor ke Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Ambon (Boomgard, 2002: 87-101; Jonge, 1989, Suroyo, 2000:188-189).

Pada mulanya petani membudidayakan tanaman tembakau sesuai dengan pengalaman turun temurun yaitu dengan system garang. Sistem garang ini biasanya dikirim ke Weleri dan Cirebon. Tembakau garangan biasanya dipergunakan untuk rokok jenis lintingan. Pada tahun 1950-an, berkembang tembakau tipungan dengan rajangan yang lebih lembut dibandingkan garangan.

Tembakau jenis ini dipak berbentuk kotak, biasanya dipasarkan di sekitar pasar Parakan. Pada tahun 1975, anjuran ITR (intensifikasi tembakau rakyat) merubah menanam dari system garang dan tipungan menjadi tembakau “tumbon” atau kenthungan. Keuntungan dari tembakau “tumbon” adalah: (1) luas lahan yang ditanami lebih luas sehingga hasilnya meningkat; dan (2) harga tembakau tumbon lebih baik bagi para petani dibandingkan tembakau garang.

Tembakau merupakan salah satu komoditas yang sangat rentan terhadap perubahan cuaca. Bahkan karena usaha penanaman tembakau pada tahun 1841 dianggap gagal akibat risiko tinggi terkait kerentanannya terhadap cuaca dan

selanjutnya pemerintah membiarkan petani mengusahakan sendiri tanaman tembakau seperti sedia kala, atau mengadakan kontrak penanaman atau penjualan dengan pihak swasta tanpa campur tangan pemerintah secara langsung. Tembakau merupakan tanaman bebas yang diusahakan dan diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhubungan langsung dengan pasar (Suroyo, 2000: 188-191).

Hingga saat ini, tanaman tembakau dikembangkan oleh hampir semua petani di Lereng Gunung Sindoro Sumbing. Sebanyak 16 (enam belas) Kecamatan di Kabupaten Temanggung membudidayakannya, dengan tiga area tanam terluas adalah Kecamatan Kledung (1.905,5 ha); Ngadirejo (1.683 ha); dan Bulu (1.627 ha). Hanya empat Kecamatan yang sama sekali tidak mengusahakan tembakau yaitu: Kranggan, Pringsurat, Gemawang, dan Bejen. Bagaimana luas lahan yang ditanam tembakau dan produksi yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 4.2.

dan 4.3.

Gambar 4.2. Luas Tanam Tembakau di Kabupaten Temanggung Tahun 2007

Kledung, 1,905.50

Ngadirejo, 1,683.

00

Bulu, 1,627.00

Tretep, 1,568.00 Bansari, 1,329.00

Temanggung, 1,2 42.00 Parakan, 874 Tembarak, 568 Wonoboyo, 496

Candiroto, 450 Selopampang, 433

Kedu, 325 Tlogomulyo, 284.

4

Jumo, 222.5 Kandangan, 27.5 Kaloran, 5

Gambar 4.3. Produksi Tembakau di Kabupaten Temanggung Tahun 2007

Tembakau adalah salah satu komoditas perkebunan yang sangat tergantung pada kondisi cuaca. Petani memiliki perhitungan sendiri seberapa luas tanaman yang akan ditanami tembakau. Sebagian besar petani masih meyakini bahwa pada tahun dengan digit belakang angka 8 dianggap tidak baik untuk menanam tembakau terutama apabila satu digit didepannya berangka ganjil, seperti: 1978, 1998. Hal ini didasarkan pada pengalaman yang pernah dialami dimana pada tahun-tahun dengan digit terakhir angka delapan biasanya mereka mengalami gagal panen yang disebabkan karena cuaca buruk (hujan) maupun kualitas yang tidak baik sehingga harganya kurang baik. Petani juga seringkali memiliki seseorang yang dijadikan panutan dalam meramal baik buruknya musim tembakau. Biasanya mereka menanyakan kepada grader dan sesepuh desa yang dianggap mengetahui kondisi cuaca pada tahun mereka akan menanam tembakau.

Biasanya grader juga memiliki paranormal sendiri untuk meramalkan apakah tahun depan cocok untuk menanam tembakau atau tidak. Hasil dari ramalan tersebut biasanya diinformasikan kepada petani yang akan menentukan luas area yang akan ditanami tembakau.

Berdasarkan data BPS (2008) terlihat bahwa luas tanam dan jumlah

Kledung, 1246.4

Ngadirejo, 1058

Bulu, 976.2 Tretep, 998.31

Bansari, 817.34 Temanggung, 745

.2 Parakan, 524.4 Tembarak, 340.8 Wonoboyo, 297.6

Candiroto, 287.55 Selopampang, 259

.8 Kedu, 152.75 Tlogomulyo, 159.

26

Jumo, 140.18 Kandangan, 12.65

Kaloran, 3

akan tahun baik, beberapa petani yang rasional menyatakan bahwa salah satu penyebab petani tidak menaman tembakau disebabkan karena pada lahan tegalan hanya cocok untuk tanaman tembakau. Gagal panen pada tahun yang berturut-turut mengakibatkan modal usaha tani adalah menipis akibatnya mereka mengurangi areal lahan yang ditanami tembakau.

Gambar 4.4. Perkembangan Luas Tanam (ha) dan produksi (ton) Tembakau Tahun 2003-2007

4.4.Ikhtisar

Secara Geografis, wilayah Kecamatan Bulu adalah termasuk wilayah pegunungan dengan ketinggian rata-rata 772 mdpl. Kondisi lahan, mayoritas (68,15 %) berupa lahan tegal. Potensi ini dimanfaatkan oleh petani untuk bercocok tanam sesuai komoditas yang disesuaikan dengan kondisi lahan, salah satunya adalah dengan mengusahakan tanaman tembakau.

Secara historis, Temanggung merupakan salah satu wilayah di Jawa yang telah dikenal sebagai penghasil tembakau sejak tahun 1746, disamping wilayah lain seperti: Jawa Timur dan Cirebon. Tembakau merupakan komoditas penting -dan wajib ditanam- di bawah system tanam paksa, selain tanaman “tiga besar”

lainnya: tebu, kopi, dan indigo. Komunitas petani pada lahan tegalan mayoritas mengusahakan tanaman tembakau.

15,024.85

19,312.50

14,548.00

9,326.00 13,039.90 7,109.44 9,495.84

3,916.05 4,260.00 8,019.44

-5,000.00 10,000.00 15,000.00 20,000.00 25,000.00

2003 2004 2005 2006 2007

Luas (Ha) Produksi (Ton)

Selain tembakau, petani juga menanam padi untuk lahan sawah. Sementara pada lahan tegalan, mereka menanam cabe, jagung, tanaman hortikultura lainnya.

Sebanyak 59,86 % adalah petani tanaman pangan, sementara di Desa Wonotirto 76,16 % adalah petani perkebunan (tembakau). Pada Petani lahan sawah, selain menanam padi mereka juga terkadang menanam tembakau. Sedangkan pada petani lahan tegal, pada bulan April-September mereka menanam tembakau selain merupakan kebiasaan turun temurun tetapi juga karena pada musim tersebut tanaman yang bisa tumbuh adalah tembakau.

Kepemilikan ternak dimanfaatkan petani sebagai tabungan untuk kebutuhan mendadak. Pada Petani lahan sawah, hewan ternak yang biasanya dipelihara adalah kerbau dan sapi. Sedangkan pada petani lahan tegal, mayoritas hewan piaraanya adalah kambing. Kebutuhan pakan hewan tersebut diambil dari rumput-rumputan yang ditanam dilahan pertanian atau rumput yang tumbuh di pinggir jalan.

Berbagai fasilitas baik pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik telah masuk di Desa Campursari dan Wonotirto. Jarak Desa Campursari yang lebih dekat dengan kota kecamatan dan kota kabupaten memberikan kemudahan dalam akses transportasi. Sementara Desa Wonotirto yang berjarak ± 14 km dari kota kecamatan lebih sulit dalam hal transportasi umum disamping kondisi jalan yang belum diaspal, berkelok-kelok, dan curam. Kebanyakan sarana transportasi yang dipergunakan adalah sepeda motor. Untuk angkutan umum, hanya tersedia mobil pick-up yang biasanya juga dipergunakan untuk mengangkut barang dagangan.

Untuk mengetahui bagaimana kondisi umum daerah penelitian dapat dilihat pada table 4.11.

Tabel 4.11. Kondisi Umum Daerah Penelitian

Tabel 4.11. Kondisi Umum Daerah Penelitian